Jumat, 31 Mei 2013

Kotak Kosong Memenangi 3 Kali Pilkades Berturut-turut Di Boyolali

|0 komentar
Di Desa Dlingo Kecamatan Mojosongo Boyolali terjadi pemilihan Kepala Desa yang sudah 3 kali diulang namun sang Calon Kepala Desa kalah dari kotak kosong. Berdasarkan Perda No 11 Tahun 2006 direvisi Perda No 22/2006 dinyatakan bila pemenang belum 50% dari suara sah maka harus diulang. Hal ini dipertegas dengan Perbup 37/2006 direvisi dengan Perbup 55/2012. Dalam 3 kali Pilkades, Calon Tunggal Tahanta selalu kalah.

Bahkan suara dari kotak kosong selalu mengalami peningkatan. Pada Pilkades I (20 Maret 2013) Kotak kosong meraih 1.378, Pilkades kedua (18 April 2013) memperoleh 1.380 dan terakhir (30 Mei 2013) mendapat 1.358 suara. Sementara Tahanta secara berturut-turut suaranya turun yakni 1.142, 1.049 dan terakhir 893 suara. Dengan demikian selisih suara kian membesar. Anehnya sang Incumbent tak mau menyerah dan terus bertarung.

Masih banyak kawasan yang perlu diperhatikan
Kondisi ini harus segera diakhiri karena akan membuang banyak energi, anggaran, waktu dan banyak aspek lainnya. Masalah ini bisa terjadi karena pertama, masyarakat tidak berani memunculkan kandidat lain karena incumbent punya kekuatan yang ditakuti masyarakat. Kedua, Incumbent tidak memahami benar psikologis warganya sehingga terus saja bertarung meski faktanya kalah. Ketiga, orang lingkaran dalam Tahanta tipe ABS alias Asal Bapak Senang sehingga mengabaikan kekalahan itu.

Meski disisi lain masyarakat ada yang mengakui bahwa ada pihak yang membayar warga memilih kotak kosong. Bila dibiarkan akan merugikan warga. Kondisi desa menjadi tidak kondusif dan terpecah. Butuh segera perhatian dari pemerintah kabupaten untuk mengambil alih sementara pemerintahan desa sampai dirubahnya aturan tersebut. Sebenarnya pendaftar Cakades ada 2 orang namun dalam seleksi administratif, calon lain tidak lolos sehingga Cakades hanya bertarung dengan kotak kosong.

Pemerintah Kabupaten Boyolali perlu menangani kondisi seperti ini dengan membentuk tim untuk menghandle pemerintahan desa sementara. Kedua mendorong legislatif untuk mau merubah Perda secepatnya. Ketiga, melakukan pendekatan persuasif kepada Tahanta serta mendiskusikan kondisi yang sebenarnya. Lebih baik segera membuka lowongan Cakades baru dan melarang incumbent maupun kandidat yang sudah gugur untuk mendaftar kembali.

Harapannya akan memunculkan kandidat baru alternatif dan tidak terpengaruh kandidat sebelumnya. Kecamatan Mojosongo terletak diperkotaan sehingga tidak mungkin mengalami krisis Cakades. Legislatif juga tak perlu menunggu permohonan revisi perda dari eksekutif dan segera melakukan terobosan dalam membantu masyarakat Dlingo. Tindakan ini juga sebagai upaya menyelamatkan masyarakat supaya tidak terkotak-kotak dalam konflik tidak perlu.

Daftar Nama Anggota DPR Yang Tukang Bolos

|0 komentar

Dalam tulisan saya sebelumnya tentang anggota DPR yang membolos pada sidang Paripurna adalah nama-nama yang sudah tidak asing. Selain sebagian merupakan Pimpinan DPR RI, mereka juga pejabat teras di Parpol masing-masing.

Bila dikaji lebih mendalam ternyata dalam 1 periode masa sidang ada anggota DPR yang benar-benar tidak pernah hadir di Sidang Paripurna. Dalam rilis disebutkan membolos, tentunya tanpa ijin. Pun demikian yang tandatangan dalam daftar presensi kadang tidak selalu ikut sidang. Ada beberapa yang cuma mengisi daftar hadir namun tidak masuk ruang sidang.

Bisa jadi ada yang ikut sebentar atau tidak melanjutkan sidang setelah rehat siang. Perlu diketahui setiap selasa dalam 1 masa sidang (4 bulan) rapat paripurna yang diselenggarakan kadang memakan waktu lama. Jarang sekali paripurna selesai jam 14.00 sebab mulai sidang saja sudah pukul 10.00 - 11.00. Apalagi materi pembacaan sidang lebih dari 1 agenda pengesahan undang-undang.

Dari daftar anggota DPR RI yang tidak hadir dalam masa sidang sepanjang 2012, ada 10 anggota dewan yang absen penuh selama 1-2 masa sidang. 1 Kali masa sidang adalah 2- 4 bulan yang terdiri dari rapat komisi dan 1 bulan untuk Kunker serta reses. Dalam masa 2-4 bulan itulah, setiap Selasa digelar Paripurna untuk pengesahan RUU.

Badan Kehormatan pertengahan Mei mengumumkan nama-nama anggota DPR yang membolos. Dalam kurun 4 Masa Sidang setidaknya terdapat 10 nama yang sama sekali tidak pernah hadir dalam Paripurna 1 masa sidang. Dari kesebelas nama tersebut, ada 2 orang yang sama sekali tidak hadir di 2 kali masa sidang yakni Widjono Harjanto dari Gerindra yang tak hadir di Masa Sidang III dan IV serta Taufik Kiemas dari PDI Perjuangan.

13697608762041448801Adapun ke 10 anggota DPR lain berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (Rofi Munawar dan Fachri Hamzah), Golkar (Zulkarnain Jabar dan Chaeruman Harahap), PDI Perjuangan (Taufik Kiemas, Panda Nababan, Soewarno, Syarif Bastaman, Rieke Dyah Pitaloka) dan Gerindra (Widjono Harjanto).

Pengumuman ini banyak diapresiasi oleh masyarakat. Namun sayangnya tak ada kabar dari partai bersangkutan. Apa sanksi bagi mereka? Selayaknya mereka yang memegang amanah dari konstituen ini menjelaskan kenapa mereka tidak hadir sepanjang masa sidang. Lantas apa makna representasi, wakil, mandat dari rakyat bila mereka abai?

Masih banyak orang yang jauh lebih memiliki dedikasi dan kapasitas yang memadai menjadi wakil rakyat. Namun melihat nama-nama pembolos itu, sepertinya mereka aman dari sanksi partai. Bila begitu, jangan salahkan bila di Tahun 2014 kelak mereka (yang masih mencalonkan diri) tak dipilih oleh rakyat.

Daftar diatas merupakan rekapitulasi kehadiran anggota DPR dalam sidang Paripurna 0 persen. Apalagi bila presensi yang diumumkan sampai setingkat Komisi, mungkin akan ada puluhan hingga ratusan nama. Mari kita terus dukung upaya BK DPR RI agar secara rutin mengupdate informasi tentang hal ini. Pimpinan Parpol tidak boleh menutup mata, harus ada sanksi yang tegas tidak hanya beretorika saja.

Rabu, 29 Mei 2013

Layakkah Kesejahteraan Lurah Di Solo Naik?

|0 komentar
Gagasan menaikkan tunjangan lurah yang dikemukakan Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Solo memang patut diapresiasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan sosial jabatan lurah cukup tinggi baik untuk menghadiri undangan dari masyarakat maupun kegiatan yang berhubungan dengan jabatan di wilayah. Tunjangan jabatan lurah selama ini sebesar Rp 1,5 juta dan diusulkan oleh Walikota menjadi Rp 2 juta pada Tahun 2014. Harapannya agar kinerja dan pungli yang pernah mencuat di Kratonan tidak terjadi lagi.

Sebuah harapan yang wajar namun setidaknya ada beberapa catatan sebelum kebijakan ini diterapkan. Jabatan lurah dan camat merupakan jabatan pembina disebuah wilayah atau teritori. Hingga saat ini masyarakat tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya pertanggungjawaban atas jabatan ini. Memang kewenangan pengangkatan dan pemberhentian adalah milik kepala daerah namun selayaknya diupayakan terobosan agar penilaian atas kinerja Lurah dan Camat akan lebih fairness.

Kebersihan lingkungan pantas jadi indikator (Photo by Ardian YKKS)
Kepala daerah saja yang dipilih langsung masyarakat malah bertanggungjawab kepada legislatif. Buat saja formula penilaian kinerja lurah secara umum. Bisa terkait pembinaan terhadap masyarakat, hubungan dengan kelembagaan yang ada, bagaimana menjaga ketentraman, keamanan dan lain sebagainya. Bisa juga sikap dan pribadi dinilai. Penilaian sebaiknya tertutup dan terbatas pada organisasi maupun tokoh masyarakat setempat. Hal ini bukan menjadi penentu utama tetapi tambahan pertimbangan penilaian yang dilakukan Baperjakat.

Maka dari itu wacana menaikkan tunjangan kesejahteraan tidak berkutat pada setuju atau tidak setuju namun apa parameternya? Berikut beberapa hal yang bisa dijadikan tambahan penilaian penentuan tambahan tunjangan untuk lurah.
1. Bagaimana kinerja kepala kelurahan dalam setahun terakhir. Hal ini penting agar lurah yang malas otomatis tidak mendapat tambahan tunjangan kesejahteraan. Dia harus bekerja lebih giat dengan mau mendengar, melihat dan bekerja sesuai kebutuhan masyarakat.

2. Tiap wilayah besaran tunjangannya tidak sama Rp 2juta tetapi disesuaikan dengan beban kerja. Bagaimana bisa di Kepatihan Kulon tunjangannya Rp 2 juta dan di Kadipiro, Nusukan atau Jebres juga sama besarnya. Hal ini pasti akan menimbulkan kecemburuan serta harapan kinerja yang membaik tidak akan diperoleh.

3. Beberapa indikator tentu tidak sekedar luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah RW namun bisa jadi penilaian masyarakat bisa menjadi komponen atau faktor penilai juga. Kasihan lurah yang rajin, cekatan, ringan tangan dan mendengar warganya mendapat tunjangan yang sama dengan lurah yang malas.

4. Pungli tidak bisa dijadikan alasan bahwa tunjangan kesejahteraan lurah dinaikkan. Walikota harus memberi alasan yang lebih masuk akal karena kasus pungli terungkap hanya di Kratonan, 1 kelurahan dibandingkan dengan 51 kelurahan.

5. Faktor program DPK yang mendukung RPJMD layak menjadi faktor tambahan yang signifikan untuk memberi tambahan nilai. Sehingga lurah tidak sekedar mau mendengar dan bekerja berdasarkan rakyat tetapi juga menjalankan kebijakan daerah.

Maka dari itu sangat penting merumuskan indikator penilaian kinerja lurah terlebih dahulu dibanding asal menaikkan saja. Pemerintah Kota Solo harus mulai belajar dalam mengapresiasi sesuatu tidak boleh memakai ukuran asal-asalan seperti yang dicontohkan pemerintah pusat. Dalam bekerja, birokrasi harus berlandaskan target kinerja bukan bisnis as usual.

Selasa, 28 Mei 2013

DPR Pembolos Itu Orang TOP

|0 komentar
 Miris juga membaca rilis anggota DPR RI yang suka membolos di rapat paripurna yang diumumkan oleh Badan Kehormatan DPR RI. Mereka rata-rata bukan orang sembarangan. Setidaknya orang yang memiliki jabatan penting di Parpol yang bersangkutan. Makanya pasca rilis itu tak ada tindakan apapun dari Fraksi apalagi Parpol asal anggota itu.

Idealnya pengumuman dewan pembolos di paripurna dilanjutkan dengan pengumuman oleh tiap komisi, siapa saja yang kerap absen dalam rapat-rapat komisi tanpa alasan yang jelas. Karena memang ada beberapa anggota DPR yang terlibat dengan pekerjaan lain di badan atau panitia kerja yang kadang waktunya digelar bersamaan. Sehingga bagi Fraksi dengan anggota minim akan kerap absen.

DPR RI biasanya rutin menggelar Sidang Paripurna setiap hari Selasa kecuali Masa Reses selama Sebulan. Satu kurun masa sidang ada 4 bulan. 3 bulan untuk rapat-rapat dan sebulan diisi kunjungan kerja komisi serta Reses ke Dapil. Selama kurun tahun 2012, ada 4 kali masa sidang yakni Masa Sidang III para kurun (9 Januari - 12 April) , Masa Sidang IV (14 Mei - 13 Juli), Masa Sidang Ke I (16 Agustus - 12 Oktober) dan Masa Sidang II (19 November - 14 Desember).

BK DPR RI belum lama ini mengumumkan tingkat kehadiran anggota DPR RI dibawah 50 persen. Artinya dari 12 kali Paripurna dalam 1 Masa Sidang, yang kehadirannya kurang dari 6 kali lah yang diumumkan Badan Kehormatan.

 Dari prosentase kehadiran anggota fraksi, PDI Perjuangan menempati prosentase jumlah anggota terbanyak yang membolos dari Fraksinya yakni 33 persen. Diikuti PPP (32 %), Partai Gerindra (31 %), PKB (29 %) dan paling tinggi prosentase kehadirannya yakni Hanura (2 %) (lihat grafis).

Sedangkan nama pembolos yang tingkat kehadiran kurang dari 50 persen selama 4 kali masa sidang ada 1 orang (Hajrianto Tohari/Golkar), 3 kali masa sidang ada 7 orang dari 3 partai yakni Anis Matta dan Lutfi Hasan Ishaq (PKS), Pramono Anung, Taufiq Kiemas, Syarif Bastaman, Rahmat Hidayat (PDI Perjuangan) serta Taufiq Kurniawan (PAN).

Mereka adalah petinggi-petinggi partai bersangkutan bahkan Anis dan Lutfi adalah Sekjen dan Presiden PKS (di Tahun 2012). Demikian pula Pramono Anung (Sekjen PDIP/Wakil Ketua DPR), Taufik Kurniawan (Wakil Ketua DPR/DPP PAN).

Bagaimana dengan anggota biasa? Bisa jadi ketidakhadiran mereka karena kesibukan atau padatnya jadual mereka. Wajar bila kemudian muncul tuntutan bahwa tidak boleh ada rangkap jabatan supaya mereka tidak mengkhianati konstituen. Itu baru daftar yang diumumkan dengan kehadiran dibawah 50 persen. Apalagi bila yang diumumkan semua yang pernah tidak hadir di Paripurna meskipun sekali.

HL di Kompasiana 28 Mei 2013 (http://politik.kompasiana.com/2013/05/28/dpr-pembolos-itu-orang-orang-top-563279.html)

Sabtu, 04 Mei 2013

Underpass, Solusi Atasi Kemacetan Yang Keliru

|0 komentar
Semakin berkembangnya sebuah kota, maka perlu penataan kota yang nyaman agar masyarakat betah dan merasa tenang berdiam diri. Salah satu unsur yang dijadikan patokan adalah rekayasa lalu lintas. Pesatnya pertumbuhan ekonomi telah menjadikan pertumbuhan alat transportasi pribadi begitu cepat. Disisi lain, pertumbuhan jalan prosentasenya tidak sampai 2 digit. Akibatnya dapat ditebak, diberbagai wilayah terjadi kemacetan.

Hal ini mendorong pemerintah daerah melakukan rekayasa lalu lintas supaya alur transportasi kembali normal. Berharap pada penggunaan kendaraan umum maupun pembatasan atau regulasi penjualan kendaraan pribadi bukan solusi jitu. Pemerintah pusat nampaknya lebih suka menikmati pertumbuhan ini dibanding melihat betapa kacaunya lalu lintas di berbagai wilayah di Indonesia. Pengelolaan jalur transportasi yang sering terkendala adalah persimpangan jalan dengan rel perlintasan kereta api.

Salah satunya yang tahun 2013 ini dibuka yakni Underpass Makamhaji Sukoharjo. Walaupun demikian, pasca pembukaan underpass tersebut ternyata bukan solusi jitu mengatasi keruwetan lalu lintas. Yang terjadi malah masalah baru yang sebelumnya tidak dibayangkan oleh Pemda. Disisi barat maupun timur dan tengah (arah Gawok) justru muncul titik kemacetan baru terutama pada jam keberangkatan dan pulang kerja. Nampaknya kajian yang dilakukan oleh pihak terkait tidak benar-benar matang.

Underpass Makamhaji Pada Hari Libur
Lebih miris lagi, ditahun-tahun mendatang Kota Solo malah mengajukan 5 underpass baru. Di Kota Solo sendiri sudah memiliki 1 underpass yakni di kawasan Gilingan yang tidak juga efektif. Ketidakefektifan itu dari ketinggian antara titik jalan dengan rel maupun kondisi saat hujan deras yang airnya selalu tergenang. Akibatnya bila hujan deras maka jalur ini akan ditutup. Melihat kondisi tersebut, Pemkot Kota Solo mengajukan 5 underpass baru yang tidak akan efektif mengatasi kemacetan.

Kenapa? Karena perlintasan kereta di 5 titik yang diajukan itu yakni Purwosari, Manahan, Turisari, Balapan dan Viaduct gilingan (underpass pertama). Seperti kita tahu 4 titik yang disebut pertama sesungguhnya bukan murni 2 perlintasan kereta dengan jalan raya. Di Purwosari sebenarnya ada 5 jalan utama, di Manahan ada 7 jalan utama, di Turisari 4 jalan utama dan di Balapan 4 jalan utama. Yang rekayasa lalu lintasnya akan sangat sulit dilakukan yaitu di Purwosari dan Manahan.

Sebab hal ini menyangkut tidak saja jalan raya biasa tetapi jalan besar dan padat. Di Purwosari misalnya 5 titik utama itu menyangkut Jalan Agus Salim, Jl Slamet Riyadi (Stasiun), Jalan Transito. Ketiganya berada di Timur rel kereta dan sebelah barat yaitu menuju pertigaan kerten serta ke arah manahan. Ke 5 jalur ini sangat dekat (tidak lebih dari 100 meter) sehingga akan menyulitkan dalam pengaturan setelah underpass tersebut jadi.

Idealnya Kementrian Perhubungan mengkaji ulang seluruh design yang diajukan oleh Pemerintah Kota Solo. Untuk kurun jangka panjang, sebagainya dibuat jalur diatas untuk rel kereta api sehingga jalan raya tetap begitu. Dari aspek budget pasti dibutuhkan anggaran lebih besar namun impact lebih konkrit untuk jangka panjang. Buat saja rel kereta diatas sejak stasiun Gawok sehingga tersedia cukup jarak ketika memasuki Kota Solo akan tepat berada di ketinggian ideal.

Lahan dibawahnya bisa dimanfaatkan banyak hal seperti lahan relokasi PKL, Ruang terbuka hijau, tempat parkir, perpustakaan komunitas dan lain sebagainya. Potensi pemanfaatan ini bila dikalkulasi dengan anggaran dan kemacetan yang terurai justru manfaatnya akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan membangun underpass. Lihat saja kawasan Jakarta pusat di Stasiun Gambir, Gondangdia dan sekitarnya. Jauh lebih optimal dibandingkan dengan stasiun Senen, Jatinegara, Manggarai dan lain sebagainya.

Jumat, 03 Mei 2013

Hattrick WTP Pemkot Solo, Aneh

|0 komentar
Pemerintah Kota Solo kembali meraih predikat Wajar Tanpa Perkecualian (WTP) untuk ketiga kalinya (hattrick) setelah sebelumnya pada tahun 2010 dan 2011. Predikat ini diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang sesuai dengan aturan. Meski demikian, seharusnya BPK dalam melakukan penilaian tidak sekedar memenuhi azas-azas tertib administrasi saja namun penting melihat siklus pengelolaan keuangan daerah yang normal.

Bagaimana bisa WTP diperoleh bila banyak alokasi keuangan yang cair setelah bulan Mei. Pemerataan alokasi pekerjaan yang tidak sama menunjukkan adanya ketimpangan ini. Artinya sejak Januari hingga April tidak ada kegiatan yang signifikan terhadap serapan anggaran. Secara normatif saja hal ini tidak bisa dipenuhi. Banyak kegiatan yang terserap pada catur wulan ketiga dan keempat. Artinya proporsi perencanaan dan pengelolaan kegiatan ada yang bermasalah.

Manahan, Kawasan Potensi PAD
Perolehan WTP ini bisa dicatat sebagai prestasi pertama Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Solo. Hanya dia yang sudah 7 tahun sebagai Wawali seharusnya paham dan mengerti bagaimana mereformasi pengelolaan keuangan daerah. Ir Joko Widodo sudah meletakkan tonggak penataan keuangan daerah yang baik dan tertib sesuai aturan. Nah kini menjadi pekerjaan lanjutan bagi Rudy sebagai kepala daerah sebab selama periode I Jokowi sebagai walikota tak pernah muncul persoalan serapan keuangan daerah pada catur wulan I bermasalah.

Peran penting lain harus diambil oleh Sekda yaitu Budi Suharto yang memang cukup kapabel dalam mengelola birokrasi. Budi layaknya Sekda Qomarudin dulu yang mampu memanajemen birokrasi secara tepat. Pengelolaan keuangan daerah tidak hanya membutuhkan orang yang tepat dan mampu namun juga mau meningkatkan kinerjanya. Penting juga mengevaluasi penempatan personil-personil kepala SKPD atas implementasi dilapangan.

Dalam pemberitaan media lokal disebutkan serapan hanya 5 persen menjelang berakhirnya Catur wulan kedua, mengindikasikan problem keuangan tahun 2013 mengulangi kejadian yang sama di tahun 2012. Belum lagi Silpa 2012 tercatat hingga Rp 200 M lebih. Sayangnya wakil rakyat dalam LPJ Pertanggungjawaban kepala daerah tidak banyak mempertanyakan hal ini. Bila dilihat dari kinerja keseluruhan bisa saja dianggap baik.

Dalam evaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri, posisi Kota Solo melorot menjadi ke 7 dengan nilai 3,0283. Kalah dengan Kota Tangerang yang menduduki peringkat pertama. Terkait hal ini, Rudy sempat menegur birokrasi agar tak menurunkan kinerja. Seharusnya sebagai walikota, Rudy harus mengevaluasi penyebab hal ini. Tentu raihan prestasi bukan karena pujian namun sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah.

Birokrasi memang lebih suka melaksanakan kegiatan pada semester akhir karena anggaran telah tersedia. Lantas bila pada catur wulan awal yang dilaksanakan hanya pembayaran gaji pegawai saja, bagaimana kinerja mereka? Kajian ini fokus pada SKPD yang memang non pelayanan publik. Bagi SKPD Pelayanan Publik seperti sekolah, puskesmas, kelurahan tentu tak termasuk karena mereka tiap saat melayani masyarakat. Pak Rudy, ayo segera benahi!