Kamis, 30 Januari 2014

Moratorium Tak Otomatis Kurangi Beban APBD

|0 komentar
Moratorium PNS sebenarnya telah dimulai tahun 2005 dengan diberlakukannya PP Nomor 48 Tahun 2005 oleh pusat. Hanya saja pada prakteknya banyak pemerintah daerah tetap mengangkat honorer dengan bahasa yang berbeda-beda. Ada yang memakai istilah tenaga kontrak, tenaga harian lepas, tenaga tidak tetap, honorer daerah dan masih banyak yang lainnya. Walaupun secara nasional sudah tidak dialokasikan lagi, faktanya APBD banyak terserap untuk membiayai tenaga rekrutan ini. Alasannya beragam, kekurangan pegawai, kebutuhan lapangan dan lain sebagainya.

Pada tanggal 1 September 2011 akhirnya pemerintah benar-benar tegas menghentikan dan melarang daerah membayar mereka. Akibatnya puluhan ribu tenaga kontrak protes. Tidak hanya tenaga kontrak daerah saja tetapi ada beberapa kementrian yang memang mengontrak mereka, salah satunya Kementrian Pertanian yang mempekerjakan THL TBPP (Tenaga Harian lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian) diberbagai wilayah juga turut menuntut diangkat menjadi PNS walaupun dalam kontrak mereka terdapat klausul tidak boleh menuntut diangkat menjadi PNS.

Source : Solopos cetak (Jan 2014)

Secara nasional juga keluar kebijakan penambahan PNS daerah harus dengan beberapa syarat diantaranya analisis beban kerja serta alokasi APBD belanja langsungnya diatas 50 persen. Bagi kalangan pemerintah daerah, persyaratan ini cukup berat terutama Pemda di Pulau Jawa. Penyebabnya yakni mereka tidak memiliki SDA yang bisa mendongkrak alokasi belanja langsung membesar hingga mencapai 50 persen. otomatis kebutuhan pembiayaan pegawai tidak bisa ditekan. Pun tiap tahun terdapat kenaikan gaji PNS sehingga otomatis DAU dari pusat terus meningkat.

Apabila diperhitungkan, moratorium ini tidak otomatis mengurangi alokasi Belanja Tidak Langsung. Salah satu contohnya di Kabupaten Boyolali. Sejak Tahun 2010, jumlah PNS di kabupaten susu itu terus menurun bahkan hingga 2013 jumlahnya berkurang 1012 pegawai. Pengurangan yang cukup signifikan. Akan tetapi dilihat dari alokasi Belanja Tidak Langsung khususnya Belanja Pegawai. Pada Tahun 2010, dari APBD Rp 964 M, sebesar 83,11 persen Rp 679 M  untuk gaji pegawai. Tahun 2011 APBD mencapai Rp 1,103 T gaji pegawai menyerap 89 persen (Rp 728 M), Tahun 2012 kembali naik menjadi Rp 1,232 T alokasi gaji menghabiskan 87,87 persen atau Rp 767 M dan 2013 dari Rp 1,422 T sebesar Rp 831 M atau 86,13 dialokasikan untuk gaji.

Sementara jumlah PNS terus berkurang beriringan tiap tahunnya. Dengan kondisi ini tentunya kepala daerah sebagai seorang manajer perlu membuat terobosan penting. Beban gaji PNS ditambah keharusan penganggaran bidang pendidikan 20 persen serta layanan murah/gratis bagi warga tidak mampu di bidang kesehatan ditata agar tidak membengkak. Apalagi kini model layanan berganti ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak berupa premi atau pembayaran pasca digunakan melainkan premi flat dan dibayar didepan perlu disikapi bijaksana.

Tanpa itu semua, alokasi APBD makin tidak terkontrol. Sayangnya Bupati justru lebih memprioritaskan perpindahan kantor Pemda sehingga puluhan miliar digunakan untuk proses itu. Sudah banyak kalangan yang mengkritisi dan hal ini harus dijawab dengan layanan publik yang lebih baik. Tanpa itu semua, sulit kiranya membenahi performance pemerintahan daerah. Seno Samudro sebagai kepala daerah masih memiliki kesempatan untuk melahirkan inovasi. Sehingga beban anggaran dan beban masyarakat Boyolali bisa berkurang.

Rusunawa Sebagai Salah Satu Hak Warga Negara

|0 komentar
Pertumbuhan penduduk di perkotaan berkembang cukup pesat. Kekhawatiran terjadi ledakan penduduk di Indonesia dimungkinkan terjadi apalagi kampanye 2 anak cukup yang dilakukan pemerintah sudah jarang kita dengar. Disisi lain, perkembangan teknologi juga mempengaruhi pernikahan usia dini, perceraian serta kualitas kesehatan pun tumbuh makin baik. Otomatis tingkat harapan hidup bertambah. Efeknya jelas, beban kota terus bertambah. Padahal lahan atau kawasan hunian tidak turut berkembang.

Akibatnya beban kawasan semakin berat. Tumbuh yang namanya hunian liar baik di bantaran sungai, bantaran rel, pemakaman, magersari atau luas hunian kian sempit. Perumahan yang dijual para pengembang laris manis bak kacang goreng. Meningkatnya harga sekitar Rp 10juta - Rp 20juta tiap tahun tak mempengaruhi minat masyarakat. Kebutuhan hunian menjadi prioritas yang harus segera dipenuhi. Dengan mudah kita temukan kawasan perumahan di pinggiran kota Solo baik sebelah barat, timur, utara maupun selatan.

Source : Solopos Cetak
Maka dari itu, Pemerintah Daerah dituntut mampu mensiasati perkembangan lonjakan penduduk. Tidak banyak kota yang peduli akan hal ini. Rata-rata mereka (Pemda) menyerahkan sepenuhnya pada masyarakat. Ibaratnya kalau mampu beli di kota silahkan, kalau tidak ya pindah pinggiran bahkan wilayah lain. Soal jauh dari sekolah atau tempat kerja seakan-akan bukan urusan pemerintah. Padahal hunian merupakan hak warga negara yang tingkat aksesnya perlu dipermudah. Masyarakat tidak boleh terus menerus tergeser oleh pemilik modal apalagi hanya untuk kepentingan bisnis semata.

Salah satu program yang hampir menjadi andalan tiap pemerintah daerah dalam membantu penyediaan kawasan tinggal adalah penyediaan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) maupun Rusunami (Rumah Susun Sederhana Milik). Meski demikian, kebanyakan Pemda hanya menyediakan lokasinya saja sementara pendiriannya bergantung pada pemerintah pusat. Lihat saja diberbagai pemerintah daerah kecuali Jakarta yang karena tuntutan kawasan yang perlu ditata.

Kota Surakarta sendiri memiliki 4 Rusunawa dengan total 658 hunian dan direncanakan akan dibangun di Tahun 2014 bertambah 2 lagi. Meski yang seharusnya memiliki adalah warga Solo, faktanya tidak demikian. Pembangunan Rusunawa dilakukan ditanah negara yang mangkrak atau tidak terpakai. Beberapa pemakaman yang tidak aktif akan dialihkan untuk pendirian Rusunawa. Namun banyak kondisi Rusunawa tidak dikelola secara profesional. Akibatnya kondisi sangat memprihatinkan, gedung banyak rusak dan kondisinya kumuh.

Meskipun diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah, seharusnya Rusunawa dikelola secara profesional agar minimal kondisinya layak huni. Tidak perlu sampai setor PAD paling tidak bisa mandiri.Yang harus difahami, penyediaan Rusunawa merupakan salah satu kewajiban Pemerintah Daerah dalam memberikan hak tinggal pada warganya. Pendirian Rusunawa juga sebagai pola antisipasi agar prosentase ruang terbuka hijau tetap terjaga 30 persen.

Selasa, 28 Januari 2014

Pajak Restoran Ditarget Rp 14 M Di Tahun 2014

|0 komentar
Surakarta telah menjadi salah satu Kota tujuan wisata di Indonesia. Berbagai event mampu didongkrak dan terselenggara dengan baik. Efek positifnya menjalar ke berbagai hal baik sisi pendidikan, budaya, sosial hingga ekonomi. Kota Batik ini mencuat saat Ir H Joko Widodo menjabat sebagai Walikota yang jeli menciptakan event. Sebut saja Solo Batik Carnival, mengangkat Grebeg Sudiro, Perayaan Apem Sewu dan lainnya. Juga membenahi berbagai tempat yang bisa menjadi kawasan wisata baru seperti Ngarsopuro, Galabo, Balekambang dan lainnya.

Masih ada beberapa tempat yang hingga sekarang masih menghadapi kendala dibenahi, Kebon Binatang Jurug, Museum Radya Pustaka bahkan sengketa Bon Rojo Sriwedari tak kunjung jelas statusnya. Yang paling terlihat nyata efeknya dibidang pariwisata seperti hotel, biro perjalanan, seni pertunjukan, toko batik hingga bisnis kuliner. Efek peningkatan usaha yang timbul dari berbagai event sepantasnya dikelola dengan baik supaya imbasnya bisa dirasakan oleh masyarakat luas.

Source : Solopos Cetak
Sudah banyak kampung yang berupaya menggali potensi budaya asli. Sayangnya tampilannya nyaris seragam yakni berupa karnaval. Seharusnya Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Surakarta melakukan kajian bekerja sama dengan UNS Fakultas Sastra Jurusan Sejarah menggali akar budaya masing-masing kampung. Diatur juga secara teknis kapan waktu penyelenggaraan event hingga bentuk eventnya. Bukan malah menambah event tanpa kesejarahan yang nyata seperti SBC, Festival Jenang atau lainnya.

Semua tahu Surakarta salah satu pusat kebudayaan yang cukup komplet. Penamaan wilayahnya saja mengandung kesejarahan tinggi. Hal ini juga menjadi upaya pelestarian tradisi. Disisi lain, pemeliharaan situs, benda maupun bangunan perlu segera diberlakukan pasca keluarnya UU Cagar Budaya. Event budaya peninggalan jaman dahulu yang terpelihara hingga sekarang salah satunya yaitu Sekaten. Sayangnya tidak ada yang bisa membedakan antara sekaten, pasar malam, bazar atau sejenisnya kecuali konteks luas wilayah maupun jumlah peserta yang mengikuti kegiatan tersebut.

Bahkan di event semacam sekaten macam itu kini mulai ada pedagang kerak telor yang identik dengan PRJ atau peninggalan betawi. Inilah catatan-catatan kecil yang semestinya menjadi perhatian Disbudpar sehingga bagi wisatawan yang berkunjung akan merasakan sensasi tersendiri bukan merasa sama saja dengan lainnya. Maraknya berbagai event, cukup kuat mendongkrak PAD maupun pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

Minimal bila dilihat PAD di pajak restoran ditarget meningkat Rp 4 miliar pada tahun ini. Penerapan pajak restoran ini didasarkan pada kriteria restoran dengan klasifikasi A prosentase pajaknya 10 persen, klasifikasi B prosentasenya 5 persen dan klasifikasi C pajaknya 3 persen. Klasifikasi tersebut mengacu pada pendapatan bulanan yakni Rp 1-5 juta/ bulan, Rp 5-10 juta perbulan serta diatas Rp 10 juta/bulannya. Apalagi bila event dikelola lebih serius, PAD Kota Surakarta berani dipatok diatas Rp 18 M pertahunnya.

Senin, 27 Januari 2014

Usaha Juga Butuh Terobosan Pemda

|0 komentar
Pertumbuhan ekonomi Kota Surakarta sebenarnya cukup mengagumkan. Hal ini didasarkan pada data di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) dalam kurun 3 tahun. Rupanya Kota Surakarta benar-benar menjadi salah satu tujuan wisata maupun berusaha. Pasca naiknya Hadi Rudyatmo, banyak pihak menyangsikan pria berkumis lebat ini bakal turut sukses seperti Joko Widodo. Faktanya tercatat pergerakan rupiah mencengangkan. Kondisi ini belum banyak berefek pada pengurangan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin.

Perbedaan cukup kentara kepemimpinan Joko Widodo dengan Hadi Rudyatmo salah satunya pada inovasi. Meski minim inovasi, setidaknya Rudi mampu mempertahankan bahkan menaikkan pertumbuhan ekonomi. Dengan jumlah warga miskin yang masih tinggi, tentu pertumbuhan baik yang dicatat BPMPT penting digali atau dianalisis. Sebab salah satu yang dihitung yakni pertumbuhan usaha kecil atau mikro investarinya menarik. Kenapa pertumbuhan itu tidak berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin?

Untuk usaha Mikro, investasi 2011 mencapai Rp 12,9 M kemudian turun drastis menjadi Rp 8,7 M dan tahun lalu kembali terdongkrak ke jumlah Rp 16,4 M. Usaha kecil tahun 2011 tercatat Rp 172,4 M dan ikut merosot di 2012 menjadi Rp 89,6 M dan kemudian menjadi 105,1 M. Dibandingkan dengan pertumbuhan usaha mikro, usaha kecil belum kembali ke posisi semula. Nilai ini tentu mengejutkan sebab dengan tumbuhnya usaha mikro akan merangsang pertumbuhan usaha kecil. Untuk usaha menengah tercatat Rp 292 M investasi tahun 2011, dan terus turun menjadi Rp 184,4 M ditahun 2012 serta tertekan hingga cuma berjumlah Rp 138,9 M.
Catatan Investasi Kota Solo (Solopos cetak Januari 2014)

Pencatatan berbeda dari kontribusi usaha besar yang mencapai Rp 1,9 T di tahun 2013 sedangkan tahun 2012 lebih tinggi Rp 2,6 T. Adapun tahun 2011 lebih kecil Rp 1,5 trilyun. Secara umum jumlah investasi terjadi fluktuasi yaitu Rp 2,1 trilyun dari 1.651 usaha, melonjak Rp 2,9 T dari 1.285 usaha serta turun menjadi hanya Rp 2,2 trilyun dari pendaftaran 1.270 usaha. Ada hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Kota Surakarta terkait berbagai investasi ini.

Kawasan perkotaan yang hampir mencapai titik jenuh akan menurunkan nilai investasi. Setidaknya tercatat di tahun 2013 dibandingkan 2012 baik dalam jumlah investasi maupun jumlah pelaku usaha. Perlu dikembangkan berbagai inovasi, kreasi serta terobosan agar pencatatan usaha dan investasi terus berkembang. Biasanya banyak Pemda meningkatkan PAD dari investasi dengan menaikkan tarif maupun retribusi. Padahal kebijakan ini tidak bijak. Belum lagi kalangan usaha tidak mendapatkan insentif seperti pengembangan usaha,

Berbagai insentif bisa diperuntukkan bagi mereka sebut saja disertakan dalam berbagai event, dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, insentif pajak tahunan dan lain sebagainya. Pun demikian dengan berbagai event di tingkat kota perlu ditata. Keberadaan berbagai SKPD seperti DPPKAD, Diparsenbud, BPMPT, Disperindag mengkonsolidasikan berbagai event dengan melibatkan mereka (pengusaha) yang tertib. Bisa juga ada reward anual (tahunan) bagi yang pembayaran pajaknya rutin dan selalu tepat waktu. Dengan demikian pengusaha merasa diperlakukan selayaknya.

Senin, 20 Januari 2014

Menanti Upaya Pemkab Wonogiri Meminimalisir Pelecehan Seksual

|0 komentar
Seperti banyak diberitakan media, kasus pelecehan di eks Karesidenan Surakarta yaitu Kabupaten Wonogiri. Setidaknya dalam 2 tahun ini jumlahnya meningkat terus. Pada media Tahun 2013 lalu mencapai 46 kasus dan data ini menunjukkan kenaikan jumlah pada tahun sebelumnya yang mencapai 33 kasus. Yang menyedihkan lagi kasus-kasus pelecehan terjadi pada remaja maupun anak-anak. Kejadiannya seringkali sepele yaitu berupa sms atau telepon nyasar yang dilakukan oleh masyarakat biasa sebut saja buruh bangunan atau tukang bakso.

Ini bukan menunjukkan bahwa semua tukang bangunan atau penjual bakso selalu memiliki niat jahat setidaknya kejadian ini dilakukan oleh orang kebanyakan. Korbannya pun merupakan anak sekolahan bahkan ada yang masih bersekolah di Taman kanak-kanak. Dari berbagai kejadian tersebut, upaya pendampingan serta pengusutan kasus sebenarnya berjalan baik. Sayangnya upaya pencegahan masih minim tergambar dari pemberitaan. Bupati bahkan tidak menyoroti secara khusus. Ibu Bupati tidak terlihat mengawal dan berperan aktif dalam soal ini.

Padahal dampak yang ditimbulkan dari korban pelecehan adalah rasa trauma yang mendalam. Seharusnya ibu bupati meskipun merupakan ibu muda harus berperan aktif dalam kampanye ini. Dinas pendidikan sebagai sektor terdepan dimana anak-anak itu menjalani pendidikan harus pula mensosialisasikan bahaya pelecehan pada siswanya. Sebab tanpa ada gerakan bersama, niscaya kasus ini bisa terus berulang. Bila dikalkulasi selama 2 tahun setidaknya dalam sebulan rata-rata lebih dari 3 kasus pelecehan terjadi.

Berbagai kejadian buruk ini semestinya menimbulkan gerakan bersama bagi orang tua untuk melakukan sesuatu. Bagaimana pencegahan, bagaimana menindaklanjuti kasus serta pemulihan bagi korban yang terkena pelecehan. Menikahkan tentu bukan jalan yang bijak karena mereka masih memiliki masa depan yang panjang. Secara psikologis mereka belum siap mentalnya untuk menghadapi hidup berkeluarga. Bupati sebagai kepala daerah semestinya mendorong agar berbagai program dapat dilakukan supaya kejadian tidak terus berulang.

Kemajuan teknologi harus disertai dengan kearifan berpikir dan bertindak. Memahamkan anak akan potensi pelanggaran maupun akibat harus terus ditanamkan. Pendekatan keagamaan hanya merupakan salah satu bagian saja. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi, bahaya kehamilan dini serta masa depan bagi anak patut menjadi catatan tersendiri. Dengan kondisi geografis yang cukup luas serta terbentangnya lokasi antar kampung menjadikan adanya ruang-ruang bagi pelecehan seksual. Solusinya bukan kemudian meramaikan tempat-tempat sepi namun menanamkan nilai agar kejadian tidak terus berulang.

Disinilah dibutuhkan peran aktif secara menyeluruh baik secara institusi maupun personal agar kejadian buruk ditahun 2014 tidak kembali terulang. Terbukti kejadian di kabupaten lain bisa ditekan atau diminimalisir. Membangun komunitas-komunitas peduli pada anak, pada kesehatan reproduksi, memanfaatkan waktu luang anak untuk berkegiatan dan lainnya bisa dibangun. Agar anak-anak bisa memahami bahaya maupun pikirannya teralihkan. Tanpa kerjasama semua pihak, sulit kiranya meminimalisir pelecehan seksual dimasa mendatang.

Jumat, 10 Januari 2014

Mempertanyakan BPJS Kesehatan

|0 komentar
Mulai Januari Tahun 2014, pengelolaan layanan kesehatan milik pemerintah semua dilakukan di 1 atap bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jadi pengguna Askes dan Jamsostek kini mulai dilayani dan dilimpahkan kesana. Rencananya hingga 2019 semua masyarakat Indonesia kesehatannya akan diurusi institusi ini. Bagi PNS, TNI, Polri dan peserta Jamkesmas secara otomatis bergabung dan bagi masyarakat lainnya diminta bergabung. Tentu tidak gratis alias membayar iuran Rp 25.500 untuk layanan kelas III, Rp 49,500 untuk layanan kelas II dan Rp 59.500 untuk layanan kelas 1. Dan harga itu untuk membayar tiap jiwa (premi).

Dibandingkan dengan asuransi swasta memang harga yang ditarifkan oleh BPJS Kesehatan ini sangat murah. Coba saja di cek berbagai asuransi kesehatan yang pada tahun 2010an saja premi sudah seharga Rp 100.000/bulan. Itu premi asuransi yang biasa saja, apalagi yang kelas Pru******l atau All****e yang keluaran German. Cuma kedua layanan kelas premium dengan premi mahal memang kualitasnya dijamin. Akses dan cara klaim tidak terlalu rumit. Dengan jaman semakin canggih, premi kadang tak harus setor atau diambil melainkan automatic debet via bank.


Bagaimana dengan rencana pengelolaan BPJS ini? Di beberapa bank sudah ada fasilitas asuransi bagi penabung dengan nominal tertentu. Memang kemudian uang yang didapat diakhir periode tidak sama persis dengan yang disetor hanya saja yang perlu dicatat adalah fasilitas kesehatan itu sebagai layanan tambahan. Perhitungan kasar dari model yang pernah saya ketahui dalam jangka 10 tahun hanya berkurang sekitar Rp 2jutaan saja alias bila dirata-rata setahun hanya membayar sekitar Rp 1,2juta atau Rp 100.000/bulan. Itu uangnya kembali.

Bandingkan dengan BPJS yang preminya murni hangus. Saya pikir dengan layanan untuk seluruh Indonesia semestinya kalau model premi hangus nominalnya bisa lebih rendah lagi. Bayangkan saja bila yang terdaftar sebagai peserta BPJS itu separo atau 50 persen yaitu 125 juta. Sedangkan yang Jamkesmas alias bebas iuran 25% penduduk Indonesia itu sudah 60 juta jiwa. Berarti 70 juta jiwa sisanya membayar. Bila premi perbulan Rp 10.000 saja didapat nominal Rp 700 miliar/bulan atau Rp 8,4 trilyun pertahun. Bisa dibayangkan berapa keuntungan BPJS perbulannya?

Layanan RS harus berkualitas
Jika se Indonesia anggap saja ada 1.000 rumah sakit yang melayani peserta BPJS, setidaknya tiap RS itu mendapat cadangan Rp 700 juta. Dengan kalkulasi ini seharusnya BPJS bisa memberi layanan lebih murah dan lebih ekslusive misalnya model autodebet tabungan atau gaji bagi yang non PNS. Sudah begitu premi yang dikenakan bisa lebih murah. Atau sekalian tambahi fasilitasnya bagi yang 1 tahun sama sekali tidak menggunakan biaya berobat maka dia bebas premi 2 bulan misalnya.

Saat ini yang juga dikritisi peserta BPJS adalah pendaftaran harus sesuai alamat. BPJS sendiri belum menyediakan card reader pembaca e-KTP sehingga secara administratif menyulitkan peserta. Kenapa tidak sekalian bekerjasama dengan perbankan bahwa bagi yang memiliki rekening di bank secara otomatis menjadi peserta BPJS dengan diberi kartu cuma-cuma. Terutama yang bunga tabungannya diatas Rp 10.000/bulan. Bagi yang tidak mencapai nominal itu, maka akan ditanyakan pihak bank.

Dengan perhitungan pemasukan sebesar itu, maka tawaran kapitasi pada dokter yang melayani BPJS tentu akan berlomba-lomba memudahkan pelayanannya. Sebab makin banyak dia melayani pasien, otomatis pendapatannya akan meningkat. Tolak saja tawaran IDI yang meminta tunjangan dokter Rp 2 juta - Rp 3 juta perbulan tanpa pengawasan. Urus dulu keanggotaan masyarakat terutama bagi yang masuk program Jamkesda sebab Pemda tidak mudah menyetujuinya. Beda Jamkesda dengan BPJS adalah premi BPJS hangus sedang anggaran Jamkesda itu akan dibayarkan bila peserta Jamkesda berobat.

Selasa, 07 Januari 2014

Kapasitas Anas Urbaningrum Ternyata Cuma Segitu

|0 komentar
Siapa yang tak kenal Anas Urbaningrum yang awalnya dianggap rising star politikus muda, cerdas, santun dan memiliki masa depan cemerlang. Anggapan awal itu sirna perlahan pasca masalah beruntun yang terus menerus dialaminya serta sikap yang diambil. Disisi lain, upaya membela diri yang dilakukannya makin tak membuat empati masyarakat tumbuh. Dirinya malah menggali lobang dan entah sengaja atau tidak menceburkan diri dalam galian itu.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek hambalang bukan berkonsentrasi menghadapi dengan gentle malah terlihat gusar dan melakukan langkah "gali lobang" tadi. Pasca ditetapkan sebagai tersangka, langkah pertamanya itu benar, mengundurkan diri dari Ketua Umum Partai Demokrat. Sayangnya setelah itu dia mengulangi taktik penyelamatan diri pasca kisruh KPU saat dia menjabat. Waktu KPU periode 1999 - 2004 ada gonjang ganjing terkait beberapa anggota yang disidik terkait kasus korupsi, Anas melompat menjadi anggota Partai Demokrat.

Sesaat setelah melepas jaket PD, dia mengemukakan akan membuka lembaran kedua dan seterusnya. Statemen ini dianggap masyarakat mengalihkan fokus. Meski beberapa diantaranya melihat, Anas tidak mau dikorbankan sendiri. Langkah lanjutan yang semakin dalam lobangnya digali yaitu dengan mendirikan PPI dan mengajak serta rekannya di PD. Itu sih tidak seberapa namun turut memainkan politik menyerang demokrat. Ketika ditanya wartawan terkait kasus hambalang malah berkoar "Rp 1 saja korupsi, gantung Anas di monas".

Andi Malaranggeng (saat Menpora) di Pansus RUU Pramuka. Ilustrasi

Bukan simpati yang didapat justru malah cercaan bertubi-tubi. Disaat kondisi masyarakat apatis pada koruptor yang berasal dari politisi, dia berusaha mencuci tangannya. Padahal tingkat kepercayaan warga pada KPK hampir total. Belum lagi bantahannya soal money politik saat pemilihan ketua umum PD yang dibantahnya. Padahal beberapa orang mengaku diberi uang dan Hp pintar bila mendukung Anas. Sayangnya yang merapat ke Anas dan muncul ke permukaan adalah orang-orang yang terlihat tidak lincah memainkan peranan, sebut saja Makmum Murod serta Tridianto (eks Ketua DPD PD Cilacap).

Gali lobang berikutnya yaitu tak menghadiri panggilan KPK sebagai tersangka Selasa (7/1). Sudah absen eh malah utusan Anas melontarkan isu Bambang Widjoyanto disertai Deny Indrayana (Wamenkum HAM) dan Djoko Suyanto (Menko Polhukam) mendatangi Cikeas. Statement itu masih diimbuhi dengan tudingan konspirasi. Begitu ketiganya membantah dan meminta bukti, hanya statemen mohon maaf. Entah sudah galian keberapa yang dilakukan Anas.

Sebaiknya segera mengkonsolidasi diri saja dan memberi batasan pada orang disekeliling dirinya agar menjaga sikap, perkataan yang justru merugikan. Masyarakat sudah pintar dan bisa melihat gesture mana yang jujur, baik dan benar. Contohlah sikap yang gentle yang dilakukan Andi Malaranggeng, pihaknya melakukan pembelaan berupa opini dan berkutat pada substansi. Tidak melebarkan isu atau bahkan cenderung fitnah. Bantahlah tuduhan KPK dengan menggambarkan bagaimana sesungguhnya yang terjadi.

Elpiji dan Keppres Layanan Kesehatan Pejabat, Mainan Politik Jelang 2014

|0 komentar
Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan yang menjual elpiji di Indonesia menaikkan harga awal Januari 2014. Kenaikan yang tidak tanggung-tanggung untuk ukuran 12 kg dari harga Rp 70an ribu menjadi Rp 128 ribu. Begitu ada protes dari masyarakat akhirnya pemerintah menurunkan kembali harganya hingga naik cuma Rp 1.000 perkilo. Meski demikian, kenaikan harga itu tanpa biaya distribusi dan lainnya. Sehingga ketika dijual oleh agen rata-rata diatas Rp 90 ribu. Bahkan di luar Jawa harga sudah diatas Rp 120an ribu. Kondisi ini makin membebani warga.

Pertanyaan kritisnya yaitu kenapa kenaikan harga yang dilakukan pertamina tanpa di konsultasikan dengan pemerintah? Toh saham Pertamina 100 persen dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah sendiri beralasan bahwa kebijakan kenaikan harga itu kewenangan perusahaan. Sementara alasan Pertamina agar tidak rugi sebab biaya produksi elpiji 12 kg sudah tidak layak. Artinya konsumen 12 kg tidak layak mendapat subsidi dengan alasan banyak digunakan kelas menengah. Benarkah argumen ini?

Padahal secara jelas pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa air, tanah dan kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran rakyat. Disini pemerintah tidak boleh sewenang-wenang menetapkan harga. Seharusnya segala produk sumber daya alam yang langsung di konsumsi masyarakat luas tetap harus mendapat subsidi terkecuali konsumsi yang diatas batas kewajaran. Kenapa tidak diterapkan tarif progresif? Misalnya setiap pengguna mendapat e card untuk pembelian gas. Bila dalam sebulan membeli lebih dari 2 tabung gas 12 kg atau 5 tabung gas 3 kg dikenakan tambahan biaya.

Jamal Mirdad, artis yang menjadi legislator

Pemerintah sendiri sedang merencanakan hal ini untuk pembelian BBM terutama bensin. Bila sulit membatasi siapa pengguna BBM kelas masyarakat dan pengusaha sebaiknya dikenakan insentif. Sudah ada model pemberlakuan seperti ini misalnya pajak kendaraan mewah atau kendaraan (mobil) ketiga dan seterusnya. Apalagi sudah banyak individu yang memiliki e-ktp sehingga lebih mudah mengontrolnya. Untuk konsumsi BBM jenis premium pemerintah tinggal memasang alatnya saja. Bagaimana dengan penjual bensin eceran? Dikenakan saja tarif batas atas sehingga yang mengkonsumsi eceran juga terkena konsekuensi.

Sejauh ini masih banyak model layanan publik yang kurang bisa dipisahkan antara konsumsi orang mampu dan tidak. Pilihan yang cukup adil tente melepaskan semua proteksi atau subsidi namun syaratnya adalah bantuan untuk warga miskin harus benar-benar diterapkan secara benar. Beri sanksi yang bukan warga miskin bila menerimanya. Sayangnya saat bersamaan pada Januari, Presiden malah mengeluarkan Keppres tentang bantuan layanan kesehatan pejabat hingga berobat keluar negeri meski kemudian dibatalkan.

Munculnya 2 kebijakan yang kemudian direvisi (elpiji dan keppres layanan kesehatan pejabat) menunjukkan ada korelasi mainan kebijakan dengan situasi politik untuk 2014. Kalangan legislatif sepertinya juga tidak cukup kuat memiliki analisis jitu untuk bertarung membatalkan kebijakan legislatif. Kebanyakan legislatif sering asal menolak berbeda dengan expert yang mampu berdiskusi dengan menunjukkan titik mana kelemahan kebijakan pemerintah.

Kedepan, harusnya wakil rakyat yang terpilih adalah anggota DPR yang memiliki kapasitas dan kapabilitas diri untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Bukan seperti periode sekarang yang justru banyak terkena jerat kasus korupsi. Masyarakat harus benar-benar membedah mana caleg yang memiliki integritas dan kapasitas yang memadai. Tidak sekedar terjebak pada kelompok partai alias fanatisme buta. Sayangnya pemilu ini belum ada lembaga yang mempublikasi rekam jejak caleg 2014 sehingga bisa saja rakyat bagai membeli srigala dalam karung.