Kamis, 11 Oktober 2001

Catatan Muskotbang 2001

|0 komentar
PR Pak Wali

Oleh : Suci Handayani dan Muhammad Histiraludin

Terbitnya Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sempat membuat masyarakat pesimis apakah pelimpahan wewenang itu akan benar-benar membuat pemerintah pusat ‘ikhlas’ memberikan kewenangan/otonomi pada pemerintah daerah. Rasa pesimis tersebut bertambah besar manakala pemberian otonomi khusus di Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya hingga kini tak kunjung terealisir. Angin perubahan sejak tumbangnya rejim Soeharto menjadi tanpa arah. Namun ‘tampaknya’ bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta tidak demikian adanya. Undang-undang 22/99 yang diikuti ditetapkannya UU 25/99 mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah ditangkap sebagai sebuah hal yang ‘wajar’.

Di sisi lain beragamnya elemen masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri bagi Pemkot untuk mewujudkan apa yang tertuang dalam UU tersebut. Selain itu penataan struktur organisasi yang belum tuntas serta tidak sedikit mental aparat birokrasi yang masih sangat orde baru juga kendala yang memang harus diselesaikan. UU no 22/99 yang dimunculkan menjadi pijakan dasar bagi jalannya pemerintahan secara yuridis. Dapat dilihat pada bagian kata Menimbang  (di UU tersebut) dinyatakan “Dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah”.

Kemudian pada Bab I ayat h disebutkan “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan”. Tidak hanya itu. Di UU 25/99 dikatakan (Bab IV pasal 8 ayat 1) “Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih”. Bagaimana ditingkat kelurahan ?. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan melihat Keppres No 49 tahun 2001 di Bab I Pasal 1 menyatakan “Lembaga kemasyarakatan tersebut dimaknai sebagai wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Kelurahan dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibidang pembangunan”.

Minimal dari 2 UU dan 1 Keppres ada legitimasi dari pemerintah bahwa ‘rakyat’ berhak ‘mengambil kekuasaannya’ kembali setelah 32 tahun dikuasai dari rejim yang sangat otoriter. Meminjam istilahnya Abraham Lincoln (dan sering juga dijadikan jargon di Indonesia) bahwa makna kata Demokrasi adalah Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Kekuasaan inilah yang dijadikan alat bersama mewujudkan negara keadilan sosial yang berlandaskan Pancasila. Secara prinsipil demokrasi mengandaikan adanya nilai kebebasan, kesederajatan, toleransi dan persaudaraan. Kenyataan diatas menimbulkan konsekuensi birokrasi dituntut untuk melakukan seluruh tindakan yang mengacu kepada kepentingan publik.

Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah akan lebih menekankan kepada aspek partisipasi. Partisipasi masyarakat atau pelibatan seluruh komponen harus dilakukan dalam seluruh tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Dengan demikian orientasi penyelenggaraan kepemerintahan difokuskan pada upaya pemberdayaan. Situasi ini akan menempatkan pemerintah sebagai fasilitator untuk menumbuhkan prakarsa dimasyarakat

Implementasi

Berdasarkan kondisi obyektif itu Pemkot segera merealisasikan perubahan paradigma sehingga pembangunan tak lagi (meminjam istilahnya pak Qomarudin/Ketua Bappeda) menempatkan rakyat sebagai obyek dan pemerintah sebagai subyek. Untuk itu mulailah Pemkot Surakarta menggelar apa yang dinamakan Musyawarah Kelurahan Membangun/Muskelbang. Dalam Muskelbang ini peran birokrat lokal (dalam hal ini lurah) hanya sebatas memfasilitasi pelaksanaan. Demikian pula dalam tahapan selanjutnya.

Artinya kepanitiaan dibentuk dengan melibatkan seluruh elemen kewilayahan serta stakeholder yang lain. Rakyat yang hadir disana bisa siapa saja. Tentu ini berbeda ketika orde baru masih berkuasa. Peserta Muskel hanyalah orang yang dipandang Lurah (sebagai penguasa lokal) bisa berkompromi. Yah minimal pengurus LKMD beserta Ketua dan Sekretaris RT, RW. Usulan yang masuk pun tidak lagi berbasis kepentingan Ketua RT/RW semata namun dilandaskan pada keputusan hasil Musyawarah RT dan RW. Bahkan ada beberapa kelurahan yang membentuk panitia yang bertugas mencross chek apakah usulan itu betul-betul aspirasi warga.

Lantas usulan itu dibahas ditingkat Kecamatan atau dengan sebutan Muscambang/Musyawarah Kecamatan Membangun. Dan lagi-lagi Camat tidak bisa memimpin rapat. Disini pihak Dinas/Instansi mulai dilibatkan untuk menyerap aspirasi atau kebutuhan masyarakat. Mereka (Dinas/Instansi) hanya mempunyai peran mencatat segala usulan yang berkaitan dengan kewenangannya. Ditingkat kecamatan juga dilakukan sinkronisasi antar wilayah serta forum ini mempunyai kewenangan siapa yang berhak mewakili kecamatan untuk hadir dalam Musyawarah Kota Membangun (Muskotbang). Dari kenyataan ini bisa dilihat pihak pemerintah daerah (Pemkot Surakarta) memberi peluang pada masyarakatnya untuk terus memperhatikan apakah usulan dari wilayahnya masih terus diajukan atau tidak.

Pada tingkat akhir diadakanlah Muskotbang dan disinilah muara dari segala usulan masyarakat. Terjadi proses dialektika diantara seluruh komponen masyarakat. Peserta yang hadir pun mencakup seluruh elemen. Selain dari utusan kelurahan, kecamatan, dinas juga melibatkan pengusaha, ormas, koperasi, budayawan, perguruan tinggi, LSM dan stakeholder yang lain. Rupanya Pemkot sangat serius bahwa Muskotbang (meskipun baru pertama kali) bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Pada pelaksanaan Muskotbang kemarin (9-10 November) bisa dilihat sebuah pesta ‘rakyat’ Surakarta yang bersama membahas usulan masyarakat.

Dari utusan kelurahan atau kecamatan bisa memantau secara langsung apakah aspirasi warga disetujui atau tidak. Apa yang diinginkan warga yang diwakilinya bisa diakomodir oleh Pemkot. Perdebatan seru sering terjadi bahkan hingga soal pemaknaan kata ‘peserta’. Oleh karena itu melihat tontonan sidang yang sangat istimewa tidak harus menunggu rapatnya DPR atau MPR. Masyarakat Kota Surakarta bisa melihat bahkan ikut terlibat didalamnya. Disidang Komisi (yang dibagi 5 bidang) terjadi sinkronisasi usulan masyarakat dengan dinas/instansi terkait. Pihak Dinas/Instansi itupun diabsen oleh pimpinan sidang komisi dan bila tidak datang akan diikuti gumaman pimpinan sidang yang kadang membuat peserta tertawa.

Panitia penyelenggara (Bappeda) hanya memfasilitasi dan tidak bisa mengintervensi apapun atas keinginan peserta. Gambaran yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ada satu komisi yang memang hanya khusus membahas kebijakan makro kota. Komisi ini diikuti Kepala Kelurahan, Ketua LKMD, Ormas, OKP, LSM dan peserta yang tidak mewakili kewilayahan. Komisi ini malah bisa menyelesaikan soal Visi, Misi dan kebijakan yang menyangkut ketenagakerjaan, UMR, Gender, Pelayanan Publik yang accessable serta tema strategis lainnya. Sempat mencuat pula usulan eks Karesidenan Surakarta menjadi Propinsi.

Catatan

Dari seluruh proses rangkaian perencanaan partisipatif yang dilakukan, ada beberapa catatan yang menjadi PR bagi Walikota. Pertama, soal RAPBD yang segera akan dirumuskan dengan berbasis pada hasil Muskotbang. Apabila Pemkot tidak bisa memenuhi seluruh usulan, apa yang akan dilakukan. Mestinya dimasing-masing tingkatan musyawarah (baik Musyawarah RT, Musyawarah RW, Muskelbang, Muscambang sampai Muskotbang) bisa diadakan skala prioritas. Artinya hal-hal yang bisa diselesaikan diwilayah tertentu tidak perlu diusulkan pada wilayah diatasnya. Sehingga usulan yang masuk ke tingkat kota sudah merupakan representasi kebutuhan rakyat yang sangat mendesak ditangani.

Kedua, adanya legalitas formal dari musyawarah tingkat bawah sampai atas. Selama ini musyawarah yang diadakan baru berpijak pada Surat Edaran walikota dan Surat Keputusan Walikota. Di waktu yang akan datang perlu kiranya Walikota membahas dengan DPRD berkaitan dengan musyawarah ini. Dibutuhkan sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang mengikat untuk seluruh pelaksanaan perencanaan pembangunan. Secara yuridis kedudukan Perda lebih tinggi dibanding dengan SK Walikota apalagi hanya Surat Edaran. Ketiga, pemberdayaan aparat birokrasi. Dalam hal ini yang menyangkut pelayanan publik. Jangan sampai ditingkat pimpinan sudah ada kebijakan bahwa rakyat adalah subyek namun ditingkat aparat pelaksana masih menganggap rakyat adalah obyek. Perlu disadarkan bahwa mereka harus ‘melayani’ segala keperluan masyarakat.

Keempat, perlu segeranya diambil sikap atas pelaksanaan Muskotbang. Ada beberapa hal yang sangat mendesak dan ada yang tidak. Warga perlu tahu dalam tempo yang tidak cukup lama. Bagaimana kebijakan Walikota terhadap usulan yang diajukan. Apakah aspirasi warga bisa tersalurkan dengan baik atau justru malah macet ketika sudah sampai ditingkat akhir. Yang jelas kebijakan yang diambil harus berdampak positif bagi semua pihak. Misalkan saja soal fasilitas umum atau tempat-tempat yang banyak didatangi banyak orang harus bisa diakses secara mudah. Karena ada beberapa tempat yang tidak familier bagi sebagian orang misalkan deffable (orang yang diklaim cacat), orang jompo, ibu hamil dan yang lainnya.

Penutup

Masyarakat Kota Surakarta patut bersyukur dengan digelarnya Muskotbang 2001. Walaupun masih banyak kekurangan disana sini tetapi niatan Pemkot perlu disambut secara positif. Kita semua harus optimis, otonomi daerah telah terbuka di kota yang kita cintai ini. Memang ada hal yang disayangkan. Unsur legislatif hanya tampak saat upacara pembukaan saja. Ini memang patut menjadi catatan tersendiri bagi kita semua. Mereka yang kita pilih sebagai wakil kita untuk memperjuangkan aspirasi ternyata disaat yang dibutuhkan tidak terlihat satu orangpun. Mungkin masyarakat hanya bisa berharap agar setelah draft RAPBD selesai, legislatif bisa mengkritisi dan mengcross chek apakah betul itu usulan dari warga yang diwakilinya.

Tidak tertutup kemungkinan bila mereka (anggota DPRD) masih merasa bisa memotong usulan yang diajukan eksekutif karena mengira usulan itu bukan berasal dari masyarakat. Bisa juga karena usulan yang diajukan tidak sesuai dengan kepentingan diri mereka. Saat ini perasaan seluruh rakyat Kota Surakarta sedang menanti apa yang akan dilakukan setelah usulan itu masuk. Perasaan itu melebihi ketegangan menonton adu penalti dua kesebelasan sepak bola sebab waktu yang dibutuhkan jauh lebih lama dari itu. Terlepas itu semua, penulis patut ucapkan selamat dan acungkan jempol pada pak Walikota yang telah berani memulai implementasi otonomi daerah. Bravo dan selamat mengerjakan PR pak Wali.

Penulis adalah Koordinator Studi and Research Departement Lembaga Studi dan Advokasi kebijakan Publik (Leskap) Solo dan Mantan Ketua Umum PMII Solo.