Selasa, 28 Desember 2010

Menuju Olahraga Berprestasi

|0 komentar
Belajar Dari Timnas Sepakbola Indonesia Pada Piala AFF 2010

Prestasi Tim Nasional Indonesia yang melaju ke Final Piala Asean Football Federation (AFF) 2010 yang mengalahkan lawannya dengan skor cukup meyakinkan mampu menjadi atmosfir baru di Negara berpenduduk 230 juta jiwa ini. Biasanya tak ada hiruk pikuk seramai ini, tak ada liputan seheboh sekarang ataupun menyeret banyak pihak untuk berkomentar. Namun saat ini banyak dirasakan disetiap ruang public hampir pembicaraan masyarakat masih saja seputar bola. Meski harga cabai naik tinggi, gaji PNS bertambah maupun sidang-sidang kasus korupsi masih digelar, tetap saja kalah ekspos dengan sepak bola. Masyarakat Indonesia yang memang gandrung bola sudah tak sabar menanti penantian panjang mereka.

Dalam catatan prestasi sepakbola Indonesia, terakhir mengukir sejarah yaitu tahun 1991 pada saat Sea Games. Sembilan belas tahun sudah Timnas Indonesia tak pernah minum pelepas dahaga kejuaraan resmi bahkan pada Sea Games 2009, Indonesia tak berani menurunkan skuadnya. Kenyataan ini diperparah oleh pengelolaan kompetisi dalam negeri yang karut marut dan amburadul. Lempar botol, petasan, pemukulan wasit, perkelahian antar pemain bahkan rusuh supporter selalu ada dalam tiap musim kompetisi. Dalam babak penyisihan Piala AFF kali ini, skor telak mampu ditorehkan oleh Timnas yang berisi pasukan muda dan senior.

Tidak hanya Malaysia yang dibabak penyisihan dibantai 5-1 namun hingga Philipina yang berisi pemain-pemain eropa tak mampu membendung kekuatan Indonesia. Kiper no 4 klub liga Inggris Fulham dibuat tak berdaya oleh Cristian “El Loco” Gonzales. Hal inilah yang membuat hysteria masyarakat Indonesia melupakan beban kehidupan mereka sehari-hari. Berita media massa baik cetak ataupun elektronik dihiasi oleh liputan sepak bola. Seakan-akan Piala AFF ini merupakan piala dunia yang membuat Indonesia terkenal seantero jagad raya. Padahal levelnya masih Asia Tenggara dan belum ada apa-apanya. Menjejak final Piala AFF pun sudah pernah terjadi hingga 3 kali (dulu bernama Piala Tiger).

Seharusnya semua pihak menyadari bahwa prestasi ini patut dihargai bukan di eksploitasi. Bayangkan hampir semua pemain Indonesia ditelanjangi habis-habisan seakan mereka harus terbuka pada masyarakat atas kehidupan mereka. Inilah yang diduga banyak pihak menyebabkan kekalahan telak atas Tim Harimau Malaya, Malaysia dengan skor 3-0. Ketertarikan ini tidak hanya dirasa dan menjadikan masyarakat menjadi ingin dekat namun media, komunitas agama hingga politikus ingin memanfaatkannya. Semua mendekat dan seakan-akan dianggap paling berjasa atas prestasi yang diraih Timnas. Masyarakat berjubel menyaksikan sessi latihan Timnas, pemain di foto, diwawancara, diminta berkomentar hingga di depan kamar mereka menginap.

Politikus memanfaatkannya dengan mengundang rombongan ke rumah salah satu ketua partai politik. Magnet yang luar biasa dan belum pernah dalam sejarahnya sepakbola dianggap sedemikian hebatnya. Menurut analisis salah satu tokoh (maaf saya lupa, kalau tak salah Effendi Ghozali), histeria menyatunya rakyat itu dapat timbul karena 3 hal yakni bencana alam, prestasi dan perang. Kalau perang, terbukti pemimpin kita takut menyatakannya, dan bencana alam sudah hampir menjadi menu tahunan bangsa ini. Sementara olahraga prestasi dan digandrungi masyarakat sudah lama tak hadir. Bulutangkis yang menjadi primadona Indonesia sudah lama tak meraih gelar bergengsi dengan sapu bersih. Jangankan ajang olimpiade, arena Sea Games saja sudah susah payah kita meraihnya.

Banyak pakar mengungkapkan rasa syukur patut dipanjatkan tapi tak seharus segemebyar sekarang ini. Kita tahu PSSI selaku otoritas sepakbola sudah lama tak becus mengurusi kompetisi regular, dana ratusan miliar dari APBN, sponsor maupun FIFA yang masuk ke PSSI tak pernah jelas digunakan untuk apa. Juara Liga Indonesia sering menerima hadiah yang melewati setengah tahun setelah angkat piala padahal pihak sponsor mengaku telah memberikan pada PSSI. Partai politik sendiri rupanya hobi memasukkan kadernya dalam kepengurusan sehingga ketika olahraga harus dikelola secara professional, tak terlihat. Lihat saja soal kepemimpinan wasit, sanksi yang diberikan ataupun level kompetisi untuk skala pemula, junior maupun senior tak karuan.

Para agamawanpun mau-maunya melibatkan diri dalam hiruk pikuk Piala AFF kali ini. Tawaran mengundang Timnas saat istighotsah tak mereka tampik meski berdoa itu penting namun harusnya tak mencampur adukkan antara olahraga dengan agama. Jadinya seperti sekarang ini. Sudah sejak lama masyarakat tidak diajarkan bertindak fair ketika tim kebanggaannya kalah sehingga di Final pertama Piala AFF saat dibekuk Malaysia 3-0 macam-macam komentarnya. Ada serbuk gatal, sinar laser, petasan dan seribu alasan lainnya. Yang menggelikan justru komentar itu muncul dari Ketua Umum PSSI.

Mestinya pengurus PSSI membiarkan Timnas diurus Manajer dan pelatihnya sedangkan mereka memberesi persiapan leg II di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Akibatnya soal tiket saja rusak dan runyam. Tidak hanya kehabisan tiket namun juga penipuan tiket yang nyata-nyata terjadi di penjualan tiket dalam stadion. Sungguh sangat memalukan dan tidak menunjukkan kemampuan manajerial yang baik. Tak heran seiring perjalanan Timnas di Piala AFF, ada juga yang menggalang dukungan menuntut Ketua Umum PSSI meletakkan jabatannya karena dianggap tak becus mengurus olahraga kebanggaan masyarakat.


Menciptakan atlet olahraga yang berprestasi baik level lokal, regional maupun internasional tak bisa dengan cara instan. Semuanya harus dibangun infrastruktur maupun manajemen secara profesional. Sudah jadi rahasia umum suap menyuap prestasi olahraga maupun orang yang akan jadi atlet profesional. Maka dari itu ciptakan sistem yang baik, berjenjang dan secara serius dikelola oleh orang-orang yang faham dalam manajemen keolahragaan. Manajemen tidak hanya orang yang memiliki kapasitas mengurus organisasi olahraga namun juga membuat seorang atlet mampu berpikir dan bertindak profesional atas profesi maupun menjadi kebanggaan negaranya

Pemerhati sepakbola lainnya juga mengecam terseretnya hysteria sepakbola oleh para politikus. Menurutnya para politikus hanya mengalihkan rasa frustasi mereka dalam bidang politik agar bisa merasa kesegaran kembali. Kalau politikus itu benar-benar tertarik, mestinya mereka mampu mendesak pemerintah untuk lebih berkonsentrasi membina sepakbola dari level pemula atau dasar. Komisi X yang membidangi olahraga seharusnya mampu mendesak Menpora untuk mengeluarkan kebijakan satu sekolah satu lapangan olahraga supaya masyarakat kita terbiasa “sehat”. Sudah terbukti wakil kita di Komisi X tak bernyali untuk bersuara lantang menyuarakan kepentingan masyarakat.

Lantas apa yang akan kita lakukan? Kita harus terima apapun hasil Final Leg II antara Indonesia vs Malaysia malam nanti. Disisi lain marilah kita semua mulai membangun keolahragaan kita tidak hanya fisiknya saja namun juga hati dan pikirannya. Ini penting agar olahragawan-olahragawan junior yang akan lahir mampu jadi olahragawan cerdas yang mampu mengembangkan diri secara optimal dan berusaha secara fair meraih kemenangan yang selalu terbuka. Untuk pemerintah, kalau tak bisa membenahi olahraga, sebaiknya memang tak usah turut campur. Biarkan masyarakat mengelola olahraga secara mandiri.

Selasa, 21 Desember 2010

Gedung DPR RI

|0 komentar
Gedung Nusantara I
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) didirikan pada 8 Maret 1965. Saat itu, Presiden Soekarno mencetuskan untuk menyelenggarakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang merupakan wadah dari semua New Emerging Forces. Anggota-anggotanya direncanakan terdiri dari negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara Sosialis, negara-negara Komunis, dan semua Progresive Forces dalam kapitalis.

Conefo dimaksudkan sebagai suatu tandingan terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Melalui Keppres No. 48/1965, Soekarno menugaskan kepada Soeprajogi sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT). Menteri PUT kemudian menerbitkan Peraturan Menteri PUT No. 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo.Bertepatan dengan Perayaan Dasa Warsa Konferensi Asia-Afrika pada 19 April 1965 dipancangkanlah tiang pertama pembangunan proyek political venues di Komplek Senayan Jakarta. Rancangan Soejoedi Wirjoatmodjo Dpl Ing ditetapkan dan disahkan presiden pada 22 Februari 1965. Maketnya menampakkan seluruh bangunan komplek dan rancangan aslinya tampak keseluruhan saat dipandang dari Jembatan Semanggi.

Ketika pembangunannya dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, nuansa danau buatan tak tampak dan bangunan komplek terlihat ketika melewati Jalan Gatot Subroto. Ruang Arkada di bawah tanah ditiadakan dan luasnya menjadi 60 ha, dengan luas bangunan sekitar 80.000 m2.
Masjid di komplek DPR RI
Komplek DPR/MPR terdiri dari Gedung Utama (Nusantara) yang berbentuk kubah, Nusantara I atau Lokawirasabha setinggi 100 meter dengan 24 lantai, Nusantara II, Nusantara III, Nusantara IV, dan Nusantara V. Di tengah halaman terdapat air mancur dan "Elemen Elektrik". Juga berdiri Gedung Sekretariat Jenderal dan sebuah Masjid. Atas amandemen Undang-undang Dasar 1945 (UUD'45), dalam Komplek DPR/MPR telah berdiri bangunan baru untuk kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Komplek DPR/MPR tersebut masuk dalam wilayah Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Gelora, sebelah selatan dengan Komplek Kantor Menteri Olahraga RI, Komplek Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan Komplek Taman Ria Senayan, di sebelah timur berbatasan dengan Jalan Gatot Subroto, dan Komplek Menteri Kehutanan di sebelah utaranya.

Lahan Parkir Mobil DPR RI
Pemandangan yang paling jelas saat dilihat dari Jalan Gatot Subroto di sebelah timur. Karena gelombang demokrasi, beberapa kali pintu utama pernah jebol oleh kuatnya aksi demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat sehingga pemagaran komplek DPR/MPR diperkokoh. Beberapa bangunan baru juga telah berdiri melengkapi sarana dan prasarana yang ada bagi wakil rakyat. Ada juga lahan parkir dibawah tanah. Kantin sendiri secara resmi cuma ada 2 yakni yang biasa dimanfaatkan oleh para anggota yang terdapat di Gedung Nusantara I maupun para staf dan tenaga ahli mereka (dekat parkiran sepeda motor).

Gedung Nusantara I saat ini terdiri dari 24 lantai yang digunakan oleh 9 fraksi dari 9 partai politik. Jumlah anggota DPR mencapai 560 orang, ditambah 1 orang staf atau asisten pribadi maupun tenaga ahli. Rencananya tahun 2011 akan ada penambahan 1 tenaga ahli tiap anggota DPR atau setidaknya ada 2240 orang. Jumlah sebanyak itu belum termasuk staf sekretariat fraksi, staf poksi, tenaga ahli fraksi, office boy, Pamdal atau tamu yang datang. Sebenarnya kapasitas gedung perlu diperhatikan agar tak overload serta membahayakan wakil rakyat kita. Sarana lift sebenarnya juga terbatas atau hanya ada 8 lift (4 khusus anggota dan 4 lift utk keperluan lain).



Lap sepak bola di komplek DPR RI
Nampaknya pengajuan pembangunan gedung baru DPR RI yang beberapa waktu lalu menjadi polemik kini telah diputuskan ditunda. Mereka (DPR) harus benar-benar mampu menjelaskan kenapa gedung baru diperlukan dan juga membuktikan diri bahwa kinerja mereka akan semakin membaik. Kalau supporting sistem terus menerus ditambah namun tak pernah menguntungkan masyarakat, saya prediksi penolakan keras akan bergelora kembali. Jadi, sejak dini sebaiknya disosialisasikan rencana pembangunan gedung, alasannya serta apa manfaat yang paling tidak akan didapatkan oleh masyarakat meski tidak langsung dan jangka panjang. Meski demikian, sejauh pengamatan saya ya tidak ada korelasinya pembangunan gedung dengan peningkatan kinerja meski itu berhubungan.

Selasa, 14 Desember 2010

Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah

|0 komentar


Rata-rata pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia mengandalkan pendapatan daerahnya dari dana DAU (Dana Alokasi Umum) maupun DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk menjalankan pembangunan. Di beberapa daerah yang lain, yang kaya akan sumber daya alam lebih mengandalkan Dana Bagi Hasil dari pemerintah pusat. Sedangkan kontribusi dari Pendapatan Asli Daerah (baik berupa pajak maupun retribusi) sering menyumbangkan pendapatan tak lebih dari 20 persen total pendapatan daerah. Kenapa begitu? Ada berbagai factor yang dapat melatarbelakangi motif Pemda melakukannya.

Bisa jadi karena memang potensi pajak dan retribusinya kecil atau malah memang berargumentasi tak mau memberi beban lebih pada masyarakat. Sayangnya pada kedua alasan itu sering ditemukan berimbas pada layanan publik yang tak optimal. Kalau mau ditelisik lebih jauh, Pendapatan Asli Daerah/PAD yang banyak memberi sumbangan adalah dari retribusi kesehatan. Meski banyak orang sangat mengerti layanan kesehatan di Indonesia pada rumah sakit-rumah sakit negeri banyak yang tidak optimal. Apalagi bagi pengguna Jamkesmas atau Jamkesda. Ada banyak kasus layanan yang setengah hati atau masyarakat harus rela menunggu operasi atau mendapat penanganan yang ala kadarnya.

Lantas, solusi apakah yang bisa diambil para pengambil kebijakan ditingkat daerah agar PAD dapat meningkat signifikan tanpa menambah beban masyarakat? Haruskan mengambil kebijakan tak popular seperti yang sempat akan diterapkan di Jakarta yaitu mengenakan pajak pada warung makan berpenghasilan Rp 60 juta/tahun alias Rp 5 juta/bulan? Akan sangat banyak warung makan terkena pajak bila Raperda ini diberlakukan sebab warung makan beromset Rp 165 ribu/hari di Jakarta tentu sangat banyak. Maka dari itu, pemerintah daerah perlu berhati-hati dalam melakukan pemetaan dan pengetatan pengelolaan pendapatan daerah.

Sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pemasukan dari retribusi dan pajak yang memang menjadi kewenangan daerah. Pertama tentunya adalah intensifikasi pendapatan. Langkah ini dapat berupa pemetaan potensi pendapatan, pembuatan mekanisme pelaporan serta capacity building petugas pendapatan. Untuk pemetaan potensi pendapatan, daerah bisa melakukan survey pada objek retribusi tiap setahun sekali. Sebut saja pasar tradisional yang memberi kontribusi dari retribusi pedagang, parkir, keamanan maupun kebersihan. Empat potensi pemasukan dapat dikalkulasikan dengan melihat jumlah pedagang serta pengunjung pasar pada saat ramai maupun sepi. Tiap pasar akan mengalami keramaian maupun sepi pada saat-saat tertentu.

Kemudian untuk pembuatan mekanisme pelaporan, dapat menggandeng pihak-pihak yang ahli untuk mendesign bagaimana pelaporan pendapatan harian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Artinya setoran harian naik atau turun dapat disertai dengan keterangan kondisi objek pendapatan. Bila rata-rata harian pendapatan berkisar Rp 450 ribu namun suatu saat hanya masuk Rp 200 ribu harus disertai catatan yang jelas kenapa hal itu terjadi. Ini melatih petugas pungutan retribusi menganalisis lapangan kerjanya dan berinteraksi lebih jauh dengan pelaku. Sehingga para petugas penarik retribusi tidak sekedar bekerja bagai mesin tetapi membangun kondisi dan menciptakan komunikasi yang dapat membantu daerah menyampaikan pertanggungjawaban pada publik.

Capacity building bagi aparatur sebenarnya menempati posisi yang sama penting untuk penyelenggaraan pemerintahan. Cuma sayangnya berbagai ajang penyelenggaraan kegiatan selalu terlalu formal dan kaku sehingga materi-materi yang seharusnya dapat diserap optimal menjadi tidak berefek. Target membangun kapasitas ini lebih ditujukan pada membangun diri untuk memiliki komitmen dan bekerja secara jujur yang penulis yakin sudah jarang menemukan birokrasi kita yang seperti ini. Hal ini sebagai antisipasi upaya-upaya penyelewengan pendapatan jika pada saat tertentu petugas pungutan dalam kondisi tertentu. Misalnya saja menjelang lebaran, tahun ajaran baru atau ada keluarganya yang sedang terkena musibah.

Langkah kedua yang dapat dilakukan oleh kepala daerah yakni memberi reward and punishment pada pihak-pihak yang terkait dengan objek pungutan maupun petugasnya. Tidak usah terlalu sering dan bisa setahun sekali diselenggarakan sudah dapat menjadi semacam pemicu. Perumusan indikator pihak yang mendapat reward atau punishment dapat diselenggarakan secara terbuka sehingga masyarakat merasa dilibatkan. Rewardnya pun tidak selalu berbentuk nominal tertentu tapi bisa berupa insentif yang merangsang pelaku pada pendapatan bekerja bertambah baik. Bagi petugas pemungut misalnya diberi tambahan hari cuti atau mendapat kesempatan menemani kepala daerah saat melakukan kunjungan kerja untuk optimalisasi pendapatan ke daerah lain. Sedangkan bagi objek pungutan dapat diberi insentif berupa potongan retribusi untuk kurun waktu tertentu.

Kedua langkah ini dapat dimaksimalkan dengan langkah ketiga yakni publikasi. Di tengah era globalisasi dan media memegang peranan signifikan, tentu publikasi bagi penyelenggaraan pendapatan daerah akan semakin berjalan optimal. Objek maupun petugas pemungut akan merasa diperhatikan dan merasa dihargai sehingga menimbulkan dampak yang cukup baik bagi daerah. Masyarakat tentunya mengapresiasi langkah kepala daerah dengan sikap tertib memberi masukan maupun ikut berkontribusi bagi pemasukan daerah. Otomatis kedepannya, pendapatan daerah akan meningkat secara proporsional. Jadi, meningkatkan pendapatan daerah tidak selalu dengan cara ekstensifikasi pajak dan retribusi yang dapat menambah beban masyarakat.

Jumat, 03 Desember 2010

Kelola Keuangan Daerah Secara Tertib

|0 komentar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau disebut APBD merupakan dokumen rencana alokasi pendapatan maupun belanja bagi pemerintah daerah. Mestinya, penetapan APBD benar-benar menjadi pedoman yang baku bagi pelaksanaan pembangunan disebuah daerah. Kenyataannya masih banyak daerah yang menjalankan anggarannya lebih banyak minus bukan surplus. Berbagai kebijakan kepala daerah seringkali memberatkan anggaran bukan merencanakan pembangunan yang mampu memberi dampak lanjutan berupa pemasukan bagi kas daerah. Dengan catatan, pemasukan baru bukan menambah beban masyarakat ekonomi lemah.

Dalam undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (lihat pasal 3 ayat (1)). Maka dari itu prinsip-prinsip tersebut harus dipegang teguh bagi penyelenggara di daerah maupun pusat. Kenyataannya, pengeluaran pemerintah daerah mayoritas didominasi untuk pembayaran gaji pegawai. Belanja daerah terbagi menjadi 2 yakni belanja tidak langsung dan belanja langsung.

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jenis Belanja Tidak Langsung dapat berupa Belanja Pegawai, Belanja Bunga. Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil dan Belanja Tak Terduga. Sedangkan belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya program dan kegiatan yang direncanakan. Jenis Belanja Langsung dapat berupa Belanja Pegawai, Belanja Barang/ Jasa, dan Belanja modal.

Kita coba bedah anggaran belanja daerah di 7 kabupaten/kota se eks karesidenan Surakarta Tahun Anggaran 2010. Apakah benar faktor belanja pegawai merupakan faktor dominan bagi alokasi APBD (lihat tabel 1).


Tabel 1
Anggaran Belanja Daerah Kab/Kota Se Eks Karesidenan Surakarta
Tahun Anggaran 2010
No    Daerah                    BljTdk Lgs      Blj Lgs      Total Belanja       % BTL Thd TB    % BL Thd TB
1    Prov. Jawa Tengah    3,536,531     2,128,785      5,665,316                 62.42                  37.58
2    Kab. Boyolali               817,277        147,314         964,590                 84.73                  15.27
3    Kab. Karanganyar        642,043        152,272         794,316                 80.83                  19.17
4    Kab. Klaten                 907,426         121,536     1,028,962                 88.19                   11.81
5    Kab. Sragen                 663,489        194,411         857,901                 77.34                  22.66
6    Kab. Sukoharjo            586,736        194,740         781,475                 75.08                  24.92
7    Kab. Wonogiri              770,655        205,203         975,858                 78.97                  21.03
8    Kota Surakarta             561,160        277,093         838,253                  66.94                 33.06
Sumber : kemenkeu.go.id (diolah)

Dari ketujuh daerah, terlihat jumlah belanja terbesar ada pada Kabupaten Klaten yang mencapai lebih Rp 1 trilyun yang disusul Wonogiri dan Boyolali yang mencapai Rp 950 M lebih. Sedangkan belanja paling kecil dianggarkan Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar yang berkisar Rp 700 M saja. Bila dibedah pada alokasi belanja tidak langsung (yakni belanja untuk alokasi pegawai, bunga, subsidi dan lainnya), yang menghabiskan prosentase terbesar adalah Kabupaten Klaten. Sebanyak 88,19 persen alokasi belanja digunakan untuk belanja tidak langsung. Dua kabupaten yang juga menghabiskan alokasi belanjanya untuk belanja tidak langsung diatas 80 persen yakni Kabupaten Boyolali (84,73%) dan Kabupaten Karanganyar (80,83%).

Adapun distribusi terkecil untuk belanja tidak langsung dialokasikan oleh Kota Surakarta yang hanya mencapai Rp 561 M atau hanya 66,94 persen saja. Sisanya berkisar diatas 75 persen. Ini menandakan 6 daerah mengalokasikan anggaran lebih banyak pada belanja yang digunakan oleh pemerintah daerah. Otomatis bila demikian, alokasi belanja langsung (belanja untuk program dan kegiatan) dialokasikan oleh Kota Surakarta yang mencapai 33,06 persen (Rp 277 M). Di urutan kedua dan ketiga yang prosentasenya dibawah Surakarta adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sragen meski dilihat dari prosentasenya sangat kecil (kurang dari 25 persen).

Kabupaten Klaten, Boyolali dan Karanganyar bahkan mendistribusikan APBD untuk belanja langsung tak sampai 20 persen. Mestinya kondisi ini dikritisi wakil rakyat di ketiga daerah karena menandakan distibusi anggaran dari pusat maupun pajak serta retribusi justru banyak dialokasikan untuk program dan kegiatannya tidak mencerminkan kepekaan pada masyarakatnya. Lantas bila anggaran daerah tidak banyak ditujukan bagi kemakmuran rakyat, bagaimana pemerintah daerah mengentaskan kemiskinan yang merupakan mandat dari Millenium Development Goals? Seluruh elemen masyarakat harus merapatkan diri untuk mengkritisi dan mendorong agar kedepan anggaran daerah harus lebih banyak dialokasikan bagi kesejahteraan rakyat.

Kamis, 02 Desember 2010

Kelurahan : Meyusun Renstra atau RPJMD ?

|0 komentar
Dalam design otonomi daerah seluruh perangkat daerah dimasukkan dalam satuan kerja perangkat daerah atau saat ini banyak dikenal dengan sebutan SKPD. Seluruh dinas disebuah Kota atau Kabupaten di golongkan dalam SKPD, BLU maupun BLUD termasuk didalamnya adalah kecamatan dan kelurahan. Yang perlu dicermati adalah berbeda dengan dinas daerah maupun lembaga teknis lainnya yakni kecamatan dan kelurahan merupakan institusi daerah yang berkaitan dengan territorial. Dalam PP No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah pasal 1 ayat (9) diterjemahkan Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

Otomatis bila institusi masuk dalam SKPD maka sesuai rujukan peraturan lain harus membuat Renstra dan Renja SKPD. Tugas membuat Renstra tercantum pada pasal 7 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta pasal 151 ayat (1). Sementara turunan Renstra yakni Renja SKPD dimandatkan dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 ayat (3) dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 150 ayat (d).

Faktanya 6 tahun setelah kedua undang-undang itu diberlakukan, masih banyak kecamatan maupun kelurahan belum menyusun Renstra ataupun renja. Alasan yang dikemukakan berbagai daerah adalah, peleburan kecamatan dan kelurahan menjadi SKPD baru terjadi pasca keluarnya PP No 41 Tahun 2007. Memang hal ini bisa dimaklumi tetapi ditahun ini masih saja belum terealisasi. Kota Solo, merupakan salah satu kota yang cukup maju dalam penerjemahan regulasi nasional juga masih belum ada kecamatan dan kelurahan yang menyusunnya.

Saat ini beberapa civil society organization, dengan difasilitasi Tim Kerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) berusaha mengkolaborasi kebutuhan masyarakat terkait pengentasan kemiskinan dengan menyusun RPJM Kelurahan. Yang perlu dicermati yakni apakah pembuatan RPJMKel ini sesuai regulasi? Memang menjadi agak bias bila dibandingkan dengan UU No 72 Tahun 2005 tentang Desa. Bagi desa, mereka memang tak menyusun Renstra maupun Renja namun membuat RPJMDes dan RKPDes untuk merencanakan pembangunan.

Pemerintah pusat yang dalam hal ini menjadi kewenangan Kementrian Dalam Negri perlu meluruskan perbedaan persepsi. Sayangnya baik pihak yang menginisiasi RPJMKel maupun Renstrakel memiliki landasan yang kuat. Mereka yang terlibat dalam penyusunan RPJMKel menyatakan, kelurahan adalah perangkat daerah kewilayahan sehingga lebih tepat menggunakan RPJMKel dan menurunkannya dalam RKPKel. Sedangkan dalam regulasi memandatkan penyusunan Renstrakel dan Renjakel untuk menyusun perencanaan.

Program PNPM diberbagai daerah termasuk yang bekerja di Kota, mensyaratkan ada RPJM Pronangkis (Program Penanggulangan Kemiskinan). Bila demikian, lantas manakah yang harus dikerjakan? Ada format yang cukup berbeda antara RPJM dengan Renstra. Dalam RPJM dikaji tentang arah kebijakan keuangan, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum serta program kerja satuan-satuan pendukung dibawahnya. Sementara Renstra menjabarkan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan oleh institusi. Perlu penulis tekankan institusi karena memang isi renstra adalah jabaran hal-hal penting untuk konteks institusi. Beda dengan RPJM yang merupakan jabaran dari rencana implementasi kebijakan kepala daerah yang memang dipilih.

Artinya bila desa menyusun RPJM akan masuk akal sebab kepala desa dipilih oleh masyarakat. Nah apabila kelurahan, kepala kelurahan merupakan jabatan yang diberikan pada seseorang pegawai atas dasar kepercayaan serta merupakan tugas Seandainya hal ini dibiarkan maka tiap daerah akan menjalankan kebijakan bagi kelurahan bisa berbeda. Sudah kita ketahui bersama bahwa kelurahan itu ada di semua kabupaten kota dan tidak spesifik di kota saja. Masyarakat akan dibingungkan dengan format yang bisa saja berbeda antara wilayah satu dengan yang lainnya.

Rabu, 24 November 2010

Pentingnya Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik

|0 komentar
Salah satu contoh media keterbukaan informasi

Salah satu pondasi penting dalam era good governance yaitu keterbukaan informasi public. Selama era orde baru, informasi tentang pengelolaan pemerintah daerah tidak cukup banyak diketahui oleh masyarakat. Maka tuntutan atas birokrasi modern, yang efektif, efisien serta transparan tak bisa dielakkan lagi. Kenapa demikian? Seperti banyak diketahui bahwa salah satu fungsi birokrasi adalah sebagai public servant/pelayan public. Pelayanan public tersebut terkait dengan rumusan bahwa pemerintah menjalankan layanan atas ketertiban dan pemenuhan hak-hak dasar warga. Selain itu, pemerintah juga mengelola anggaran yang didapat dari pajak maupun retribusi yang disetor oleh masyarakat.

Atas kontribusi wargalah kemudian pemerintah dapat mengelola pemerintahannya. Pada pasal 28 F amandemen UUD 45 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada. Dengan mandate inilah kemudian muncul kebijakan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan waktu toleransi 2 tahun, pemerintah daerah diminta melaksanakan amanat undang-undang. Meski demikian, respon pemerintah daerah ditiap wilayah ternyata berbeda.

Pasca turunnya UU No 14 Tahun 2008 itu, lantas keluar berbagai peraturan untuk mengimplementasikan diantaranya PP No 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan UU No 14 Tahun 2008, Permendagri No 35 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan KIP serta Peraturan KI No 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publik. Adapun terminology informasi public dalam UU No 14 Tahun 2008 adalah Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa keterbukaan informasi memang telah menjadi sebuah kewajiban. Meski demikian, ada kategori informasi yang memang tidak harus dibuka dikarenakan alasan-alasan tertentu. Ada 5 alasan kenapa tidak semua informasi harus dibuka ke public yaitu pertama, Informasi yang dapat membahayakan negara. Misalnya saja informasi atau data tentang jumlah pesawat tempur serta kemampuan pilot yang dimiliki, peralatan perang dan berbagai informasi lainnya. Kedua, Informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat. Sebab hal ini dapat mengganggu iklim usaha. Ketiga, Informasi yang berkaitan dengan hak¬-hak pribadi yang tentunya tidak akan berlaku apabila berkaitan dengan tindakan pidana.Kemudian, Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau terakhir Informasi yang belum dikuasai atau didokumentasikan.

Masyarakat sangat berharap UU ini dapat diterima dan direspon positif oleh pemerintah daerah. Sebab akan banyak muncul dampak positif bagi perkembangan otonomi daerah dan memacu dinamisasi pembangunan. Beberapa catatan penting yang akan didapat oleh daerah dari sikapnya yaitu pertama, legitimasi pemerintah daerah menjadi kuat dan dukungan masyarakat menjadi lebih baik. Dampak yang akan diterima bisa berefek pada iklim investasi dan kondisi daerah yang kondusif. Kedua, kemampuan APBD menjadi lebih proporsional. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat meyakini pajak maupun retribusinya dikelola secara baik dan benar sehingga mereka tidak berkeberatan memenuhi kewajibannya. Ketiga, tingkat korupsi akan menurun drastis. Hal ini atas dasar konsekuensi transparansi informasi.

Lantas, dengan berbagai keuntungan yang akan diperoleh pemerintah daerah, akankah pemda masih akan menutup informasi? Masyarakat harus secara aktif mendorong dan meminta keterbukaan informasi terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Selama ini yang telah banyak diwacanakan adalah informasi tentang perencanaan maupun penganggaran. Kita berharap, adanya UU KIP No 14 Tahun 2008 akan semakin mendorong transparansi informasi yang memang berkaitan dengan kepentingan umum sehingga masyarakat tidak akan mengalami kendala dalam mengawasi pemerintah.

Rasio Kemandirian Daerah Yang Patut Dipertanyakan

|0 komentar
Pengelolaan keuangan daerah merupakan system pengelolaan keuangan yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Peningkatan kemakmuran rakyat tidak hanya pelayanan public namun juga tercakup didalamnya adalah membangun wilayah-wilayah Indonesia agar tidak ada ketimbangan dalam pemerataan. Namun yang jamak diketahui, pengelolaan keuangan di Indonesia memang masih butuh banyak dibenahi. Banyak pihak menyatakan system sudah cukup bagus guna mencegah kebocoran keuangan Negara namun tinggal bagaimana mendisiplinkan aparatur. Berbagai regulasi terkait keuangan Negara/daerah telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat namun masih saja gap antar daerah terlihat tinggi.

Pungutan pajak dan retribusi yang dilakukan pemerintah masih saja tidak cukup besar untuk mensejahterakan masyarakat. Bahkan semakin hari semakin besar saja pajak maupun retribusi yang dipungut namun disisi lain tetap saja belum bisa memenuhi kewajiban pemerintah dalam mencukupi hak dasar warga. Di sector pendapatan, bila kita lihat banyak daerah menggantungkan pendapatannya justru dari Negara. Tingkat kemandirian anggaran sangat minim meski otonomi telah diberlakukan. Ada beberapa factor yang mempengaruhi pendapatan daerah belum memberi kontribusi cukup signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.

Faktor yang bisa kita kupas misalnya banyak pungutan ditingkat lokal masih disentralisasi baik dipusat maupun propinsi. Contohnya pungutan Surat Tanda Nomor Kendaraan, Pajak Bumi Bangunan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan masih banyak sekali. Sementara daerah hanya memiliki kewenangan menarik uang receh saja (sebut misalnya parkir, retribusi sampah, retribusi pemakaman dan lainnya) yang besarannya rata-rata dibawah Rp 1juta pertahun. Faktor akuntabilitas penerimaan retribusi juga ikut berpengaruh didalamnya. Siapa yang bisa tahu berapa pendapatan dari retribusi terminal pertahunnya, berapa pemasukan dari pajak makanan dan minuman atau berapa pendapatan dari sector hiburan?

Mari kita lihat potret pendapatan daerah di eks Karesidenan Surakarta dan berapa prosentasenya menyumbang Pendapatan Asli Daerah di Tahun 2010 (Lihat Tabel).

Tabel 1
Pendapatan Kabupaten/Kota Se Eks Karesidenan Surakarta
Tahun 2010

Daerah                          PAD                     Dana Perimbangan          Lain2 Pdapatn yg Sah      Total Pdptn
Prov. Jawa Tengah      3,729,062                     1,757,664                          24,590                   5,511,315
Kab. Boyolali                   80,020                        682,045                        150,250                      912,315
Kab. Karanganyar            73,977                        610,311                          66,111                      750,399
Kab. Klaten                      71,371                        843,372                       110,774                   1,025,517
Kab. Sragen                     69,398                         649,984                         69,123                     788,505
Kab. Sukoharjo                60,298                         620,295                         53,168                     733,760
Kab. Wonogiri                  64,818                         729,751                         84,733                     879,303
Kota Surakarta                120,183                        531,857                       176,594                     828,635
Sumber : Kemenkeu.go.id

Secara keseluruhan, pendapatan daerah terbesar diperoleh Kabupaten Klaten yang mencapai Rp 1 trilyun lebih, disusul Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Wonogiri. Sedangkan daerah dengan pendapatan paling kecil adalah Sukoharjo yang “hanya” berkisar Rp 750 M. Namun tingginya pendapatan ini tidak selalu parallel dengan kemampuan daerah menarik pendapatan dari masyarakat. Tingginya pendapatan bisa dipengaruhi factor banyaknya jumlah pegawai, sumber daya alam yang tersedia atau memang tingkat akuntabilitas pendapatannya memang patut diacungi jempol.

Kota Surakarta yang Tahun 2010 ini masuk urutan ke 3 dalam pemberantasan korupsi versi Transparansi Internasional Indonesia justru hanya mampu mengumpulkan pendapatan sebesar Rp 828 M atau di posisi tengah-tengah disbanding daerah lainnya. Namun yang terlihat mencolok dari Solo adalah Pendapatan Asli Daerahnya mencapai Rp 120 M atau 14,5 persen dari Pendapatan Daerah. Kemampuan 14,5 persen merupakan rasio kemampuan daerah dalam kemandirian pendapatan (lihat table 2). Klaten yang dari nominal memiliki pendapatan daerah tertinggi namun prosentase PAD terhadap total pendapatan daerahnya justru paling parah, tidak mencapai 7 persen. Daerah dengan PAD tinggi dapat dimaknai 2 hal yakni pertama, mampu melakukan pemetaan sector pendapatan daerah potensial serta kedua, intensifikasi pendapatan yang bisa disebut berhasil.

Tabel 2
Prosentase 3 Pendapatan Terhadap Total Pendapatan Daerah
Tahun 2010

Daerah                         % PAD thd Pdptn       % P'imbngn thd Pdptn   % Pdptn Lain yg sah thd Pdptn           Prov. Jawa Tengah                67.66                               31.89                                    0.45
Kab. Boyolali                          8.77                               74.76                                  16.47
Kab. Karanganyar                   9.86                               81.33                                    8.81
Kab. Klaten                            6.96                               82.24                                   10.80
Kab. Sragen                           8.80                                82.43                                    8.77
Kab. Sukoharjo                      8.22                                84.54                                    7.25
Kab. Wonogiri                       7.37                                 82.99                                    9.64
Kota Surakarta                    14.50                                 64.18                                   21.31
Ket : Data diolah

Pendapatan Dana Perimbangan terbesar tentu dapat diprediksi yakni Kabupaten Klaten. Sebab total pendapatan daerahnya paling tinggi diantara 6 kabupaten/kota lain. Ini mengindikasikan jumlah pegawai kabupaten ini cukup besar. Sebab dana perimbangan memang lebih banyak digunakan untuk pembayaran gaji pegawai. Komponen Dana Alokasi umumnya bisa dipastikan mendominasi dana perimbangan. Solo, hanya mendapat Rp 500 M saja atau selisih lebih dari Rp 300an milyar. Potret prosentase dana perimbangan terhadap total pendapatan otomatis paling minim meski prosentasenya masih hampir 65 persen. Selisih dengan daerah lain mencapai 10 persen atas total pendapatan daerahnya.

Untuk pendapatan lain-lain yang sah, secara nominal Kota Solo tercatat menyumbang nominal lebih dari Rp 170 milyar, diikuti Kabupaten Boyolali yang memberi pemasukan bagi daerahnya Rp 150 milyar. Sementara nominal paling minim tercatat ada di Sukoharjo yang berkisar Rp 53 milyar saja atau selisih dengan Kota Solo mencapai lebih dari Rp 100 milyar. Pemerintah daerah harus segera menemukan formula supaya tingkat ketergantungan anggaran dari pusat semakin berkurang. Memang ada beberapa pendapatan daerah yang ditarik ke pusat dan itu masuk kategori pendapatan yang potensial. Sembari terus berjuang mendapatkan kembali hak daerah, seharusnya daerah terus berkreasi dan berinovasi mengembangkan potensi daerah agar mendapat kontribusi yang signifikan.

Senin, 08 November 2010

Penerapan Anggaran Pendidikan 20 Persen

|0 komentar
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia agar kehidupannya jauh lebih baik. Tidak hanya para orang tua tetapi juga Negara dan agama mengajarkan pentingnya menempuh pendidikan. Namun kenyataannya tak semua orang secara mudah mengakses pendidikan di Indonesia. Masih banyak masyarakat diperkotaan maupun pedesaan kesulitan mengakses pendidikan. Hal ini dikarenakan keterbukaan akses, jaminan serta kemauan penggerak pendidikan bahkan Negara tak kunjung serius membenahi pendidikan di Indonesia. Sudah banyak peraturan ataupun pemahaman bahwasanya pendidikan merupakan hal prinsip yang harus didapat semua orang. Dalam Amandemen UUD 45 disebutkan salah satu hak warga Negara yakni pendidikan.

Faktanya diberbagai pelosok daerah kita masih menemukan banyak anak usia sekolah yang mengamen, menyemir sepatu atau meminta-minta. Mereka tak lagi sanggup bersekolah. Problem masyarakat miskin di perkotaan dengan masyarakat di pedesaan untuk mengakses pendidikan itu tak sama. Di perkotaan yang rata-rata sekolah negeri sudah banyak bebas biaya, mengutip dana tambahan dengan nama sumbangan. Tak pelak mereka yang harusnya bisa menikmati bangku sekolah menjadi terpental. Sementara di pedesaan yang jauh dari pantauan, masih saja dipungut biaya wajib yang meskipun besarnya tak seberapa tetapi tetap saja memberatkan. Lantas, kalau mau dilihat secara jeli kemanakah anggaran pendidikan yang besarnya 20 persen dari APBN pertahun itu?

Kalau semua pihak merasa peduli dengan pendidikan dan mengawasi setiap sen alokasi pendidikan, kenapa masih saja biaya pendidikan itu memberatkan? Seringkali para pemangku kepentingan pendidikan berargumentasi bahwa besarnya biaya untuk membenahi gedung sekolah, membangun sekolah di pedalaman, menambah fasilitas dan banyak lagi alasan yang lainnya. Kemanakah anggaran pendidikan sebelumnya? Toh pada tahun-tahun belum diberlakukannya anggaran pendidikan 20 persen, dengan partisipasi masyarakat, warga mampu menyekolahkan anaknya. Perbaikan prasarana sekolah justru dijadikan alasan menambah beban bagi orang tua peserta didik.

Dalam Renstra Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014, alokasi anggaran pendidikan untuk Kementrian Pendidikan Nasional besar sekali. Anggaran tersebut dipilah menjadi 2 yakni yang dikelola Kemdiknas serta untuk transfer daerah (Lihat Tabel). Formasi anggaran yang besar justru dialokasikan ke daerah. Tetapi jumlah yang paling menyita tentu saja untuk DAU Pendidikan alias gaji-gaji guru. Disitu tertulis anggaran tahun 2010 mencapai Rp 55 Trilyun yang dalam APBN-P menjadi Rp 62,5 T. Kemudian meningkat menjadi Rp 65 T pada tahun 2011. Kenaikan 13 persen didapat pada tahun 2012 yang menjadi Rp 75 T. Sayangnya kenaikan yang besar ini banyak dialokasikan untuk tunjangan profesi dan kegiatan prioritas Renstra Kemdiknas lainnya. Sedangkan alokasi BOS dialokasikan tidak bergeser dari angka Rp 17 trilyun.

Anggaran Pendidikan 2010 - 2014

Semestinya, dengan alokasi anggaran yang besar tersebut masyarakat dapat diringankan untuk mengenyam pendidikan setidaknya pendidikan dasar 9 tahun. Faktanya masih banyak kejadian dan anak usia sekolah tak mudah mendapatkan hal tersebut. Harus ada terobosan yang luar biasa dari berbagai pihak yang mendesak baik Diknas Daerah maupun Kemdiknas untuk mengimplementasikan anggaran yang mampu menjamin keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak. Pemerintah pusat sebaiknya juga mengurangi peran di sector implementasi dan hanya bekerja pada tataran kebijakan serta pengawasan terhadap anggaran daerah. Sehingga anggaran akan lebih banyak dialokasikan ke daerah dan tidak melulu untuk gaji para guru. Bukan menganggap bahwa gaji guru tak penting. Faktanya setelah ada sertifikasi, tak adan peningkatan cukup signifikan bagi keluaran pendidikan di Indonesia.

Rabu, 27 Oktober 2010

Adakah Yang Bertanggung Jawab?

|0 komentar
Setengah tahun belakangan ini nampaknya bencana sedang melanda Indonesia. Bertubi-tubi musibah hadir tanpa memandang kelas ekonomi, social ataupun status. Semua mengalaminya dan apakah kita masih menyalahkan alam semesta yang memang sedang berubah tanpa bisa kita antisipasi? Dalam berbagai pemberitaan, rata-rata pejabat berwenang ketika dikonfirmasi media seringkali “menghindar” untuk menyatakan bertanggungjawab. Alasan seperti adanya human eror, cuaca memang sedang tidak menentu, sifat dari kondisi dan lain sebagainya. Sungguh memprihatinkan membaca pernyataan mereka.

Selain menghindar, tak ada empati yang dikeluarkan setidaknya untuk meminta maaf atau bertindak secara nyata. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing dan menyerahkan pada pejabat dibawahnya. Benar-benar tidak ada tradisi merasa bertanggungjawab untuk kemudian melakukan langkah terobosan agar kondisi tersebut tak terulang kembali atau setidaknya tidak ada jatuh korban. Menyantuni atau menggalang sumbangan bagi para pejabat Indonesia, itu sudah merupakan bentuk tanggjungjawab riil atas musibah atau tragedy.

Bila kita lihat tragedy kecelakaan kereta api di Pemalang Sabtu (2/10) awal bulan ini. Puluhan orang tewas setelah Kereta Api Argo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya menabrak KA Senja Utama Jakarta-Semarang yang sedang berhenti dari belakang  sekitar pukul 03.05 Wib. Kejadian yang membuat kita semua terhenyak. Kereta api bisa menabrak depannya apalagi saat berhenti di stasiun merupakan kejadian konyol yang sulit diterima oleh akal sehat. Pada kasus ini bisa dilihat mentalitas pejabat terkait yang bertugas benar-benar sangat sembrono. Pasca kejadian yang menewaskan puluhan orang, tak ada satupun pejabat dari Departemen Perhubungan maupun Direktorat Perhubungan Darat yang mengundurkan diri. Mereka menganggap itu kesalahan masinis serta petugas stasiun.

Kemudian soal gempa bumi yang sejak gempa aceh 2004 lalu sudah puluhan kali melanda berbagai wilayah Indonesia. Kejadian ini memang yang paling mudah bagi pejabat untuk menghindar dari tanggungjawab karena memang tidak ada gempa bumi yang disertai dengan pemberitahun terlebih dulu. Kadang kejadiannya pun tengah malam buta. Namun sejak tahun 2004, pelatihan gempa bumi sering dilaksanakan hanya pada masyarakat yang pernah mengalaminya. Sementara bagi wilayah yang tak merasakan, hampir tak pernah diadakan pelatihan soal ini. Pelatihannya pun semestinya tidak sekedar bagaimana menyelamatkan diri, namun juga mestinya prosedur evakuasi, mencari lokasi aman maupun bagaimana melatih masyarakat memberi pertolongan pertama jika ada korban. Padahal disisi lain sudah banyak lembaga internasional yang bisa memberi dukungan bagi penyelenggaraan kegiatan penanganan bencana gempa.

Gempa bumi terakhir menimpa Wasior di Propinsi Papua Barat maupun Mentawai Sumatera Barat. Di Wasior Papua Barat diperkirakan menelan korban jiwa hingga 103 jiwa sementara di Mentawai lebih 100 orang meninggal serta masih ada 500 warga yang hilang. Korban yang hilang kemungkinan meninggal karena gempa di Mentawai disertai oleh tsunami yang menyapu pulau disebelah selatan pulau Sumatra tersebut. Hingga 3 hari pasca kejadian, belum ada satupun pejabat yang menyatakan kejadian ini merupakan kejadian luar biasa. Artinya harus disikapi dengan konsekuensi. Bencana selanjutnya yakni banjir yang melanda ibu kota Jakarta. Memang korban jiwa tidak sampai puluhan namun dampak banjir seperti macet atau kerugian masyarakat mencapai ratusan miliar terutama yang dialami para pengusaha.

Gubernur DKI selayaknya menyatakan bertanggungjawab atas carut marutnya penataan kota yang menyebabkan dampak merugikan tersebut. Banjir dengan kedalaman beragam hampir merata terjadi di berbagai wilayah di Jakarta dan akibatnya macet hingga pukul 00.00 dinihari. Terakhir mengenai meletusnya (atau hanya erupsi) gunung merapi di wilayah Magelang, Klaten, Sleman maupun Boyolali. Sudah jatuh puluhan korban jiwa yang mungkin tak sempat terevakuasi maupun menyelamatkan diri. Termasuk diantaranya mbah Marijan, penunggu merapi. Kondisi pengungsian sungguh memprihatinkan dan sangat tidak layak baik prasarana, sarana maupun perangkat pendukung lainnya.

Lantas, dengan beragam kejadian ini, apa yang sebenarnya harus dilakukan oleh pemerintah? Media telah berperan besar dalam menyebarluaskan berbagai bencana dan langkah membantu warga harus segera ditempuh. Bila tak segera ditangani, korban akan terus bertambah. Koordinasi antara pemerintah pusat (kementrian) dengan pemerintah propinsi maupun daerah harus bisa efektif dan efisien sehingga korban-korban berikutnya tak lagi ada. Badan penanggulangan bencana juga harus bergerak cepat bersama PMI, TNI maupun institusi lain yang memiliki kepedulian atas musibah ini untuk bahu membahu menolong warga.

Yang justru aneh, maraknya berbagai pemberitaan media mengenai bencana hampir tidak terdengar kemana suara wakil kita di DPR. Apa yang mereka pikirkan atas bencana yang terjadi? Komisi- komisi yang berkaitan dengan bidang telah melakukan apa? Atau setidaknya wakil rakyat dari daerah bersangkutan turut terlibat membantu meringankan beban masyarakat korban. Mestinya mereka tak sibuk dengan hanya membangun gedung, kunjungan kerja, menambah fasilitas serta berbagai hal yang tidak ada kaitannya dengan rakyat. Namun sudah banyak masyarakat yang hilang asa atas mereka. Bagaimana dengan kita?

Jumat, 08 Oktober 2010

Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Kebijakan

|0 komentar
Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Kebijakan

Diskursus tentang peran perempuan dalam 10 tahun terakhir ini cukup menarik dan semakin banyak membuka ruang bagi kiprah perempuan di Indonesia. Ruang aktualisasi perempuan tidak sekedar hanya pada bidang-bidang yang ‘dianggap” milik laki-laki namun juga karir perempuan dibidang-bidang tersebut juga terlihat menggembirakan. Sebenarnya perkembangan partisipasi perempuan di bidang pemerintahan, ekonomi apalagi politik relative jauh lebih lamban dibanding dibidang olah raga. Sudah sejak lama perempuan Indonesia mampu membuat prestasi membanggakan di kancah Internasional meskipun dibidang olahraga tentu hanya bertanding sesame perempuan. Namun setidaknya kiprah mereka bisa terlihat meski bertarung dengan negara-negara yang peran perempuannya jauh lebih berkembang.

Hambatan kiprah perempuan di Indonesia memang cukup kompleks sehingga diberbagai bidang perempuan kurang mampu menunjukkan kompetensinya. Misalnya saja hambatan dalam budaya, regulasi, agama maupun perspektif masyarakat sendiri. Dalam budaya Jawa misalnya muncul 3 idiom untuk ranah perempuan yakni dapur, sumur dan kasur. Mereka tidak memiliki bargaining yang cukup kuat dimata para suami selain sebagai pelayan saja. Akibatnya peran perempuan tetap saja tidak terbuka bagi pengembangan mereka. Beberapa regulasi pra reformasi dan perlakuan yang ada terutama di birokrasi tidak jauh berbeda. Hampir tidak ada kepala daerah perempuan di jaman orde baru lalu. Kondisi ini juga ditambah dengan pemahaman agama yang kurang terbuka.

Akibatnya, banyak kebijakan yang ditetapkan tidak memiliki sense of gender (kesetaraan jender). Kebijakan tidak pro jender bila dilihat dampak yang terjadi. Masyarakat lebih suka menyekolahkan anak laki-laki lebih tinggi dibanding anak perempuannya. Diberbagai daerah, anak perempuan meski belum berumur 20 tahun sudah dinikahkan. Akibat terusannya kualitas kehidupan keluarga jadi menurun. Tidak hanya kualitas kesehatan, kualitas pendidikan tetapi juga kulitas keluarga yang dibangun tidak mencerminkan keluarga yang secara matang mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan dilingkungan paling kecil misalnya Rukun Tetangga mengalami subordinasi. Pertemuan ibu-ibu PKK dianggap kelas dua dibawah pertemuan bapak-bapak terutama bila mengambil kebijakan terkait lingkungan.

Konstruksi pemikiran tidak mengakui peran perempuan atau memarginalisasi mereka dalam teks pelajaran anak sekolah juga terjadi. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia anak SD kelas 1 atau 2 misalnya disebut bapak ke sawah dan ibu ke pasar. Pasca orde baru, kemudian wacana tentang jender banyak berkembang di masyarakat. Sudah banyak yang kemudian menyadari bahwa kesetaraan peran laki-laki dan perempuan penting untuk memberikan peluang bagi siapapun dan dari latarbelakang apapun juga. Namun hingga tahun 2009, berbagai upaya yang dilakukan berbagai kalangan belum bisa dianggap berhasil. Berdasarkan data BPS tahun 2008 dan 2009 (Tabel 1) menunjukkan ketimpangan yang cukup lebar.

Tabel 1
Berdasarkan Data Nasional
No        Tahun                                                  Laki-Laki          Perempuan
1    Angkatan Kerja (jiwa)    2008                    68.825.081        42.652.366
2    Angkatan Kerja (jiwa)    2009                    69,938,391        43,806,017
3    Mengurus Rumah Tangga (jiwa)    2008      30.481.858          1.640.911
4    Mengurus Rumah Tangga (jiwa)    2009      30.996.532          1.581.888
5    Upah Pekerja    2008                              Rp 1.233.000    Rp  933.0000
6    Upah Pekerja    2009                              Rp 1.406.000    Rp 1.071.000
Sumber : BPS/Sakernas 2008-2009

Kesempatan kerja yang tersedia di tahun 2008 dan 2009 lebih memprioritaskan laki-laki dibandingkan perempuan dengan proporsi sekitar 60 : 40 persen. Sedangkan untuk urusan domestik selisih laki-laki dengan perempuan jauh lebih besar (lebih dari 1.800 persen). Sementara untuk upah pekerja selisih mencapai Rp 300.000 dan semakin lebar pada tahun 2009 menjadi Rp 335.000. Di kelembagaan legislative tingkat pusat sudah mulai ada peningkatan keterlibatan jumlah anggota DPR perempuan. Pada periode 1999-2004 tercatat ada 40 legislator perempuan atau sekitar 9,2%. Jumlah ini naik pada periode 2004-2009 berjumlah 63 orang (11,45%) dan pada periode saat ini sudah mendekati 100 (99 orang) legislator perempuan di gedung DPR RI (17,68%).

Regulasi dan Partisipasi Dalam Bidang Politik

Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa ada ketidakadilan terhadap perempuan. Seharusnya Negara membuka peluang, kesempatan, dan porsi yang sama baik pada laki-laki maupun perempuan. Sebenarnya sudah banyak regulasi yang memberi peluang bagi kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Setidaknya ada 11 undang-undang dan 3 regulasi lainnya yang memandatkan berbagai kebijakan yang responsive jender. Ke 5 undang-undang tersebut yakni 1) UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan; 2) UU No 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak; 3) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya mengakui hak asasi perempuan; 4) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 6) UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik; 7) UU No 13 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak-hak ECOSOC; 8) UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi; 9) UU No 17 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan; 9) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 10) UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu serta 11) UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Beberapa aturan turunan yang memproteksi dan memberi kesempatan yang sama terhadap perempuan diantaranya Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan, Kepmendagri No 132 tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah juga Peraturan Kapolri No 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Berbagai regulasi ini semakin mendorong berbagai gerakan dan kesempatan bagi perempuan untuk lebih aktif berperan diberbagai bidang. Misalnya saja sudah banyak kepala daerah perempuan bahkan gubernur perempuan, serta pejabat perempuan. Kesempatan yang sama juga terjadi dalam kelembagaan politik dengan adanya affirmative action yang mensyaratkan caleg dari partai politik minimal 30 persen dan memiliki posisi yang strategis. Kondisi inilah yang menjadikan jumlah wakil rakyat perempuan naik cukup pesat. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa peluang partisipasi perempuan sekarang telah terbuka cukup luas.

Hanya saja, ditingkat daerah seperti kabupaten/kota memang belum cukup massif menerjemahkan berbagai regulasi dari pusat secara tepat. Berbagai pemerintah daerah masih berkutat pada mendirikan kantor atau badan pemberdayaan perempuan namun implementasinya perlu dimonitoring secara ketat. Karena berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh SKPD bersangkutan tidak bermakna substansial melainkan sangat teknis. Misalnya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan selalu lebih banyak diikuti oleh perempuan dan dianggap sudah responsive jender bila banyak diikuti perempuan. Selain itu makna secara hakiki dari pengarusutamaan jender diterjemahkan dalam berbagai aktivitas yang semua pesertanya kebanyakan perempuan. Tidak kemudian ada grand design dalam segala program di SKPD dimaknai sebagai program yang responsive jender atau peduli perempuan.

Di partai politik sendiri juga masih banyak lips service. Hal ini juga terlihat dari masih mayoritasnya laki-laki dalam kepengurusan partai politik. Aktivis partai politik perempuan lebih banyak masuk di divisi atau departemen perempuan. Dari satu divisi/bidang/departemen bila diisi oleh 10 orang maka paling banyak 2-3 orang perempuan. Dalam UU No 10 Tahun 2008 tentang Partai Politik mensyaratkan 30 persen perempuan dalam pengurus partai. Masih ada 5 partai yang tidak memenuhinya. Kemudian pasal 53 daftar Caleg pada pemilu legislative 2009 lalu menyatakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Sedangkan total caleg perempuan mencapai 35 persen atau berjumlah 3.902 perempuan. Ternyata ada 5 partai juga yang tidak memenuhi undang-undang.

Jika dibedah lebih mendalam lagi, dari sekitar 35 persen caleg perempuan, sangat jarang menempati no urut topi atau nomor urut atas. Beruntung ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Caleg dengan suara terbanyaklah yang bisa menjadi legislator. Bila tidak, jumlah anggota DPR Perempuan periode 2009 – 2014 bisa jauh dari angka 99 orang. Merebut ranah pengambil kebijakan sangat penting dan tidak sekedar merepresentasikan keterwakilan perempuan tetapi jauh lebih substansial adalah memperjuangkan program-program yang lebih peduli terhadap perempuan.

Efek Yang Diharapkan

Bila di birokrasi sendiri masih banyak salah tafsir serta jumlah legislative perempuan tidak seimbang, tidak heran pelaksanaan program banyak yang salah kaprah. Maka dari itu, perlu semacam gerakan bersama terutama aktivis perempuan untuk merebut berbagai jabatan baik di birokrasi, perusahaan maupun politik guna mengoptimalkan pembangunan bangsa dimasa depan. Mesti diakui, hambatan budaya merupakan hambatan terbesar yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Masih adanya anggapan perempuan pulang malam berkonotasi negative harus dilawan dengan kampanye yang mampu menunjukkan bahwa perempuan yang pulang malam tidak selalu bekerja pada tempat-tempat hiburan malam.

Merubah budaya ataupun persepsi bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan dalam satu atau dua tahun. Selain itu, membangun wacana berbagai bidang atas pentingnya partisipasi semua pihak termasuk perempuan dijadikan point penting dalam mendesign perubahan tersebut. Setidaknya ada 6 langkah yang perlu diambil untuk lebih memperkuat partisipasi perempuan. Pertama, Adanya kampanye secara luas tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang. Memberi kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan bukan pilihan tetapi keniscayaan. Kampanye yang penting harus dimulai dari kelompok masyarakat terkecil yakni individu dan keluarga.

Dengan kampanye tersebut diharapkan muncul kesadaran semua pihak untuk lebih menyadari bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya adalah pihak yang sejajar. Tidak ada dikotomi ranah domestik atau publik yang menimbulkan konsekuensi menjadi tugas perempuan atau laki-laki. Kedua yakni capacity building atau peningkatan kapasitas aktivis perempuan. Selain pemahaman penting juga menanamkan beberapa ketrampilan yang selama ini tidak identik dengan perempuan misalnya fasilitasi, pembicara, moderator dan berbagai ketrampilan lain. Hal ini penting agar aktivis perempuan tidak terjebak pada urusan konsumsi, bendahara serta sekretaris yang dianggap memang spesifikasi perempuan.

Ketiga, penting untuk pemberdayaan organisasi perempuan. Organisasi seperti dharma wanita, PKK, Muslimat, Aisyiyah, Fatayat dan beragam organisasi wanita lainnya perlu didorong agar tidak sekedar mengadakan pelatihan ketrampilan semata. Selama ini berbagai organisasi tersebut lebih sering berkutat pada arisan, menjahit, kursus memasak dan berbagai kegiatan berbau perempuan. Mereka sebenarnya punya potensi yang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan seperti berbagai organisasi yang tidak identik dengan perempuan. Tokoh-tokoh kunci dalam organisasi perempuan memiliki kesempatan mengembangkan diri untuk menjadi pelopor dalam berbagai kegiatan atau aktivitas yang lebih tidak identik.

Bisa saja berbagai organisasi ini kemudian mendiskusikan kebijakan Pemda, mengadvokasi masyarakat marginal, menganalisa anggaran dan bersama-sama bergerak mendesakkan kebijakan yang berorientasi pada kesamaan hak warga Negara atau anti diskriminasi. Keempat, perlu kiranya menaikkan bargain position bagi tokoh atau aktivis perempuan. Di level Nasional setidaknya ada 4 partai diketuai oleh perempuan (PDIP, PPRN, PIB dan PNI Marhaenisme), Menteri Kabinet Indonesia Bersatu ada 5 perempuan didalamnya, ada juga Gubernur perempuan, Rektor Universitas Sriwijaya juga perempuan. Mereka ini berhasil menunjukkan kapasitas dirinya hingga dipercaya komunitas partai ataupun pemangku kepentingan untuk menjadi dirigen ditiap instansi. Tentu para tokoh ini tidak begitu saja mendapat mandate tanpa proses panjang.

Kelima, pemanfaatan media baik elektronik maupun cetak. Dengan perkembangan sistem dan alat komunikasi yang serba canggih sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai alat bagi sosialisasi pemahaman maupun gagasan atau ide yang akan disampaikan. Tidak ada lagi informasi yang perlu menunggu jam atau menit bahkan hari. Semakin cepat gerakan penyadaran pentingnya perempuan hadir diranah publik dan pemahaman tentang peran lebih cepat disampaikan maka penyebaran informasi lebih luas menyebar dan tersampaikan pada masyarakat. Kecanggihan media ini sebaiknya ditangkap sebagai peluang untuk mendorong dan mendesakkan kepentingan perempuan yang bisa dimanfaatkan.

Keenam adalah jaringan berbagai kelompok maupun institusi. Bila kita mencoba setback kebelakang, keberhasilan affirmative action keterwakilan 30 persen perempuan dalam calon legislative adalah berfungsinya jaringan. Terbukti juga berbagai kebijakan yang dilahirkan di negara ini juga karena adanya jaringan yang kuat. Komunitas perempuan harus memperkuat jaringan tidak hanya sesame organisasi perempuan namun juga berbagai komunitas yang lain termasuk pemerintahan. Sehingga ketika memperjuangkan kepentingan kelompok perempuan akan semakin mudah mencapai target.

Harapannya, bahwa barier atau hambatan untuk keterlibatan atau partisipasi perempuan dalam politik dan kebijakan bisa dengan sendirinya hilang. Disinilah nanti akan dipetik berbagai manfaat dengan peningkatan peran perempuan yang sejajar dengan “komunitas” laki-laki. Berbagai kebijakan akan lahir dengan penuh makna atas kepentingan perempuan maupun laki-laki tidak sekedar kebijakan yang menyenangkan salah satu pihak. Maka dari itu, marilah kita sebagai salah satu kelompok penting baik di daerah, di partai maupun negara ini segera melakukan sesuatu. Kita tidak bisa menunggu siapa dulu yang harus berbuat dan siapa yang harus bertanggungjawab. Perempuan harus menolong dirinya sendiri dan tidak lagi menunggu belas kasihan kelompok lain. Semoga.

Selasa, 07 September 2010

Ekstrimnya Cuaca

|0 komentar



Cuaca Jakarta akhir-akhir ini berlangsung tidak menentu. Kadang hujan, panas terik atau cuaca mendung. Perubahan tidak menentu ini tidak terjadi begitu saja dan disebabkan oleh berbagai faktor alam yang terus berganti. Pergantian iklim secara ekstrem seperti sekarang ini juga sering digambarkan lebih mengerikan oleh berbagai film yang sudah sejak lama beredar seperti vulcano atau film lainnya. Apakah cuaca seperti ini terjadi tanpa sebab? coba kita lihat beberapa gambar yang sempat saya rekam.


Matahari yang terlihat terus terdesar awan hitam sehingga sinarnya makin lama sehingga meredup. Bahkan dilihat dari dari gedung perkantoran lantai 13 mendung tebal bergelayut diatas langit jakarta. Foto yang diambil awal tahun ini, tidak jauh berbeda kondisinya hingga bulan September 2010.  Meski langit diatas mendung tersebut cerah bahkan panas namun kondisi dibawah awan terjadi sebaliknya. Foto yang diarahkan di seputaran kawasan Gatot Subroto menunjukkan awan yang sangat tebal dan terik matahari menyembul di sela-sela awan.


Keadaan ini diperkirakan akan berlangsung hingga awal tahun depan.Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) kondisi cuaca ekstrem di sebagian besar wilayah Indonesia belakangan ini terjadi akibat fenomena alam La Nina. Fenomena itu berupa penghangatan suhu muka laut sebesar 0,5 hingga 2 derajat Celsius, yang mengakibatkan penguatan aliran udara dari Pasifik Tengah ke Pasifik Barat atau Indonesia. Kalau sudah demikian, akankah kita akan berdiam diri dengan isu perubahan iklim?



Penting sebenarnya memahami isu climate change yang banyak diusung oleh beberapa negara maju. Setidaknya saat ini kita sudah merasakan tanda-tanda awal adanya perubahan yang luar biasa akibat efek rumah kaca. Panas matahari yang tanpa penyaringan ozon terasa menyengat kulit kita. Bila lapisan itu hilang tak berbekas, akan banyak orang yang menghindari kena panas langsung sebab akan mengakibatkan hal yang fatal. Kita harus memulai menyelamatkan lingkungan.


Penyelamatan lingkungan dimulai dari diri kita sendiri. Menghemat energi adalah salah satu langkah memperparah kondisi dunia. Membuang sampah pada tempatnya juga salah satu tindakan tepat diantara ribuan tindakan lainnya yang sering dipandang remeh orang lain. Bila kita tinggal di Jakarta dan sekitarnya, setidaknya 3 bulan terakhir ini sangat terasa betul perpindahan secara ekstrem cuaca dari terik panas matahari hingga tiba2 gerimis atau hujan turun. Curah hujan yang turun pun terlihat disertai angin yang berhembus cukup kencang. Meskipun jarak pandang memang masih cukup terjangkau namun sudah cukup tebal balutannya. Sehingga bagi beberapa penerbangan kadang juga mengkhawatirkan kondisi ini.

Dikawasan Senayan juga tak jauh berbeda dengan seputaran Jakarta dan sekitarnya. Hampir setiap hujan turun, awan yang terlihat diatas lebih sering tebal. Namun nampaknya bila tiba2 reda, awan cerah langsung muncul. Hari-hari menjelang lebaran dan tentu tradisi mudik bagi masyarakat Indonesia, harus benar-benar diperhatikan dengan cara seksama. terutama bagi para pengendara sepeda motor yang akan melakukan perjalanan jauh harus mempersiapkan diri dengan matang atas kondisi ini. Sopir angkutan umum maupun pribadi jarak dekat dan jarak jauh juga butuh melihat kondisi kendaraannya. Hal ini untuk mengurangi resiko kecelakaan yang bisa berakibat fatal

Senin, 06 September 2010

Gedung Wakil Rakyat

|0 komentar


Apakah benar gedung wakil rakyat kita terbuka pada masyarakat? terutama gedung DPR MPR RI yang berada di kawasan senayan? Kita faham, banyak masyarakat yang akan menyampaikan aspirasinya dihadang puluhan Pamdal di bagian terdepan sehingga menimbulkan kemacetan luar biasa di ruas utama jalan Gatot Subroto. Lantas luasnya lahan di pelataran yang juga tak digunakan untuk parkir kecuali setahun sekali itu hanya untuk lalu lalang mobil-mobil mewah.
Lihat saja halaman depan gedung yang sangat luas ini. Terlihat sepi dan hanya satu dua orang melewati aspal jalan yang tanpa pepohonan tersebut. Masyarakat umum banyak yang ingin masuk untuk melihat-lihat namun bagi yang belum pernah memasukinya pasti akan berpikir berkali-kali melihat sekerumunan orang berseragam biru-biru di berbagai penjuru masuk depan maupun belakang (dekat lapangan tembak senayan). Kalau tujuan anda tak jelas, jangan berharap akan bisa memasuki kawasan ini.



Pada tengah ruas jalan beraspal terhampar kolam yang cukup luas yang mungkin diharapkan mengurangi hawa panas di siang hari. Tahun 1999 saat terjadi demo mahasiswa besar-besaran, kolam ini menjadi riuh karena menjadi tempat cuci muka dan berendam mahasiswa yang kepanasan. Air mancur tak menyala tiap saat, biasanya sekitar pukul 08.00 - 17.30 perharinya. Mungkin untuk menghindari pemborosan. Sebagai estetika, bagi saya yang awam, memang sedikit menyejukkan meski di dalam gedung tak mempengaruhi apapun.

Kini munculnya rencana pembangunan gedung DPR yang baru senilai Rp 1,6 T telah menjadi polemik yang berkepanjangan. Akankah para wakil kita mendengarkan rakyatnya? Akankah pembangunan terus dilanjutkan dengan alasan kebutuhan ruang bagi para staf ahli? Adakah masih banyak persoalan lain yang mestinya lebih penting untuk segera dientaskan? Mari kita tunggu dengan harap-harap cemas, apa yang akan dilakukan oleh para wakil rakyat atas rencana tersebut.

Selasa, 31 Agustus 2010

Kepanduan atau Kepramukaan?

|0 komentar
Pada era sebelum reformasi (pra 1999) gerakan pramuka merupakan salah satu kegiatan ekstra kulikuler yang cukup digemari siswa sekolah dasar hingga orang dewasa. Mulai dari level siaga, penegak, pandega bahkan setiap departemen (sekarang kementrian) memiliki yang namanya satuan karya. Mereka berlomba-lomba menggerakkan anggotanya berpartisipasi secara aktif tanpa paksaan dari siapapun. Namun pasca reformasi, gerakan pramuka semakin hari semakin lesu hingga hampir tidak pernah disebut lagi dalam berbagai media. Hari Pramuka 14 Agustus yang dulu selalu diwarnai dengan jamboree kini hanya tinggal kenangan semata.

Belum jelas factor apa yang mempengaruhi namun yang jelas berbagai pihak memprihatinkan kondisi ini. Hampir semua masyarakat bila ditanya tentang kemanfaatan pasti akan menjawab bermanfaat namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Kondisi inilah yang kemudian ditangkap pemerintah perlu dibangkitkan kembali (revitalisasi). Hanya saja pemerintah melihatnya, mengaktifkan kembali pramuka dengan membuat peratutan (baca : undang-undang) dengan harapan akan terjadi kebangkitan. Bila dilihat dari aspek social, ide mengundang-undangkan pramuka sebenarnya tidak tentu tepat sebab bisa dimaknai ada pemaksaan melakukan kegiatan kepramukaan. Padahal seperti terungkap diatas, maraknya gerakan pramuka tidak dikarenakan adanya aturan namun kesadaran atas kebutuhan.

Maka dari itu salah satu target penyelesaian UU tahun ini adalah adanya UU Gerakan Pramuka yang masuk dalam daftar legislasi nasional serta tinggalan dari DPR RI periode 2004-2009. Undang-undang ini merupakan usul inisiatif pemerintah dengan berbagai alasan. Seperti dikemukakan Prof Dr  dr Azrul Azwar MPH sebagai Ketua Kwartir Nasional menyebutkan 4 alasan penting yakni pertama, Pramuka memiliki nilai-nilai khusus. Kedua, Pramuka mampu melahirkan militanisme. Ketiga, karena Pramuka telah mencontohkan sebagai organisasi pembinaan watak, sikap, generasi muda dan yang keempat,  pendidikan Pramuka dianggap mampu memberikan hasil yang baik buat generasi muda. keempat, sesungguhnya pula lah pendidikan Pramuka itu kalau dijalankan dengan baik akan memberikan hasil yang baik. Pendidikan akan baik kalau ditopang oleh pengadaan sumber yang cukup. Untuk pengadaan sumber-pengadaan sumber, harus ada dasar hukumnya (http://www.madina-sk.com).

Namun dalam perkembangannya, dalam pembahasan Panitia Kerja RUU Gerakan Pramuka di DPR memunculkan banyak penafsiran yang tidak sama. Belum menyentuh ke berbagai kerangka atau batang tubuh, penamaan RUU ini sendiri telah menimbulkan perbedaan. Ada 2 kelompok di DPR yang terpecah dalam penamaan RUU tersebut. Fraksi PD, FPDIP, FPKB menyepakati usulan pemerintah, sedangkan Fraksi PG, FPKS, FPAN lebih memilih RUU Kepramukaan. Dari penamaan yang hingga kini belum disepakati menimbulkan konsekuensi pada kerangka lanjutannya yang tentu akan menimbulkan serentetan pemahaman yang berbeda.

Lihat saja dalam klausul penjelasan, pendidikan kepramukaan, siapa Pembina, anggota hingga metode pengajaran. Pemerintah dalam berbagai statementnya masih juga mencampuradukkan istilah kepramukaan dengan kepanduan yang sebenarnya secara substansial jauh berbeda. Bahkan dalam perkembangannya ada beberapa kepala daerah hingga kepala Negara tidak memahami substansi kepanduan hingga kostum yang dipakainya tidak mencirikan gerakan kepanduan. Belum lagi perdebatan apakah kepramukaan ditingkat nasional saja yang satu tapi bisa beragam di daerah. Dalam salah satu Rapat Dengar Pendapat Umum yang mengundang beberapa gerakan kepanduan seperti Hizbul Wathan, Saka Dharma, Pandu PKS dan lainnya terungkap, mereka secara jelas menyampaikan aspirasi tetap menggunakan kepanduan.

Mengutip salah satu aktivis Pandu Rakyat Indonesia, R Darmanto Djojodibroto menjelaskan bahwa tujuan kepanduan adalah menjadikan anak menjadi warganegara yang bermutu, utamanya dalam karakter dan kesehatannya. Caranya dengan menangkap karakter anak-anak ketika mereka dalam keadaan antusiasme yang menyala-nyala dan menggemblengnya dalam bentuk yang benar, membimbing dan mengembangkan pribadinya, hingga mereka dapat mendidik dirinya sendiri menjadi orang baik dan warganegara yang berguna untuk tanah airnya. Perlu ditegaskan lagi bahwa kepanduan sejak semula adalah PERMAINAN yang menolong anak mengembangkan diri dengan sedikit mungkin pengawasan dari orang dewasa.

Artinya bila dikupas lebih jauh ada banyak perbedaan signifikan antara kepramukaan (yg terdapat dalam RUU) dengan metode kepanduan yang telah menjadi konsensus internasional. Setidaknya bila dirunut dari aspek sejarah. Kata PANDU, dilontarkan pertama kali oleh H Agus Salim untuk mengganti kata Padvinder yang menggunakan Bahasa Belanda. Kata ini juga terdapat dalam lagu kebangsaan Indonesia serta tercantum dalam dalam ikrar sumpah pemuda. Oleh karena itu idealnya kondisi ini tidak menjadikan kita buta pada sejarah bangsa. Bila disatukan ditingkat pusat, akan muncul kendala apakah ormas yang memiliki gerakan kepanduan bersedia menjadi bagian dari Kwarda? Mereka juga memiliki hirarki hingga tingkat nasional.

Selain itu, pasal 28 UUD menyebutkan setiap warga berhak menyatakan pendapat, berkumpul, berserikat dan berorganisasi. Bila dipaksakan, UU ini akan menghadapi judicial review dari para aktivis kepanduan. Selayaknya para wakil rakyat harus melihat secara jernih kondisi ini. Karena sebenarnya tanpa UU, toh gerakan pramuka, gerakan kepanduan atau apapun namanya bila itu muncul dari kesadaran masyarakat tentu akan aktif. Bukankah jaman dulu juga tetap eksis tanpa aturan apapun? Pun demikian, bila tanpa UU, gerakan pramuka tidak akan menjadi oleng, kisruh atau menjadi kegentingan yang teramat sangat. Jika dipaksakan, kita lihat bagaimana akhirnya?

Jumat, 13 Agustus 2010

Membangun C(er)itra

|0 komentar
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ini pada posisi yang terjun bebas di mata rakyat Indonesia setelah beberapa kinerjanya terus menerus di sorot oleh masyarakat. Kondisi ini nampaknya harus disadari betul dan dibenahi tidak sekedar oleh satu dua orang anggota namun juga secara kolektif kolegial bersama. Partai Politik sebagai pemilik maupun pihak yang berkepentingan menaikkan posisi tawar dimata rakyat harus benar-benar memperhatikan tingkah laku tersebut. Tanpa itu semua, niscaya tingkat kepercayaan masyarakat akan terus menurun.

Sudah mafhum diketahui bahwa partai politik berjuang untuk meraih kekuasaan namun bukan berarti dengan segala cara. Harus melalui cara-cara yang elegan, legal dan menguntungkan masyarakat secara umum. Awal kinerja anggota dewan periode 2009-2014 diuji dengan penelusuran kasus Bank Century yang pembahasan Pansusnya berjalan cukup panjang. Namun kini hasil rekomendasi yang berbentuk pengawasan tak kunjung jelas. Bahkan ada rumor akan dihentikan dan ditindaklanjuti. Apalagi 2 orang yang dibidik sudah memegang posisi strategis. Tentu makin sulit saja meneruskan kasus ini lebih dalam meski fakta-fakta yang terungkap dalam rapat-rapat pansus telah jelas.

Begitu berita ini meredup, muncul isu baru rencana pembangunan gedung DPR yang kata anggota dewan gedung telah miring sehingga membahayakan penghuninya. Pernyataan yang bersumber dari pengecekan PU pun telah dibantah. Hingga kini, siapa orang yang melontarkan awal rencana pembangunan gedung baru tidak jelas. Masyarakat, ahli, akademisi dan berbagai unsur mengkritik keras atas usulan pembangunan gedung baru sebagai akal-akalan anggota saja. Perlu diketahui awal dilantiknya anggota dewan periode ini terjadi gempa bumi di daerah Jakarta termasuk yang ikut “bergoyang” ya senayan. Menurut seorang teman yang menempati lantai 13, getarannya sangat terasa sehingga menimbulkan kepanikan.

Tiga bulan sesudahnya, kondisi gedung di cek dan konstruksi yang terganggu kemudian di suntik agar kembali kuat. Entah penelitian dari mana sehingga rumor gedung miring itu muncul. Belum hilang dari peredaran, ada lontaran dari salah satu fraksi pentingnya dana aspirasi anggota DPR sebesar Rp 15 M/anggota. Bila dikalikan dengan jumlah anggota 560 orang maka akan didapat anggaran trilyunan. Karuan saja isu ini menjadi pemberitaan yang kembali mendapat sorotan masyarakat. Dr Harry Azhar yang saat itu menjadi Ketua Badan Anggaran menyatakan fungsi dana aspirasi ini untuk pemerataan.

Sebenarnya gagasan ini cukup bisa diterima akal sehat hanya saja ada 2 catatan penting. Pertama, besaran nominal dengan jumlah yang sama akan menimbulkan ketimpangan antara Jawa dengan Luar Jawa. Anggaran yang bakal teralokasi di Jawa akan sangat besar karena memang Dapil terbanyak ada di Jawa. Selain itu dengan nominal sebesar itu di Jawa dapat dimanfaatkan dengan luar biasa. Sementara di luar Jawa seperti Kalimantan maupun Papua tentu tidak seberapa. Apalagi, jumlah anggota dewan dari dua pulau itu sangat minim. Maka dari itu, kalau mau direalisasikan harus mengacu pada asas proporsionalitas.

Kedua, Usulan yang akan ditangkap dengan dana aspirasi harus melalui Musrenbang. Tidak bisa anggota DPR asal mengajukan maupun hasil lobi kepala daerah dengan anggota dewan. Catatan yang perlu digarisbawahi adalah penyelenggaraan Musrenbang harus transparan, aspiratif, partisipatif dan akuntabel. Proses yang terselenggara harus benar-benar bottom up bukan top down. Sehingga program yang diajukan tidak sekedar keinginan para legislative daerah atau eksekutif local namun usulan yang melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Usulan ini sebenarnya ingin mengadopsi konsep “pork barrel” kongres Amerika. Sayangnya lontaran ini tidak secara utuh ditangkap masyarakat sehingga mentah lagi.

Entah karena masalah ini atau bukan, yang jelas kini Dr Harry Azhar Azis telah diganti oleh Melcias Mekeng. Pasca penolakan dana aspirasi, sempat muncul dana pembangunan desa Rp 1 M/desa namun perdebatannya tidak cukup panjang. Belum reda isu ini di media, public kembali dikagetkan dengan malasnya anggota dewan mengikuti sidang paripurna di DPR. Setjen sendiri diduga justru yang membocorkan dokumen kehadiran. Tercatat setidaknya dalam Sembilan bulan terakhir kehadiran wakil rakyat merosot. Bila masa sidang I (1 Oktober – 4 Desember 2009) mencapai 92,57%, dan turun pada masa sidang ke II (4 Januari – 5 Maret 2010) menjadi 84,32 % kemudian masa sidang III (5 April – 18 Juni 2010) tinggal 71,59 %. Ditengah sorotan tajam itu, anggota dewan kemudian melakukan pembelaan diri secara berlebihan.

Bahkan dalam sidang paripurna terakhir (29 Juli 2010), seorang anggota DPR menyatakan Setjen harus ditegur atas ulahnya membocorkan kehadiran anggota DPR. Gonjang-ganjing masih berlangsung, muncul isu baru yang bakal segera menguras emosi masyarakat. Pius Lustrilanang dari Fraksi PDIP menyatakan telah ada kesepakatan di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR akan mengalokasikan rumah aspirasi di daerah sebesar Rp 200 juta/ anggota sehingga dibutuhkan anggaran Rp 122 M dalam satu tahun untuk merealisasikan rumah aspirasi tersebut. Gagasan itu merupakan studi banding BURT ke Jerman dan Perancis. Kalau demikian, apakah benar berbagai isu yang dilontarkan dapat MEMBANGUN C(ER)ITRA anggota dewan yang kian hari kian merosot?