Jumat, 20 Desember 2013

Transparansi BOS Macet Di Tingkat Sekolah

|0 komentar
Di era serba keterbukaan ini seharusnya menjadi perhatian banyak pihak. Terutama bagi pengelola uang negara karena dengan transparansi sebenarnya memenuhi hak warga masyarakat untuk tahu, terbuka dan akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan). Salah satu dari berbagai anggaran pemerintah yang semestinya itu bisa diakses dan transparan yakni Bantuan Operasional Siswa (BOS). Kurun sebulan terakhir pada medio Juli - Agustus, Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Surakarta beserta puluhan NGO mencoba melakukan uji akses terhadap dana BOS.

Hasilnya sungguh mencengangkan. Masih terdapat banyak sekolah yang jangankan memberikan SPJ penggunaan dana BOS, memberi jawaban atas surat permohonan akses dana BOS saja tidak. Uji akses itu dilakukan terhadap 112 SD dan 110 SMP di 8 Propinsi yakni Jateng, Jatim, Jabar, DIY, DKI, Banten, Aceh dan Lampung. Jumlah sekolah yang diuji akses yaitu Propinsi Jawa Tengah (39 SD dan 41 SMP), DIY (22 SD dan 23 SMP), Jawa Timur (16 SD dan 14 SMP), Jawa Barat (10 SD dan 10 SMP), DKI (9 SD dan 10 SMP), Lampung serta Aceh (masing-masing 5 SD dan 5 SMP) serta Banten (4 SD dan 4 SMP).
Ilustrasi

Uji akses ini sekaligus sebagai upaya pembuktian difahaminya UU No 14 Tahun 2008 Tentang Kebebasan Informasi Publik sebagai hak warga. Permohonan yang diajukan dari jaringan NGO tersebut ada yang atas nama organisasi berbadan hukum (56 persen), perseorangan mewakili dirinya sendiri (29 persen) serta perseorangan mewakili kelompok (15 persen). Mayoritas permohonan dikirimkan langsung (90 persen) dan sisanya melalui surat menyurat. Dari ratusan permohonan tersebut ternyata sikap sekolah beragam.

Jumlah terbanyak yakni diam membisu (22 persen), dialihkan (18 persen), penolakan lisan (15 persen), informasi diterima (13 persen), menolak untuk menerima (12 persen), Informasi tidak ada (10 persen), Jawaban tidak memadai (6 persen), akses parsial (3 persen) serta penolakan tertulis (1 persen). Sementara dari 22 persen jawaban diam membisu banyak terjadi di DKI Jakarta, Aceh, Jatim, Banten dan DIY paling minim.

Hasil ini menandakan proses tranformasi dan pemahaman atas undang-undang tidak cukup dikuasai oleh sekolah. Padahal pendidikan di Indonesia mengelola anggaran terbesar dibandingkan sektor lain sesuai mandat UUD. Anggaran besar tidak hanya untuk sekolah, siswa, peningkatan mutu tetapi hingga gaji-gaji guru sering mendominasi mayoritas anggaran. Sayangnya besarnya anggaran tidak dibarengi dengan sikap yang terbuka dan transparan. Sekolah merupakan salah satu institusi yang anggarannya didapat dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

Mendikbud Muhammad Nuh perlu mendorong keterbukaan sekolah supaya pendidikan tidak sekedar gratis namun berguna bagi semua. Biarlah sekolah swasta mahal asal sekolah negeri memang untuk warga. Negara ini bukan negara Sosialis apalagi Komunis namun berlandaskan Pancasila sehingga yang disokong adalah masyarakat miskin. Tidak ada prinsip sama rata, sama rasa atau adil itu harus sama. Sudah selayaknya sekolah berubah.

Senin, 16 Desember 2013

Pak Rent Kena Teguran Tuhan

|0 komentar
Kampung Ganjil sudah lama teduh dan tenang. Kehidupan berjalan normal saja dan saat mulai musim hujan kerja bakti digalakkan kembali. Pak Utomo masih menjabat Ketua RT memasuki 2 periode dan semuanya masih baik-baik saja. Ada sih riak-riak kecil namun solidnya kepengurusan menjadikan mereka berjalan kompak. Dukungan pak Ardi sebagai wakil ketua RT dan pak Muhammad di sie pembangunan menopang kesolidan pengurus.

Setelah membenahi selokan, pak Utomo memprogramkan pembuatan gudang RT yang sudah direncanakan 3 Ketua RT sebelumnya dan gagal. Kendalanya soal design dan uang. Namun berkat kerja keras dan usaha nyata akhirnya terbangun dengan swadaya warga. Separuh lebih biaya pembuatan gudang disokong warga. Meski ada suara-suara mencela, pengurus bekerja cukup solid. Sempat ada pedebatan tentang hari kerja antara Ketua RT dengan pak Kabar yang menyebabkan pak Kabar mogok memantau. Dengan trik tasyakuran tengkleng, cairlah hubungan mereka.

Lorong Kampung Ganjil
Sepertinya pak Utomo pandai membagi peran diantara pengurusnya. Bagi yang membandel akan ditangani pak RT dan pak Ardi sebagai sesepuh. Sementara taktik mencairkan dan strategi membuat warga berpartisipasi banyak disokong pak Muhammad. Pengurus lain cenderung sebagai implementator saja, apa yang diperintahkan ya jalan. Disisi lain saat membangun usaha pak Rent sedang ramai-ramainya. Dia menjanjikan membantu asbes dan patungan dengan pak Wijo agar atap pos ronda, hik dan gudang terlihat rapi.

Awalnya pak Utomo tidak setuju karena waktu dan biaya pasti membengkak. "Wah bisa dikomplain warga nih kalau lepas tenggat" tukas pak Kabar yang dipercaya pak Utomo memantau pembangunan gudang. Pusing juga pak Muhammad memikirkannya sebab ada 2 orang yang di awal tidak berencana membantu tiba-tiba bersedia. Lantas pak Utomo didekati dan diberi penjelasan aspek kerapian, waktu dan mensiasati budget. Deal, pak Utomo sepakat.

Pak Wijo membayar biaya asbes sedangkan sisanya akan dibayar pak Rent pasca kepulangan dari kerjaan driver di Bali. Sementara biaya disupport oleh kas RT. Namun pak Muhammad tidak mau menagih dengan alasan kesadaran diri saja sebab atas usulnya sendiri. Seminggu hingga sebulan tak ada dana masuk hingga kini. Rupanya Tuhan Maha Adil, ditegurlah pak Rent dengan menyepinya order usaha dia. Dari 3 mobil yang hilir mudik dirumahnya, kini tak tersisa 1 mobilpun.

Ah ternyata kita benar-benar harus hati-hati apalagi berjanji didepan banyak orang tidak ditepati. Apalagi janji itu untuk membangun fasilitas umum. Teguran dari tuhan malah merepotkan pak Rent beserta keluarganya. Dengan kejadian ini warga berintrospeksi bersama agar dimasa depan tidak gampang berjanji. Teguran Allah itu karena kesalahan kita sendiri dan menjadi pembelajaran penting.

Senin, 02 Desember 2013

Undang-Undang Desa dan Syarat Penting Sebelum Disahkan

|0 komentar
Berbagai kabar berhembus menjelang pergantian Tahun 2013 ke Tahun 2014 ini. Selain akan memasuki tahun politik, suhu meningkat dengan dikabarkannya akan segera disahkan Rancangan Undang-Undang Desa. Salah satu topik penting dalam pembahasan RUU Desa yaitu adanya alokasi desa 10 persen dari APBN yang bila dikira-kira tiap desa akan mendapatkan Rp 800 juta hingga Rp 1 milyar. Sebuah jumlah yang fantastis karena masih banyak birokrasi yang hanya sanggup mengelola dana hanya puluhan juta saja. Hal ini bukan berarti menegasikan bahwa perangkat desa tidak mampu.

Selain itu masih ada soal masa jabatan kades serta periodisasi kades dan berbagai polemik lainnya. Dua tahun belakangan isu ini menjadi menarik karena mayoritas masyarakat memang tinggal di desa. Selama ini perspektif umum tentang desa adalah pelosok, ketinggalan jaman, infrastruktur tidak memadai dan berbagai kelemahan lainnya. Selama ini memang desa tidak cukup mendapat alokasi yang adil dari pemerintah daerah. Kementrian Dalam Negeri juga belum pernah mengeluarkan evaluasi secara nasional implementasi ADD. Maklum saja, berbagai kementrian terlalu banyak beban anggaran yang tidak pada tempatnya.

Untuk menghadapi rencana pengesahan RUU Desa, mari coba kita bedah lebih jelas bagaimana menyikapi RUU ini. Ada 4 persoalan penting yang harus tuntas sebelum pengesahan undang-undang yang diinisiasi secara massif oleh Budiman Sudjatmiko ini. Keempat persoalan tersebut yakni sisi negatif, sisi positif, sugesti serta tantangan yang harus dipikirkan secara matang. Tanpa mampu menjawab 4 persoalan besar ini, blunder kedua negara ini akan terulang. Entah disepakati atau tidak, blunder terlalu cepat menerapkan otonomi daerah tahun 1999 itu jelas dan diakui penggagasnya, Ryas Rasyid.

Ada beberapa aspek negatif yang harus dikaji secara jeli sebelum penerapan RUU ini. Dengan kondisi sekarang saja ada kepala desa melarikan anggaran PBB, Akta Tanah, bermain pada tukar guling aset desa dan lainnya. Di proyeksikan dengan undang-undang ini bisa jadi korupsi ditingkat desa akan marak. Belum lagi tuntutan pemekaran desa yang bisa berujung konflik. Siapa yang tidak tergiur dengan alokasi Rp 800 juta - Rp 1 Miliar setahun? Kalau saja penduduknya hanya 500 jiwa, bukankah tiap orang bisa mendapat uang Rp 2juta/tahun. Kalau 1 KK ada 4 orang bukankah bisa mendapat Rp 8 juta?.

Bisa jadi kemudian desa mengalokasikan anggaran yang tidak dibutuhkan seperti LCD, kulkas, AC dan lainnya. Apa manfaat LCD dengan pertemuan ditingkat desa yang jarang? Atau alokasi membeli mobil dinas. Beberapa kelurahan akan meminta statusnya beralih ke desa, munculnya banyak makelar proyek dan dengan anggaran sebesar itu maka pengawasannya akan minim. Meski demikian sisi positifnya cukup terbuka yaitu akan menahan laju urbanisasi penduduk, kondisi desa bisa lebih maju, ekonomi desa akan tumbuh dengan pesat dan dampak lain.

Oleh sebab itu penting kiranya memagari atau memberi rambu-rambu sebelum regulasi ini ditetapkan. Isu Undang-undang desa ini sangat penting dan baik. Bila ditangani tidak serius akan menimbulkan bangunan otonomi semakin rapuh. Yang terpenting untuk dipikirkan (sugesti) yakni sebaiknya besaran alokasi tidak sama rata tiap desa. Harus ada indikator yang terstruktur secara jelas. Pun demikian alokasi ditiap propinsi maupun daerah. Kemendagri harus menetapkan alokasi rerata tiap desa mendapat berapa dan ditambah variable yang akan dijadikan alokasi tambahan.

Misalnya tentang inflasi, kondisi geografis, kemiskinan warga, akses ke pusat pemerintahan, kondisi sumber daya alam dan banyak lainnya. Variable di level nasional inilah yang menjadi penentu alokasi ADD ditiap daerah kabupaten. Nantinya di kabupaten bisa jadi ada perhitungan tersendiri misalnya kontribusi PBB, tertib administrasi, ketepatan penyusunan APBDes dan lainnya. Sehingga tidak otomatis alokasi dana ke desa langsung disalurkan dari Kementrian Keuangan pada rekening desa. Penerapan anggaran ke desa juga sebaiknya bertahap dengan pra syarat sistem monitoring dan evaluasi harus telah selesai terlebih dahulu di tingkat kabupaten.

Bagi wilayah (kabupaten) yang sistem monitoring dan evaluasi belum selesai, maka alokasi desa tak bisa dicairkan. Sementara aspek tantangan yang dihadapi pemerintah, pengesahan UU ini bukan merupakan jualan poltiik. SBY harus benar-benar menyiapkan jurus jitu. Kemudian bagaimana PP dan Juklak Juknis distribusi anggaran bukan juklak juknis penggunaan. Sebaiknya juklak juknis penggunaan anggaran diserahkan ke daerah sebagai salah satu syarat mencairkan anggaran desa. Termasuk adanya klausul di UU No 32/2004 bahwa otonomi itu ditingkat kabupaten/kota bukan di desa. UU ini akan rawan kepentingan dan bisa digugat lawan politik.

Bagi penulis, menyarankan kalangan eksekutif dan legislatif bahwa pengesahan bisa saja dilakukan Januari 2014 seperti dalam rencana. Namun cantumkan saja tahap yang harus dipersiapkan dengan tahapan serta syarat yang harus dipenuhi tiap tahunnya secara jelas dan bisa berlaku penuh di 2019 (5 tahun mendatang). Alokasi ke desa bisa dimulai dengan prosentase yang bertahap juga sembari memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaanya. Sebab ide ini cemerlang namun tidak berarti secara totalitas bisa diterapkan langsung. Kita semestinya banyak belajar dari berbagai kasus korupsi kepala daerah pasca otonomi.

Eh bagaimana nasib ADD pasca undang-undang ini disahkan?

Jumat, 29 November 2013

DPK Habis Untuk Anggaran Rutin Kelembagaan Di Kelurahan

|0 komentar
Disaat pembahasan berbagai anggaran yang hampir kesemuanya naik, rupanya ada salah satu alokasi anggaran di Pemerintah Kota Surakarta yang tetap. Anggaran tersebut adalah Dana Pembangunan Kelurahan (51 Kelurahan) yang bersifat hibah diperuntukkan bagi masyarakat. Jumlah keseluruhan alokasi DPK di 51 Kelurahan tersebut sejak 3 tahun lalu sebesar Rp 9 M dan nampaknya Tahun 2014 akan tetap sama saja. Masyarakat kurang terorganisir dalam menyampaikan aspirasi terkait hal ini. Padahal sebelumnya sudah pernah muncul wacana pemberian seragam Ketua Rt dan Rw yang nominalnya cukup besar.

Memang kebutuhan pembiayaan jauh lebih penting misalnya meningkatkan alokasi PKMS Silver dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta dan kategori Gold menjadi Rp 7 juta (dari Rp 5 juta). Belum lagi wacana cek darah 1 tahun sekali disertai general cek up. Belum ditambah adanya alokasi PKMS bagi kalangan Posyandu. Wacana ini memang penting dan amat dibutuhkan. Namun sudah sejak Walikota dijabat Ir Joko Widodo, banyak program yang bersifat fisik serta dipermukaan. Nampaknya hal ini tidak menjadi isu penting bagi masyarakat terutama para Faskel, LPMK maupun aktivis kelurahan lainnya.

Sedangkan bila dilihat dari skema atau postur APBD, peningkatannya cukup signifikan. Prosentase kenaikan PAD tahun 2013 ini mencapai 27 persen (dari Rp 189 M menjadi Rp 262 M). Sedangkan SILPA kurun 2 tahun tersedia cukup besar bahkan melebihi DPK rutin yaitu Rp 46 M (2012) dan Rp 54 M (2013). Bisa jadi Hadi Rudyatmo selaku Walikota tidak mau menggunakan DPK menjadi alat politik. Tetapi sebenarnya hal ini sah-sah saja karena dia memiliki wewenang serta yang memanfaatkan DPK semua orang (alias semua partai politik). Ini bisa dijadikan bantahan argumen bila Rudy sebagai policy maker dituduh mempolitisasi APBD.

Koridor Ngarsopuro ditata dengan APBD
Disisi lain, Tahun 2012 lurah-lurah juga sudah mendapatkan kendaraan dinas baru. Padahal makin lama alokasi DPK selain value berkurang, alokasi yang lain kian terbebani. Ada berbagai kelembagaan bentukan Pemkot yang alokasi kegiatannya dimintakan ke DPK. Sebut saja dengan KLA, Posyandu, Honor Rt dan Rw, GWJB, Pokdarwis serta lainnya. Di Tahun 2014 mendatang, masih menjadi perdebatan tentang penghentian PNPM, bisa jadi mekanisme penganggarannya akan masuk di DPK. Tentu lebih memberatkan beban DPK.

Maka dari itu, sudah saatnya Walikota meningkatkan alokasi anggaran DPK terlebih kemampuan APBD Surakarta cukup mumpuni. Pencatatan SILPA di APBD setidaknya 2 tahun belakangan sebesar puluhan miliar itu sangat disayangkan. Wakil rakyat juga kurang keras mendorong SILPA yang lebih rasional misalnya dikisaran angka Rp 20an miliar saja. Kalau lebih dari jumlah itu, patut dipertanyakan kinerja TAPD. Birokrasi telah melakukan anggaran sejak negara ini berdiri dan pengalaman mengalokasikan anggaran semestinya menjadi pembelajaran penting.

Elemen masyarakat seperti Rt, Rw, PKK, Karang Taruna, Faskel, LPMK, Pokdarwis dan lainnya bisa menyuarakan secara bersama. Penguatan analisa anggaran pada elemen-elemen masyarakat ditingkat kelurahan harus diupayakan kembali sehingga alokasi anggaran daerah bisa dimanfaatkan dengan baik. Salah satu sisi positif ditingkatkan DPK yaitu mengurangi alokasi bagi dana aspirasi yang memang regulasinya tidak jelas. Jadi, berani tidak pak Rudy menaikkan anggaran?

Kamis, 21 November 2013

Memudarnya Nama Kampung, Lenyapnya Sejarah

|0 komentar
Kemajuan era globalisasi memang banyak bermanfaat bagi manusia meski banyak yang tak seiring sejalan. Ada banyak konsekuensi logis dari kemjuan jaman diantaranya tradisi, bahasa, lingkungan hingga makin kaburnya sejarah. Di Jawa lebih khusus di Solo banyak lokasi memiliki nama yang memang terkait sejarah secara kental. Tetapi dikarenakan secara administratif menggunakan jenjang yang tidak sama otomatis penyebutan nama kampung secara perlahan bergeser. Secara administratif, pola pikir masyarakat ikut terstruktur mulai dari Rt, Rw, kelurahan dan lain sebagainya.

Padahal di Solo cukup banyak penamaan kawasan berdasarkan sisi kesejarahan yang tidak saja cukup diketahui melainkan juga dipelihara. Artinya ada beragam tradisi yang kadang mengiringi kehidupan kampung yang kini sudah banyak terhapus. Akibatnya berbagai even kebudayaan turut pula tergeser makna maupun aplikasi lapangannya. Bisa dilihat di sekaten (dari kata syahadatain) yang kini cuma berisi mainan anak, judi dan pertunjukan musik. Sementara aslinya perayaan sekaten penuh nuansa agamis yang mengikutsertakan siraman rohani.

Memelihara kebudayaan bukan hanya dengan pawai, arak-arakan atau karnaval semata. Lihatlah berbagai even yang diadakan pemerintah kota Solo lebih mengandalkan keramaian berkeliling. Yang menjadi unggulan Solo Batik Carnival walaupun tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi semestinya berbagai ajang kesenian memiliki kesejarahan cukup kental dan mampu memancarkan nuansa kebudayaan yang menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Biasanya tradisi Jawa yang adiluhung selalu menyelipkan nilai-nilai maupun pembelajaran yang baik.
Kawasan Benteng Vastenberg

Beberapa kesenian atau perayaan kebudayaan yang memiliki sejarah yaitu peringatan Apem Sewu, Grebeg Sudiro, malam 1 suro dan beberapa lainnya. Sampai saat ini berbagai even itu masih belum cukup dalam menyampaikan pesan selain berupa keramaian semata. Oleh sebab itu, penting kiranya Pemkot Surakarta menggalakkan kembali penggunaan nama kampung selain secara administratif. Kesejarahan itu pasti memiliki nilai dan akan mampu menggerakkan masyarakat untuk bertradisi baik.

Penamaan Lawiyan, Gajahan, Kemlayan, Kartopuran dan masih banyak yang lainnya itu mengandung makna sangat dalam. Berkembangnya sebuah kota juga menggeser tempat tinggal tokoh yang mengerti sejarah, menghancurkan situs (bisa berupa rumah kuno, benda bersejarah maupun hal lain) serta efek yang lain. Joko Widodo pernah mengutarakan Solo dengan slogan Solo Future is Solo Past. Tanpa mengembalikan penamaan kampung tentu kata-kata Jokowi itu hanya makna yang dangkal. Pengembalian penggunaan nama kampung secara psikologis akan menggerakkan penduduk menjadi penjaga kebudayaan.

Pengembalian nama kampung harus dilakukan secara perlahan dengan mencari kesejarahan, mencatat, menandai serta mengembangkan dan menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Tidak ada yang menyatakan majunya kota yaitu dengan jumlah mall atau hotel yang banyak melainkan kesejahteraan warga telah tercapai. Mengembalikan nama kampung sebenarnya mengembalikan masyarakat Surakarta ke dalam jati dirinya. Banyak stakeholders yang bisa dilibatkan dalam upaya-upaya pengembalian nama kampung. Termasuk mengembalikan segala hal baik fisik maupun kebudayaan pada asalnya walaupun untuk melakukan semua itu butuh proses.

Rabu, 20 November 2013

Bagaimana Menetukan Si Miskin?

|0 komentar
Menurut berbagai pemberitaan di media massa, seringkali saat dilakukan distribusi program pengentasan kemiskinan terjadi keributan. Entah dikarenakan warga tak berhak malah mendapatkan, entah karena yang mendapat masih sanak saudara ketua Rt dan lain sebagainya. Lantas bagaimana selama ini menentukan si miskin yang katanya dilakukan survey oleh Badan Pusat Statistik? Kenapa masyarakat yang mampu masih mendapatkan? Katanya metodologi yang digunakan sudah valid. Indikator kemiskinannya sendiri merupakan rumusan dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Beberapa daerah juga turut menyalurkan berbagai program versi daerah. Sebut saja Surakarta yang sejak jaman Walikota Ir Joko Widodo turut menyalurkan program pengentasan kemiskinan. Di pendidikan ada BPMKS, untuk kesehatan ada PKMS, penataan lingkungan ada RTLH, warga meninggal mendapat santunan dan yang paling akhir yaitu program Raskinda. Program Raskinda langsung di handle oleh Walikota baru yaitu Hadi Rudyatmo. Sayangnya protes pembagian Raskinda tetap menyeruak. Meski TKPKD Kota Surakarta merupakan salah satu TKPKD yang cukup progressif, faktanya masih terjadi kesalahan sasaran.

Penting kiranya TKPKD Surakarta tidak hanya melandaskan data yang dikirimkan TNP2K dari survey BPS. Namun Pemkot Surakarta perlu mendetilkan variabel yang menjadi sasaran. Seperti diketahui, PPLS (Program Pendataan Perlindungan Sosial) Tahun 2011 dijadikan dasar bagi penentuan warga miskin. PPKS itu menetapkan 23 indikator yaitu luas lantai, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, penerangan utama, fasilitas buang air besar, tempat pembuangan akhir tinja rumah tangga, sumber air minum, status tempat tinggal, jumlah penghuni rumah.

Masih banyak warga yang tinggal berdekatan hewan ternak (photo by Ian)

Kemudian ada pekerjaan, status kerja RTS dalam rumah, kepemilikan aset, jumlah tanggungan keluarga, kepala rumah tangga perempuan, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, anak usia sekolah yang tak bersekolah,. kemampuan berobat/kepemilikan jaminan kesehatan, penderita kecacatan, penderita penyakit kronis, konsumsi pakaian, bahan bakar memasak. konsumsi makanan dan frekuensi makan. Nah anggota TKPKD rupanya kurang jeli melihat data yang dikirimkan TNP2K. Sehingga menjelang pleno akhir tahun masih kesulitan menentukan warga miskin.

Selama ini memang penerima program lah yang aktif meminta kelurahan. Tetapi apakah memang sudah semua warga sadar akan hal itu. Bagaimana dengan orang lanjut usia yang tinggal sendirian? Oleh sebab itu penting pemerintah daerah mengkalkulasi dari berbagai indikator tersebut. Misalnya ketika merumuskan siapa yang berhak mendapat PKMS ya berarti indikator-indikator yang terkait dengan kesehatan terendah maka yang berhak mendapatkan. Diantaranya jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, penerangan utama, fasilitas buang air besar dan lainnya.

Demikian pula untuk penentuan penerima BPMKS, Raskinda, RTLH dan lain sebagainya.Sayangnya Kota Surakarta dengan TKPKD yang cukup aktif tidak merumuskan secara mendetil 23 indikator dengan variable seberapa. Padahal dengan sumber daya birokrasi dan ketersediaan anggaran yang memadai seharusnya bisa dilakukan. Hal ini juga lebih meminimalisir distribusi program yang tepat sasaran. Pejabat wilayah seperti lurah tak perlu takut lagi mendistribusikan bantuan karena rumusannya telah tepat.

Senin, 18 November 2013

Problem Pengentasan Kemiskinan

|0 komentar
Menentukan Indikator Saja, Pemda Bingung

Sebenarnya bukan tak yakin, bimbang atau ragu namun tidak cukup yakin Pemerintah dapat mengurangi tingkat kemiskinan meski berbagai program sudah disalurkan. Sejak mulai penentuan indikator kemiskinan, variabel, personal yang dilibatkan pendataan hingga distribusi program tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Terbukti dari berbagai program ketika disalurkan ke daerah selalu menimbulkan polemik, kekisruhan maupun gugatan dari masyarakat. Mulai dari tidak tepat sasaran, penerima tidak ada hingga tidak sedikit PNS maupun anggota TNI/Polri menerimanya.

Data kemiskinan yang saat ini dijadikan patokan menyalurkan berbagai bantuan disusun berdasarkan ketentuan 23 indikator oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Kemudian pelaksanaan survey dikerjakan Badan Pusat Statistik hingga entry data. Sedangkan pengolahan data dilakukan langsung oleh TNP2K. Data inilah yang menjadi penentu bagi penyaluran Jamkesmas dan Raskin. Model penentuan indikator secara nasional sendiri hemat penulis sudah tidak tepat dilakukan. Ada berbagai argumentasi yang melandasinya.

Sebut saja inflasi daerah, kondisi ekonomi, sosial, budaya dan masih banyak yang lainnya. Disisi lain pengelolaan anggaran oleh pusat (dan daerah tinggal mendistribusikannya) sungguh malah menambah parah karut marut penanganan kemiskinan. Selain Jamkesmas dan Raskin, banyak program yang disalurkan misalnya BOS, RTLH, PKH, BLSM. Anehnya kesalahan model begini kemudian ditiru oleh berbagai pemerintah daerah. Bukannya mengentaskan kemiskinan, justru kondisi daerah malah ruwet dengan penyaluran berbagai program tersebut.

Ilustrated

Keruwetan ini makin parah dengan implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sebab dana yang digunakan yaitu merupakan pinjaman World Bank yang pada Tahun 2015 sudah harus mulai diangsur/dicicil. Di tingkat daerah, PNPM juga merumuskan kriteria tersendiri. Maka dari itu guna membenahi berbagai problem pengentasan kemiskinan, pemerintah pusat harus mendekonstruksi pemikiran atas pengentasan kemiskinan. Langkah itu meliputi Pertama, Kebijakan tentang pengentasan kemiskinan secara nasional ditetapkan oleh pusat.

Artinya pemerintah tidak perlu membuat indikator secara detil. Misalnya indikator secara nasional saja ditetapkan namun daerah bisa mempertajam. Bila indikator penghasilan dimasukkan maka daerah harus menuliskan pada ambang batas berapa warga dikatakan miskin, hampir miskin atau sangat miskin. Atau tanggungan anak sekolah maka tiap daerah bisa menentukan kriteria berapa anak yang bisa dirumuskan menjadi kriteria lokal.

Kedua, melakukan koordinasi dan monitoring pada level propinsi yang selama ini dalam konteks pengentasan kemiskinan sering dilewati begitu saja. Optimalkan peran Pemprop untuk mengkonsolidasikan kebijakan di daerah. Sehingga peran propinsi yang selama ini seakan-akan tidak ada bisa dimanfaatkan. Ketiga, pusat mendistribusikan anggaran langsung ke daerah untuk dikelola dengan rumusan-rumusan tertentu. Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan rumusan tersebut yakni bisa tertib waktu penetapan APBD, jumlah warga miskin, jumlah siswa sekolah, jumlah RTLH atau yang lainnya.

Keempat, evaluasi dilakukan secara bersama dengan susunan tim dari pusat dan propinsi. Artinya TNP2K dan TKPKD Propinsi melebur untuk secara rutin ke daerah melakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan secara partisipatif dengan TKPKD Kabupaten/kota. Harapannya, mendesentralisasikan berbagai bantuan pengentasan kemiskinan dilakukan langsung oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini juga mengurangi kekisruhan perbedaan data yang kerap terjadi.


Kamis, 14 November 2013

Mengembalikan Peran Strategis LPMK Di Surakarta

|0 komentar
Bila kita lihat sekarang ini terdapat banyak kelembagaan/organisasi diberbagai institusi negara. Dalam satu dinas saja ada yang namanya Korpri, Dharma Wanita, Koperasi Unit dan lain sebagainya. Paling jelas di kelembagaan desa atau kelurahan. Di Solo apalagi karena termasuk kota yang cukup cepat merespon kebijakan pusat. Sehingga tumpukan berbagai jenis organisasi di kelurahan begitu marak. Soal efektifitas dan perannya, ya patut dicermati lebih dalam.

Sebenarnya yang formal diatur oleh kebijakan setingkat Permendagri seperti Lembaga Pemberdayaan Maysrakat Kelurahan, Program Kesejahteraan Keluarga dan Karang Taruna Indonesia. Namun di Solo kita banyak menemui organisasi lain. Sebut saja Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), GWJB (Gerakan Wajib Jam Belajar), KLA (Kelurahan Layak Anak), KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan lainnya. Berbagai organisasi itu sayangnya kurang didukung dengan sumber daya.

Banyak tokoh masyarakat yang terlibat diberbagai organisasi tersebut sehingga kadangkala tidak berjalan cukup efektif. Belum lagi ditambah dengan organisasi bentukan warga sendiri semisal kelompok seni, organisasi keagamaan, organisasi hobi maupun jenis lainnya. Tak ada yang salah dengan berbagai kelembagaan yang dibentuk. Hanya saja perlu dipikirkan benar soal efektifitas dan perannya dalam membangun masyarakat.

Sebut saja hingga kini peran LPMK yang menjadi kurang optimal. Idealnya LPMK bisa menjadi organisasi payung dari berbagai organisasi yang ada di masyarakat. LPMK menjadi partner strategis bagi pemerintah kelurahan dalam menjalankan program pembangunan di masyarakat. Faktanya justru malah sebaliknya. Keberadaan mereka seringkali bersifat rutinitas semata, menjalankan program ketika memang waktunya beraktifitas bukan merumuskan dan menjalankan program dari berbagai organisasi yang ada di kelurahan. Kewenangan yang dilindungi Perda kini malah tak berjalan.

Secara rutin LPMK menunggu dana yang diajukan dalam Musrenbangkel dan penentuannya malah dilakukan oleh panitia ad hoc (Panitia Pembangunan Kelurahan/PPK). Pemerintah Kota Surakarta semestinya mereview bahkan bila perlu revisi Perda tentang LKK. Dalam perjalanannya LPMK dapat menjadi konsolidator perencanaan, monitoring  pelaksanaan pembangunan maupun evaluator atas program yang dilaksanakan PPK. Bukan malah sebaliknya, menerima anggaran PPK dan melaksanakan kegiatan rutin tahunan berupa peringatan nasional atau hari besar keagamaan.

Sudah lama peran LPMK dipinggirkan bahkan sejak proses Musrenbang diinisiasi di Surakarta. Niat awal tidak memberi peran signifikan dalam Musrenbang dikarenakan dahulu LPMK (saat itu bernama LKMD) dikuasai tokoh yang dipandang masyarakat tidak obyektif dalam perencanaan pembangunan. Kini pasca otonomi makin membaik dan Musrenbang telah memasuki 12 tahun perjalanannya sebaiknya mengembalikan peran LPMK pada tempatnya.

Langkah pertama dan penting mereview kembali Perda LKK (Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan) serta mengembalikan peran semula. Termasuk membedah Perda LPMK yang sempat dicabut untuk kemudian dibenahi mana yang masih bisa reasonable dan mana yang tidak. Dengan demikian, kelurahan memiliki partner perencanaan yang setara. Tanpa itu semua, keputusan pelaksanaan hasil Musrenbang semestinya patut dipertanyakan bila kewenangan masih pada PPK yang secara kelembagaan sifatnya Ad Hoc.

Senin, 11 November 2013

Tiga Urusan Pokok Kemendikbud

|0 komentar
Sudah sejak 2003 alokasi anggaran pendidikan terus mengalami kenaikan signifikan tetapi hingga kini pendidikan masih saja berkutat pada biaya. Bagi para orang tua, faham betul menghadapi lika-liku ini. Sebut saja mulai pendaftaran, diterima, menjelang masuk sekolah, pembelajaran hingga penerimaan raport atau ijazah. Hampir semuanya membutuhkan uang yang jumlahnya bagi kalangan tertentu tidak sedikit. Catatannya ini di sekolah negeri yang biasa saja. Berbagai pungutan itu terjadi dikarenakan banyak hal tidak hanya karena ketidaktahuan orang tua saja namun ditambahi penyelenggara yang tidak transparan.

Dalam Permendiknas tentang Juklak Juknis BOS selalu dituliskan tentang pentingnya transparansi, keterlibatan orang tua siswa, larangan pungutan dan berbagai catatan lain. Sayangnya regulasi ini hanya didapat oleh sekolah. Peran komite yang seharusnya diposisi orang tua siswa tidak cukup optimal menjalankan perannya. Cek di berbagai media internet, sulit menemukan komite sekolah yang memiliki peran signifikan sebagai penyeimbang informasi sekolah.
Siswa sekolah turut partisipasi pemecahan rekor jarik terpanjang

Pungutan saat pendaftaran bisa beragam bentuk baik langsung maupun tidak langsung. Yang langsung misalnya biaya pendaftaran, jual formulir, stopmap. Yang tidak langsung jenis stopmap harus berlogo sekolah, formulir juga dibuat tersendiri, parkir kendaraan dan lainnya. Menjelang masuk sekolah juga ada pungutan bisa berupa uang gedung, uang seragam, infaq dan berbagai macam lainnya. Ketika pembelajaran sudah dimulai, akan ada tarikan seperti buku paket, LKS, uang kegiatan, piknik, sumbangan ini itu.

Diakhir tahun ajaran baik saat penerimaan raport atau kelulusan akan ada iuran kenang-kenangan, biaya piknik, fotocopy ijazah, sumbangan perpustakaan dan ragam bentuk lainnya. Semestinya berbagai pungutan ini makin berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Kenapa? karena anggaran pendidikan sudah di support tiap level baik daerah, propinsi maupun pusat. Tiap tahun ketika APBD meningkat, otomatis alokasi anggaran juga bertambah. Meski demikian, diberbagai wilayah tetap saja sekolah mengenakan pungutan, iuran, sumbangan atau apapun labelnya.

Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2013 merilis satu dasa warsa upaya pemberantasan korupsi di sektor pendidikan. Ternyata hasilnya cukup mencengangkan yakni penegak hukum mampu menindak 296 kasus sektor pendidikan dengan indikasi kerugian negara mencapai Rp 619 Miliar. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Bila jumlah itu yang bisa ditindak, artinya bisa ribuan kasus dengan potensi kerugian negara yang jauh lebih besar.

Tercatat ada 151 Dinas Pendidikan yang melakukan tindakan itu dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 356 M. Bagaimana tidak, sebut saja 1 elemen tentang gedung rusak pasti daerah menganggarkan namun juga berupaya mendapat alokasi dari propinsi. Disisi lain, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan proyek berupa Dana Alokasi Khusus untuk perbaikan sekolah rusak. Tumpang tindih ini yang rawan terjadi double anggaran atau proyek.

Sebaiknya Kementrian Pendidikan fokus pada 3 hal besar yakni sistem pendidikan, peningkatan kualitas guru serta kurikulum. Sementara soal bantuan siswa, sertifikasi, pembenahan fisik diserahkan ke daerah dengan komponen perhitungan tersendiri. Buat saja sistem untuk mengkalkulasi proporsi jumlah sekolah dengan potensi perbaikan atau kebutuhan pendirian sekolah baru misalnya. Terapkan juga reward dan punishment bila terjadi pelanggaran. Sehingga Kemendikbud tidak berkutat pada hal teknis, masak anggaran trilyunan masih mengurusi bansos senilai Rp 25 juta/sekolah.

Selasa, 05 November 2013

Dana Aspirasi Tak Ada Dalam Pasal Di Regulasi

|2 komentar
Hampir setiap tahun menjelang pengesahan anggaran diberbagai wilayah muncul usulan dana aspirasi. Padahal yang namanya dana aspirasi ini tidak pernah termaktub dalam regulasi apapun. Ini pemaknaan sesat wakil rakyat. Seperti diketahui fungsi legislatif ada 3 yakni legislasi, pengawasan dan anggaran. Sayangnya kata "anggaran" ini dimaknai sebagai hak mendapatkan anggaran bukan fungsi. Inilah sesat pikir yang terus dipelihara hingga saat ini.

Dijelaskan fungsi anggaran yaitu untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU APBN/D yang diajukan Presiden atau kepala daerah. Pemahaman yang sepotong ini kemudian dipolitisir bahwa mereka berhak mendapat anggaran untuk dialokasikan ke dapil mereka memenuhi usulan warga meskipun yang melaksanakan SKPD. Titik beratnya adalah penentu program dan kegiatan ada pada wakil rakyat. Hal ini tentu melanggar UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dalam UU No 25/2004 disebutkan segala program perencanaan pembangunan disusun berdasar Musrenbang dan diajukan secara bertahap sesuai dengan tingkatan. Yang masuk dalam prioritas itu akan dianggarkan oleh SKPD. Jadi tidak ada klausul usulan yang tidak masuk prioritas bisa diajukan langsung ke SKPD melalui DPRD. Sesat pikir ini turut melanda DPR RI ditahun 2010 yang menginginkan ada dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar/tahun/anggota. (sumber 1, 2, dan 3)

Bahkan apabila ditotal dana aspirasi itu dialokasikan tersendiri untuk 560 anggota DPR jumlahnya menjadi Rp 8,4 triliun. Lantas bagaimana mekanisme pengawasannya. Sesat pikir ini tidak sekedar melanggar UU No 25/2004 namun juga rawan penyelewengan. Siapa yang bisa mengontrol pemenang tender proyek tidak memberi fee pada yang mengajukan anggaran? Tugas anggota legislatif pasca pengesahan anggaran itu mengontrol pembangunan, crosscek, dan meminta keterangan bila ditemukan kejanggalan. Bila disibukkan dengan mengusulkan program, waktu akan tersita banyak memverifikasi proposal.

Belum lagi bila rencana program juga diusulkan di tingkat II, I atau pusat. Sebut saja kegiatan disetujui oleh Bupati, apakah pemerintah propinsi atau pusat sempat memverifikasi tiap program yang diajukan? Bagaimana bila kementrian ketika akan mengimplementasikan program ternyata sudah dikerjakan oleh daerah? Anehnya di Sukoharjo soal dana aspirasi ini menjadi perdebatan sengit antara wakil rakyat dengan bupati. Anggota dewan meminta Rp 500juta namun Wardoyo bersedia memberi hanya Rp 300 juta.

Disisi lain, masyarakat yang tidak faham juga kurang mendapat pencerahan baik dari kalangan dewan maupun jajaran birokrasi. Harusnya mereka bisa menjelaskan bahwa prosedur pengajuan program tetap harus melalui Musrenbang karena itu jalan satu-satunya yang konstitusional terkecuali memang force majeur alias kegentingan. Untuk alokasi kegentingan sudah ada anggarannya tersendiri yang biasanya dimasukkan dalam pos Anggaran Tak Terduga.

Hendaknya mulai disosialisasikan dan pemerintah serta legislatif bersikap sama. Keuntungan menjalankan sistem sesuai aturan membuat tiap elemen akan fokus pada pekerjaannya. Silahkan masyarakat kalau mau potong kompas pengajuan usulan tidak masalah tetapi akan ditindaklanjuti oleh wakil rakyat saat rapat pembahasan anggaran. Apakah program tersebut diusulkan eksekutif atau tidak. Di forum itu bisa dikupas kenapa program tidak diprioritaskan. Jadi, hentikan sesat pikir tentang dana aspirasi ini.


Kamis, 31 Oktober 2013

Masyarakat Kita Memang Banyak Yang "Sakit"

|0 komentar
Dalam sebuah rapat Rt dikampung, seksi sosial ketika dimintai laporan pengeluaran kas untuk menjenguk tetangga yang sakit memberi pernyataan yang cukup mengejutkan. Dia mengatakan “Alhamdulillah secara fisik warga kita sehat-sehat saja, tapi secara fisik lho ya” ujar pria yang bekerja sebagai editor penerbit ini. Karuan statement ini menimbulkan senyum, tertawa kecil hingga ada yang menundukkan kepala warga yang hadir.

Bagi masyarakat Jawa, ungkapan kalimat diatas memang mengandung sindiran yang luar biasa halus namun mendalam. Kami sebenarnya tinggal diperumahan dan secara rutin ada iuran bulanan. Namun seringkali untuk memelihara lingkungan, peringatan hari besar, menjenguk tetangga yang sakit kadang harus ada biaya ekstra. Maka dari itu disepakati ada jimpitan yang besarannya terserah warga mulai Rp 100 hingga tak terhingga. Yang mengambil jimpitan juga digilir pada malam hari. Ini sebagai upaya pengawasan lingkungan, keakraban warga dan pemasukan kas tambahan.





Namun dalam prakteknya yang mengisi jimpitan hanya 60-70 persen saja dan petugas tiap malam yang aktif juga tidak sampai separo dari yang dijadualkan. Meski sudah diingatkan tetap saja tidak berubah. Beberapa individu sepertinya menganggap bahwa bertemu dan bercengkerama dengan tetangga lain cuma menghabiskan waktu saja. Padahal pos ronda diramaikan dengan pedagang HIK (warungan khas Solo) yang dijajakan tetangga sendiri buka hingga malam. Disitu tak ada miras, judi, atau kegiatan yang melanggar.


Sesekali kami mendapati cerita serupa di Rt lain yang meski kebanyakan berasal dari desa di seputaran Solo namun rasa guyub (merasa dekat seperti saudara) sudah mulai tercerabut.Perumahan kami juga bukan perumahan elit namun perumahan mewah (mepet sawah). Seorang tetangga bercerita bahwa partnernya jarang masuk kantor meski di gaji besar. Yang lain bertutur, lunturnya simpati dan empati. Buktinya ada teman yang melahirkan atau sakit juga tak berkunjung.

Atau cerita lain mengenai seseorang yang suka menjelek-jelekkan teman sekantornya ke pihak luar padahal si pencerita sendiri ke kantor juga seminggu sekali. Alasannya mendapat tugas lain dari kepala daerah yang jauh lebih penting. Ada pula tetangga kami yang punya mobil 3 (maklum memang penyedia jasa sewa mobil) kalau diajak nengok tetangganya sakit hampir lebih suka nunut mobil lain dibanding mengeluarkan mobil sendiri meski mobilnya lebih bagus dan ndongkrok dirumah.

Padahal manusia itu memiliki jiwa bawaan yakni jiwa sosial, namun bila sedikit demi sedikit jiwa a sosial dipupuk seakan-akan menjadi sanggup hidup tanpa tetangga sekeliling. Pun demikian dengan sumbangan atau bantuan pembangunan publik yang akan digunakan secara bersama-sama. Seringkali warga menilai bila menyetor dana maka dirinya langsung akan jatuh miskin meski hanya menyumbang Rp 10.000 hingga ratusan ribu. Dalam ajaran agama yang mayoritas dianut warga difahami bahwa sumbangan atau bahasa lain shodaqah sejatinya tidak pernah hilang.

Bantuan itu justru akan dilipatgandakan oleh Allah SWT baik didunia maupun di akhirat. Hanya kebanyakan masyarakat sudah menganggap apa yang berlaku didunia itu semua serba jual beli. Bila menyumbang sesuatu ya harus ada timbal balik yang langsung harus diterima. Padahal seringkali bantuan kita itu diganti dengan bentuk lain yang nilainya jauh diatas uang yang kita donasikan. Sebut saja nilai kesehatan yang kita miliki sebenarnya sudah ratusan miliar. Sayangnya banyak yang tidak menyadari. Entah sampai kapan masyarakat kita akan terus sakit begini.

Rabu, 30 Oktober 2013

Yang Muda Yang Korupsi

|0 komentar
Pemberitaan media massa dalam kurun 5 tahun terakhir seperti tak pernah sepi dari kasus korupsi baik ditingkat nasional maupun daerah. Walau KPK sudah berkali-kali melakukan operasi tangkap tangan (OTT), rupanya koruptor lain menganggap si pelaku sedang sial saja sehingga dia mencoba melakukannya sendiri. Bukti nyata yang terakhir adalah kasus OTT terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar yang ditangkap di rumah dinasnya. Seperti biasa pelaku korupsi lainnya, awal ditangkap selalu mengelak dengan beragam argumen.

KPK tak pernah meladeni sanggahan atau bantahan pelaku. Mereka tetap menjalankan proses penyidikan sesuai prosedur dan akhirnya masyarakat tahu sendiri betapa bejatnya Akil Muchtar. Apalagi ditambah dengan penemuan lintingan ganja diruang kerjanya. Pasca ditemukannya beberapa bukti pendukung, suara Akil Muchtar kini bak ditelan bumi, sunyi dan tak ada sedikitpun apalogi lagi. Demikian pula dengan penasehat hukumnya yang makin hari kerepotan menjawab tindakan KPK yang mampu menunjukkan berbagai bukti pendukung.

Sayangnya, saat ini banyak koruptor-koruptor yang usianya masih sangat belia dan sifat rakusnya sudah luar biasa. Entah mereka memiliki sifat korup dari siapa. Apakah sistem di institusi mereka yang lemah, rayuan pasangan, sifat sedari lahir yang serakah atau mereka hidup dilingkungan yang korup. Tentu para orang tua mereka bersedih melihat anak-anaknya yang usianya belum 40 tahun sifat korupnya sudah tinggi. Kalau soal tuntutan hidup, sepertinya tidak karena koruptor muda ini hidup diatas rata-rata masyarakat Indonesia. Apalagi mereka memiliki jabatan/profesi yang mentereng.

Kita lihat misalnya Gayus Tambunan, yang usianya baru 34 tahun dan memiliki pekerjaan sebagai PNS di Ditjen Pajak. Anak baru satu, istri PNS dilingkungan Pemprop Jakarta. Sulit menerka apa motivasi tindakanannya itu. Kemudian Angelina Sondaakh, 39 tahun anak sudah 3 namun berlatar belakang artis. Jabatan di Partai Demokrat sudah Wakil Sekjen alias sudah memiliki posisi penting. Dia utusan Fraksi Demokrat serta perwakilan Komisi X di Badan Anggaran DPR. Suaminya (saat itu) juga anggota DPR yakni Adjie Massaid.

Yang fenomenal yakni Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat yang berusia baru 35 tahun. Anak baru 1, telah memiliki berbagai usaha meski diduga usahanya berkaitan dengan proyek-proyek kementrian. Pekerjaan terakhir adalah anggota DPR. Sebelum tertangkap, Nazaruddin melarikan diri hingga ke kolumbia. Artinya stok uang melimpah dan dengan perusahaan yang masih beroperasi, memenuhi hidup dengan standart atau diatas rata-rata saja masih banyak uang yang tersisa.

Masih banyak koruptor muda lain yakni Dhana Widyatmika, 37 tahun (Ditjen Pajak), Tommy Hindratno (Ditjen Pajak), Wa Ode Nurhayati, 32 tahun (anggota DPR), Fahd A Rafiq, Dendy Prasetya serta koruptor yang berada di daerah-daerah. Lantas siapa yang sebenarnya harus bertanggungjawab atas maraknya para koruptor muda ini? Pemberantasan korupsi memang tanggungjawab KPK namun pencegahan korupsi adalah tanggungjawab kita bersama.

Dari sekian koruptor muda itu, yang tak pantas di contoh adalah Zulkarnain Djabar. Dia melakukan korupsi dengan melibatkan anaknya. Setidaknya para orang tua zaman sekarang penting menekankan pendidikan anti korupsi sejak dini. Nilai-nilai kejujuran harus ditanamkan secara nyata agar anak-anak yang tumbuh tidak terbiasa berkutat dengan korupsi termasuk korupsi waktu, korupsi nilai apalagi korupsi etika. Krisis keteladanan di Indonesia mesti segera ditangani. Media berperan penting mengkampanyekan anak-anak muda yang berprestasi.

Senin, 28 Oktober 2013

Penyelewengan PNPM Rp 3,3 M Di Bayat Klaten Sita Perhatian

|0 komentar
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Meski demikian masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa anggaran yang dialokasikan PNPM sebenarnya merupakan pinjaman Bank Dunia. Disisi lain, pola implementasinya menerapkan pola yang sama dengan birokrasi namun jalur berbeda. Penganggaran PNPM juga disyaratkan ada swadaya masyarakat serta kontribusi daerah bagi pelaksanaan program. Ditiap kabupaten/kota disediakan fasilitator-fasilitator yang membantu masyarakat menyusun rencana tahunan.

Sisi positif yang bisa diambil dari program ini adalah fokus pada pengentasan kemiskinan meski ditataran implementasi tidak jarang yang mengabaikan hal tersebut. Beberapa info yang didengar, perencanaan PNPM lebih cepat realisasinya dibandingkan masyarakat mengajukan penganggaran melalui APBD. Pelaksana juga melibatkan masyarakat setempat sehingga kualitas produk lebih terjamin. Pemda mestinya belajar bagaimana kualitas garapan PNPM bisa lebih tinggi dibanding proyek sejenis di desa.

PNPM mengucurkan program yang terpilah menjadi 3 yakni infrastruktur, pemukiman dan ekonomi atau ekolir. Meski demikian, pada kurun 2007 - 2013 tercatat jumlah penyelewengan terus meningkat. Kurun waktu tersebut tersalurkan dana Rp 56 triliun dan penyelewengan mencapai 0,4 persen. Meski dari prosentase terlihat kecil, idealnya tidak boleh diabaikan. Apalagi kasus terbaru ada dugaan penyelewengan di Kecamatan Bayat mencapai Rp 3,3 miliar. Jumlah yang cukup besar dan bisa terjadi bertahun-tahun tanpa terdeteksi.
Infrastruktur Desa Yang Masih Butuh Dibenahi

Artinya PNPM memiliki titik lemah yang harus segera diantisipasi supaya tidak merembet ke wilayah lain. Bagaimana bisa penyelewengan terjadi di 1 kecamatan bertahun-tahun hingga total dana yang diselewengkan mencapai Rp 3,3 miliar. Modus penyelewengan dilakukan dengan membentuk kelompok simpan pinjam perempuan namun fiktif. Munculnya kejadian ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana ditempat lain? Perlu kiranya pengelola/PNPM mengaudit secara acak diberbagai wilayah dengan mengambil sample guna melihat ada modus serupa tidak.

Secara subyektif, pengelolaan anggaran seperti PNPM sebenarnya relatif sulit diselewengkan karena melibatkan banyak masyarakat untuk mengelolanya. Pimpianan wilayah maupun daerah apalagi kepala SKPD yang berkaitan dengan PNPM harus mengerti kejadian ini. Setidaknya ada 37 Kabupaten se Indonesia yang melaksanakan PNPM berarti ada ratusan mungkin ribuan pengelola ditingkat kecamatan maupun desa.

Penting pula mengevaluasi implementasi serta kemanfaatan hasil dari anggaran yang sudah tersalurkan. Ditambah sebelumnya fasilitator PNPM di Jawa Tengah berdemo menuntut gaji yang belum terbayarkan. Jangan sampai mereka kemudian berbuat curang dengan menyelewengkan dana program di masyarakat. Sejauh ini belum ditemukan bagaimana implementasi dan kemanfaatan PNPM secara nasional yang dipublish sehingga masyarakat menjadi tahu. Yang sering terdengar hanya total anggaran yang sudah tersalur berapa dan berapa wilayah yang turut mengerjakan PNPM

Jumat, 25 Oktober 2013

Dinas Pendidikan Harus Dorong Wali Murid Berperan

|0 komentar
Dugaan Penyelewengan Dana BOS di SDN 01 Blimbing Dan SMKN 01 Sukoharjo

Harapan terwujudnya sekolah yang terjangkau di Indonesia ternyata masih berupa angan-angan. Program Bantuan Operasional Sekolah atau yang lebih dikenal dengan BOS,yang diluncurkan sejak 2005 belum mampu meringankan beban orang tua. Sekolah-sekolah masih saja asyik dengan pengajuan permohonan keuangan pada orang tua siswa. Sejak mulai pendaftaran sekolah hingga lulus, pungutan, permintaan bantuan, permintaan sumbangan dan nama lainnya masih diterima wali murid. Artinya harapan sekolah terjangkau belum tercapai.

Pada Tahun 2013, dialokasikan anggaran sebesar Rp 23,446 T dengan perincian untuk siswa SD sederajat senilai Rp 580.000 dan SMP sederajat Rp 710.000. Peruntukan alokasi BOS dituangkan dalam Juklak Juknis tiap tahunnya. Walaupun demikian ternyata banyak sekolah berupaya menyelewengkan dana tersebut. Pencairan BOS yang diurus sekolah terbagi dalam 4 termin tiap triwulan. Hal ini dimaksudkan terjadi tertib administrasi dan pengawasan. Dengan disertai turunnya tunjangan sertifikasi, maka alokasi BOS akan optimal didistribusikan sesuai regulasi.

Pengelolaan anggaran sekolah, termasuk BOS didalamnya harus transparan dan melibatkan walimurid yang direpresentasikan dalam Komite Sekolah. Dijelaskan dalam Permendikbud No 76 Tahun 2012 Tentang Juklak Juknis BOS Bab VIII mengatur unsur pengawasan masyarakat. Klausul ini seiring dengan nafas UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Meski demikian, di Sukoharjo untuk Tahun ini setidaknya muncul 2 dugaan penyelewengan dana BOS ditingkat SD dan SMKN.

Dugaan penyelewengan dana BOS muncul di SDN 01 Blimbing Gatak dan SMKN 01 Sukoharjo. Anggota Komisi IV DPRD Sukoharjo meminta klarifikasi dan bukti laporan pertanggungjawaban (LPj) penggunaan BOS di SDN Blimbing Gatak. Samrodin meminta transparansi penggunaan BOS yang telah dicairkan pada triwulan I senilai Rp46 juta, triwulan II Rp46 juta dan triwulan III Rp30 juta. Salah satu kejanggalan terletak di penggunaan BOS 2013. Pada salah satu bagian, ada tercantum nama 62 siswa untuk ujian praktik senilai Rp10.000/orang. Namun, dalam LPj tersebut terdapat tanda tangan yang nyaris sama. Jenis bolpoin dan tanda tangan seperti dilakukan oleh satu orang.

Sementara di SMKN 01 Sukoharjo terjadi dugaan penyelewengan sebesar Rp 100juta dan kasus ini sudah disidik aparat kepolisian. Munculnya 2 kasus dugaan penyelewengan dana BOS, harus mendorong Dinas Pendidikan di Sukoharjo melibatkan partisipasi penuh masyarakat dalam pengawasan terutama wali murid atau orang tua siswa. Secara sederhana bisa dibentuk paguyuban orang tua siswa tiap kelas dan memilih perwakilan paguyuban ditingkat sekolah. Libatkan mereka ketika ada pertemuan antara sekolah dengan komite sekolah.

Pelibatan tersebut dilakukan sejak perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Setiap rencana kegiatan maupun pelaporan bisa disebarkan melalui perwakilan paguyuban orang tua tersebut. Sementara secara keseluruhan, Dinas Pendidikan bisa mendorong Dewan Pendidikan Sukoharjo melakukan monitoring secara acak. Sebab berharap sekolah tertib atau instansi inspektorat yang mengawasi akan semakin berat. Bisa dibayangkan bila BOS cair dalam 4 termin dan jumlah sekolah SD-SMA ratusan. Tidak mungkin inspektorat mengevaluasi semua laporan.

Sumber : satu dan dua

Selasa, 22 Oktober 2013

Sragen Ujicoba Pendataan Warga Miskin Berbasis RT

|0 komentar
Kabupaten Sragen akan mencoba melakukan pendataan warga miskin dengan melibatkan langsung masyarakat dilingkungan setempat. Artinya mereka akan  mengkonfirmasi data yang dimiliki dengan kondisi senyatanya. Sehingga harapannya masyarakat yang masuk daftar adalah benar-benar miskin bukan pura-pura miskin. Selama ini pendataan warga lebih banyak dilakukan Badan Pusat Statistik dengan indikator nasional tanpa mempertimbangkan kondisi faktual. Selain itu ada juga yang tanpa konfirmasi pengurus Rt setempat.

Akibatnya berbagai bantuan yang disalurkan pemerintah pusat seringkali tak tepat sasaran alias diterima orang yang tidak berhak. Diberbagai wilayah muncul konflik dilevel warga. Bantuan semacam Jamkesmas, BOS, Raskin, BLSM menjadi ajang perseteruan antar masyarakat. Padahal banyak ketua Rt mengaku tak tahu menahu kapan pendataan dilakukan dan kenapa nama penerima tidak sesuai dengan fakta. Secara konsep, berbagai bantuan pemerintah pusat itu juga tidak tepat sebab yang mengerti masyarakat ya pemerintah daerah masing-masing.

Sensus penduduk yang dilakukan BPS hendaknya menjadi parameter saja bagaimana penentuan secara besaran ditingkat kabupaten/kota. Artinya hasil sensus dirumuskan untuk kemudian ditentukan nominalnya untuk disalurkan pada APBD kabupaten/kota bersangkutan. Biarlah pemerintah kabupaten/kota yang akan menentukan daftar nama penerima dan berbentuk seperti apa. Hal ini juga membantu Pemda memperbesar alokasi bantuan. Lihat saja banyak daerah tetap menyalurkan jaminan kesehatan karena kuota dari pemerintah tidak tepat.

Ilustrasi (Photo by Ardian)
Masih banyak masyarakat miskin yang selayaknya menerima malah terlewat. Pemerintah pusat hanya perlu mengeluarkan mekanisme pencairan ke daerah serta merumuskan bagaimana monitoring dan evaluasinya. Hal ini diperlukan agar anggaran bagi warga miskin tidak dialihkan untuk program non pengentasan kemiskinan. Bagaimana bisa pemerintah pusat mencatat by name by address diapa si miskin. Padahal bila dilakukan oleh pemerintah daerah, pusat tinggal meminta data dan melakukan cross cek lapangan. Benarkah penerima betul-betul warga miskin.

Disamping itu, kondisi kemiskinan ditiap wilayah pasti beragam dan tidak bisa dianggap sama. Parameter tiap wilayah juga harus diperbandingkan dengan pendapatan perkapita masyarakat sehingga rumusan yang diterapkan tidak bisa digeneralisir. Setiap pemerintah daerah memiliki kapasitas yang semestinya bisa dikerangkakan terutama dalam pengentasan kemiskinan. Apalagi ditiap daerah sudah ada TKPKD sehingga pembuatan parameter bisa diintegrasikan secara bersama dan difasilitasi mendalam.

Ujicoba yang dilakukan Kabupaten Sragen penting untuk diapresiasi dan harus didorong oleh pusat. Hilangkan kepentingan-kepentingan politik praktis sehingga penanggulangan kemiskinan bukan sekedar jargon semata. Pusat harus menghentikan intervensi pengentasan kemiskinan kepada daerah. Idealnya pusat malah mengupas pembelajaran, inovasi, terobosan yang dilakukan didaerah untuk kemudian dishare pada daerah lain. Setidaknya daerah lain bisa belajar bagaimana mendevelop pengentasan kemiskinan.

Kini bukan saatnya lagi program bersifat top down melainkan melibatkan masyarakat terutama dalam implementasi program yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi warga. Kementrian perlu mengurangi berbagai program penyaluran bantuan supaya diserahkan ke daerah. Indonesia memiliki kawasan, kondisi geografi, bahasa, budaya dan berbagai hal yang berbeda. Tak perlu semua diseragamkan melainkan biarkan beragam. Justru keberagaman akan menambah khasanah perkembangan ilmu yang akan bermanfaat bagi masa depan.

Minggu, 20 Oktober 2013

Kisruh Seleksi KPU Sragen Dan Karanganyar

|0 komentar
Seperti yang sudah pernah ditulis sebelumnya tentang rawannya hasil seleksi KPU Daerah periode 2013 – 2018, ternyata prediksi tersebut terbukti. Setidaknya dari 7 kabupaten/kota di Soloraya, 2 diantaranya menemui persoalan yakni Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen. Atas 2 masalah ini, rupanya hingga pelantikan KPU Daerah yang baru Rabu (24 Oktober 2013) masih menyisakan sedikit masalah. Di Sragen, salah satu anggota Timsel diduga memakai ijazah palsu S1 sedangkan di Karanganyar Timsel meloloskan kandidat yang tidak memenuhi syarat administratif.

Sampah Visual
Persoalan muncul pertama yakni di Karanganyar yang sebagian calon anggota KPU tak lolos 10 besar menyatakan dari 10 nama yang akan diseleksi KPU Propinsi, 1 orang diantaranya tidak melengkapi persyaratan administratif yakni tidak pernah menjalani pidana. Sebenarnya ada 2 orang yang tidak menyertakan surat dari lembaga yang berwenang namun 1 orang tidak lolos di tahap fit and proper test. Berdasarkan hal ini, Timsel KPU Karanganyar memutuskan membatalkan 1 nama dari 10 orang serta menyerahkan keputusan pada KPU Propinsi.

Sedangkan calon anggota yang gagal meminta dilakukan seleksi ulang sejak awal. Menurut penuturan Suci Handayani (Timsel KPU Sukoharjo) idealnya tidak dilakukan seleksi ulang melainkan memasukkan 1 nama dari urutan nilai berikutnya. Hal ini juga yang direkomendasikan oleh KPU Propinsi meski Bawaslu Jateng meminta dilakukan seleksi ulang untuk mencari 1 nama pengganti meski yang 9 orang tetap tidak bisa diganggu gugat.

Sementara di Sragen kejadiannya lebih fatal, anggota Timsel yang pegawai Depag setempat bergelar BA diduga mengaku S1 sebagai syarat menjadi Timsel. Hal ini malah dinyatakan anggota KPU incumbent yang ikut seleksi anggota KPU, Edi Suprapto. Kecolongan ini tidak boleh dianggap sepele sebab KPU merupakan institusi resmi dan kredibel untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Konsekuensinya adalah, KPU Jateng harus menggelar fit and proper test ulang sebab yang bermasalah ada penyeleksinya.

Perlu ada sanksi bagi anggota Timsel yang memalsukan ijazah dan penyeleksi Timsel Sragen setidaknya surat peringatan. Walaupun ini kesalahan administratif, hal ini tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Bila tidak diulang, bisa jadi penyelenggaraan Pemilu di Sragen menjadi ajang sasaran gugatan parpol. Anggota KPU Sragen yang terpilihpun terbebani secara moral dikarenakan diseleksi oleh pihak/individu yang kurang kapabel meskipun keputusan Timsel bersifat kolektif kolegial. Penyebab kisruhnya 2 kasus ini bermula dari pencarian Timsel yang tidak terbuka serta waktu mepet dan dilakukan dilibur lebaran.

Dari 7 Timsel kabupaten/kota memang bisa dilihat mereka mewakili atau representasi dari perguruan tinggi, ormas, media, tokoh dan LSM. Sebenarnya representasi itu sudah tepat hanya waktu dan penelitian terhadap kredibilitas atas representasi yang perlu dicermati. Selama ini masyarakat juga kurang mengerti atau banyak yang tidak tahu bagaimana proses seleksi anggota KPU Daerah. Pengumuman terlalu mepet dengan berbagai persyaratan yang rumit dan diperoleh tidak dalam waktu singkat.

Kedepan harus disediakan waktu yang cukup misalnya pengumuman pra pendaftaran atau semacam sosialisasi terlebih dahulu. KPU akan bekerja dalam kurun waktu 5 tahun sehingga dibutuhkan individu-individu yang kredibel, kapabel serta memiliki integritas yang memadai. Kebanyakan person yang memiliki 3 syarat itu sudah bekerja secara mapan. Artinya butuh penyebaran informasi yang masif sehingga siapapun yang akan mendaftar memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri dengan baik. Harapannya kejadian seperti di Sragen dan Karanganyar tidak akan terjadi kembali.

Senin, 07 Oktober 2013

Model-Model Korupsi Di Indonesia

|0 komentar
Pergerakan perubahan otonomi daerah secara besaran sebenarnya menunjukkan hal yang positif. Kita bisa lihat banyak bermunculan kepala daerah yang menginspirasi. Ada beberapa role model atau tipologi kepala daerah. Sebut saja Rismarini (Walikota Surabaya), Herry Zudianto (bekas Walikota Jogja), Jusuf SK (mantan Walikota Tarakan), Imdaad Hamid (mantan Walikota Balikpapan) dan tentu saja Gubernur DKI Joko Widodo (mantan Walikota Surakarta). Contoh baik itu tentu diharapkan mampu menggerakkan banyak pihak untuk berbuat hal yang sama.

Itu potret sisi baik otonomi daerah. Namun sisi buruknya sudah ratusan kepala daerah juga tersangkut korupsi baik tingkat kabupaten/kota maupun propinsi. Sayangnya hal ini juga merembet ke berbagai sektor pemerintahan seperti kepala dinas, kabid, kasie hingga DPR. Jauh lebih disayangkan adalah munculnya pemuda yang turut melakukan korupsi. Pada bulan Oktober 2013, bulan kepemudaan di Indonesia justru mencatat banyak pemuda yang tersangkut kasus korupsi. Meski banyak pula pemuda yang melahirkan semangat baru, harapan baru dan penuh optimisme.

Syaukani, terpidana korupsi yang dibebaskan karena stroke
Sistem pemerintahan, keuangan, pengawasan, monitoring sebenarnya sudah cukup ketat. Pengawasan berjenjang mulai internal kelembagaan hingga eksternal kelembagaan dan bertahap/termin anggaran turut diterapkan. Namun model dan cara korupsi rupanya makin berkembang dan variatif. Dulu, orang korupsi yang diterima sendiri, dimasukkan rekening sendiri dan dinikmati sendiri. Kemudian berkembang menjadi disimpan di rekening luar negeri, punya istri simpanan, disimpan di rekening anak atau melibatkan anak dalam melakukan korupsi.

Kini modelnya sudah makin sulit dilacak. Sebut saja kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan mantan Ka Korlantas Mabes Polri Irjen Djoko Susilo. Dia menikahi 2 perempuan dengan menggunakan nama samaran, meski masih mirip. Lantas uang hasil korupsi disimpankan ke 2 perempuan itu. Dibelikan rumah mewah (termasuk bisnis kecantikan) di berbagai wilayah salah satunya Solo. Atau kasus korupsi Al Qur'an yang melibatkan anggota DPR Zulkarnain Djabar, menyertakan anaknya Dendy Prasetya menggarap proyek.

Yang model terbaru, uang hasil korupsi dialihkan ke orang-orang terdekatnya seperti sopir para pejabat. Kita bisa melihat contoh kasus yang menyeret Lutfi Hasan Ishaq, Ali Imron yang digunakan namanya untuk pembelian mobil VW Caravelle atau Daryono sopir Akil Muchtar yang menjabat sebuah perusahaan diluar Jawa. Kasus ini sedang di dalami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Guna mengantisipasi pengalihan uang hasil korupsi ke pihak lain, negara lain atau model terbaru, KPK perlu didukung mengembangkan sistem lebih canggih lagi.

Negara harus memfasilitasi berbagai pelatihan bagaimana melacak uang-uang korupsi termasuk melibatkan PPATK yang selama ini menjadi penyedia data transaksi keuangan. Perlu ada sistem tersendiri di perbankkan supaya uang negara hasil korupsi tidak mudah dibawa keluar negeri. Pemberlakuan sistem transfer yang selama ini ada, harus dikaji. Agar orang tidak asal mendirikan perusahaan untuk kemudian memindahkan dananya keluar negeri.


Kamis, 26 September 2013

Mencermati Pembangunan Kota Surakarta

|0 komentar


Sebenarnya bukan karena sudah tidak dipimpin Jokowi kemudian hotel-hotel baru segera berjejer diberbagai jalan protokol di Kota Solo. Sejak dahulu memang Kota Solo sudah ramah investasi hanya memang untuk mall sepertinya tak ada lagi ijin yang dikeluarkan. Kini yang segera bakal menyerbu Solo ya gedung-gedung bertingkat untuk bangunan mall atau apartemen. Hal ini bisa kita cermati mulai titik pintu masuk kota. Hanya berjarak sekitar 2 km bakal terdapat hotel yang segera berjejer disana.

Bisa dimulai dari Faroka, kerten, bundaran purwosari dan terakhir perempatan lalu lintas purwosari akan segera berdiri 2 hotel.  Jumlahnya 6 hotel dikawasan tersebut dan itu belum diberbagai titik lain yang kini memang masih dalam proses pembangunan. Pemerintah kota selayaknya mempertimbangkan proporsi berdirinya hotel dengan kebutuhan. Penting diberlakukannya proporsi luas wilayah dengan kebutuhan. Selain itu perlu dievaluasi dampak keberadaan hotel selama ini meski dengan menyandang kota MICE (meeting, ceremony dan exibition).

Menjelang diberdirikannya hotel tersebut perlu ada langkah awal bagi keterlibatan masyarakat sekitar menjadi pekerja. Ini penting supaya berdirinya usaha-usaha besar juga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan warga. Bila perlu rekrutan pegawai hotel pada level middle hingga pengambil keputusan. Masyarakat harus berani bernegosiasi dan menyediakan tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut. Jangan sampai kebutuhan tenaga kerja pada cleaning service, office boy atau bahkan buruh bangunan saat hotel dibangun saja.
Warga Solo Lebih Membutuhkan Ruang Publik Dibanding Mall

Sebelumnya marak diberitakan oleh media lokal terkait beragamnya tuntutan warga dilokasi pembangunan hotel yang meminta kompensasi kerugian gangguan proses pembangunan hotel. Padahal dengan adanya kompensasi tersebut jangka kemanfaatannya hanya jangka pendek saja. Bila masyarakat mampu melihat secara jernih ada 3 masalah besar yang mestinya menjadi perjanjian abadi dengan pihak hotel. Pertama soal kebutuhan pekerja, kedua tentang polusi dan terakhir tentang jaminan ketersediaan air bersih.

Sudah jelas keberadaan usaha membutuhkan tenaga kerja. Oleh sebab itu bila disebuah wilayah akan didirikan perusahaan, seharusnya masyarakat menyambutnya terbuka. Saat sosialisasi awal pihak perusahaan diminta membuat komitmen mengangkat pekerja dari masyarakat sekitar sebanyak minimal 20 persen. Tanya saja kebutuhan bidang apa dan persyaratan keahlian seperti apa. Nah saat proses pembangunan gedung, calon naker dari masyarakat bisa diarahkan menempuh pendidikan yang memang dibutuhkan.

Begitu bangunan selesai, maka tinggal disalurkan saja tenaga kerjanya. Problem kedua yang harus menjadi bagian penting yakni polusi. Polusi disini tidak sekedar polusi udara, tanah, maupun air namun juga polusi suara yang bisa terjadi. Masyarakat cukup jarang mempertimbangkan hal ini padahal bangunan seperti hotel kadang dilengkapi mini bar, mini cafe atau live music. Kondisi pasca bangunan berdiri ini yang perlu dipertimbangkan secara matang supaya saat hotel sudah beroperasi dan muncul kejadian ini tinggal disodorkan perjanjiannya.

Terakhir yang penting yakni ketersediaan air bersih bagi warga yang mana biasanya pendirian sebuah usaha akan memakai air bawah tanah. Otomatis sumber air bersih warga bisa saja terganggu bahkan habis sehingga kesulitan mencukupi kebutuhan. Jadi, bukan sekedar kompensasi diawal saja atas gangguan pembangunan yang harus disepakati bersama. Sebab gangguan pada pembangunan akan muncul dalam jangka waktu terbatas sementara 3 hal tadi bisa terus menerus terjadi setiap saat.

Jumat, 20 September 2013

Potensi Parkir Kota Solo Harus Dioptimalkan

|0 komentar
Sebagai salah satu kota yang mengikuti perkembangan masyarakatnya maka Pemerintah Kota Solo mengembangkan potensi-potensi yang ada. Salah satunya adalah zonasi atau penataan parkir. Hal ini ditujukan tidak sekedar meningkatkan penerimaan daerah namun juga dianggap sebagai tata kelola sistem transportasi. Tidak banyak Pemda yang mampu menangkap bahwa perparkiran masuk dalam sistem transportasi melainkan sebatas pemasukan daerah. Tanpa pengelolaan parkir yang baik, transportasi kota bakal terganggu.

Di Kota Solo kita bisa melihat beberapa titik parkir yang menghambat sistem transportasi. Sebut saja kawasan Pasar Klewer, Coyudan, Pasar Gede, Nonongan dan lainnya. Ada titik yang memang jam berapapun langganan macet namun ada yang sifatnya insidental. Insidental disini termasuk sekolah, gedung pertemuan, mall dan lainnya. Sementara faktor lain yang perlu dicermati adalah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur larangan parkir dijalan nasional. Padahal Kota Solo memiliki banyak titik strategis yang dimanfaatkan untuk parkir.

Potensi Parkir Di Sunday Market
Maka dari itu diaturlah perparkiran dengan sistem zonasi dengan ketentuan yang berbeda tarifnya. Ada 5 zona mulai dari Zona A - Zona E namun belum ada kawasan yang dianggap dengan Zona A dan B. Zona C meliputi kawasan jalan Slamet Riyadi, Zona D terpecah di 17 jalan dan Zona E selain Zona C dan D. Aturan ini ditetapkan melalui Perda No 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah. Untuk Zona C diberlakukan tarif progressif alias bertambah tiap jamnya dengan kelipatan 100 persen. Meski demikian masih banyak masyarakat yang belum faham aturan ini.

Dititik-titik parkir, belum ada pembedaan atau tanda zonasi parkir, termasuk misalnya karcis parkir atau petugas parkir yang menandakan zonasi. Hal ini rawan disalahgunakan oleh tukang parkir. Bahkan kadangkala membedakan petugas resmi dengan tidak saja sulit. Bisa dibayangkan bila kita berhenti untuk fotocopy KTP, sekedar membeli kertas atau mengambil uang di ATM apa ya harus membayar parkir. Selain biaya parkir lebih tinggi dari barang yang kita butuhkan juga waktu kita berhenti sebenarnya tidak lama.

Walikota Solo, Hadi Rudyatmo hendaknya mengevaluasi kinerja Dishub atas implementasi parkir. Perparkiran sebenarnya masuk dalam kategori layanan publik sebab uangnya masuk ke Pemkot bukan pemilik toko. Dengan demikian semakin hari menjadi lebih baik dan layanan memuaskan. Sering kita tukang parkir tak memakai seragam alias asal-asalan, karcis berulang digunakan, mengambil motor sendiri tanpa dibantu, helm hilang dan kadang ada motor sampai hilang.

Dan ketika di komplain mereka tak berani bertanggungjawab ditambah bila klausul itu dituliskan dalam karcis parkir. Dengan potensi yang begitu besar, idealnya pemerintah kota berani menjamin kehilangan barang. Sehingga tukang parkir bekerja juga tidak asal-asalan. Saat ini parkir di Kota Solo berkisar antara Rp 1.000 - Rp 1.500 untuk kendaraan roda dua dan Rp 2.000 - Rp 5.000 untuk mobil. Titik parkir banyak tersebar mulai dari mall, pasar, pertokoan, perkantoran dan lainnya.

Pada Tahun 2012 pemasukan dari pajak parkir mencapai Rp 1,1 M. Artinya tiap hari pemasukan parkir "hanya" Rp 3 juta atau setara kendaraan yang parkir 3.000 kendaraan dengan tarif Rp 1.000. Jika kita hitung dalam satu hari ada 12 jam parkir (mulai pukul 10.00 - pukul 21.00) hanya ada 251 kendaraan yang parkir. Padahal ada 38 pasar, 15 mall, ratusan toko maupun perkantoran bisa dikatakan potensi yang tergarap masih minim. Setidaknya sistem kontrak parkir dengan pengusaha jasa parkir perlu dievaluasi lagi supaya keuntungan terbesar tetap masuk dalam pendapatan daerah.