Selasa, 28 Juni 2016

Anak-Anak Indonesia Harus Memiliki Karakter

|0 komentar


Kurikulum di Indonesia sudah lama meninggalkan pendidikan karakter dan kini Menteri Pendidikan Anies Baswedan sedang berupaya mengembalikannya. “Apalagi ditambah dengan derasnya arus informasi melalui handphone menjadikan anak-anak kita rentan. Sudah lama sekolah melupakan pendidikan karakter. Salah satunya kenapa UN kemudian juga kita ukut indeks kejujuran dan integritasnya? Ya karena soal karakter itu penting” jelas Dirjen Dikdasmen Kemdikbud Hamid Muhammad MSc.

Pernyataan itu disampaikan Hamid sewaktu menjadi Narasumber Workshop Nasional “Mewujudkan Pendidikan Gratis dan Berkualitas di Indonesia, Tantangan dan Peluang Memperkuat Desentralisasi” yang digelar Article 33 bekerjasama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) Senin 27 Juni 2016 di Hotel Atlet Century Jakarta.

Selain Hamid, hadir juga menjadi pembicara Walikota Makasar Mohammad Ramdhan ‘Danny” Pomanto dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Jogyakarta Edy Heri Susana. Di Indonesia, menemui 3 masalah pendidikan yang cukup pelik untuk ditangani yakni menyangkut Pendidik, Fasilitas Belajar seperti sekolah, madrasah, serta sistem pembelajaran yang belum mampu merangsang anak untuk memiliki karakter.

Setidaknya Kota Makassar dan Jogjakarta menyatakan sudah mengoptimalkan usaha memberi layanan pendidikan gratis dan berkualitas. Dalam konteks gratis, Pemkot Jogjakarta mengalokasikan bantuan operasional untuk siswa SD Rp 750 ribu, SMP Rp 1 juta, SMA Rp 2.280 jt serta SMK Rp 1,9 juta tiap anak tiap tahun untuk sekolah negeri.

Adapun Kota Makassar menyatakan berupaya memenuhi kuota ketersediaan kursi bagi jenjang SMP dan SMA. Sebab minat masyarakat untuk bersekolah negeri cukup tinggi. Sementara jumlah sekolah negeri tidak sebanding dengan sekolah SD Negeri jadi banyak siswa yang tidak tertampung. “Kami juga melarang adanya pungutan. Sumbangat tetap boleh tetapi syarakatnya berat harus melalui prosedur yang ketat. Makanya tahun ini hanya ada 2 SMA Negeri yang berani menarik sumbangan disbanding membebaskannya.

Pendidikan Gratis dijalankan dengan bekerjasama dengan pemerintah propinsi dalam sharing anggaran dengan pemerintah kota. Untuk Membangun sistem yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan dengan biaya yang lebih murah. : Pemkota Makassar melakukan Pembenahan kualitas guru, Pelibatan keluarga sebagian dari pendidik, Penghapusan iuran Komite dan diganti dengan Sumbangan Sukarela Pendidikan Berkualitas (SSPB). Membuat deposito pendidikan yang dananya dikumpul dari penghasilan tanaman masyarakat yang ada dilorong dan juga dari Bank Sampah dari masyarat dilorong.

Catatan kritis diberikan oleh pemerhati pendidikan, Bambang Wisudo dalam workshop. “Berbicara tentang kualitas pendidikan Indonesia, ada kesalahan berpikir di kita. Karena kualitas pendidikan selalu dikaitkan dengan penyeragaman. Manusia itu beragam. Jadi tak harus menjadi ahli matematika dll… akibatnya pendidikan kita tidak dapat menghasilkan intelektual yg besar dan innovator” urainya.

Pendidikan berkualitas juga terkait dengan dokumen UNESCO. Pendidikan itu terkait dgn adaptabilitas dan sarana. Jadi kurikulum itu yang beradaptasi dengan murid bukan sebaliknya. Tokoh Pendidikan Indonesia, Sujatmoko sudah menyatakan, tentang jantung sekolah.. Adakah anak-anak itu sudah diajak untuk berdaptasi dengan perpustakaan.  “Kitanya aja emang tidak mau belajar dan nyaman dengan suasana seperti ini.

Jumat, 24 Juni 2016

Kunci Menghilangkan Pungutan di Sekolah Itu Komitmen Kepala Sekolah

|0 komentar
Tidak banyak sekolah benar-benar bisa menghapus pungutan sekolah dan menjalankan sumbangan. Kunci utamanya adalah di komitmen kepala sekolah untuk taat aturan dan tidak aneh-aneh. Demikian penegasan Kepala Sekolah SMPN 8 Surakarta Drs Nugroho MPd dalam sambutan rapat untuk membahas Mekanisme Sosialisasi dan Rapat Pleno Komite Sekolah Kamis (23/6).

"Atas dasar itu Ketua MKKS SMK sudah menyampaikan kepada kami bagaimana menjalankan mekanisme sumbangan bukan pungutan. Kata beliau, atas dasar rekomendasi bu Kadinas (Dikpora Surakarta)" lanjutnya.

Sudah 3 tahun terakhir SMPN 8 Surakarta menjalankan mekanisme penarikan sumbangan bukan pungutan. Dalam berbagai regulasi, dalam pembiayaan pendidikan dasar  9 tahun sekolah dilarang melakukan pungutan tetapi masih diperbolehkan menarik sumbangan. Meski dalam Permendikbud No 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Terminologi sumbangan dan pungutan sudah jelas, masih banyak elemen masyarakat yang tidak faham.

Dinas maupun pihak sekolah "pura-pura tidak tahu" dan tetap menarik pungutan dengan diberi judul "Sumbangan". Pasal 1 ayat 2 menjelaskan Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali  secara langsung yang bersifat wajib,  mengikat,  serta jumlah  dan  jangka  waktu  pemungutannya  ditentukan  oleh  satuan pendidikan dasar.

Sedangkan Sumbangan sesuai Pasal 1 ayat 3 yakni penerimaan  biaya pendidikan  baik  berupa  uang
dan/atau barang/jasa  yang  diberikan  oleh  peserta  didik,  orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat  sukarela,  tidak memaksa,  tidak mengikat,  dan tidak ditentukan oleh  satuan  pendidikan  dasar  baik  jumlah  maupun  jangka  waktu pemberiannya
.

Di Kota Surakarta sendiri, meski sudah ada penerapan mekanisme sumbangan seperti di SMPN 8 namun masih banyak sekolah terutama SMAN yang menarik pungutan berbaju Sumbangan. Pungutan yang diterapkan berupa/bernama Sumbangan Pengembangan Sekolah (SPS). Kenapa SPS tetap dinamakan pungutan? Sebab dalam beberapa edaran SPS yang diedarkan di SMAN di Surakarta menetapkan besaran, jenis maupun jangka waktunya.

Oleh karena itu, Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Surakarta berupaya mendorong implementasi mekanisme penarikan sumbangan bisa  diatur dalam peraturan sekolah atau peraturan kepala sekolah. Sehingga tidak hanya mekanisme tersebut memiliki kekuatan hukum, lebih sustainabel, namun juga apabila ada pihak lain yang ingin mengaplikasikan dapat dilakukan dengan tepat.

Mekanisme tarikan sumbangan di SMPN 8 merupakan wujud komitmen bersama antara sekolah dengan Komite Sekolah. Pembahasan pertama sudah dilakukan antara YSKK, sekolah dan Komite Sekolah. Draft awal sudah selesai dibahas dan akan dilanjutkan dalam pembahasan lanjutan.

Role model seperti SMPN 8 ini harus lebih banyak di blow up dan disosialisasikan secara massif agar makin banyak lagi sekolah yang menerapkan. Bahkan bila perlu, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Pemkot Surakarta membuat aturan agar semua sekolah di Surakarta menerapkan mekanisme seperti yang dilakukan oleh SMPN 8. Sebab pendidikan merupakan kewajiban layanan yang harus disediakan oleh pemerintah.


Selasa, 14 Juni 2016

PPDB, Prinsip Adil dan Para Pendaftar

|0 komentar
Penerimaan siswa baru atau yang lebh dikenal dengan PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) melalui sistem online sudah berlangsung lama. Hal ini menggantikan sistem manual yang merepotkan pendaftar. Setiap daerah memiliki kewenangan menetapkan kebijakan bagaimana mereka akan menerima siswa baru.

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang menerapkan sistem PPDB online. Ada 2 kebijakan mendasar yang berbeda secara signifikan dibandingkan aturan tahun lalu. Kebijakan tersebut yaitu kuota siswa dari luar kota dikurangi serta tidak ada lagi proses cabut berkas.

Tahun ajaran 2016/2017, alokasi kuota luar kota merosot drastis dari tadinya 20 persen kini tinggal 5 dan 10 persen. "Namun kali ini ada kebijakan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo untuk membatasi penerimaan siswa luar kota tersebut dengan persentase yang berbeda di sejumlah sekolah. Adanya kebijakan tersebut dengan berbagai pertimbangan, terutama melihat tingginya minat pendaftar asal Kota Solo sendiri. Dia menyebutkan untuk SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, dan SMAN 7, kuota penerimaan siswa asal luar kota ditetapkan maksimal 5 persen dari daya tampung sekolah setelah dikurangi kuota siswa dari keluarga miskin (gakin) dan kuota siswa berprestasi di bidang olah raga." tulis Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Aryo Widyandoko SH MH di laman situs tersebut.

Sementara proses tidak diperbolehkannya cabut berkas tidak diuraikan. Penetapan 2 kebijakan baru ini sebetulnya menciderai keadilan bagi calon siswa yang berasal bukan dari Surakarta. Dikpora sama sekali tidak mengemukakan argumentasi rasional dan mendasar kenapa kuota siswa luar kota berkurang drastis.

Kebijakan ini bukan hanya berdampak kepada calon pendaftar namun juga bagi SMA swasta yang ada di Kota Surakarta. Karena masyarakat akan banyak terserap di sekolah negeri sedang masyarakat luar Kota Surakarta akan lebih memilih sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Sejarah pembatasan siswa luar kota memang bisa dimengerti.

Yakni bahwa sekolah di Surakarta dibiayai tidak hanya oleh APBN namun juga APBD. Hanya kalau kita mau fair, alokasi APBD masih sangat minim cuma 4,68 persen atau sekitar Rp 506.200/siswa/tahun. Data ini menunjukkan kebijakan pembatasan kuota 5 persen diskriminatif. Dalam UUD 45 pasal 31 ayat 4 disebutkan alokasi APBN maupun APBD minimal 20 persen.

Bila mendasarkan UUD 45 tersebut, dengan hanya mampu memberikan 4,6 persen saja berarti semestinya kuota luar kota solo tersedia sebanyak 75 %. Kenapa? Karena mayoritas kebutuhan biaya sekolah di Surakarta dibiayai oleh APBN. Bila sebuah daerah sudah memenuhi kewajiban UUD 45 mengalokasikan anggaran 20 persen, silahkan saja kuota luar kota bisa dihapus.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus segera campur tangan dalam soal ini. Kasus ini tidak hanya di Kota Surakarta dan banyak di wilayah lain terjadi. Faktanya banyak terdapat sebuah kawasan aksesnya lebih dekat dengan kabupaten/kota lain dibanding dengan ibu kota kabupaten/kota sendiri sehingga perlu dipertimbangkan secara matang. Artinya kebijakan pembatasan kuota ini harus memenuhi aspek keadilan termasuk didalamnya bila kewajiban daerah belum dipenuhi maka mereka tidak bisa merampas hak masyarakat.

Pembatasan atau pengurangan prosentase akan sangat bisa diterima apabila misalnya pada tahun yang sama lulusan dari jenjang dibawahnya jumlah gakinnya meningkat tajam hingga 3 kali lipat, itu baru argumentasi rasional. Sebab tanpa disediakan kuota kursi untuk warga miskin, mereka akan terancam tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Pilihan melanjutkan sekolah swasta bagi gakin akan memberatkan meskipun daerah sediakan BOSDA.

Atau misalnya karena proporsi jumlah sekolah pada jenjang tertentu dengan anak usia sekolah tertentu memang tidak imbang dan terlalu kontras jumlahnya. Argumentasi itu jauh lebih rasional sehingga tidak terkesan berapologi. Sementara kebijakan tidak boleh cabut berkas lebih banyak positifnya.

Hanya memang terkadang tidak semua orang tua memperhatikan dengan detil persyaratan, waktu dan aturan yang ditetapkan dalam proses penerimaan siswa baru. Buktinya pada hari pertama terdapat siswa dengan nilai UN yang hitungannya mepet tetapi tetap mendaftar. Prediksi saya dikarenakan memang tidak membaca secara detil apa yang dibutuhkan maupun pemetaan pendaftaran saat ini. Termasuk soal kuota luar kota bisa jadi mereka tidak tahu.