Senin, 24 Desember 2012

Pos Dan Waktu Anggaran (APBD) Membengkak

|0 komentar
Sebagai pegangan dalam pelaksanaan pembangunan, APBD memiliki peran strategis dalam memajukan wilayah. Semakin meningkat APBD biasanya akan berkorelasi dengan makin meningkatnya anggaran pembangunan meski secara prosentase kadang tidak selalu seiring. Sudah banyak difahami bahwa anggaran daerah banyak dihabiskan oleh belanja pegawai sedangkan belanja pembangunannya tidak atau jarang beranjak naik secara signifikan.

Prediksi stagnannya anggaran pembangunan itu disaat tak ada aktivitas politik secara nasional maupun lokal. Tetapi bila daerah atau nasional mempunyai gawe, maka kita bisa lihat pada pos tertentu memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Setidaknya ada 2 hal yang bisa mengakibatkan APBD terlihat "tidak seperti biasanya". Dua hal tersebut yaitu pos alokasi anggaran dan waktu tertentu yang bisa mengakibatkan pos tidak terlihat seperti biasanya.

Untuk waktu-waktu yang biasanya mengubah alokasi adalah kegiatan seperti pemilu, pilpres, pilgub maupun pilkada. Hal ini pasti akan banyak mengalihkan anggaran baik untuk KPU, Panwas, Penyelenggara pemilu ditingkat bawah, pengamanan dan lainnya. Puluhan miliar akan terserap bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan mengakibatkan alokasi pembangunan menjadi berkurang. Entah pelaksanaan berbarengan atau tidak yang jelas kondisi tersebut sangat berpengaruh pada kestabilan APBD.

Aktivitas warga miskin Ketelan Solo (photo by Ardian YKKS Solo)
Sementara pos-pos yang biasanya digunakan untuk biaya politik berada pada pos bantuan sosial dan hibah kepada lembaga-lembaga lain termasuk instansi vertikal. Disinilah pos-pos itu berubah drastis bila ada Pilkada dan model seperti ini dengan mudah kita baca. Sayangnya seperti satu paket, jarang wakil rakyat yang kemudian secara jeli melihat perubahan alokasi di belanja pembangunan. Harusnya legislatif mampu menekan Pemda agar terus dan konsisten dengan RPJMD yang sudah disusunnya.

Pembengkakan anggaran ini pula yang menjadikan salah satu isu penting dari revisi UU Pemerintah Daerah maupun RUU Pilkada. Bila dipilih langsung biayanya besar namun bila melalui DPRD maka pemimpin yang dihasilkan legitimasinya bisa dipertanyakan. Maka muncul alternatif untuk Pilgub dipilih oleh DPRD sementara Pilbup/Pilwali tetap menggunakan pemilihan secara langsung. Sebenarnya model ini juga tidak benar dan mengandung makna cari mudahnya saja.

Biaya berdemokrasi memang mahal dan oleh karenanya tidak boleh rakyat kemudian salah pilih yang akan mengakibatkan kerugian lebih besar di masyarakat. Upaya yang dilakukan legislatif mengalihkan pemilihan gubernur pada DPRD telah menciderai hati nurani masyarakat. Dulu saat pilkada dilakukan oleh DPRD banyak yang terpilih justru yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Maka dari itu, sebelum kematangan berpolitik mencapai kedewasaan sebaiknya Pilkada tetap berada di masyarakat.

Sabtu, 22 Desember 2012

Kesiapan Parpol Jelang Pemilu 2014

|0 komentar
Jelang Pemilu 2014, KPU melakukan verifikasi faktual atas keberadaan partai politik di daerah dan hasilnya sungguh sangat mengecewakan. Dibeberapa daerah ternyata mereka tidak bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki basis pengurus yang legitimate untuk mengikuti Pemilu. Berdasarkan pantauan media di eks karesidenan Surakarta saja, beberapa parpol besar yang memiliki wakil di DPR dinyatakan tidak lolos. Sebut saja PKB di Kota Surakarta gagal lolos verifikasi.

Bagaimana sebenarnya partai politik menghadapi pemilu 2014 bila di kawasan yang semestinya mereka bisa lolos ternyata tidak memenuhi syarat? Sulit diterima akal bahwa mereka berargumentasi pihak KPU memiliki kelemahan. Sebab wilayah Solo raya relatif mudah diakses, teknologi juga aksessible, kondisi geografis tidak sulit dan pengecekan dilakukan untuk kepengurusan kabupaten kota. Artinya, seharusnya mereka bisa menunjukkan data-data valid atas kepengurusan.

Di Solo ada 3 parpol yang tak lolos dikarenakan banyak nama atau alamat fiktif. Sedangkan di Wonogiri ada 6 Parpol yang gagal yakni Hanura, PBB, PDP, PPN, PPRN dan PKBIB. Di Sukoharjo ada PKPI dan PDP yang tidak berhasil melewati verifikasi. Di Kabupaten Klaten ada 5 partai yakni PBB, PDP, PKPI, PPRN serta PPN. Di Boyolali PDP dan PKBIB yang tidak memenuhi persyaratan yang ada. Di Karanganyar ada PDP, PBB dan PPN yang gagal. Sementara Sragen ada PPN, PKBIB, PKPI dan PDP menemui jalan buntu.

Foto Kampanye salah satu bupati di Kaltim (berkacamata). Photo by facebook.com
Seperti kita tahu rata-rata partai tersebut sebenarnya sudah lama eksis atau tokohnya banyak berkiprah dilevel nasional. PBB misalnya pernah menempatkan Yusril Ihza Mahendra sebagai menteri, PDP banyak berkiprah politikus dari PDIP, PKPI dipenuhi mantan TNI yang pangkatnya jenderal sehingga sulit diterima akal kalau mereka gagal mengkonsolidasikan diri menyiapkan partai. Berdasarkan hal tersebut patut dipertanyakan bagaimana keseriusan mereka menghadapi pemilu.

Memang akan banyak argumen yang bisa mereka lontarkan namun riskan rasanya bila KPU dalam melakukan verifikasi seadanya saja. Toh pengecekan administrasi dibuat acak dan ditentukan oleh KPU Pusat siapa-siapa saja nama pengurus maupun anggota yang akan didatangi. Pemberitaan di Solopos edisi 20 Desember itu memuat beberapa fakta salah satunya mengenai kantor parpol yang bersangkutan. Di edisi lain bahkan ada satu keluarga masuk daftar beberapa pengurus partai.

Rupanya banyak politikus yang ingin mengambil jalan instan saja dan tidak menghidupi parpol sebagaimana layaknya sebuah institusi. Inilah salah satu konsekuensi dari era kebebasan dan adanya pembatasan dalam berpolitik terutama parpol dilarang memiliki perusahaan. Demikian pula dengan netralitas TNI/Polri, Pelarangan PNS menjadi pengurus parpol dan masih banyak lainnya. Ada banyak dilema bila aturan-aturan tersebut dibiarkan karena Indonesia terhitung baru saja menerapkan demokrasi yang sesungguhnya.

Pada era pemerintahan Soeharto sebenarnya tidak ada demokrasi. Ada pengebirian parpol, pembatasan media, penguasaan media oleh negara, tidak ada kebebasan berserikat dan berkumpul, adanya perwakilan TNI di parlemen serta berbagai kondisi lainnya. Otomatis  demokratisasi yang dibangun baru sejak Tahun 1999 dimana era multi partai benar-benar diberlakukan. Maka dari itu, kita lihat di masa mendatang apakah masih ada partai yang tidak serius mempersiapkan dirinya menghadapi pemilu.

Jumat, 21 Desember 2012

Menjadi Narasumber di Redaksi Media Harian

|0 komentar
Jum'at (21/12) siang jelang sore tiba-tiba hp berdering. Seorang teman mengabarkan agar saya menggantikan dirinya berbicara tentang Analisa APBD di sebuah redaksi koran harian. Awalnya agak ragu sebab data yang dimiliki tak lengkap, tak melakukan analisis secara mendalam serta permintaan berbicara juga mepet. Jujur tak siap untuk presentasi. Katanya, akan ada yang menghubungi dari media itu, seseorang yang berasal dari kota kelahiran yang sama.

Benar juga, tak lama berselang telpon berdering. Ternyata kawan lain yang sudah dikenal dan menempati posisi redaktur. Katanya cuma diminta berbicara tentang bagaimana cara analisis APBD agar teman-teman wartawan faham dengan hal itu. Langsung saja saya cari berbagai dokumen tentang APBD, regulasi dan teknik menganalisanya. Yang agak membuat sulit adalah, mereka wartawan yang tentu memiliki analisa cukup mendalam. Bila tak menyampaikan hal yang menarik pilihannya 2 yakni kalau tidak didiamkan saja (tak ada pertanyaan) atau malah "diadili".

Menjadi peserta workshop (photo by YSKK)
Akhirnya saya susun puzle-puzle kecil atas ide yang berserakan, siapkan materi kasar dan baru disusun ulang. Untuk menguatkan argumentasi, saya sertakan pula analisa atas APBD Kabupaten/Kota Se eks Karesidenan kurun waktu 5 tahun. Untungnya data ini sudah siap dan memang sering dipakai untuk membuat analisis di blog kesayangan ini. Agak keteteran di soal regulasi karena memang sudah banyak yang diperbaharui sehingga apa yang bisa disajikan saja yang ditayangkan.

Setelah menunggu sebentar, sebelumnya ada semacam pengarahan dari redaktur-redaktur senior, waktu diberikan. Sekitar 30an jurnalis ada diruangan. Hemmmhh agak merinding juga berhadapan dengan mereka apalagi yang ditakutkan bila ada yang faham cukup detil tentang regulasi. Namun perasaan itu dibuang sebab jarang ada wartawan yang mau menghapal regulasi apalagi liputan mereka kewilayahan bukan sektor. Slide demi slide ditayangkan dan tak lupa contoh-contoh analisis.

Rupanya beberapa orang tertarik mengupas lebih dalam. Ada pula yang menyeret ke hal-hal yang terkait strategi mereka dilapangan yang semestinya bisa saya tolak. Kan mereka lebih jago dibandingkan saya. Data APBD se eks karesidenan yang ditampilkan lumayan membuat mereka tertarik. Beberapa diantaranya bahkan faham dengan tampilan itu serta memberikan respon. Sayangnya respon mereka masuk ke teknis bagaimana data bisa seperti itu. Nah itu bukan wilayah saya.

Akhirnya pertemuan berakhir pukul 22.15 dan masih ada juga yang mengejar dengan beberapa pertanyaan. Yang agak mengkhawatirkan yakni diumumkannya no hape sehingga semua tahu. Agak was-wasnya adalah permintaan komentar di semua kabupaten/kota untuk soal anggaran. Ini bukan soal kapasitas namun kesempatan bagi orang-orang lokal untuk tampil dan menunjukkan kapasitasnya.

Selasa, 30 Oktober 2012

RPJMKel Memangkas Ribetnya Musrenbangkel

|0 komentar
Sudah banyak kajian yang dikupas mengenai perencanaan, utamanya perencanaan ditingkat kelurahan yang hingga kini tak efektif. Hal ini bisa dibaca dalam tulisan-tulisan sebelumnya di laman tentang Musrenbang. Lantas ada tawaran yang sebenarnya bukan gagasan baru yakni membuat perencanaan jangka menengah ditingkat kelurahan. Kenapa bukan baru? karena gagasan ini muncul sudah sejak Musrenbangkel di inisiasi tahun 2000 namun sayangnya tidak bisa implementatif.

Apalagi saat itu kebijakan di level nasional belum ada. Banyak kejanggalan sebenarnya bila belum keluar kebijakan tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kelurahan sebab pada level pusat, propinsi, kabupaten/kota bahkan desa sudah mencantumkan hal itu. Apa yang membedakan antara desa dan kelurahan sehingga sistem perencanaannya berbeda? Bukankah kota dan kabupaten mendapat perlakuan sama? bukankah substansi perencanaan itu harusnya memang terdesign secara matang?
Salah satu acara Musrenbangkel

Di Solo, kajian atas implementasi Dana Pembangunan Kelurahan tahun 2009 - 2011 yang dilakukan Solo Kota Kita menunjukkan implementasi DPK yang banyak "menyeleweng". Banyak yang tidak sesuai dengan perencanaan (Musrenbang). Tidak sedikit pula prosentase anggaran untuk kelembagaan. Atau masih ada sistem bagito dan otomatis efek dari DPK makin tak berimbas kemana-mana. Disinilah letak pentingnya merevitalisasi Musrenbang pada tempat yang sebenarnya.

Bila kelurahan memiliki RPJMKel, maka banyak keuntungan yang bisa dipetik. Keuntungan itu didapat oleh berbagai elemen yang terkait dengan perencanaan baik masyarakat, kelurahan, SKPD hingga pihak lain yang berkepentingan membantu masyarakat. Harapannya RPJMKel disusun tahunan, akan memudahkan koordinasi program dan pembagian kewenangan penanganan. Penyusunan dokumen tersebut hendaknya juga tidak terlalu rumit sehingga tidak menyulitkan masyarakat.

Ruang-ruang Musrenbang diharapkan akan lebih banyak fokus pada masalah-masalah yang sudah direncanakan selama 5 tahun sehingga tidak lagi muncul usulan parsial, tidak berdampak dan tidak menyelesaikan masalah utama yang dihadapi warga. Sayangnya isu ini tidak cukup menarik dikritisi banyak pihak meski mereka harus melakukan hal yang sama tiap tahunnya.

Yang jelas, inisiasi pembuatan RPJMKel ini tidak menyalahi regulasi sebab mengacu pada aturan yang digunakan diatasnya seperti RPJMKab/Kota, RPJM Propinsi hingga tingkat pusat sudah diatur. Inilah hal yang melandasi agar tingkat efektifitas anggaran yang dikelola masyarakat lebih berdaya guna dan bermanfaat. Tidak ada lagi usul pengadaan tikar, bolo pecah, sound system yang kesannya tidak perlu tetapi diada-adakan.

Rabu, 24 Oktober 2012

Siapa Layak Dampingi Rudy Jadi Wawali?

|0 komentar
Jumat (19 Oktober 2012) merupakan sejarah bagi Hadi Rudyatmo, Wakil Walikota Solo yang naik jabatan menjadi Walikota. Dia menggantikan Joko Widodo dikarenakan mengundurkan diri pasca terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012 - 2017. Hampir tidak ada yang menyangka bahwa kini pria mantan pekerja di sebuah pabrik di Sukoharjo bakal memegang tongkat kekuasaan di Kota Solo.

Rudy memiliki peran penting dalam kancah perpolitikan lokal dan setidaknya track record di PDI Perjuangan patut di apresiasi. Meski tidak ada prestasi spesifik yang fenomenal, setidaknya mampu memenangkan kursi Pilkada 2 kali menjadi kredit point tersendiri. Walau dalam pemilu serta Pilpres 2004 dan 2009 PDI Perjuangan kalah dengan Partai Demokrat, tidak berlaku saat Pilkada.

Pasangan Joko Widodo - Hadi Rudyatmo mampu membalikkan prediksi masyarakat bahwa pemenang pemilu dan pilpres otomatis memenangkan Pilkada. Dengan selisih hanya 1 tahun dari Pemilu dan Pilpres, Rudy mampu mematahkan hal itu. Kondisi sosial politik Kota Solo relatif aman dan tentram, tidak ada gejolak yang cukup signifikan. Kasus bom bunuh diri di sebuah gereja dan konflik warga sulit dikatakan penyebabnya kepemimpinan mereka.
Hadi Rudyatmo di acara lomba lukis anak-anak

Hal ini bisa dilihat bahwa pasca kejadian bom bunuh diri maupun konflik warga tidak berkepanjangan. Beberapa tersangka teroris yang ditangkappun bukan melakukan aksi latihan dan berkumpul di Solo melainkan hanya sebagai daerah transit. Lantas, siapa yang cocok mendampingi Rudy yang kini sudah memegang jabatan sebagai Walikota?

Beberapa partai politik, ormas, pemuda dan elemen lain sempat memunculkan nama. Berhubung Walikota terpilih dan wakilnya diajukan PDI Perjuangan maka yang memiliki hak menentukan sosok itu ya PDI Perjuangan. Ada beberapa kriteria yang sudah saya tuliskan sebelumnya di sini dan PDI Perjuangan memiliki penilaian tambahan. Memang tidak harus warga Solo, cuma di Solo sendiri terdapat tokoh-tokoh yang mumpuni, memiliki kapasitas dan patut diperhitungkan.

Adapun calon Wakil Walikota yang tepat mendampingi Walikota yaitu pertama, Drs H Qomarudin MSi. Beliau mantan birokrat tulen, cerdas, bisa diterima banyak pihak serta relatif bersih. Pernah menjabat beberapa posisi penting diantaranya Ketua Bappeda dan Sekda. Antara Qomarudin dan Rudy pernah berjalan bersama saat itu Rudy sebagai Wawali pada awal terpilihnya Jokowi - Rudy periode pertama lalu. Artinya mereka sudah saling tahu serta bisa saling memahami.

Qomarudin diterima dibanyak kalangan dan gagasan-gagasannya patut diapresiasi seperti terobosan Musrenbang. Posisi Sekda yang pernah diembannya menjabarkan dia diterima Parpol, pernah menjadi Ketua Bazis Solo yang berarti dekat dengan kalangan beragama, pernah menjabat Ketua PMI yang artinya dekat dengan organisasi sosial dan lainnya.

Posisi Sekda juga mengindikasikan beberapa pejabat SKPD sekarang adalah mantan anak buahnya. Jadi relatif tidak ada resistensi. Hanya saja kelemahannya pernah disinggung-singgung soal kasus buku ajar pertengahan tahun 2005an. Meski begitu, dia tak terbukti turut berperan. Kandidat kedua ya Budi Suharto yang saat ini menjabat sebagai Sekda. Dengan Rudy otomatis sudah klop, tak butuh penyesuaian. Banyak yang menilai Budi Suharto adalah sosok yang tepat.

Sampai saat ini tidak ditemukan kasus-kasus yang bisa mengurangi kredibilitasnya. Masa pensiunnya juga masih lama sehingga Budi bisa cuti diluar tanggungan negara. Kandidat dari Parpol bisa saja diajukan misalnya Bimo Putranto, yang memiliki keunggulan muda, pengusaha, punya visi, jaringan banyak, pernah jadi anggota DPRD dan bersih. Hanya apakah dia mudah diterima oleh partai lain, ini yang perlu diuji aksepbilitasnya.

Sedangkan kalangan pengusaha yang sempat muncul adalah Achmad Purnomo, mantan Cawali Tahun 2005 lalu dari PAN. Saat ini dia sudah berganti partai menjadi PDI Perjuangan dan telah pensiun dini sebagai dosen Farmasi UGM. Pengusaha yang matang dan memiliki ormas dengan kiprah sudah banyak dikenal masyarakat Solo. Bila Tahun 2005 pernah bertarung dengan Rudy, apakah sekarang Rudy bersedia didampingi Purnomo?

Untuk kalangan agamawan pernah disebutkan ada Hilmi (PCNU) serta KH Abdul Karim, pemilik pondok pesantren Al Qurannyy Mangkuyudan. Gus Karim lebih menarik untuk dipinang sebab memiliki jamaah ribuan dengan Pengajian Muji Rosul (Jamuro)nya yang rutin menggelar pengajian diberbagai pelosok. Kelemahannya belum banyak berkecimpung di administrasi kenegaraan dan selama ini tidak dekat dengan partai politik maupun birokrasi.

Senin, 22 Oktober 2012

Menimbang Cagub Jateng 2013 - 2018

|0 komentar
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jateng memang masih tahun depan namun setidaknya beberapa partai politik sudah membuka dan mencari siapa yang pantas dicalonkan. PDI Perjuangan sudah membuka pendaftaran dan sudah banyak yang mendaftar. Parpol lainnya belum terdengar pergerakannya termasuk Partai Pemerintah, Demokrat yang adem ayem. KPU Jateng, kemaren sudah membuka pendaftaran Cagub dari jalur independen dan hari ini, diliran PAN dan PPP memunculkan nama sang petahana sebagai kandidat.

Sebuah pengumuman yang mengejutkan sebenarnya. Kenapa begitu? Bibit Waluyo, Gubernur Jateng saat ini tidak memiliki prestasi yang istimewa yang layak "jual". Statemennya juga cenderung kontra produktif seperti menuding Jokowi Bodoh, kesenian jaranan adalah kesenian terburuk se dunia, kasus korupsi jajaran pemprop hingga pejabat jateng yang meninggalkan simpanannya. Lantas apa saja yang patut diperhitungkan untuk meminang seseorang layak atau tidak sebagai kandidat?

Pertama, kredibilitas calon memegang peranan penting atau memiliki nilai jual tinggi untuk dicalonkan atau tidak. Secara subyektif saya menyebut Wakil Gubernur, Rustriningsih saat ini memiliki nilai jual yang tertinggi dibanding tokoh lain. Nama lain yang juga menarik yakni dr HM Basyir Achmad Walikota Pekalongan. Sebenarnya Rina Iriani, Bupati Karanganyar memiliki kans, sayangnya dia tersandung kasus Griya Lawu Asri.

Kedua, kekuatan partai yang bersangkutan. Ditingkat lapangan apakah memiliki jaringan yang solid, citra yang baik serta kinerja sesuai harapan. Pada titik ini banyak partai politik terlena atau menganggap tidak penting. Solo adalah pengecualian untuk konsistensi suara partai berkorelasi terhadap suara calon walikota. Kenapa? karena individu kandidat memang mumpuni. Itupun saat Pilkada kedua tahun 2010. Pada Tahun 2005, suara Jokowi juga tak sama dengan hasil pemilu yang diraih PDI Perjuangan.

Masyarakat sekarang sangat cerdas dan memiliki pengetahuan yang cukup memadai. Bisa dibilang kinerja Parpol di Jateng tidak ada yang fenomenal misalnya mengungkap kasus, memperjuangkan aspirasi atau mengadvokasi masyarakat. Kasus korupsi lebih banyak diungkap oleh pejabat berwenang atau berdasar audit BPK. Mereka memiliki peran penting dan bisa meminta instansi berwenang menyelidiki kebijakan gubernur, misalnya mengenai dana bencana merapi yang tak tahu kelanjutannya.

Perjuangan aspirasi seperti kenaikan gaji guru honor, UMK buruh dan berbagai isu lainnya tak pernah menjadi sorotan mereka. Propinsi memiliki anggaran besar untuk bisa dialokasikan pada sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi usaha kecil dan lainnya. Ketiga, Koalisi dengan partai yang tepat. Koalisi ini mempertimbangkan point pertama dan kedua supaya koalisi justru malah menguntungkan bukan merugikan partai bersangkutan.

Idealnya Pilkada DKI menjadi pembelajaran yang sangat berharga untuk penentuan Cagub Jateng 2013 - 2018 mendatang. Bagaimana dengan pernyataan PAN bahwa mereka akan mengusung Bibit Waluyo sebagai Cagub 2013 - 2018 berkoalisi dengan PPP? Sebuah langkah blunder dan tingkat kegagalan yang mudah diprediksi. Lihat siapa saja yang mendaftar di PDI Perjuangan Jateng? Sepertinya mereka memiliki stok calon yang memadai. Kita tinggal menunggu Cagub dari Demokrat dan Partai Golkar.


Selasa, 16 Oktober 2012

Jokowi Hingga Akhir Desember 2012 Hanya Bisa Evaluasi

|0 komentar
Pasca pelantikan Ir H Joko Widodo (akrab disapa Jokowi) dengan Basuki Tjahaja Purnama sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012 - 2017, langsung sidak lapangan. Sebuah dedikasi dan komitmen yang nyata. Artinya apa yang dijanjikan oleh Jokowi tidak sekedar manis dimulut tetapi dilaksanakan secara konsekuen. Pasca koordinasi di pagi hari, langsung menuju lapangan di hari pertama bekerja (Selasa,16 Oktober 2012).

Meski dalam wawancara dengan media tidak menjanjikan program 100 hari, Jokowi akan mendapat hambatan nyata untuk melakukan kegiatan di 3 bulan pertama. Artinya sisa waktu pasca pelantikan Senin 15 Oktober 2012 hingga Desember akan lebih banyak untuk konsolidasi dan penataan anggaran 2013. Hambatan yang ada cukup berat karena memang regulasi tentang keuangan daerah memang sudah menetapkan secara jelas timing tiap tahapan dalam penganggaran.
Kawasan Semanggi jelang petang

Sehingga sampai akhir tahun 2012, Jokowi akan lebih banyak melakukan pemetaan masalah. APBD 2013 Kota Jakarta sendiri saat ini dihandle oleh Basuki Purnama untuk disesuaikan dengan visi misi yang dikampanyekan saat pencalonan. Sesuai Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan "Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan (pasal 181 ayat 3)".

Ayat selanjutnya "Atas dasar  persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD dan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah (pasal 181 ayat 4)". Sedangkan untuk APBD perubahan di DKI Jakarta sudah ditetapkan pada 14 Agustus 2012 lalu. Hal ini dikuatkan oleh pasal yang mengaturnya.

Pada pasal 183 ayat 3 disebutkan bahwa "Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perda tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir". Maka dari itu, Jokowi lebih strategis melakukan perubahan pada APBD 2013 yang sebenarnya Kebijakan Umum Anggaran dan Perhitungan Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS 2013) telah berada di Badan Anggaran DPRD DKI. Penarikan KUA PPAS sudah merupakan langkah tepat dan strategis.

Program yang bagus tak akan berhasil bila salah satunya tidak didukung anggaran yang memadai. Maka dari itu sudah tepat langkah yang diambil untuk menarik KUA PPAS tersebut. Waktu yang tersedia juga tidak cukup banyak untuk menerapkan visi misi ke dalam dokumen KUA PPAS. Berdasarkan pasal 181 ayat (3) seperti dikutip diatas, APBD harus disahkan sebulan sebelum Tahun Anggaran berjalan. Otomatis waktu efektif konsolidasi anggaran dan program tinggal 1,5 bulan saja.

Gubernur yang baru ini butuh strategi jitu supaya batas waktu yang sudah ditetapkan tidak melenceng. Bisa saja untuk pendalaman lapangan 15 hari dan sisa 30 hari untuk fokus pada program utama terlebih dahulu misalnya sektor pendidikan dan kesehatan. Sektor lain seperti transportasi, pemukiman, infrastruktur bisa dijalankan pada aspek evaluasi program yang sudah ada. Barulah tahun berikutnya mulai bisa diimplementasikan seperti peremajaan bus kota, pembangunan underpass, stasiun bawah tanah, MRT dan lain sebagainya.

Rabu, 10 Oktober 2012

Program Guraru Boyolali, Sudah Benarkah?

|0 komentar
Program Guru Era Baru (Guraru) telah di lounching oleh produsen teknologi Acer. Program ini selain sebagai bentuk kepedulian namun juga sebagai penunjang kualitas pendidikan di Indonesia. Program ini sepertinya digarap tidak main-main terbukti Acer meluncurkan situs tersendiri yakni guraru.org sebagai ajang citizen journalisme khususnya bagi guru. Hingga tulisan ini dibuat sudah ada 1.301 anggota yang tercatat disitus bersama ini.

Sayangnya di Boyolali program Guraru dimaknai sebagai peralatan teknis semata. Terbukti Pemerintah Kabupaten Boyolali melalui Dinas Pendidikan malah mendorong guru bersertifikasi membeli laptop merk Acer seharga Rp 5,6 juta. Fakta dilapangan, laptop hanya berukuran 11 inci atau masuk kategori notebook. Bila notebook semestinya harga tak sampai segitu. Banyak pihak yang menyuarakan agar bupati mengevaluasi program ini.

Pengadaan laptop di Boyolali bekerja sama dengan PD BPR Bank Boyolali. Tidak hanya yang sudah bersertifikasi tetapi guru yang menempuh ujian kompetensi diminta ikut membeli. Fakta itu terungkap berkat ditemukannya undangan sosialisasi pengadaan laptop bagi guru yang bersertifikasi di Kecamatan Teras melalui surat UPTD Dinas Pendidikan Teras No 005/157/67/2012 tertanggal 2 Juli 2012. Beberapa guru telah mengeluhkan hal ini.

Berdasar uraian diatas dapat ditarik makna bahwa peningkatan kapasitas guru seringkali dimaknai sebatas penambahan alat. Pandangan ini tentu tidak selamanya salah namun apakah guru-guru itu faham dan dapat mengoperasionalkan laptop? Masih banyak guru yang gaptek, tidak memahami atau benar-benar asing dengan teknologi ini.

Idealnya Dinas Pendidikan Boyolali melakukan pemetaan dulu terkait peningkatan kapasitas kompetensi mereka. Bila memang terkait skill, ya perbanyak pelatihan-pelatihan. Namun jika kendala di pemahaman maka kegiatan semacam seminar, lokakarya, FGD yang perlu diperbanyak. Misalnya kebutuhan skill terhadap komputer diperlukan lebih baik bekerjasama dengan LPK atau kursus komputer bagi guru diadakan.

Penting juga memberi pelatihan mereka bagaimana menggunakan internet atau peningkatan kapasitas pemahaman teknologi informatika. Munculnya keluhan bahwa banyak guru yang tidak familiar dengan teknologi canggih harus diatasi dulu dengan pengenalan mereka pada alat tersebut supaya laptop bisa dimanfaatkan. Bagaimana mereka mengoperasionalkan sistem bila menggunakan laptop saja belum pernah? Tentu akan membuang anggaran secara percuma.

Bisa juga seperti yang Bramastia (pemerhati pendidikan) sarankan yakni pihak Disdik membeli software dan bisa diunduh gratis di web instansi terkait. Artinya ada kondisi-kondisi yang perlu diciptakan dulu sehingga membuat guru-guru merasa butuh. Tidak serta merta diminta membeli laptop, menggunakan software bahkan mengoperasionalkannya. Seno Samudro sebagai Bupati Boyolali perlu segera bertindak mengevaluasi pelaksanaan program ini.

Source :
Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3

Jumat, 21 September 2012

Insentif Pajak Dan Retribusi Se Eks Karesidenan Surakarta

|0 komentar
Seperti diketahui, pejabat di Pemerintah Daerah selain mendapat gaji pokok dia akan mendapat tunjangan lain seperti tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, tunjangan operasional dan lainnya. Sehingga pendapatan take home pay pejabat di Indonesia rata-rata memenuhi standar kehidupan. Belum lagi ditambah fasilitas mobil dinas atau rumah dinas. Fasilitas ini akan bertambah besar bila kedudukannya dalam jabatan struktural makin tinggi. Bila dilihat lebih detil, maka pejabat yang tunjangannya besar tentu saja di top menejemen seperti kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Salah satu tunjangan yang legal berdasarkan peraturan yakni Tunjangan Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebelum Tahun 2010, pemberian ini disebut upah pungut. Jadi insentif ini diberikan pada pejabat yang melakukan tarikan pajak dan retribusi agar meminimalisir korupsi.

Kawasan Alun-Alun Selatan Hasil Penataan
 Selain itu, pemberian insentif ini sebagai rangsangan agar kepala daerah dan jajarannya lebih menggenjot pendapatan daerah. Tanpa ada tambahan insentif, mereka tidak terpacu untuk menggali, mengawasi, mengoptimalkan potensi yang ada. Dalam PP tersebut diatur bahwa total insentif yang diberikan maksimal 5 persen pertahun dari target yang ditetapkan. Bahwa bila realisasinya lebih besar, tidak boleh ditambah. Demikian pula bila realisasinya lebih kecil tidak boleh dikurangi.

Insentif ini hanya diberikan pada SKPD yang mempunyai tupoksi menggenjot pajak dan retribusi hingga ke petugas penariknya. Di Kabupaten/Kota se Eks Karesidenan Surakarta, nilai insentif yang dibagikan ke pejabat terkait sebenarnya tidak cukup besar. Bicara yang terbesar tentu saja Kota Solo, apalagi kini tingkat pertumbuhannya sangat pesat. Sayangnya hal ini kurang dimanfaatkan oleh daerah penyangga supaya PAD dari kedua sektor makin naik.


Dalam bedah insentif pajak retribusi 2012, terlihat selisih Kota Solo dengan yang lainnya timpang. Di Tahun 2012, Kota Solo mampu mendongkrak pajak hingga Rp 106 M. Nominal yang di kabupaten lain bisa digabungkan antara pajak dan retribusinya tidak sampai sebesar itu. Insentif yang diperoleh pejabat di Kota Solo mencapai Rp 6,3 M/tahun atau sekitar Rp 500 juta tiap bulannya. Di urutan kedua, insentif besar yaitu Kabupaten Sukoharjo yang mencapai Rp 4,3 M/tahun atau Rp 360 juta.

Sementara Kabupaten yang insentifnya kecil dari segi nominal yakni Wonogiri yang pendapatan pajaknya hanya Rp 9,2 M dan retribusi Rp 20 M pertahun. Sehingga insentif 5 persen pertahun hanya Rp 1,4 M saja atau Rp 122 juta saja. Dengan perkembangan Kota Solo yang pesat, harusnya mereka mampu memanfaatkan hal itu. Butuh terobosan dan inovasi yang brilian supaya pendapatan pajak dan retribusi bisa meningkat pesat.


Kamis, 20 September 2012

Jokowi Memang Fenomenal

|0 komentar
Pertarungan Joko Widodo, Walikota Surakarta di Pilkada DKI dan berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama memang luar biasa. Dianggap tak bakal meraih suara signifikan ternyata menghempaskan semua calon lain. Meski yang dilawan adalah tokoh nasional, ternyata pria yang juga pengusaha mebel ini mampu meraih simpati dan dukungan besar. Dia benar-benar mampu menggerakkan masyarakat untuk berkampanye, memobilisasi suara dan tak berpaling mulai dari Pilkada I dan kedua.

Bahkan hasil di putaran kedua menunjukkan dukungan yang jauh lebih besar dengan mengalahkan sang incumbent dengan selisih yang signifikan. Dalam berbagai pooling di putaran I, Jokowi - Ahok benar-benar tak diperhitungkan. Ketika pemungutan suara dilakukan dan hasilnya terlihat, semua terhenyak dan kaget. Ramai-ramai pula mereka menjadikan Jokowi - Ahok sebagai lawan politik bersama untuk dikalahkan. Sayangnya masyarakat sudah cerdas sehingga bergabungnya banyak partai ke Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli tak berpengaruh.

Dalam Pilkada 2012 ini, ada 6 Calon Gubernur yang bertempur yakni 4 berasal dari partai politik dan 2 dari independen. Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli diajukan oleh Partai Demokrat, PAN, Hanura, PKB, PBB, PMB dan PKNU. Calon selanjutnya adalah Hendardji Supandji yang duet dengan Ahmad Riza Patria dari jalur independen. Kemudian calon nomor urut tiga, Ir H Joko Widodo bersama Basuki Tjahaja didukung PDI Perjuangan dan Gerindra. Pasangan nomor empat yakni Hidayat Nur Wahid dengan Didik J Rachbini diajukan oleh PKS. Faisal Basri dan Biem Benyamin mencalonkan dari jalur independen.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2012
Adapun Partai Golkar beserta berbagai partai gurem mencalonkan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin yang dipasangkan dengan Nono Sampono. Pada putaran pertama, Jokowi mampu meraup suara terbanyak mengalahkan semua kandidat (lihat tabel). Karuan kemenangan ini menghenyak banyak pihak. Fauzi kemudian mengambil langkah cepat dengan merangkul semua partai politik untuk merapatkan barisan melawan Jokowi. Mengagetkan sebenarnya saat PKS bersedia bergabung dengan Foke.

Pada tanggal 20, digelarlah pertarungan putaran kedua dan hasilnya Jokowi unggul telak di perhitungan cepat alias quick count. Jokowi meraup suara 53-54 persen suara atau memiliki selisih cukup besar. Banyak pengamat yang tak tepat meramalkan bahwa selisih diputaran kedua akan ketat. Berbagai serangan ke kubu Jokowi justru malah membuat citranya melesat tajam. Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat begitu tinggi. Namun faktor utama yang berpengaruh adalah kemampuan Jokowi tampil apa adanya.

Banyak pihak yang mendukungnya bukan berasal dari konsolidasi tim sukses namun ketertarikan masyarakat sendiri yang rela berkorban demi kemenangan Jokowi. Pemilihan baju kotak-kotak sebagai alat kampanye sebenarnya bisa kontra produktif namun diolah secara baik dan benar sehingga menghasilkan gerakan bersama melawan penguasa Jakarta saat ini. Para tokoh nasional juga tidak sedikit yang melakukan black campaign tetapi kapasitas memanaj isu inilah yang menjadikan suara Jokowi makin tak terbendung.

Kamis, 13 September 2012

Akankah Rustri - Garin Jadi Cagub Jateng Dari PDI Perjuangan?

|0 komentar
Entah karena tergiur naiknya rating PDIP di Jakarta atau motif lain, pendaftaran calon gubernur Jawa Tengah untuk Periode 2013 - 2018 menarik banyak peminat. Setidaknya ada 20 kandidat yang mendaftar untuk posisi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur. Pilkada DKI yang diikuti pasangan koalisi partai besar mendukung Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli bertempur dengan pasangan Joko Widodo dengan Basuki Tjahaja Purnama yang didukung PDI Perjuangan dengan Gerindra.

Seperti kita tahu pasangan Jokowi - Basuki mampu membalik prediksi lembaga survey atas keunggulan Foke - Nara hingga 42 persen dan meruntuhkan 4 pasangan lain termasuk kandidat dari PKS (Hidayat Nur Wahid) maupun Golkar. Para pendaftar di PDI Perjuangan Jateng entah sadar atau tidak nampaknya menganggap perolehan suara Jokowi lebih banyak dipengaruhi unsur partai. Padahal bila diamati tidak demikian. Berbagai hasil pooling, Pileg maupun Pilpres justru posisi PDI Perjuangan tidak dominan.

Tak kurang dari Wagub saat ini Rustriningsih, Bupati Klaten Sunarna, Mantan Pangdam Diponegoro Mulhim Asyrof hingga sutradara Garin Nugroho melamar ke PDI Perjuangan. Hingga detik terakhir, sang incumbent Bibit Waluyo justru tak mendaftar. Padahal pada periode ini, Bibit diusung oleh partai moncong putih. Adakah sebab politik yang menjadikan Bibit tidak mendaftar? Atau karena selama 5 periode performance dia malah turun?

Selama perjalanan kepemimpinan Bibit yang mengusung Bali Ndeso mBangun Ndeso, banyak pernyataan yang dikeluarkan justru menimbulkan antipati masyarakat. Terakhir dia menyatakan kesenian tradisi jaran kepang merupakan kesenian paling buruk didunia. Karuan saja menimbulkan kritik yang tajam. Sayangnya PDI Perjuangan sebagai parpol pengusung tak pernah menegurnya.

Siapakah yang berpotensi untuk diusung oleh PDI Perjuangan nantinya untuk memenangkan pertarungan? Seperti kita tahu saat Pilkada tak banyak mesin partai bekerja penuh. Otomatis lebih banyak mengandalkan performance sang calon. Selama ini dari banyak calon minim muncul bahkan Rustriningsih pun sebagai Wagub hampir tak pernah mendapat panggung. Dahulu saat menjabat Bupati Kebumen, dia merupakan salah satu kepala daerah yang mampu menerapkan prinsip pemerintahan yang bersih, transparan serta akuntabel.

Belum lagi bila Undang-undang Pilkada disahkan maka pemilihan gubernur akan dikembalikan ke DPRD Propinsi maka hal ini mempengaruhi strategi memenangkan Pilkada. Partai dengan kursi terbanyak akan mempunyai nilai tertinggi untuk diajak kerjasama. Sayangnya bila dikondisikan untuk maju dengan partai pemenang maka posisi PDI Perjuangan hanya mengajukan Wakil Gubernur saja. Inilah dilema yang harus segera diantisipasi agar posisi PDI Perjuangan menjadi penting.

Berdasarkan calon-calon yang mendaftar, mendampingkan Rustriningsih dengan Garin Nugroho akan lebih banyak berpengaruh. Dengan catatan masih menerapkan Pilkada langsung bukan melalui DPRD. Hanya tinggal melobi DPP supaya mereka mengeluarkan rekomendasi sesuai dengan peluang yang ada. Jangan sampai hanya karena mengejar sesuatu atau demi kepentingan sesaat calon yang diajukan justru calon yang masih butuh untuk disosialisasikan.

Masyarakat sekarang sudah dewasa dan banyaknya campur tangan partai akan menimbulkan antipati sehingga harapan memenangkan Pilkada menjadi makin menjauh. Pilkada akan digelar 2013 dan ada waktu yang cukup untuk mengkondisikan konstituen, menyiapkan perangkat serta membuka peluang kerjasama dengan Parpol lain. Bila terus menunggu, waktu akan habis dan mesin partai tak akan sempat optimal bekerja.

Kamis, 06 September 2012

Tinjau Ulang PAD Dari Retribusi PKL

|0 komentar
Kaget juga saat membaca berita tentang sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Pedagang Kaki Lima di Kota Solo yang mencapai Rp 265 juta. Kenapa? Sebab seharusnya lebih dari jumlah itu. Seperti dilansir berbagai media di Solo, nominal tersebut mendekati target yang berjumlah Rp 285 juta alias tinggal Rp 20 juta lagi bakal sesuai target. Padahal ini baru memasuki bulan ke sembilan.

Bagi yang jeli melihat hal ini pasti akan menimbulkan tanda tanya besar. Bila dikalkulasi secara kasar, angka Rp 285 juta diperoleh dari retribusi PKL sebesar Rp 23 juta tiap bulannya. Dan dihitung secara matematika maka akan didapat pemasukan Rp 791 ribu tiap harinya. Asumsinya PKL beroperasi penuh dalam 1 bulan atau 30 hari.

Disisi lain dari pemberitaan tersebut dijelaskan bahwa jumlah PKL mencapai 5.817 PKL baik yang sudah ditata atau belum. Dibandingkan dengan retribusi yang diterima harian berarti mereka dipungut hanya Rp 137 saja. Agak sulit juga dinalar retribusi yang ditarik hanya sebesar itu. Dibeberapa tempat bahkan ada yang dipungut Rp 1.000 hingga Rp 1.500.
PKL Hasil Relokasi di Notoharjo

Anggap saja retribusi PKL sebesar Rp 1.000 maka sehari didapat Rp 5.817.000 alias Rp 174.510.000 dan dalam setahun menapai Rp 2 M lebih. Berdasar PP No 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pejabat dan pns instansi terkait berhak mendapat insentif sebesar 5 persen.

Kalau dihitung maka pungutan insentif hanya Rp 100 juta sehingga PAD dari retribusi yang disetor ke daerah sebanyak Rp 1,9 M bersih. Bila dalam pemberitaan tersebut disebutkan PAD dari PKL adalah Rp 285 juta dimanakah sisanya (kurang lebih Rp 1,6 M)? Memang tidak baku pasti akan mendapat pemasukan sebesar itu sebab kadang ada PKL yang libur, tutup, tidak beroperasi dan lain sebagainya.

Namun perlu diingat, beberapa kawasan juga muncul PKL dadakan, PKL mobile (pedagang asongan), PKL waktu khusus dan kategori lain. PKL dadakan ini misalnya ketika ada acara tertentu seperti pasar malam yang juga dipungut retribusi. PKL Mobile bisa disebut dengan pedagang asongan dan PKL Waktu khusus seperti pasar pagi manahan atau PKL saat hari minggu/car free day.

Jumlah mereka juga lumayan banyak apalagi yang di Manahan tiap hari minggu yang bisa mencapai 200 lebih pedagang. Potensi mereka untuk 1 hari minggu bisa Rp 200 ribu atau Rp 800 ribu/bulan alias Rp 9,6 juta pertahunnya. Ir H Joko Widodo sebagai Walikota harus benar-benar mencermati kontribusi PKL terhadap PAD ini. Bila tidak maka ketergantungan APBD dari anggaran pusat akan semakin tinggi.

Perlu dikembangkan metode pendapatan partisipatif agar meminimalisir kebocoran pendapatan. Sumber keuangan yang didapat dari masyarakat harus tercatat dan masuk dalam sistem administrasi daerah. Sehingga para penyetor menerima manfaat dari retribusi yang diserahkan berbentuk pembangunan baik langsung maupun tidak langsung.

Kamis, 30 Agustus 2012

Hitung-Hitungan Insentif Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

|0 komentar
Upah pungut yang pada tahun 2005 hingga 2010 banyak bermasalah diberbagai daerah ternyata masih berlaku hingga kini. Padahal kurun waktu itu, tidak sedikit kepala daerah diseret ke meja hijau dikarenakan menyalahgunakan upah pungut. Salah satunya adalah kasus korupsi Syaukani Hasan Rais yang didakwa menerima upah pungut dana perimbangan minyak dan gas hingga Rp 93 M. Hanya saja sekarang istilahnya berganti menjadi insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di PP ini cukup banyak berisi hal-hal yang mengatur bagaimana insentif ini dipungut dan dibagikan tidak hanya ke eksekutif namun membuka peluang bagi pihak lain untuk menerima. Agak aneh tetapi pada pasal 3 ayat (2) e tertulis bahwa penerima insentif termasuk pihak lain yang membantu instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi. Contoh sederhana misalnya retribusi parkir sah diberikan pada pengelola parkir.

Pasar Gede Solo salah satu kawasan penyumbang retribusi (Photo : ardian)
Sedangkan kepala daerah, wakil kepala daerah dan sekretaris daerah meski tidak secara langsung berkutat dalam pemungutan pajak serta retribusi, dia berhak menerimanya (pasal 3 ayat {2} huruf b dan c). Selain itu kepala desa/lurah dan camat diberikan insentif hanya terkait Pajak Bumi dan Bangunan. Instansi bersangkutan atau petugas pemungut otomatis juga mendapat alokasi insentif (huruf a). Sementara besaran insentif yang bisa diambil paling tinggi hanya 5 persen (untuk kabupaten/kota). Meski tertulis paling tinggi, banyak daerah menetapkan insentif sebesar itu.

Besaran 5 persen itu tertulis dari rencana pendapatan pajak dan retribusi bukan dari realisasi. Sehingga meski belum ada perhitungan berapa dana yang masuk ke kas daerah, kepala daerah bisa menerima dana insentif tersebut. Termasuk bila realisasi pendapatan tidak sesuai rencana (lebih rendah) maka tidak membatalkan insentif tersebut (Pasal 4 ayat 6).

Melihat total insentif sebesar 5 persen dari pendapatan pajak daerah serta retribusi daerah, nilai itu cukup besar. Solo misalnya yang dalam kurun tiga tahun belakangan APBD melonjak drastis. Lihat saja pendapatan pajaknya mencapai Rp 53,5 M (2010) kemudian Rp 90,8 M (2011) dan target tahun ini Rp 106 M. Sedangkan retribusi menyumbangkan Rp 46,9 naik menjadi Rp 49 M dan terakhir ditarget Rp 56 M. Dari penjumlahan keduanya maka setidaknya insentif Rp 5 M (2010), Rp 6,9 M (2011) dan Rp 8,1 M Tahun 2012.

Artinya tiap bulan ada anggaran Rp 418 juta (2010), Rp 583 juta (2011) dan Rp 676 juta (2012) yang dibagikan pada kepala daerah, wakil kepala daerah, sekretaris daerah, kepala SKPD berkaitan dan staf pemungut insentif. Sebuah angka yang mengejutkan dan luar biasa besarnya. Asumsi saja bila setiap petugas pemungut hingga kepala daerah dihitung jumlah personelnya apakah akan mencapai 418 orang? Kalau toh pun iya, masak kepala daerah mendapat bagian Rp 1 juta sama seperti petugas pemungut?

Minggu, 12 Agustus 2012

Karut Marut Penyelenggaraan UKG Di Solo

|0 komentar
Anggaran pendidikan sudah naik menjadi 20 persen, berbagai program sudah dikucurkan, sarana sudah banyak yang diperbaiki namun sepertinya nasib pendidikan di Indonesia masih menjadi keprihatinan bersama. Hal ini disebabkan design pendidikan tak disiapkan secara matang dan dilakukan bertahap. Besarnya anggaran menyebabkan semua pihak bersama-sama menjalankan programnya sehingga bukan kemajuan yang didapat namun kesemrawutan.

Program Biaya Operasional Sekolah, Bea Siswa, Bidik Misi, DAK Pendidikan, Tunjangan Sertifikasi dan beragam program lainnya belum mampu mengangkat rerata tingkat kualitas output pendidikan. Jangankan kualitas, membuat biaya pendidikan terjangkau saja seperti mustahil. Saat ini seperti terjadi dilema para orang tua. Disekolahkan di swasta biayanya mahal dan sekolah negeri yang biasa hasilnya ya begitu. Kalau masuk di akselerasi atau RSBI setara sekolah swasta.

Dipundak merekalah kemajuan bangsa tersandar
Seminggu ini program pemetaan kualitas guru yang diselenggarakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan amburadul. Pemetaan itu dilakukan dengan cara Uji Kompetensi Guru (UKG) via online. Jadi jangankan mendapat peta secara jelas, teknis pelaksanaannya banyak ganjalan terutama di eks karesidenan Solo. Masalah-masalah muncul dan itu justru disebabkan oleh hal-hal yang menjadi kewenangan pusat bukan masalah yang timbul dari penyelenggara lokal.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Solo hanya mengkonsolidasikan tempat dan perangkat (komputer on line), selebihnya merupakan kewenangan pusat. Jangankan mengerjakan soal, untuk masuk ke soal saja tak bisa karena tiba-tiba server kelebihan beban. Hal ini tidak hanya di alami oleh guru pada jenjang yang sama namun mulai level SMU, SLB hingga tingkat taman kanak-kanak. Kalau toh pun bisa log in, data yang tersedia tidak match. Akibatnya 500 guru harus mengulangi UKG.

Beberapa masalah yang muncul yakni (a) server tidak bisa diakses (b) kekeliruan kode (c) salah data guru (d) soal yang muncul tidak sesuai data guru dan masih banyak kendala lainnya. Ternyata berdasar paparan Disdik Kota Solo ada guru dari 11 Mata Pelajaran yang harus mengulang. Belum lagi beberapa guru tidak melek teknologi sehingga harus diajari atau didampingi oleh petugas dari Dinas Pendidikan.

Bila dilihat lebih luas, gagalnya mereka menjalankan UKG berdampak kerugian yang lebih luas. Panitia harus kerja dua kali yakni ujian ulangan harus disiapkan kembali. Siapa yang harus mengulang dan siapa yang tidak. Mencetak undangan, no duduk, menyiapkan ruangan, berkoordinasi dengan Kemendikbud adalah beberapa hal yang nanti harus menjadi pekerjaan ulangan Disdikbud Solo. Guru-guru bertambah tegang disaat ujian ulangan digelar jelang mid semester, akibatnya beban bertambah.

Kemaren banyak guru yang meninggalkan kelas, meninggalkan pekerjaan pada anak didiknya bahkan ada yang memulangkan lebih cepat. Tetapi ketika bersiap ujian ternyata tidak berhasil. Maka dari itu, Mendikbud Muhammad Nuh harus mengevaluasi secara menyeluruh atas pelaksanaan UKG pertama. Harus ada trial and eror sebelum program diimplementasikan. Bila dalam evaluasi ditemukan ada pekerjaan yang belum diujicoba, layak pelaksana mendapat teguran bahkan sanksi. Sebab mengulang melaksanakan UKG berdampak membengkaknya anggaran. Atau benarkah hal ini disengaja agar anggaran bisa berlipat yang keluar? Ah semoga saja tidak.

Jumat, 10 Agustus 2012

DPK Banyak Terkuras Untuk Operasional Lembaga

|0 komentar
Dalam alokasi Dana Pembangungan Kelurahan (DPK) Kota Solo, anggaran bisa digunakan untuk organisasi-organisasi masyarakat. Kelembagaan yang biasanya mendapatkan "jatah" dari dana DPK sebut saja LPMK, PKK, Karang Taruna, TPA dan lain sebagainya. Dana ini sebagai stimulan organisasi agar aktivitasnya bisa terdukung dengan baik. Tidak banyak kelembagaan kelurahan yang mandiri dalam anggaran karena tidak mempunyai pemasukan rutin.

Padahal bila jeli, organisasi kelembagaan ditingkat kelurahan bisa mengelola potensi-potensi pendapatan yang bisa melancarkan organisasi. Kota Solo terbuka peluang untuk membuka banyak usaha yang bisa dimanfaatkan lembaga-lembaga itu. Banyaknya pasar, mall, pertokoan, mini market, warnet, hotel dan berbagai usaha lainnya. Mereka bisa mengajukan kerja sama dengan pengusaha untuk pengelolaan fasilitas publiknya.

Misalnya pengelolaan parkir, pengelolaan kamar kecil, jasa keamanan, penjaga malam di toko maupun beragam jasa lainnya yang bisa menjadi sumber pendapatan resmi. Berkaitan dengan anggaran biaya operasional, beberapa lembaga ditingkat kelurahan tidak sedikit yang mengandalkan dari DPK. Dalam studi yang dilakukan Yayasan Kota Kita Surakarta terhadap penggunaan DPK 2009 hingga 2011 terlihat alokasi Biaya Operasional (BO) kelembagaan ada yang diatas 40 persen bahkan lebih 50 persen DPK Kelurahan.
Hasil Pemetaan BO Kelembagaan Kelurahan Pada DPK 2009 - 2011

Penelitian itu dilakukan di 17 Kelurahan yang menyerahkan data hasil penggunaan DPK. Kelurahan yang BO organisasi antara 40 hingga 50 persen di Tahun 2009 terdapat di Kelurahan Stabelan dan Timuran, di Tahun 2010 bertambah menjadi Timuran, Sudiroprajan, Pucangsawit dan Baluwarti. Sedangkan 2011 hanya ada Kelurahan Jagalan yang BO organisasi antara 40 - 50 persen. Meski demikian cukup banyak kelurahan yang alokasi BO mencapai diatas 50 persen Dana Pembangunan Kelurahan.

Tahun 2009, Sudiroprajan mengucurkan 57,21 persen DPK untuk BO organisasi yang mencapai Rp 70 juta. Di Tahun 2010 hanya ada Stabelan yang alokasi BO mencapai 58,76 persen. Dan Tahun 2011 cukup banyak kelurahan yang alokasi BO diatas 50 persen bagi organisasi yakni Stabelan (62,60 persen), Sudiroprajan (60,94 persen), Kepatihan Wetan (62,97 persen) serta Kedunglumbu (54,39 persen). Bila dinominalkan, alokasi terbesar 2011 dialokasikan Kedunglumbu yang mencapai Rp 65,8 juta.

Dari 17 kelurahan itu memang bila dijumlahkan total BO masih dibawah 40 persen. Misalnya Tahun 2009, BO hanya 29,57 persen saja. Kemudian Tahun 2010 meningkat menjadi 32,71 persen BOnya atau senilai Rp 934 juta. Dan Tahun 2011 meningkat menjadi 33,98 persen. Idealnya untuk BO hanya 10 persen agar dana dari APBD bisa dialokasikan bagi program maupun kegiatan yang tingkat kemanfaatannya lebih jangka panjang.

Padahal potensi kelurahan-kelurahan itu cukup besar mendapat anggaran tersendiri dari lingkungan mereka. Sebut saja Sudiroprajan dengan Pasar Gede, Kepatihan Wetan dengan Pasar Legi atau Kedunglumbu dengan Pasar Kliwonnya. Inilah yang perlu dicermati organisasi ditingkat kelurahan agar mampu menghasilkan pendapatan secara mandiri. Agar tidak malah menambah beban mengurangi DPK untuk kegiatan fisik atau lainnya.

Bersambung

Rabu, 08 Agustus 2012

Prosentase Alokasi Bidang Dari DPK

|0 komentar
Kajian DPK Kota Solo 2009 - 2011 (1)

Mencermati Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) Kota Surakarta Tahun 2009 - 2011 banyak yang bisa dianalisa. Apakah kelurahan yang ada mengalokasikan anggaran secara merata di 4 bidang? Bagaimana prosentase atas 4 bidang itu? Apakah semua anggaran DPK hanya dialokasikan di satu bidang? Awal Tahun 2012, Yayasan Kota Kita Solo melakukan penelitian atas DPK di 17 Kelurahan di Solo dan banyak data yang didapat dari proses itu.

Ke 17 kelurahan itu yakni untuk Kecamatan Banjarsari ada 4 kelurahan meliputi Stabelan, Manahan, Nusukan dan Timuran. Kecamatan Jebres meliputi Jagalan, Sewu, Sudiroprajan, Pucangsawit, Tegalharjo dan Kepatihan Wetan. Kecamatan Laweyan hanya ada data dari Kelurahan Pajang, Kecamatan Pasar Kliwon meliputi Kedunglumbu, Baluwarti, Sangkrah dan Kauman. Sedangkan Kecamatan Serengan data yang lengkap untuk Kratonan dan Tipes.

Potret hasil matrikulasi penggunaan DPK


Untuk alokasi Bidang Sosial Budaya, selama 2009 hingga 2011 kelurahan yang alokasinya selalu paling tinggi dibanding bidang lain yakni hanya Kelurahan Sewu dengan prosentase 38,38 persen (2009), 36,70 persen (2010) dan 46,98 persen (2011). Yang lainnya hanya ada dalam kurun satu tahun saja alokasinya melebihi bidang lain.

Untuk Bidang Fisik Prasarana, dari 17 kelurahan hanya 3 kelurahan yang alokasinya selalu berada diatas bidang lainnya yakni Kelurahan Manahan, Nusukan dan Tipes. Meski Manahan dan Tipes berada di perkotaan, kenyataannya mereka masih mengalokasikan anggaran fisik lebih besar dibanding anggaran lainnya. Sementara Bidang Ekonomi tak pernah mendapat prioritas dana DPK selama 3 tahun itu. Ke 17 kelurahan itu tak memandang cukup penting dibanding bidang lainnya.

Sementara Bidang Pemerintahan Umum selama 3 tahun hanya Kelurahan Stabelan saja yang menempatkan porsi anggarannya cukup besar. Selain porsi anggaran itu, ada juga kelurahan yang tidak mengalokasikan anggaran untuk satu bidang. Fakta menemukan bahwa Kelurahan Jagalan tak mengalokasikan anggaran DPK untuk bidang ekonomi ditahun 2011, kemudian Sewu (Ekonomi, 2009), Sudiroprajan (Fispra, 2009 dan 2010).

Selain itu masih ada Pucangsawit (Ekonomi, 2009 - 2011), Pajang (Fispra, 2009), Baluwarti dan Kauman (Pemerintahan Umum 2011) dan Kratonan (ekonomi 2009 - 2011). Melihat kondisi ini sudah seharusnya ada evaluasi secara mendalam apakah benar tindakan masyarakat yang tidak menganggarkan bidang tertentu terutama bidang ekonomi? Apakah sudah tidak ada warga yang tidak butuh bantuan modal atau karena memang sudah ada lembaga lain yang membantu?

(Bersambung)

Rabu, 01 Agustus 2012

Prameks, Layanan Yang Kian Merosot

|0 komentar
Bagi warga Eks Karesidenan Surakarta tentu sangat familiar dengan yang namanya angkutan Kereta Api Prambanan Express/Prameks jurusan Solo - Kutoarjo. Apalagi bagi pekerja yang tiap hari rutin menggunakannya. Kereta komuter ini mulai diluncurkan 20 Mei 1994 tetapi mulai bertambah operasionalnya pada Maret 2006. Bila dibandingkan dengan bus, banyak pengguna transportasi memilih Prameks dikarenakan beberapa alasan.

Diantaranya adalah nyaman, cepat, bersih, tertib, tepat waktu dan murah. Tahun 2008 biaya sekali jalan ke Jogja hanya dikenai Rp 8.000, meski lebih mahal Rp 1.000 dibandingkan bus namun waktu tempuh yang selisih 30 menit membuat pengguna banyak beralih. Pemeliharaan pada awal dioperasikan, pemeliharaan kereta cukup memuaskan. Ketika naik, terlihat kereta yang bersih dan nyaman. Selama perjalanan juga lancar tanpa banyak kendala.

Prameks saat melintas di Manahan
Kini semuanya telah berubah drastis dan pelayanannya merosot tajam. Padahal sudah ada tambahan kereta operasional Madiun Jaya AC. Harusnya PT KAI sudah mendapat keuntungan yang berlipat dan melayani penumpang dengan lebih baik lagi. Tiap Jum'at sampai Minggu, keberangkatan jam berapapun dan dari manapun selalu penuh sesak. Rentang 3 hari itu rasanya tak mungkin tidak ada 1 gerbong orang berdiri 10 pasti lebih banyak.

Dalam sehari dulu ada 10 keberangkatan dari Solo dan Jogja sehingga total ada 20 perjalanan kereta. Bandingkan dengan kondisi saat ini yang hanya ada 5 alias setengahnya saja. Padahal karcisnya sudah naik menjadi Rp 10.000 atau lebih mahal Rp 2.000 dari angkutan bus. Konsumen yang setia menggunakan Prameks sudah berupaya membantu PT KAI mencarikan solusi dengan beberapa tawaran. Namun rupanya pengakuan merugi yang paling mempengaruhi operasional Prameks.

Entah sampai kapan kondisi ini akan berlangsung. Melihat tingginya minat pengguna harusnya membuat PT KAI berpikir bahwa peluang bisnis sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan saja. Anehnya mereka mengaku terus merugi sehingga kereta-kereta yang rusak tak bisa diperbaiki. Berdasarkan data wikipedia, kereta itu dibuat di PT INKA Madiun. Harusnya bila produsen jelas tentu kondisi kereta yang rusak dapat diperbaiki. Kini layanan kereta sudah sulit diperbaiki.

Jadual menjadi tak pasti, sering dibatalkan, penumpang penuh sesak, kereta mogok, penumpang dilimpahkan adalah sebagian kejadian-kejadian yang jamak terjadi. Tentu sudah banyak pelanggan beralih ke moda transportasi lainnya seperti bus. Jadi, berhenti totalnya Prameks nampaknya tinggal menunggu waktu meski kita tidak berharap demikian.

Kamis, 26 Juli 2012

Perda LKK, Perda Yang Aneh

|0 komentar
Mencermati Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan sungguh banyak menemukan kejanggalan. Mulai dari landasan filosofis, yuridis maupun sosiologisnya sulit dimengerti. Entah apa yang melandasi hal ini namun bila kita mempelajarinya ternyata banyak ditemukan kelemahan. Kota Surakarta dengan tingkat dinamisasi dan majunya kota seharusnya beriring dengan semakin berkualitasnya sebuah produk hukum yang dihasilkan.

Berdasarkan landasan filosofis disebutkan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pelayanan pemerintah. Bukankah selama ini lembaga yang ada sudah menjalankan hal itu? Lantas hal mana yang belum terpenuhi dari berbagai kelembagaan di masyarakat? Argumen landasan yuridis yang dicantumkanpun tak cukup kuat. Permendagri No 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan yang melandasi Perda ini tak dicantumkan.

Dan landasan sosiologisnya juga menyebutkan "perlu adanya peran serta masyarakat yang dikelola oleh lembaga kemasyarakatan" lemah sekali. Memangnya selama ini tidak ada regulasi atau lembaga yang menaungi peran serta masyarakat? Kita tahu regulasi ini didorong keluarnya Permendagri No 5 Tahun 2007 namun Pemkot selayaknya mengajukan argumentasi yang lebih cerdas. Dari hasil googling ditemukan Perda sejenis yang beti (beda tipis) dengan indukannya (Permendagri 6/2007).

Belum lagi isinya yang sungguh patut dikritisi terutama bagi masyarakat yang menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan seperti LPMK, PKK, Karang Taruna atau lainnya. Pada proses pembahasan perda ini, yang mencuat justru hanya soal apakah pengurus partai bisa menjadi pengurus LKK bukan substansi peran yang diperdebatkan. Apakah memang ada peran yang belum termaktub dalam regulasi sebelumnya sehingga memang butuh ditambahkan.

Munculnya Perda ini juga memberangus dua perda lainnya yakni Perda No 5 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Rt dan Rw serta Perda No 7 Tahun 2002 Tentang LPMK. Klausul yang membahas mengenai LPMK dalam perda ini hanya ada di pasal 5 - 9 dan Rw dibahas pada pasal 13 - 15 serta Rt dibahas pada pasal 16 - 18. Dua lembaga lainnya yang ikut dikupas secara khusus yakni TP PKK (pasal 10 - 12) juga Karang Taruna (pasal 19 - 21).

Sedangkan kelembagaan lainnya yang disinggung pada pasal 4 ayat (2) huruf f sama sekali tak dijelaskan. Baik menyangkut kedudukan, tugas, fungsi, struktur dan tata kerja pembentukan seperti 5 kelembagaan lainnya. Hubungan keempat lembaga ini juga tak dijelaskan detil sehingga siapa mengambil peran apa menjadi bias. Salah satu pasal yang cukup mengganggu yakni pasal 4 ayat (2) tentang jenis LKK yang disebutkan (a) LPMK; (b) TP PKK; (c) Rw; (d) Rt; (e) Karang Taruna dan (f) Lembaga Masyarakat Lainnya.

Perda ini tidak boleh mereduksi bahkan bisa dikatakan malah mengakuisisi 2 perda lainnya menjadi sangat minim peran. Padahal lembaga yang disebutkan disini memiliki peran strategis dalam pemberdayaan masyarakat. Saat dilacak ke daerah lain seperti Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan Kabupaten Kendal ternyata tak jauh berbeda.

DPRD Kota Solo harus segera mengambil tindakan dengan mengevaluasi Perda No 11 Tahun 2011 ini supaya kelak dikemudian hari tidak malah menimbulkan masalah. Kementrian Dalam Negeri juga perlu mengevaluasi regulasinya. Penyebutan jenis-jenis LKK bukan menyebut lembaga namun kategorisasi lembaga yang ada dimasyarakat. Entah siapa yang menjadi tim penyusun, yang jelas regulasi ini tak layak diteruskan

Minggu, 22 Juli 2012

WTP 2 Tahun, Kinerja 21 SKPD Solo 2012 Jeblok

|0 komentar
Sungguh sebuah kejadian yang menimbulkan tanda tanya cukup besar terkait kinerja Pemerintah Daerah Kota Solo terutama 3 tahun terakhir ini. Ada kontradiksi yang nyata dan sulit diterima akal sehat. Fakta menunjukkan bahwa Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemkot Solo Tahun 2010 dan 2011 dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian. Sebuah prestasi yang patut diapresiasi semua pihak dan hal ini tercapai setelah lebih dari 5 tahun Joko Widodo sebagai Walikota memimpin. Artinya tidak hanya branding kota saja yang berhasil diraihnya namun pengelolaan keuangan daerah mampu dibenahi menjadi lebih baik.

Tentu perubahan ini setidaknya mencerminkan apa yang dilakukan Jokowi sejak memimpin benar-benar merubah kinerja bawahannya dalam pengelolaan keuangan daerah. Tingkat pendapatan daerah melonjak tinggi dan mempengaruhi tingkat ketergantungan pendapatan dari Dana Perimbangan. Bandingkan dengan kondisi 6 tahun lalu yakni 2007, prosentase proporsi pendapatan 14,63 : 75,34 : 10,03 (PAD : Dana Perimbangan : Lain2 PAD Yg Sah). Sekarang prosentase perbandingan menjadi 16,63 : 67,96 : 15,41.

Beberapa penghargaan juga turut diraih pada kurun waktu itu. Secara publikasi, Solo nampaknya benar-benar berhasil “menjual” dirinya keluar sehingga berbagai ajang level lokal mampu menghadirkan pengunjung dari luar daerah maupun mancanegara. Sayangnya jelang pertengahan tahun ini, muncul berita 21 SKPD hingga Juni (triwulan II) serapan anggaran belum 1 persen dan belum ada laporan triwulan II. Pukulan telak atas berbagai keberhasilan yang ditorehkan Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo.



Salah satu sudut Balaikota Solo

Dari berbagai sumber disebutkan kinerja 21 SKPD dari 88 SKPD capaian keuangan belum sampai 1 persen. Dari alokasi APBD Triwulan II Rp 478 M, yang dilaporkan ke Bagian Administrasi Pembangunan hanya Rp 50 M. Beberapa argumen yang melandasi yakni pertama, anggaran yang dialokasikan hanya anggaran pendamping program pusat. Sehingga bila anggaran pusat belum cair tentu tidak bisa dicairkan. Kedua, Anggaran itu harus yang mencairkan Walikota karena merupakan anggaran dari propinsi. Ketiga, Juklak juknis belum turun sehingga tidak bisa dilakukan kegiatannya. Dari beberapa kendala itu, Pemkot berencana menggelar pelatihan pembuatan laporan.

Bagaimana bisa terjadi bila selama 2 tahun mendapat WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan dan kini sudah tengah semester kinerja 21 SKPD bisa sangat jeblok? Berbagai argumen yang melandasi juga mudah sekali dibantah. Kalau berkaitan dengan pemerintah pusat, kenapa SKPD lain sama sekali tidak terganggu? Bila Walikota yang harus mencairkan, bukankah bisa ada pelimpahan kewenangan? Atau terkait juklak juknis, kenapa problem itu tidak dicarikan solusi jauh-jauh bulan sebelumnya. Anehnya kegiatan yang akan dilakukan untuk mendorong akselerasi implementasi program justru malah pelatihan pembuatan laporan.

Sebuah kontradiksi dan argumen yang terlihat lemah sekali antara problem yang muncul dan solusi yang akan diambil. Belum lagi di perencanaan anggaran 2013 muncul anggaran pembelian mobil dinas senilai Rp 3 M. Apa maknanya? Birokrasi dapat dinilai kurang mampu melakukan perencanaan yang baik dan substansial. Lihat saja tingkat kemiskinan warga yang makin tahun makin melonjak namun ketika berbicara program justru banyak alasan yang kesannya dibuat-buat.

Meski Jokowi sedang dalam perjuangan kampanye memenangkan putaran kedua Gubernur DKI, tidak menjadi alasan Solo kemudian ditinggalkan begitu saja. Bila sejak awal tahun proses menejemen (pengendalian) keuangan telah berjalan dan hasilnya seperti ini, Jokowi – Rudi harus memberi punishment pada kepala 21 SKPD tersebut. Kenapa 67 kepala SKPD lainnya bisa menjalankan program dan sisanya tidak? Bila dibiarkan akan menimbulkan efek negatif bagi kepala SKPD dan mempengaruhi pelayanan pada masyarakat. Mereka juga bukan birokrat baru yang masih dalam taraf belajar membuat laporan sehingga tidak masuk akal bila ada alasan yang melandasinya.


Bacaan :
1. Wawali Minta Laporan Kegiatan Diserahkan 
2. Bumerang Bagi Jokowi 
3. 21 SKPD Dapat Les Khusus 
4. Penyerahan Laporan Ada Batas Waktu

Musrenbangkel Solo Harus Dibenahi!

|0 komentar

Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Solo yang sudah berjalan 12 tahun ternyata bisa dinyatakan tak banyak berubah. Beberapa aspek yang meliputi proses musyawarah tertinggi di tingkat kelurahan hingga kota bisa dikatakan jalan ditempat. Baik dari partisipasi, dana, swadaya, hasil maupun dampak yang ditimbulkan. Bappeda Kota Solo sebagai leading sektor sepertinya mengomandoi Musrenbangkel laksana business as usual, seperti biasanya. Akibatnya beberapa aspek tak mengalami perkembangan bahkan ada yang menurun.

Tingkat rasa memiliki warga pada hasil pembangunan juga mulai berkurang. Bagaimana tingkat memiliki bisa tinggi bila diajang rutin tahunan yang biasanya diselenggarakan awal tahun makin minim pesertanya. Antusiasme warga sudah tak seperti 6-7 tahun lalu. Sidang pleno maupun komisi sudah tidak diwarnai perdebatan mempertahankan program, adu argumentasi maupun saling mengemukakan pendapat. Sekarang yang terlihat diberbagai forum Musrenbangkel  laksana forum kumpul-kumpul.
Suasana Musrenbangkel (Photo by Ardian Pratomo)

Ada banyak proses yang sudah tidak dianggap penting lalu ditinggalkan meski secara substansi itu penting. Dimana tahapan pembahasan tata tertib, pemilihan pimpinan sidang, tawar menawar program disidang komisi hingga perhitungan skor untuk menentukan prioritas? Semuanya seperti tinggal kenangan. Yang terjadi saat ini ya proses mengetahui apa yang diusulkan saja, itu saja. Parahnya hal ini terjadi sejak musyawarah Rt, Rw, Musrenbangkel, Musrenbangcam, Forum SKPD hingga Musrenbangkot. Program yang diusulkan pun relatif seragam antar kelurahan, berulang tiap tahun dan tak inovatif.

Bappeda juga gagap untuk mendorong tidak hanya partisipasi namun kreatifitas pembuatan program. Di level kota, tidak ada verifikasi program yang responsif gender, bervisi lingkungan, adil, tidak diskriminatif apalagi sustainable. Maka jangan heran bila dilevel kelurahan apalagi Rt yang banyak ditemui program pengadaan tikar, bolo pecah, renovasi pos ronda dan sejenisnya. Program yang diajukan sungguh miskin visi. Entah apa maksudnya mereka membuat program itu, yang jelas ini menjadi tanggung jawab Bappeda maupun lurah.

Kenapa Bappeda dan Lurah? Karena kedua belah pihak inilah yang berkaitan dengan Musrenbangkel. Bappeda jelas posisinya yang mendesign perencanaan tingkat kota otomatis harus memberi pembelajaran bagaimana membuat perencanaan yang baik. Sedangkan lurah sebagai pimpinan wilayah memfasilitasi dan mengajarkan apa saja yang penting bagi masyarakat untuk menjadi program, bagaimana memprioritaskan, bagaimana menggarap potensi dan lain sebagainya. Ternyata Bappeda dan pemerintah kelurahan kehilangan roh untuk menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.

Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan sebab akan mengacaukan arah pembangunan kota yang sesuai dengan Perda RPJMD. Jika perencanaan jangka menengah sudah ditetapkan, idealnya masyarakat tahu, faham dan mengerti apa target tahunan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Fakta dilapangan, dari sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kota Kita Surakarta menunjukkan bahwa program yang direalisasi oleh DPK hanya sebesar 50 persen saja dibahas di Musrenbangkel. Sisanya merupakan program yang tidak dibahas di Musrenbangkel.

Jumat, 20 Juli 2012

Evaluasi Musrenbang Solo!

|0 komentar

 FAKTA MUSRENBANG 2009 – 2011 KOTA SOLO

Perjalanan pembangunan partisipatif yang sudah dimulai Tahun 2000 di Kota Solo tentu bukan proses yang singkat. Banyak dinamika yang terjadi di masyarakat, baik menyangkut partisipasi, anggaran, hingga realisasi program. Meski demikian, kini dirasakan Musrenbang Kota Solo mulai kehilangan roh sebagai perencanaan yang bottom up menjadi ajang seremonial atau rutinitas belaka. Musrenbang tak lagi menjadi daya tarik bagi warga untuk mengajukan solusi bagi penyelesaian masalah dilingkungannya.

Musrenbang bukan lagi dirasakan sebagai upaya pemerintah membuka ruang partisipasi. Maka diberbagai kelurahan kita sudah tak dapati lagi antusiasme warga, program yang inovatif atau ajang berdialektika memecahkan persoalan. Kini Musrenbang menjadi ruang bagi Pemkot sebatas bagi sedikit “dana” untuk masyarakat. Tidak ada lagi motivasi bagi warga untuk ikut terlibat didalamnya. Apalagi RPJMD sebagai panduan perencanaan menengah daerah tak turut disertakan sehingga perencanaan yang harusnya bottom up menjadi ruang gelap.
Suasana Musrenbangkot 2008

Akibatnya banyak usulan warga terbentur dan gugur ditengah jalan dengan alasan tak sesuai RPJMD, Renstra atau Renja SKPD. Upaya pemaduan gerak yang harusnya dibuka oleh pemerintah hanya sebatas lips service semata. Ada rantai yang terputus antara Musrenbangkel dengan RPJMD atau Renstra SKPD. Akibatnya masyarakat hanya berebut secuil anggaran di Dana Pembangunan Kelurahan yang jumlahnya tak pernah naik. Jumlah alokasi DPK untuk seluruh kelurahan di Solo sangat minim bahkan sejak tahun 2010 menjadi Rp 9 M dari Rp 10 M ditahun 2009.

Bila Tahun 2002, alokasi DPK masih sebesar 2,43 persen APBD (Rp 6,3 M) namun Tahun 2006 hanya 2,08 persen meski jumlah nominal DPK naik (Rp 10 M). Dan pada Tahun 2012 tinggal 0,75 persen saja dari APBD. Hal ini diakibatkan terus naiknya APBD berkat kenaikan gaji pegawai maupun pendapatan daerah tetapi alokasi DPK tak pernah berubah walaupun harga barang juga naik. Dilapangan otomatis masyarakat harus menyesuaikan dengan anggaran yang ada. Jumlah program dan kegiatan yang dilaksanakan tentu berkurang drastis.

Dampak turunannya yakni dengan anggaran yang harus dipecah menjadi banyak, usulan warga kemudian menjadi tidak optimal. Lihat saja yang diajukan masyarakat seperti pengadaan bolo pecah, tikar, renovasi pos ronda, pengadaan sound system atau program yang tidak substansial. Bayangkan bila satu kelurahan dengan jumlah RW antara 3 hingga 9 atau jumlah Rt antara 18 hingga 35 mendapat alokasi anggaran DPK Rp 115 juta. Panitia pembangunan tak bisa berbuat banyak dan membagi dana itu seproporsional mungkin.

Kita tak bisa berharap ada program yang fokus pada ekonomi, pendidikan, lingkungan atau tema spesifik lainnya. Disisi lain banyak program tingkat kota yang tidak melalui perencanaan matang seperti Galabo, Ngarsopuro, Gerbang Kota Makutho dan banyak program bombastis lainnya yang menyerap anggaran cukup besar. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemkot terkait pengembangan wilayah tak tersosialisasi dengan baik sehingga terjadi unkonektivitas antara kegiatan yang dilaksanakan masyarakat kelurahan dengan SKPD.

Bila ingin ada keterpaduan sebaiknya perencanaan ditingkat kota harus ditata kembali. Fokuskan segala perencanaan pada Perda RTRW. Kemudian diturunkan pada RPJMD dan regulasi yang berkaitan dengan berbagai bidang. Salah satu isu penting yang perlu ikut disosialisasikan adalah tema pengentasan kemiskinan. Dalam Musrenbangkel, masyarakat didorong untuk menyesuaikan dengan kebijakan tersebut sehingga ada korelasi apa yang dilakukan pemerintah dengan apa yang dikerjakan masyarakat.