Kamis, 26 Juli 2012

Perda LKK, Perda Yang Aneh

|0 komentar
Mencermati Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan sungguh banyak menemukan kejanggalan. Mulai dari landasan filosofis, yuridis maupun sosiologisnya sulit dimengerti. Entah apa yang melandasi hal ini namun bila kita mempelajarinya ternyata banyak ditemukan kelemahan. Kota Surakarta dengan tingkat dinamisasi dan majunya kota seharusnya beriring dengan semakin berkualitasnya sebuah produk hukum yang dihasilkan.

Berdasarkan landasan filosofis disebutkan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pelayanan pemerintah. Bukankah selama ini lembaga yang ada sudah menjalankan hal itu? Lantas hal mana yang belum terpenuhi dari berbagai kelembagaan di masyarakat? Argumen landasan yuridis yang dicantumkanpun tak cukup kuat. Permendagri No 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan yang melandasi Perda ini tak dicantumkan.

Dan landasan sosiologisnya juga menyebutkan "perlu adanya peran serta masyarakat yang dikelola oleh lembaga kemasyarakatan" lemah sekali. Memangnya selama ini tidak ada regulasi atau lembaga yang menaungi peran serta masyarakat? Kita tahu regulasi ini didorong keluarnya Permendagri No 5 Tahun 2007 namun Pemkot selayaknya mengajukan argumentasi yang lebih cerdas. Dari hasil googling ditemukan Perda sejenis yang beti (beda tipis) dengan indukannya (Permendagri 6/2007).

Belum lagi isinya yang sungguh patut dikritisi terutama bagi masyarakat yang menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan seperti LPMK, PKK, Karang Taruna atau lainnya. Pada proses pembahasan perda ini, yang mencuat justru hanya soal apakah pengurus partai bisa menjadi pengurus LKK bukan substansi peran yang diperdebatkan. Apakah memang ada peran yang belum termaktub dalam regulasi sebelumnya sehingga memang butuh ditambahkan.

Munculnya Perda ini juga memberangus dua perda lainnya yakni Perda No 5 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Rt dan Rw serta Perda No 7 Tahun 2002 Tentang LPMK. Klausul yang membahas mengenai LPMK dalam perda ini hanya ada di pasal 5 - 9 dan Rw dibahas pada pasal 13 - 15 serta Rt dibahas pada pasal 16 - 18. Dua lembaga lainnya yang ikut dikupas secara khusus yakni TP PKK (pasal 10 - 12) juga Karang Taruna (pasal 19 - 21).

Sedangkan kelembagaan lainnya yang disinggung pada pasal 4 ayat (2) huruf f sama sekali tak dijelaskan. Baik menyangkut kedudukan, tugas, fungsi, struktur dan tata kerja pembentukan seperti 5 kelembagaan lainnya. Hubungan keempat lembaga ini juga tak dijelaskan detil sehingga siapa mengambil peran apa menjadi bias. Salah satu pasal yang cukup mengganggu yakni pasal 4 ayat (2) tentang jenis LKK yang disebutkan (a) LPMK; (b) TP PKK; (c) Rw; (d) Rt; (e) Karang Taruna dan (f) Lembaga Masyarakat Lainnya.

Perda ini tidak boleh mereduksi bahkan bisa dikatakan malah mengakuisisi 2 perda lainnya menjadi sangat minim peran. Padahal lembaga yang disebutkan disini memiliki peran strategis dalam pemberdayaan masyarakat. Saat dilacak ke daerah lain seperti Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan Kabupaten Kendal ternyata tak jauh berbeda.

DPRD Kota Solo harus segera mengambil tindakan dengan mengevaluasi Perda No 11 Tahun 2011 ini supaya kelak dikemudian hari tidak malah menimbulkan masalah. Kementrian Dalam Negeri juga perlu mengevaluasi regulasinya. Penyebutan jenis-jenis LKK bukan menyebut lembaga namun kategorisasi lembaga yang ada dimasyarakat. Entah siapa yang menjadi tim penyusun, yang jelas regulasi ini tak layak diteruskan

Minggu, 22 Juli 2012

WTP 2 Tahun, Kinerja 21 SKPD Solo 2012 Jeblok

|0 komentar
Sungguh sebuah kejadian yang menimbulkan tanda tanya cukup besar terkait kinerja Pemerintah Daerah Kota Solo terutama 3 tahun terakhir ini. Ada kontradiksi yang nyata dan sulit diterima akal sehat. Fakta menunjukkan bahwa Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemkot Solo Tahun 2010 dan 2011 dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian. Sebuah prestasi yang patut diapresiasi semua pihak dan hal ini tercapai setelah lebih dari 5 tahun Joko Widodo sebagai Walikota memimpin. Artinya tidak hanya branding kota saja yang berhasil diraihnya namun pengelolaan keuangan daerah mampu dibenahi menjadi lebih baik.

Tentu perubahan ini setidaknya mencerminkan apa yang dilakukan Jokowi sejak memimpin benar-benar merubah kinerja bawahannya dalam pengelolaan keuangan daerah. Tingkat pendapatan daerah melonjak tinggi dan mempengaruhi tingkat ketergantungan pendapatan dari Dana Perimbangan. Bandingkan dengan kondisi 6 tahun lalu yakni 2007, prosentase proporsi pendapatan 14,63 : 75,34 : 10,03 (PAD : Dana Perimbangan : Lain2 PAD Yg Sah). Sekarang prosentase perbandingan menjadi 16,63 : 67,96 : 15,41.

Beberapa penghargaan juga turut diraih pada kurun waktu itu. Secara publikasi, Solo nampaknya benar-benar berhasil “menjual” dirinya keluar sehingga berbagai ajang level lokal mampu menghadirkan pengunjung dari luar daerah maupun mancanegara. Sayangnya jelang pertengahan tahun ini, muncul berita 21 SKPD hingga Juni (triwulan II) serapan anggaran belum 1 persen dan belum ada laporan triwulan II. Pukulan telak atas berbagai keberhasilan yang ditorehkan Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo.



Salah satu sudut Balaikota Solo

Dari berbagai sumber disebutkan kinerja 21 SKPD dari 88 SKPD capaian keuangan belum sampai 1 persen. Dari alokasi APBD Triwulan II Rp 478 M, yang dilaporkan ke Bagian Administrasi Pembangunan hanya Rp 50 M. Beberapa argumen yang melandasi yakni pertama, anggaran yang dialokasikan hanya anggaran pendamping program pusat. Sehingga bila anggaran pusat belum cair tentu tidak bisa dicairkan. Kedua, Anggaran itu harus yang mencairkan Walikota karena merupakan anggaran dari propinsi. Ketiga, Juklak juknis belum turun sehingga tidak bisa dilakukan kegiatannya. Dari beberapa kendala itu, Pemkot berencana menggelar pelatihan pembuatan laporan.

Bagaimana bisa terjadi bila selama 2 tahun mendapat WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan dan kini sudah tengah semester kinerja 21 SKPD bisa sangat jeblok? Berbagai argumen yang melandasi juga mudah sekali dibantah. Kalau berkaitan dengan pemerintah pusat, kenapa SKPD lain sama sekali tidak terganggu? Bila Walikota yang harus mencairkan, bukankah bisa ada pelimpahan kewenangan? Atau terkait juklak juknis, kenapa problem itu tidak dicarikan solusi jauh-jauh bulan sebelumnya. Anehnya kegiatan yang akan dilakukan untuk mendorong akselerasi implementasi program justru malah pelatihan pembuatan laporan.

Sebuah kontradiksi dan argumen yang terlihat lemah sekali antara problem yang muncul dan solusi yang akan diambil. Belum lagi di perencanaan anggaran 2013 muncul anggaran pembelian mobil dinas senilai Rp 3 M. Apa maknanya? Birokrasi dapat dinilai kurang mampu melakukan perencanaan yang baik dan substansial. Lihat saja tingkat kemiskinan warga yang makin tahun makin melonjak namun ketika berbicara program justru banyak alasan yang kesannya dibuat-buat.

Meski Jokowi sedang dalam perjuangan kampanye memenangkan putaran kedua Gubernur DKI, tidak menjadi alasan Solo kemudian ditinggalkan begitu saja. Bila sejak awal tahun proses menejemen (pengendalian) keuangan telah berjalan dan hasilnya seperti ini, Jokowi – Rudi harus memberi punishment pada kepala 21 SKPD tersebut. Kenapa 67 kepala SKPD lainnya bisa menjalankan program dan sisanya tidak? Bila dibiarkan akan menimbulkan efek negatif bagi kepala SKPD dan mempengaruhi pelayanan pada masyarakat. Mereka juga bukan birokrat baru yang masih dalam taraf belajar membuat laporan sehingga tidak masuk akal bila ada alasan yang melandasinya.


Bacaan :
1. Wawali Minta Laporan Kegiatan Diserahkan 
2. Bumerang Bagi Jokowi 
3. 21 SKPD Dapat Les Khusus 
4. Penyerahan Laporan Ada Batas Waktu

Musrenbangkel Solo Harus Dibenahi!

|0 komentar

Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Solo yang sudah berjalan 12 tahun ternyata bisa dinyatakan tak banyak berubah. Beberapa aspek yang meliputi proses musyawarah tertinggi di tingkat kelurahan hingga kota bisa dikatakan jalan ditempat. Baik dari partisipasi, dana, swadaya, hasil maupun dampak yang ditimbulkan. Bappeda Kota Solo sebagai leading sektor sepertinya mengomandoi Musrenbangkel laksana business as usual, seperti biasanya. Akibatnya beberapa aspek tak mengalami perkembangan bahkan ada yang menurun.

Tingkat rasa memiliki warga pada hasil pembangunan juga mulai berkurang. Bagaimana tingkat memiliki bisa tinggi bila diajang rutin tahunan yang biasanya diselenggarakan awal tahun makin minim pesertanya. Antusiasme warga sudah tak seperti 6-7 tahun lalu. Sidang pleno maupun komisi sudah tidak diwarnai perdebatan mempertahankan program, adu argumentasi maupun saling mengemukakan pendapat. Sekarang yang terlihat diberbagai forum Musrenbangkel  laksana forum kumpul-kumpul.
Suasana Musrenbangkel (Photo by Ardian Pratomo)

Ada banyak proses yang sudah tidak dianggap penting lalu ditinggalkan meski secara substansi itu penting. Dimana tahapan pembahasan tata tertib, pemilihan pimpinan sidang, tawar menawar program disidang komisi hingga perhitungan skor untuk menentukan prioritas? Semuanya seperti tinggal kenangan. Yang terjadi saat ini ya proses mengetahui apa yang diusulkan saja, itu saja. Parahnya hal ini terjadi sejak musyawarah Rt, Rw, Musrenbangkel, Musrenbangcam, Forum SKPD hingga Musrenbangkot. Program yang diusulkan pun relatif seragam antar kelurahan, berulang tiap tahun dan tak inovatif.

Bappeda juga gagap untuk mendorong tidak hanya partisipasi namun kreatifitas pembuatan program. Di level kota, tidak ada verifikasi program yang responsif gender, bervisi lingkungan, adil, tidak diskriminatif apalagi sustainable. Maka jangan heran bila dilevel kelurahan apalagi Rt yang banyak ditemui program pengadaan tikar, bolo pecah, renovasi pos ronda dan sejenisnya. Program yang diajukan sungguh miskin visi. Entah apa maksudnya mereka membuat program itu, yang jelas ini menjadi tanggung jawab Bappeda maupun lurah.

Kenapa Bappeda dan Lurah? Karena kedua belah pihak inilah yang berkaitan dengan Musrenbangkel. Bappeda jelas posisinya yang mendesign perencanaan tingkat kota otomatis harus memberi pembelajaran bagaimana membuat perencanaan yang baik. Sedangkan lurah sebagai pimpinan wilayah memfasilitasi dan mengajarkan apa saja yang penting bagi masyarakat untuk menjadi program, bagaimana memprioritaskan, bagaimana menggarap potensi dan lain sebagainya. Ternyata Bappeda dan pemerintah kelurahan kehilangan roh untuk menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.

Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan sebab akan mengacaukan arah pembangunan kota yang sesuai dengan Perda RPJMD. Jika perencanaan jangka menengah sudah ditetapkan, idealnya masyarakat tahu, faham dan mengerti apa target tahunan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Fakta dilapangan, dari sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kota Kita Surakarta menunjukkan bahwa program yang direalisasi oleh DPK hanya sebesar 50 persen saja dibahas di Musrenbangkel. Sisanya merupakan program yang tidak dibahas di Musrenbangkel.

Jumat, 20 Juli 2012

Evaluasi Musrenbang Solo!

|0 komentar

 FAKTA MUSRENBANG 2009 – 2011 KOTA SOLO

Perjalanan pembangunan partisipatif yang sudah dimulai Tahun 2000 di Kota Solo tentu bukan proses yang singkat. Banyak dinamika yang terjadi di masyarakat, baik menyangkut partisipasi, anggaran, hingga realisasi program. Meski demikian, kini dirasakan Musrenbang Kota Solo mulai kehilangan roh sebagai perencanaan yang bottom up menjadi ajang seremonial atau rutinitas belaka. Musrenbang tak lagi menjadi daya tarik bagi warga untuk mengajukan solusi bagi penyelesaian masalah dilingkungannya.

Musrenbang bukan lagi dirasakan sebagai upaya pemerintah membuka ruang partisipasi. Maka diberbagai kelurahan kita sudah tak dapati lagi antusiasme warga, program yang inovatif atau ajang berdialektika memecahkan persoalan. Kini Musrenbang menjadi ruang bagi Pemkot sebatas bagi sedikit “dana” untuk masyarakat. Tidak ada lagi motivasi bagi warga untuk ikut terlibat didalamnya. Apalagi RPJMD sebagai panduan perencanaan menengah daerah tak turut disertakan sehingga perencanaan yang harusnya bottom up menjadi ruang gelap.
Suasana Musrenbangkot 2008

Akibatnya banyak usulan warga terbentur dan gugur ditengah jalan dengan alasan tak sesuai RPJMD, Renstra atau Renja SKPD. Upaya pemaduan gerak yang harusnya dibuka oleh pemerintah hanya sebatas lips service semata. Ada rantai yang terputus antara Musrenbangkel dengan RPJMD atau Renstra SKPD. Akibatnya masyarakat hanya berebut secuil anggaran di Dana Pembangunan Kelurahan yang jumlahnya tak pernah naik. Jumlah alokasi DPK untuk seluruh kelurahan di Solo sangat minim bahkan sejak tahun 2010 menjadi Rp 9 M dari Rp 10 M ditahun 2009.

Bila Tahun 2002, alokasi DPK masih sebesar 2,43 persen APBD (Rp 6,3 M) namun Tahun 2006 hanya 2,08 persen meski jumlah nominal DPK naik (Rp 10 M). Dan pada Tahun 2012 tinggal 0,75 persen saja dari APBD. Hal ini diakibatkan terus naiknya APBD berkat kenaikan gaji pegawai maupun pendapatan daerah tetapi alokasi DPK tak pernah berubah walaupun harga barang juga naik. Dilapangan otomatis masyarakat harus menyesuaikan dengan anggaran yang ada. Jumlah program dan kegiatan yang dilaksanakan tentu berkurang drastis.

Dampak turunannya yakni dengan anggaran yang harus dipecah menjadi banyak, usulan warga kemudian menjadi tidak optimal. Lihat saja yang diajukan masyarakat seperti pengadaan bolo pecah, tikar, renovasi pos ronda, pengadaan sound system atau program yang tidak substansial. Bayangkan bila satu kelurahan dengan jumlah RW antara 3 hingga 9 atau jumlah Rt antara 18 hingga 35 mendapat alokasi anggaran DPK Rp 115 juta. Panitia pembangunan tak bisa berbuat banyak dan membagi dana itu seproporsional mungkin.

Kita tak bisa berharap ada program yang fokus pada ekonomi, pendidikan, lingkungan atau tema spesifik lainnya. Disisi lain banyak program tingkat kota yang tidak melalui perencanaan matang seperti Galabo, Ngarsopuro, Gerbang Kota Makutho dan banyak program bombastis lainnya yang menyerap anggaran cukup besar. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemkot terkait pengembangan wilayah tak tersosialisasi dengan baik sehingga terjadi unkonektivitas antara kegiatan yang dilaksanakan masyarakat kelurahan dengan SKPD.

Bila ingin ada keterpaduan sebaiknya perencanaan ditingkat kota harus ditata kembali. Fokuskan segala perencanaan pada Perda RTRW. Kemudian diturunkan pada RPJMD dan regulasi yang berkaitan dengan berbagai bidang. Salah satu isu penting yang perlu ikut disosialisasikan adalah tema pengentasan kemiskinan. Dalam Musrenbangkel, masyarakat didorong untuk menyesuaikan dengan kebijakan tersebut sehingga ada korelasi apa yang dilakukan pemerintah dengan apa yang dikerjakan masyarakat.

Rabu, 04 Juli 2012

Pengelolaan Keuangan Kota Solo Perlu Dibenahi

|1 komentar

Miris juga membaca Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Kota Solo Tahun 2011 lalu yang mencapai Rp 95 M. Tidak hanya soal besarannya namun juga pembangunan Kota yang terlihat masih perlu banyak pembenahan kenyataannya justru disatu sisi justru tak mampu menjalankan program yang telah direncanakan. Dalam berita media massa, birokrat beralasan SILPA besar itu dikarenakan 2 hal yakni tingkat pendapatan naik dan lelang barang jasa mampu ditekan seminimal mungkin.

Ada beberapa aspek yang perlu dilihat dari fakta ini. Pertama benarkah tingkat pendapatan Kota Solo 2011 meningkat pesat? Berdasarkan data yang diolah menunjukkan tingkat kenaikan hanya 17 persen saja dari Rp 828 M menjadi Rp 1 T. Dan siapapun tahu sumbangan terbesar kenaikan pendapatan terdapat pada dana perimbangan terutama DAU yang dianggarkan untuk membayar gaji pegawai. Bila dihitung nominalnya mencapai Rp 112 M lebih.

Sementara untuk belanja daerah, kenaikannya hanya 10 persen saja dari total belanja Rp 838 M menjadi Rp 1 T. Berdasarkan Perda APBD 2011, Pemerintah Kota Solo mengalami defisit Rp 65 M. Bagaimana bisa kemudian SILPA mencapai Rp 95 M? Berbagai sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak juga masih banyak membutuhkan perhatian. Sektor kesehatan misalnya, proyek pembangunan RSUD Ngipang belum kelar, infrastruktur dikawasan Solo bagian utara belum dibangun secara massif, pembangunan Solo Techno Park juga masih berlangsung, jalan kota banyak yang berlubang dan banyak sektor lain yang butuh perhatian.

Kedua, Pemkot Solo meski secara konsisten mampu mendongkrak pendapatan daerah tetapi tingkat ketergantungan pada Dana Perimbangan masih cukup besar. Lihat saja belanja pegawai dengan DAU yang diperoleh, masih harus disubsidi pendapatan daerah sebesar Rp 31 M. Maksudnya dari DAU yang didapat pemerintah pusat Rp 545 M, belanja pegawai pada belanja tidak langsung saja sebesar Rp 577 M. Belum belanja pegawai pada belanja langsung yang mencapai Rp 30 M. Seharusnya DAU bisa lebih tinggi dibanding belanja pegawai sehingga bisa menambah anggaran untuk masyarakat.

Kenaikan gaji pegawai harus dibarengi dengan penjelasan pada pemerintah pusat agar kenaikan DAU juga sesuai dengan pembelanjaan gaji seperti yang terjadi pada anggaran 2012. Ketiga, reformasi tata kelola keuangan daerah belum menunjukkan hasil yang optimal. Masyarakat tidak tahu seberapa besar potensi pendapatan daerah dan berapa persen yang mampu ditarik. Dengan berbagai ajang regional, nasional bahkan internasional sudah seharusnya Pemkot mampu mendongkrak pendapatan daerah lebih tinggi lagi.

Yang perlu diperhatikan yakni intensifikasi pendapatan bukan ditujukan bagi masyarakat awam seperti tarif parkir, retribusi sampah, retribusi kesehatan namun fokus pada layanan bagi kalangan menengah keatas. Toh mereka mendapatkan keuntungan berlipat dari berbagai ajang yang digelar pemerintah kota. DPRD sendiri seharusnya tidak hanya terperangkap pada kemampuan branding kota dilevel nasional ataupun internasional. Mereka tidak boleh terlena pada pujian atau kunjungan kerja daerah lain ke Solo tetapi tetap fokus mengkritisi perkembangan kota.

Agar kota ini berjalan dinamis, balance dan makin manusiawi. Bukankah tugas mereka salah satunya pengawasan? Sayangnya masyarakat umum juga terlena akan euforia media massa yang begitu menyanjung keberhasilan Walikota Solo, Joko Widodo. Kebanggaan itu boleh saja namun kritis akan perkembangan kota juga penting. Jokowi memang berhasil dibeberapa bidang tetapi ada yang juga harus dibenahi.