Prof
Supriyoko dari Taman Siswa menyatakan hal yang serupa bahwa pendidikan di
Yogyakarta mampu menjadi yang terkemuka tidak hanya ditingkat Indonesia namun
juga di Asia. “Sederhana saja, kalau liburan kita sulit cari kamar menginap”
ujarnya. Artinya pengembangan SMK sebagai bagian dari sekolah menengah punya
ruang besar memaduserasikan antara ilmu dan praktek. Dengan demikian kebutuhan
praktek lapangan akan lebih banyak mudah direalisasikan.
Sedangkan
Ari Kurniawan dari Subdit Pembinaan SMK, Dirjen Pendidikan Menengah menyatakan
teaching factory perlu dimasukkan dalam Perda karena berdasar Inpres No 6 Tahun
2016, Presiden mendorong kesiapan tenaga kerja. “Jika SMK tidak mampu
menghasilkan tenaga siap kerja, ya (Negara) kita akan diserbu tenaga kerja
asing” ujarnya.
Tetapi
menurut Nino, secara substantive ada hal yang belum disinggung dalam Raperda
yaitu soal visi pendidikan menengah tidak dituliskan. “Padahal visi pendidikan
menengah itu penting bagi arah pendidikan di DIY itu mau kemana? Bila dalam
workshop sebelumnya Prof Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan Propinsi) mengingatkan
untuk memasukkan aspek sosiologis soal Kampung, Kampus dan Kraton. Dalam Naskah
Akademiknya sudah masuk namun di Raperda-nya malah tidak ada. Ini yang harus
dimunculkan sehingga menjadi jelas pasal-pasal turunannya bagaimana” kata Nino
yang datang mewakili YSKK Surakarta.
Selain
visi, tentang pendanaan pendidikan menjadi hal krusial yang disinggung Nino.
Artinya, mengacu pada tata kelola pendidikan bahwa sekolah dikelola dengan
Manajement Berbasis Sekolah. Sehingga unsur transparansi dan akuntabilitas
menjadi penting. “Memasukkan aturan mengenai e-RKAS dan e-RAPBS dalam pasal menjadi
kebutuhan yang penting untuk direalisasikan.
Penyusun tidak perlu khawatir konsiderannya karena ada pasal 27 di PP 17
Tahun 2010 bisa digunakan. Ini juga untuk pengawasan agar sekolah menengah
tidak sembarangan menarik sumbangan atau pungutan. Sebab klausul itu sudah
diatur secara ketat dalam pasal 47 di PP 48 Tahun 2010, sehingga sekolah tidak
boleh sembarangan menarik pungutan” jelas Nino.
Menanggapi
usulan Nino, Prof Slamet menyambut baik dan mendorong bagi tim penyusun, DPRD
maupun Dinas Pendidikan menerima masukan tersebut. “Soal e-RAPBS dan e-RKAS itu
sudah menjadi tuntutan perkembangan perkembangan jaman sehingga harus masuk (di
Raperda)” pria yang pernah menjabat di Kemdikbud hingga 8 Menteri.
Sementara
beberapa peserta diskusi mendesak adanya metode perhitungan unit cost dalam
Raperda sehingga pendidikan menengah tidak sembarangan menarik iuran pada orang
tua siswa.
“Soal
pendidikan menengah berdasar UU 23/2014 menjadi kewenangan propinsi sejak 16
Agustus 2016 eh belum lama ini bupati Bantul malah mengeluarkan edaran SMA/SMK
boleh menarik sumbangan maksimal Rp 3 juta” urai Muhammad dari LO DIY. Maka
dari itu, metode perhitungan unit cost harus tercantum di Raperda.
Wahid
dari Aksara menyampaikan bahwa unit cost masuk bab pembahasan di Pembiayaan
Pendidikan atau Pendanaan Pendidikan yang sama sekali tidak muncul di Raperda.
“Padahal dalam PP 48 Tahun 2008 jelas klausul yang mengatur soal itu” tambah
Dyah dari LSPPA. Dyah juga mendorong perhitungan kebutuhan pendidikan menengah
agar bisa diperoleh kepastian atas program wajib belajar 12 tahun. “Jika ada
kalkulasi kan kita bisa berhitung apakah DIY mampu atau tidak apalagi perlu
dikaji bisakah Dana IS dimanfaatkan untuk hal ini” ungkapnya.
Menanggapi
hal itu, Ir Atmaji sebagai moderator maupun Wawan Andriyanto SH mengucapkan
terima kasih dan akan memasukkan berbagai tanggapan yang muncul.
0 komentar:
Posting Komentar