Rabu, 27 Oktober 2010

Adakah Yang Bertanggung Jawab?

|0 komentar
Setengah tahun belakangan ini nampaknya bencana sedang melanda Indonesia. Bertubi-tubi musibah hadir tanpa memandang kelas ekonomi, social ataupun status. Semua mengalaminya dan apakah kita masih menyalahkan alam semesta yang memang sedang berubah tanpa bisa kita antisipasi? Dalam berbagai pemberitaan, rata-rata pejabat berwenang ketika dikonfirmasi media seringkali “menghindar” untuk menyatakan bertanggungjawab. Alasan seperti adanya human eror, cuaca memang sedang tidak menentu, sifat dari kondisi dan lain sebagainya. Sungguh memprihatinkan membaca pernyataan mereka.

Selain menghindar, tak ada empati yang dikeluarkan setidaknya untuk meminta maaf atau bertindak secara nyata. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing dan menyerahkan pada pejabat dibawahnya. Benar-benar tidak ada tradisi merasa bertanggungjawab untuk kemudian melakukan langkah terobosan agar kondisi tersebut tak terulang kembali atau setidaknya tidak ada jatuh korban. Menyantuni atau menggalang sumbangan bagi para pejabat Indonesia, itu sudah merupakan bentuk tanggjungjawab riil atas musibah atau tragedy.

Bila kita lihat tragedy kecelakaan kereta api di Pemalang Sabtu (2/10) awal bulan ini. Puluhan orang tewas setelah Kereta Api Argo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya menabrak KA Senja Utama Jakarta-Semarang yang sedang berhenti dari belakang  sekitar pukul 03.05 Wib. Kejadian yang membuat kita semua terhenyak. Kereta api bisa menabrak depannya apalagi saat berhenti di stasiun merupakan kejadian konyol yang sulit diterima oleh akal sehat. Pada kasus ini bisa dilihat mentalitas pejabat terkait yang bertugas benar-benar sangat sembrono. Pasca kejadian yang menewaskan puluhan orang, tak ada satupun pejabat dari Departemen Perhubungan maupun Direktorat Perhubungan Darat yang mengundurkan diri. Mereka menganggap itu kesalahan masinis serta petugas stasiun.

Kemudian soal gempa bumi yang sejak gempa aceh 2004 lalu sudah puluhan kali melanda berbagai wilayah Indonesia. Kejadian ini memang yang paling mudah bagi pejabat untuk menghindar dari tanggungjawab karena memang tidak ada gempa bumi yang disertai dengan pemberitahun terlebih dulu. Kadang kejadiannya pun tengah malam buta. Namun sejak tahun 2004, pelatihan gempa bumi sering dilaksanakan hanya pada masyarakat yang pernah mengalaminya. Sementara bagi wilayah yang tak merasakan, hampir tak pernah diadakan pelatihan soal ini. Pelatihannya pun semestinya tidak sekedar bagaimana menyelamatkan diri, namun juga mestinya prosedur evakuasi, mencari lokasi aman maupun bagaimana melatih masyarakat memberi pertolongan pertama jika ada korban. Padahal disisi lain sudah banyak lembaga internasional yang bisa memberi dukungan bagi penyelenggaraan kegiatan penanganan bencana gempa.

Gempa bumi terakhir menimpa Wasior di Propinsi Papua Barat maupun Mentawai Sumatera Barat. Di Wasior Papua Barat diperkirakan menelan korban jiwa hingga 103 jiwa sementara di Mentawai lebih 100 orang meninggal serta masih ada 500 warga yang hilang. Korban yang hilang kemungkinan meninggal karena gempa di Mentawai disertai oleh tsunami yang menyapu pulau disebelah selatan pulau Sumatra tersebut. Hingga 3 hari pasca kejadian, belum ada satupun pejabat yang menyatakan kejadian ini merupakan kejadian luar biasa. Artinya harus disikapi dengan konsekuensi. Bencana selanjutnya yakni banjir yang melanda ibu kota Jakarta. Memang korban jiwa tidak sampai puluhan namun dampak banjir seperti macet atau kerugian masyarakat mencapai ratusan miliar terutama yang dialami para pengusaha.

Gubernur DKI selayaknya menyatakan bertanggungjawab atas carut marutnya penataan kota yang menyebabkan dampak merugikan tersebut. Banjir dengan kedalaman beragam hampir merata terjadi di berbagai wilayah di Jakarta dan akibatnya macet hingga pukul 00.00 dinihari. Terakhir mengenai meletusnya (atau hanya erupsi) gunung merapi di wilayah Magelang, Klaten, Sleman maupun Boyolali. Sudah jatuh puluhan korban jiwa yang mungkin tak sempat terevakuasi maupun menyelamatkan diri. Termasuk diantaranya mbah Marijan, penunggu merapi. Kondisi pengungsian sungguh memprihatinkan dan sangat tidak layak baik prasarana, sarana maupun perangkat pendukung lainnya.

Lantas, dengan beragam kejadian ini, apa yang sebenarnya harus dilakukan oleh pemerintah? Media telah berperan besar dalam menyebarluaskan berbagai bencana dan langkah membantu warga harus segera ditempuh. Bila tak segera ditangani, korban akan terus bertambah. Koordinasi antara pemerintah pusat (kementrian) dengan pemerintah propinsi maupun daerah harus bisa efektif dan efisien sehingga korban-korban berikutnya tak lagi ada. Badan penanggulangan bencana juga harus bergerak cepat bersama PMI, TNI maupun institusi lain yang memiliki kepedulian atas musibah ini untuk bahu membahu menolong warga.

Yang justru aneh, maraknya berbagai pemberitaan media mengenai bencana hampir tidak terdengar kemana suara wakil kita di DPR. Apa yang mereka pikirkan atas bencana yang terjadi? Komisi- komisi yang berkaitan dengan bidang telah melakukan apa? Atau setidaknya wakil rakyat dari daerah bersangkutan turut terlibat membantu meringankan beban masyarakat korban. Mestinya mereka tak sibuk dengan hanya membangun gedung, kunjungan kerja, menambah fasilitas serta berbagai hal yang tidak ada kaitannya dengan rakyat. Namun sudah banyak masyarakat yang hilang asa atas mereka. Bagaimana dengan kita?

Jumat, 08 Oktober 2010

Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Kebijakan

|0 komentar
Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Kebijakan

Diskursus tentang peran perempuan dalam 10 tahun terakhir ini cukup menarik dan semakin banyak membuka ruang bagi kiprah perempuan di Indonesia. Ruang aktualisasi perempuan tidak sekedar hanya pada bidang-bidang yang ‘dianggap” milik laki-laki namun juga karir perempuan dibidang-bidang tersebut juga terlihat menggembirakan. Sebenarnya perkembangan partisipasi perempuan di bidang pemerintahan, ekonomi apalagi politik relative jauh lebih lamban dibanding dibidang olah raga. Sudah sejak lama perempuan Indonesia mampu membuat prestasi membanggakan di kancah Internasional meskipun dibidang olahraga tentu hanya bertanding sesame perempuan. Namun setidaknya kiprah mereka bisa terlihat meski bertarung dengan negara-negara yang peran perempuannya jauh lebih berkembang.

Hambatan kiprah perempuan di Indonesia memang cukup kompleks sehingga diberbagai bidang perempuan kurang mampu menunjukkan kompetensinya. Misalnya saja hambatan dalam budaya, regulasi, agama maupun perspektif masyarakat sendiri. Dalam budaya Jawa misalnya muncul 3 idiom untuk ranah perempuan yakni dapur, sumur dan kasur. Mereka tidak memiliki bargaining yang cukup kuat dimata para suami selain sebagai pelayan saja. Akibatnya peran perempuan tetap saja tidak terbuka bagi pengembangan mereka. Beberapa regulasi pra reformasi dan perlakuan yang ada terutama di birokrasi tidak jauh berbeda. Hampir tidak ada kepala daerah perempuan di jaman orde baru lalu. Kondisi ini juga ditambah dengan pemahaman agama yang kurang terbuka.

Akibatnya, banyak kebijakan yang ditetapkan tidak memiliki sense of gender (kesetaraan jender). Kebijakan tidak pro jender bila dilihat dampak yang terjadi. Masyarakat lebih suka menyekolahkan anak laki-laki lebih tinggi dibanding anak perempuannya. Diberbagai daerah, anak perempuan meski belum berumur 20 tahun sudah dinikahkan. Akibat terusannya kualitas kehidupan keluarga jadi menurun. Tidak hanya kualitas kesehatan, kualitas pendidikan tetapi juga kulitas keluarga yang dibangun tidak mencerminkan keluarga yang secara matang mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan dilingkungan paling kecil misalnya Rukun Tetangga mengalami subordinasi. Pertemuan ibu-ibu PKK dianggap kelas dua dibawah pertemuan bapak-bapak terutama bila mengambil kebijakan terkait lingkungan.

Konstruksi pemikiran tidak mengakui peran perempuan atau memarginalisasi mereka dalam teks pelajaran anak sekolah juga terjadi. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia anak SD kelas 1 atau 2 misalnya disebut bapak ke sawah dan ibu ke pasar. Pasca orde baru, kemudian wacana tentang jender banyak berkembang di masyarakat. Sudah banyak yang kemudian menyadari bahwa kesetaraan peran laki-laki dan perempuan penting untuk memberikan peluang bagi siapapun dan dari latarbelakang apapun juga. Namun hingga tahun 2009, berbagai upaya yang dilakukan berbagai kalangan belum bisa dianggap berhasil. Berdasarkan data BPS tahun 2008 dan 2009 (Tabel 1) menunjukkan ketimpangan yang cukup lebar.

Tabel 1
Berdasarkan Data Nasional
No        Tahun                                                  Laki-Laki          Perempuan
1    Angkatan Kerja (jiwa)    2008                    68.825.081        42.652.366
2    Angkatan Kerja (jiwa)    2009                    69,938,391        43,806,017
3    Mengurus Rumah Tangga (jiwa)    2008      30.481.858          1.640.911
4    Mengurus Rumah Tangga (jiwa)    2009      30.996.532          1.581.888
5    Upah Pekerja    2008                              Rp 1.233.000    Rp  933.0000
6    Upah Pekerja    2009                              Rp 1.406.000    Rp 1.071.000
Sumber : BPS/Sakernas 2008-2009

Kesempatan kerja yang tersedia di tahun 2008 dan 2009 lebih memprioritaskan laki-laki dibandingkan perempuan dengan proporsi sekitar 60 : 40 persen. Sedangkan untuk urusan domestik selisih laki-laki dengan perempuan jauh lebih besar (lebih dari 1.800 persen). Sementara untuk upah pekerja selisih mencapai Rp 300.000 dan semakin lebar pada tahun 2009 menjadi Rp 335.000. Di kelembagaan legislative tingkat pusat sudah mulai ada peningkatan keterlibatan jumlah anggota DPR perempuan. Pada periode 1999-2004 tercatat ada 40 legislator perempuan atau sekitar 9,2%. Jumlah ini naik pada periode 2004-2009 berjumlah 63 orang (11,45%) dan pada periode saat ini sudah mendekati 100 (99 orang) legislator perempuan di gedung DPR RI (17,68%).

Regulasi dan Partisipasi Dalam Bidang Politik

Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa ada ketidakadilan terhadap perempuan. Seharusnya Negara membuka peluang, kesempatan, dan porsi yang sama baik pada laki-laki maupun perempuan. Sebenarnya sudah banyak regulasi yang memberi peluang bagi kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Setidaknya ada 11 undang-undang dan 3 regulasi lainnya yang memandatkan berbagai kebijakan yang responsive jender. Ke 5 undang-undang tersebut yakni 1) UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan; 2) UU No 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak; 3) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya mengakui hak asasi perempuan; 4) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 6) UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik; 7) UU No 13 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak-hak ECOSOC; 8) UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi; 9) UU No 17 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan; 9) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 10) UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu serta 11) UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Beberapa aturan turunan yang memproteksi dan memberi kesempatan yang sama terhadap perempuan diantaranya Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan, Kepmendagri No 132 tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah juga Peraturan Kapolri No 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Berbagai regulasi ini semakin mendorong berbagai gerakan dan kesempatan bagi perempuan untuk lebih aktif berperan diberbagai bidang. Misalnya saja sudah banyak kepala daerah perempuan bahkan gubernur perempuan, serta pejabat perempuan. Kesempatan yang sama juga terjadi dalam kelembagaan politik dengan adanya affirmative action yang mensyaratkan caleg dari partai politik minimal 30 persen dan memiliki posisi yang strategis. Kondisi inilah yang menjadikan jumlah wakil rakyat perempuan naik cukup pesat. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa peluang partisipasi perempuan sekarang telah terbuka cukup luas.

Hanya saja, ditingkat daerah seperti kabupaten/kota memang belum cukup massif menerjemahkan berbagai regulasi dari pusat secara tepat. Berbagai pemerintah daerah masih berkutat pada mendirikan kantor atau badan pemberdayaan perempuan namun implementasinya perlu dimonitoring secara ketat. Karena berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh SKPD bersangkutan tidak bermakna substansial melainkan sangat teknis. Misalnya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan selalu lebih banyak diikuti oleh perempuan dan dianggap sudah responsive jender bila banyak diikuti perempuan. Selain itu makna secara hakiki dari pengarusutamaan jender diterjemahkan dalam berbagai aktivitas yang semua pesertanya kebanyakan perempuan. Tidak kemudian ada grand design dalam segala program di SKPD dimaknai sebagai program yang responsive jender atau peduli perempuan.

Di partai politik sendiri juga masih banyak lips service. Hal ini juga terlihat dari masih mayoritasnya laki-laki dalam kepengurusan partai politik. Aktivis partai politik perempuan lebih banyak masuk di divisi atau departemen perempuan. Dari satu divisi/bidang/departemen bila diisi oleh 10 orang maka paling banyak 2-3 orang perempuan. Dalam UU No 10 Tahun 2008 tentang Partai Politik mensyaratkan 30 persen perempuan dalam pengurus partai. Masih ada 5 partai yang tidak memenuhinya. Kemudian pasal 53 daftar Caleg pada pemilu legislative 2009 lalu menyatakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Sedangkan total caleg perempuan mencapai 35 persen atau berjumlah 3.902 perempuan. Ternyata ada 5 partai juga yang tidak memenuhi undang-undang.

Jika dibedah lebih mendalam lagi, dari sekitar 35 persen caleg perempuan, sangat jarang menempati no urut topi atau nomor urut atas. Beruntung ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Caleg dengan suara terbanyaklah yang bisa menjadi legislator. Bila tidak, jumlah anggota DPR Perempuan periode 2009 – 2014 bisa jauh dari angka 99 orang. Merebut ranah pengambil kebijakan sangat penting dan tidak sekedar merepresentasikan keterwakilan perempuan tetapi jauh lebih substansial adalah memperjuangkan program-program yang lebih peduli terhadap perempuan.

Efek Yang Diharapkan

Bila di birokrasi sendiri masih banyak salah tafsir serta jumlah legislative perempuan tidak seimbang, tidak heran pelaksanaan program banyak yang salah kaprah. Maka dari itu, perlu semacam gerakan bersama terutama aktivis perempuan untuk merebut berbagai jabatan baik di birokrasi, perusahaan maupun politik guna mengoptimalkan pembangunan bangsa dimasa depan. Mesti diakui, hambatan budaya merupakan hambatan terbesar yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Masih adanya anggapan perempuan pulang malam berkonotasi negative harus dilawan dengan kampanye yang mampu menunjukkan bahwa perempuan yang pulang malam tidak selalu bekerja pada tempat-tempat hiburan malam.

Merubah budaya ataupun persepsi bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan dalam satu atau dua tahun. Selain itu, membangun wacana berbagai bidang atas pentingnya partisipasi semua pihak termasuk perempuan dijadikan point penting dalam mendesign perubahan tersebut. Setidaknya ada 6 langkah yang perlu diambil untuk lebih memperkuat partisipasi perempuan. Pertama, Adanya kampanye secara luas tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang. Memberi kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan bukan pilihan tetapi keniscayaan. Kampanye yang penting harus dimulai dari kelompok masyarakat terkecil yakni individu dan keluarga.

Dengan kampanye tersebut diharapkan muncul kesadaran semua pihak untuk lebih menyadari bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya adalah pihak yang sejajar. Tidak ada dikotomi ranah domestik atau publik yang menimbulkan konsekuensi menjadi tugas perempuan atau laki-laki. Kedua yakni capacity building atau peningkatan kapasitas aktivis perempuan. Selain pemahaman penting juga menanamkan beberapa ketrampilan yang selama ini tidak identik dengan perempuan misalnya fasilitasi, pembicara, moderator dan berbagai ketrampilan lain. Hal ini penting agar aktivis perempuan tidak terjebak pada urusan konsumsi, bendahara serta sekretaris yang dianggap memang spesifikasi perempuan.

Ketiga, penting untuk pemberdayaan organisasi perempuan. Organisasi seperti dharma wanita, PKK, Muslimat, Aisyiyah, Fatayat dan beragam organisasi wanita lainnya perlu didorong agar tidak sekedar mengadakan pelatihan ketrampilan semata. Selama ini berbagai organisasi tersebut lebih sering berkutat pada arisan, menjahit, kursus memasak dan berbagai kegiatan berbau perempuan. Mereka sebenarnya punya potensi yang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan seperti berbagai organisasi yang tidak identik dengan perempuan. Tokoh-tokoh kunci dalam organisasi perempuan memiliki kesempatan mengembangkan diri untuk menjadi pelopor dalam berbagai kegiatan atau aktivitas yang lebih tidak identik.

Bisa saja berbagai organisasi ini kemudian mendiskusikan kebijakan Pemda, mengadvokasi masyarakat marginal, menganalisa anggaran dan bersama-sama bergerak mendesakkan kebijakan yang berorientasi pada kesamaan hak warga Negara atau anti diskriminasi. Keempat, perlu kiranya menaikkan bargain position bagi tokoh atau aktivis perempuan. Di level Nasional setidaknya ada 4 partai diketuai oleh perempuan (PDIP, PPRN, PIB dan PNI Marhaenisme), Menteri Kabinet Indonesia Bersatu ada 5 perempuan didalamnya, ada juga Gubernur perempuan, Rektor Universitas Sriwijaya juga perempuan. Mereka ini berhasil menunjukkan kapasitas dirinya hingga dipercaya komunitas partai ataupun pemangku kepentingan untuk menjadi dirigen ditiap instansi. Tentu para tokoh ini tidak begitu saja mendapat mandate tanpa proses panjang.

Kelima, pemanfaatan media baik elektronik maupun cetak. Dengan perkembangan sistem dan alat komunikasi yang serba canggih sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai alat bagi sosialisasi pemahaman maupun gagasan atau ide yang akan disampaikan. Tidak ada lagi informasi yang perlu menunggu jam atau menit bahkan hari. Semakin cepat gerakan penyadaran pentingnya perempuan hadir diranah publik dan pemahaman tentang peran lebih cepat disampaikan maka penyebaran informasi lebih luas menyebar dan tersampaikan pada masyarakat. Kecanggihan media ini sebaiknya ditangkap sebagai peluang untuk mendorong dan mendesakkan kepentingan perempuan yang bisa dimanfaatkan.

Keenam adalah jaringan berbagai kelompok maupun institusi. Bila kita mencoba setback kebelakang, keberhasilan affirmative action keterwakilan 30 persen perempuan dalam calon legislative adalah berfungsinya jaringan. Terbukti juga berbagai kebijakan yang dilahirkan di negara ini juga karena adanya jaringan yang kuat. Komunitas perempuan harus memperkuat jaringan tidak hanya sesame organisasi perempuan namun juga berbagai komunitas yang lain termasuk pemerintahan. Sehingga ketika memperjuangkan kepentingan kelompok perempuan akan semakin mudah mencapai target.

Harapannya, bahwa barier atau hambatan untuk keterlibatan atau partisipasi perempuan dalam politik dan kebijakan bisa dengan sendirinya hilang. Disinilah nanti akan dipetik berbagai manfaat dengan peningkatan peran perempuan yang sejajar dengan “komunitas” laki-laki. Berbagai kebijakan akan lahir dengan penuh makna atas kepentingan perempuan maupun laki-laki tidak sekedar kebijakan yang menyenangkan salah satu pihak. Maka dari itu, marilah kita sebagai salah satu kelompok penting baik di daerah, di partai maupun negara ini segera melakukan sesuatu. Kita tidak bisa menunggu siapa dulu yang harus berbuat dan siapa yang harus bertanggungjawab. Perempuan harus menolong dirinya sendiri dan tidak lagi menunggu belas kasihan kelompok lain. Semoga.