Dalam NPD tersebut jelas tergambar berbagai data pendidikan
mulai infrastruktur, tenaga pengajar, siswa, APK, APM, kompetensi pendidik,
tingkat pendidikan guru, anggaran dan lain sebagainya.
Data yang disediakan oleh pemerintah ini sangat penting
sebab selama ini kita kesulitan mengakses data. Sehingga ketika akan melakukan
advokasi kebijakan di daerah hampir dipastikan akan “membentur tembok”.
Dengan
ketersediaan data ini, kita semua jadi tahu banyak hal tidak hanya alokasi
anggaran difokuskan kemana, apa yang harus dibenahi hingga komitmen kepala
daerah terkait sector pendidikan bisa kita bandingkan dengan daerah sekitarnya.
Ada beberapa daerah yang saya coba perbandingkan data dari
NPD yakni mewakili DIY (Gunungkidul dan Kota Yogyakarta), Jawa Tengah
(Surakarta dan Sukoharjo), Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara), Jawa Barat
(Bandung) dan Lampung (Bandarlampung).
Secara umum dari 7 kabupaten/kota itu terlihat Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) tertinggi ada di Kutai Kartanegara yang
mencapai Rp 6,8 triliun.
Adapun APBD terendah yakni Kota Surakarta yang hanya
Rp 1,58 triliun. Untuk alokasi APBN yang digelontorkan untuk pendidikan
terbesar diterima Kota Bandung kemudian Kota Bandarlampung. Dan yang alokasi
APBN untuk pendidikan rendah yakni Yogyakarta.
Hal ini dikarenakan jumlah guru dan jumlah siswa paling
sedikit diantara 6 kabupaten kota lainnya. Alokasi APBN itu memang dihitung
dari gaji guru, tunjangan sertifikasi, Bantuan Operasional
Sekolah, Tunjangan Guru/Pegawai
Tidak Tetap Daerah dan DAK Pendidikan. Dari data diatas jelas terlihat jumlah
guru dan siswa di Kota Yogyakarta memang paling sedikit dibandingkan daerah
lain.
Komitmen kepala daerah terhadap pendidikan akan terlihat di alokasi
APBD untuk sector pendidikan. Karena anggaran yang dialokasikan murni dari
anggaran daerah tidak bergantung pada anggaran pusat.
Kebanyakan untuk
perbaikan infrastruktur tetapi ada beberapa daerah yang mengalokasikan BOSDA
sebut saja Kota Surakarta. Dari data diatas terlihat nominal APBD terbesar
dialokasikan oleh Kabupaten Kutai Kartanegara yang mencapai Rp 649 M, disusul
Kota Bandung (Rp 298 M) dan Kota Yogyakarta (Rp 210 M). Sementara yang minim
yakni Kota Bandarlampung yang hanya Rp 51 M dan Kota Surakarta (Rp 77,5 M).
Bila dilihat dari prosentase APBD, alokasi terbesar ada di
Yogyakarta (12,1 %) dan Kabupaten Kutai Kartanegara 9,29 persen. Yang
prosentasenya minim yakni Kota Bandarlampung (2,38%) dan Kota Bandung (4,66%).
Alokasi tahunan tiap siswa juga masih minim bahkan dibawah
anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk jenjang SD yang besarnya Rp
800.000/tahun. Hanya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kutai Kartanegara saja yang
alokasinya besar hingga tiap siswa dialokasikan Rp 4187.400. Memang makna alokasi
ini bukan berarti dana segar semua diserahkan ke siswa melainkan APBD yang
diperuntukkan bagi sektor pendidikan. Memang ada daerah yang mengalokasikan
BOSDA seperti Kota Surakarta yang bentuknya BPMKS. Setidaknya dari sample 7 kabupaten kota di 5 propinsi
menunjukkan belum ada daerah yang memenuhi mandat UUD 1945 amandemen ke 4 pasal
31 (4).
Anehnya meski belum memenuhi kuota 20 persen, hampir tidak
ada pemberitaan adanya tuntutan, protes atau
wakil rakyat mengajukan keberatan terkait pemenuhan anggaran. Masyarakat
juga adem ayem bahkan ketika di berbagai satuan pendidikan terdapat pungutan
dan sumbangan. Butuh dorongan dan penyadaran masyarakat untuk bisa mengadvokasi
diri mereka sendiri guna memperjuangkan hak-hak dan apa yang menjadi
tanggungjawab pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar