Selasa, 29 September 2015

Jelang 100 Tahun SDN 1 Wonosari

|0 komentar
Berkunjung kembali ke sekolah di Wonosari Gunung Kidul sebenarnya sangat menyenangkan. Bertemu bapak ibu guru yang luar biasa minatnya pada proses perbaikan tata kelola pendidikan. Dua sekolah yang dimaksudkan yakni SDN 1 Wonosari maupun SMPN Wonosari 1. Kedua sekolah ini merupakan bagian dari 6 sekolah yang didampingi YSKK dalam program Sekolah MANTAP (Manajemen Transparran, Akuntabel).

Kesempatan pertama kami diterima pengelola SDN 1 Wonosari yang dipimpin ibu Endang. Dalam pertemuan mengemuka bahwa sekolah ini merupakan SD Pembina sehingga memang akan dijadikan contoh oleh SD di sekitarnya. Meski secara fisik biasa-biasa saja, namun terlihat pengelolaan sekolah ini lumayan baik. Hal itu tercermin dari papan informasi yang juga menampilkan laporan BOS.

Padahal syarat menjadi SD Pembina cukup berat tetapi faktanya SDN 1 Wonosari mampu mencapai syarat itu seperti jumlah siswa, kapasitas guru hingga prestasinya. Kekurangan yang diakui di soal sarana prasarana. Maka dari itu Pemkab sepakat akan membangun gedung serta merenovasi lapangan. Alokasi anggaran sudah masuk di APBD 2016. Menginjak tahun 2015, beberapa prestasi mampu dipertahankan oleh SD Wonosari ini.

Diantara prestasi yang diraih siswa yakni Juara III MTQ Gunung Kidul, Juara II Ceramah Agama tingkat kecamatan, Juara lomba untuk science dan akan bertarung di Unesa Surabaya. Tak ketinggalan guru pun turut berprestasi dengan tulisan yang masuk ke Jurnal di Kemendikbud (Juara Inovasi Pembelajaran).

Sementara untuk PPID, dikerjakan oleh 2 orang Tata Usaha dan kini sudah disepakati berdasar pembelajaran yang diperoleh dari YSKK yakni kebijakan informasi 1 pintu. Hal ini mampu mengurangi orang yang berkepentingan bebas keluar masuk sekolah. Sedangkan pada pengelolaan web, pak Arief yang bagian pelayanan informasi web, masih terbatas tulisan guru yang diserahkan pada dirinya.

Ke depan dibutuhkan pelatihan jurnalistik sehingga guru familiar dengan media sosial. Selama ini memang masih banyak guru terkendala dengan teknis penulisan yang dalam asumsi mereka menulis itu seperti yang harus menunjang PTK. Padahal web bisa dimanfaatkan untuk melatih penulisan sehingga menjadi terbiasa. Hambatan lain, aturan tentang BOS kadang masih menyulitkan mereka. Misalnya ketika mengalokasikan konsumsi persyaratannya lumayan berat seperti undangan, daftar hadir hingga notulensi. Mereka kadang alpa menulis sehingga tidak terdokumentasi dengan baik.

Adapun untuk pembelajaran pemilihan Komite Sekolah melalui pemungutan raya, terkendala dokumentasi prosedur yang hingga kini belum terlacak. Pihak sekolah menjanjikan akan mencarikan dokumentasi tersebut. Ditambahkan bu Endang, harusnya pemerintah memberi perhatian lebih banyak pada SD karena mereka harus melayani berbagai hal terkait dokumentasi siswa untuk jenjang berikutnya, sebut saja soal Nomor Ijazah, NISN, maupun kepentingan lain.

Pun web belum termanfaatkan optimal misalnya tidak sekedar menjadi media informasi data sekolah, aktivitas sekolah namun juga sebagai pengikat alumni. Tahun ini merupakan tahun ke 100 berdirinya SDN 1 Wonosari. Pihak sekolah kebingungan untuk mengkonsolidasikan peringatan 100 tahun sekolah. Padahal sudah banyak alumni yang tersebar dan bisa diajak bersama-sama membangun sekolah, tidak hanya fisiknya namun bisa dengan beragam cara.

Selasa, 22 September 2015

Pleno Komite Sekolah SMPN 8 Surakarta, Luar Biasa

|0 komentar
SMPN 8 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang merupakan dampingan Yayasan Satu Karsa Karya dalam program Manajemen sekolah yang Transparan, Akuntabel dan Partisipatif (MANTAP). Program ini berupaya mewujudkan tata kelola sekolah yang baik dan ideal sesuai dengan berbagai regulasi baik ditingkat pusat dan daerah. Cukup ada banyak sekolah sebenarnya yang memiliki model manajemen yang bagus dan bisa dijadkan contoh.

Hanya saja selama ini yang sering muncul di media yakni sekolah dengan problem-problem mulai dari tata kelola (manajemen), sarananya, maupun hal lain. Pendidikan sendiri sudah mendapat perhatian tinggi dari pemerintah yakni berupa alokasi anggaran mencapai 20 persen. Pengajar pun diberi tunjangan sertifikasi tetapi masih ada sekolah-sekolah negeri yang pengelolaannya belum transparan, akuntabel dan partisipatif.

Sabtu (19/9/2015) YSKK diundang oleh Komite Sekolah SMPN 8 untuk menyaksikan proses rapat pleno dengan orang tua siswa untuk tahun ajaran 2015/2016. Rapat pleno diselenggarakan dalam 2 tahap yaitu tahap I untuk orang tua siswa kelas VII dan tahap kedua untuk orang tua siswa kelas VIII dan IX. Yang membedakan dipaparan mengenai SPJ. Untuk ortu kelas VII, tidak ada presentasi tentang penggunaan anggaran sumbangan orang tua siswa.

Acara dimulai dengan paparan Nugroho, selaku Kepala Sekolah dengan memaparkan Visi, Misi sekolah, capaian prestasi siswa serta penerapan 8 standar pendidikan di SMPN 8 disertai dengan kebutuhan anggaran mendatang. Dilanjutkan dengan penjelasan Ketua Komite mengenai rencana kegiatan dan anggaran sekolah.

“SMPN 8 sudah 3 tahun tidak menggunakan susu nenek tapi susu tante” ujar Bintoro Ketua Komite Sekolah. Para orang tua kaget dengan pernyataan ini. Rupanya susu nenek itu artinya sumbangan sukarela nekad-nekadan dan susu tante itu sumbangan sukarela tanpa tekanan. Artinya komite tidak memaksa orang tua untuk menyumbang dana sesuai nominal yang diinginkan. 

Tahun ajaran 2015/2016 sekolah mengajukan anggaran total mencapai Rp 5,2 M namun kekurangan pembiayaan baik dari APBN untuk gaji pegawai, BOS pusat, provinsi, BPMKS mencapai Rp 447 juta. Nah anggaran Rp 447 itulah yang kemudian diharapkan dapat ditutup oleh sumbangan orang tua siswa dari 3 angkatan.

Yang unik yakni cara Komite Sekolah SMPN 8 mendapatkan sumbangan dari orang tua siswa. Mereka mempersilahkan orang tua siswa menuliskan sendiri kesediaan berapa sumbangan yang akan diberikan. Termasuk didalamnya akan dibayar kapan, cash atau dicicil, serta bila tidak sanggup membayar. Setelah menuliskan, kertas hvs tersebut kemudian dikumpulkan oleh anak-anak OSIS yang memang ditugasi.

Dari pengamatan lapangan, rata-rata menuliskan sumbangan antara Rp 100.000 hingga Rp 300.000 meski ada yang menulis Rp 500.000. Yang jelas praktek transparansi dan partisipasi bisa dilihat secara jelas sudah diterapkan dengan baik. Hal-hal semacam ini sudah selayaknya diekspos dan disebarluaskan agar pendanaan pendidikan di Indonesia makin lebih baik lagi. Sudah tidak jamannya lagi main paksa, tekan atau intimidasi.

Yang jelas, untuk orang tua gakin tidak dimintai sumbangan namun apabila mereka mau ikut menyumbang, sekolah juga tetap menerima. Bahkan data tahun lalu menunjukkan ketika ortu siswa tidak punya anggaran hanya punya keahlian menyetem/mengatur/menyelaraskan gamelan, sekolah juga mempersilahkan. Termasuk pula bila diawal bersedia membantu Rp 500.000 misalnya tetapi ditengah perjalanan kena musibah dan membatalkan menyumbang, komite tidak keberatan.

Senin, 21 September 2015

Titik Lemah Program Biling Harus Dibenahi

|0 komentar
Inisiasi program bina lingkungan yang digagas oleh Walikota Bandarlampung memang baik. Program ini mampu mengatasi ketiadaan dana bagi orang tua siswa atau motivasi anak yang kurang dalam bersekolah. Nyaris tidak ada alasan untuk tidak bersekolah di Bandarlampung karena bagi siswa biling tidak hanya bebas uang masuk, uang spp/iuran komite namun juga mendapat alat pendukung belajar seperti sepatu, tas, buku, seragam dan lain sebagainya.

Maka dari itu di Bandarlampung dalam beberapa tahun mendatang sulit menemukan anak dengan status tidak bersekolah. Walaupun beberapa pihak mengaitkan kebijakan tersebut dengan aspek politis namun sudah sepantasnya ini program yang dapat diapresiasi. Program biling sendiri bukan hanya untuk siswa miskin namun juga biling guru.

Hanya saja sebuah kebijakan selalu meninggalkan tantangan lain yang harus dicarikan jalan keluarnya. Program bina lingkungan merupakan program sekolah bebas biaya bagi anak-anak miskin di Kota Bandarlampung. Sebelumnya kuota biling untuk siswa dibatasi hanya 30 persen namun hingga 2015 kuota biling mencapai 80 persen. Tentu penambahan kuota ini memiliki dampak atau konsekuensi lain. Apakah konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari kebijakan Biling? Berdasar pertemuan dengan beberapa orang di Bandarlampung, setidaknya ada 8 konsekuensi dengan berjalannya biling.

Pertama, Beban sekolah berat baik dari sisi tanggungjawab siswa, pengelolaan pembelajaran, penjadualan, pembiayaan dan lain sebagainya. Paska program biling ditetapkan, sekolah terutama SMP dan SMA Negeri menjadi tempat tujuan bersekolah tidak mampu. Sekolahpun tidak diperbolahkan menolak siswa yang mendaftar sehingga jumlah kelas terutama untuk siswa baru tahun ajaran 2015/2016 membludak.

Kedua, Mutu pendidikan terancam turun bila guru tidak pandai membimbing. Sebab siswa dengan program biling tidak perlu belajar ekstra keras agar memenuhi syarat nilai UN disebuah sekolah seperti di kabupaten/kota lain. Guu harus ekstra keras mendorong siswa terutama dari biling untuk serius meningkatkan prestasi mereka. Bila tidak berhasil maka sekolah negeri secara umum kualitasnya bias turun.

Ketiga sekolah swasta biasa terancam gulung tikar. Berduyun-duyunnya siswa biling ke sekolah negeri menjadikan sekolah swasta yang standar mutunya biasa saja bisa kolaps. Ketika banyak siswa masuk di sekolah yang dituju maka siswa regular akan mencari sekolah swasta dengan kualitas yang lumayan. Mereka tidak menyasar sekolah dengan mutu dibawah standar. 

Peningkatan Motivasi

Keempat, motivasi anak biling rendah. Artinya effort didalam diri siswa biling kurang. Dengan demikian siswa yang masuk didalam sebuah sekolah tidak terdorong berprestasi sebab dijenjang berikutnya sudah ada jaminan diterima disekolah lanjutan. Seperti diungkapkan oleh seorang orang tua siswa, "teman anak saya malas belajar dan ketika ditanya oleh anak saya dia menjawab kan sudah dijamin masuk sekolah negeri" tuturnya media 10 September 2015 kemarin.

Kelima, sekolah negeri harus memberlakukan shift dikarenakan jumlah siswanya melonjak pesat. Keterbatasan ruang kelas dan tidak berimbangnya jumlah siswa menjadikan mereka mengatur jam masuk sekolah. Sudah ditemukan beberapa sekolah baik SMPN maupun SMAN memberlakukan jam sekolah pagi dan siang.

Keenam, standar pendidikan tidak terpenuhi terutama jumlah rombongan belajar. Dalam Standar Pelayanan Minimal bidang pendidikan tertulis minimal rombel yakni 20 anak dan maksimal 32 anak. Di lapangan kita bisa temukan kelas dengan jumlah siswa mencapai 42 anak. Dengan demikian, kondisi pembelajaran yang diberikan tidak akan optimal.

Ketujuh, jumlah guru yang tersedia dalam sebuah sekolah bisa jadi timpang. Karena prediksi kuota belajar di sekolah akan berubah cukup drastis dengan program biling. Disisi lain, penambahan guru tidak mudah dilakukan karena terbentur kebijakan pemerintah mengenai moratorium PNS. Proses penambahan guru bila disetujui juga membutuhkan waktu yang lumayan lama.

Kedelapan, siswa regular terdiskriminasi untuk masuk ke sekolah negeri. Bayangkan dengan kuota biling 80 persen, siswa anak mampu hanya berpeluang 20 persen saja. Artinya anak dengan kemampuan rata-rata maupun dengan biaya minim akan kesulitan masuk sekolah negeri. Kenapa? Siswa dengan kategori non biling (20 persen) akan menanggung kebutuhan 100 persen program yang dibutuhkan sekolah.

Meski aspek konsekuensi lebih besar dibanding sisi positifnya bukan berarti program ini tidak bagus. Dilihat dari sisi kewajiban pemerintah atas hak pendidikan warganya, biling ini positif. Dengan begitu, konsekuensi-konsekuensi yang muncul dicarikan jalan keluar. Hampir sulit menemukan daerah dengan kebijakan yang progressif seperti ini. Buktinya Kota Surakarta yang berniat menjalankan sekolah berdasarkan zonasi tinggal siswa batal diterapkan. Padahal pemerataan pendidikan itu tugas pemerintah sehingga julukan sekolah unggulan untuk sekolah negeri tidak layak disandang.

Senin, 14 September 2015

Aspek Positif Program Biling di Sekolah Bandarlampung

|0 komentar
Di Indonesia banyak ditemukan pembelajaran-pembelajaran positif dari berbagai sektor. Pembelajaran itu layak diangkat, ditulis, dan didiskusikan dengan harapan beberapa kelemahan yang ada dalam sebuah program bisa diantisipasi. Salah satu pembelajaran dibidang pendidikan yang baik yakni Program Bina Lingkungan atau lebih dikenal dengan Biling di Pemkot Bandarlampung.

Yakni program dimana anak-anak miskin bisa masuk di sekolah setingkat SMPN dan SMAN yang terdekat dilingkungannya. Sekolah sama sekali tidak boleh menolak anak-anak biling yang mendaftar. Mereka tidak hanya bebas biaya namun juga mendapat fasilitas seragam, tas, sepatu dan tambahan pelajaran sama dengan siswa yang biasa/reguler.

Syaratnya siswa biling yakni ber KTP Bandarlampung, memiliki surat miskin dari kelurahan setempat dan mendapat kartu Jamkesda. Setelah mendaftar, sekolah akan memverifikasi data mereka termasuk visit atau kunjungan. Selain mendapat fasilitas penunjang mereka juga mendapat pembelajaran yang baik.

Saat kami dari Yayasan Satu Karsa Karya mengunjungi beberapa sekolah pada 9 dan 10 September, ditemukan siswa biling yang masuk sekolah negeri cukup banyak. Berdasar informasi yang digali, awalnya program biling ini kuota hanya 30 persen namun pada tahun ajaran baru mencapai 70 persen sehingga siswa regional makin sedikit.

Bahkan berdasar penuturan Purwadi, Kepala Sekolah SMPN 16, jumlah siswa mencapai 1.050 orang. Melihat jumlah siswa bisa diasumsikan minat ataupun tingkat partisipasi sekolah diperkirakan mencapai 100 persen.

Meski demikian, pemerintah kota melarang memisahkan kelas antara mereka agar mau membaur dan bergaul. Disisi lain sifat egaliter dan saling menghargai juga menjadi budaya antar siswa. Program ini memiliki beberapa keunggulan yaitu :

1. Menghilangkan sekolah favourite
Dibeberapa kota besar biasanya ada sekolah favourite dengan hanya anak-anak tertentu yang bisa masuk kesana. Baik karena kecerdasannya, dananya/bayarnya ataupun kenalannya. Dengan model biling, sebuah sekolah bisa dimasuki siapapun sehingga aspek favourite bisa dinikmati siapapun.

2. Azas pemerataan pendidikan/keadilan
Dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,  model biling ini sesuai. Karena siapapun bisa mendapatkan hak pendidikan. Tidak ada lagi sekolah yang menolak ketika mereka mendaftar. Nampaknya pemerintah kota memantau program ini secara ketat sehingga dari informasi yang kami gali, sekolah membuka diri pada para pendaftar. Bila melebihi kelas yang disediakan, mereka akan dipindahkan ke sekolah terdekat.

3. Menurunkan jumlah siswa tidak sekolah
Dengan program biling ini, target walikota untuk nol persen anak sekolah bisa tercapai. Sudah tidak ada lagi alasan yang menjadikan siswa didik tidak masuk sekolah. Semua sudah dijamin oleh lembaga pendidikan.

Minggu, 06 September 2015

Proses Pemilihan Raya Komite Sekolah SDN 1 Wonosari

|0 komentar
Mendiskusikan kiprah Komite Sekolah terutama di SDN 1 Wonosari maupun SMPN Wonosari 1 Gunungkidul sangat mengasyikkan. Tidak hanya inspirasinya luar biasa namun mereka menerobos dan membuat Komite Sekolah berperan sebagaimana idealnya.

Tidak sulit sebenarnya mendeteksi Komite Sekolah berperan seperti yang diharapkan, salah satunya yaitu pihak sekolah maupun komite sekolah sama-sama punya asumsi sendiri terkait peran mereka tetapi mereka tetap respek pada posisi sekolah maupun komite. Di SDN 1 Wonosari, komite sekolah dibentuk dengan cara pemilihan raya. Berdasar penuturan beberapa anggota komite, mereka berinisiatif menyelenggarakan pemilihan raya dan ide ini disetujui oleh sekolah.
Komite sekolah SDN 1 Wonosari menuturkan proses terbentuknya

Lantas dibentuklah panitia pemilihan raya yakni dari beberapa elemen yang mewakili sekolah dan orang tua siswa. Lalu paguyuban orang tua siswa ditiap jenjang diminta mengajukan nama-nama calon. Panitia juga membuat tata tertib pemilihan raya tersebut.

Dari daftar nama yang ada, semua ditulis dalam daftar kandidat komite sekolah. Penulisannya pun didasarkan abjad bukan pernah menjabat atau nama yang dikenal lebih dahulu. Perolehan suara kemudian diranking dari urutan perolehan terbanyak 1 - 11.  Setelah ke sebelas orang terpilih kemudian dilengkapi oleh 2 orang unsur sekolah.

Walaupun melalui pemilu raya, unsur-unsur yang diharapkan memenuhi syarat seperti tokoh masyarakat, tokoh pendidikan dan lainnya tetap terakomodir sebab yang terpilih kebetulan orang-orang dengan latar belakang beragam.

Model pemilihan raya begini akan mengeliminasi calon-calon titipan atau yang diunggulkan oleh sekolah. Faktanya, meski kepala sekolah SDN 1 Wonosari mengeluhkan beberapa hal teknis terkait dukungan komite sekolah, namun tahun ini mereka meraih 10 predikat sekolah. Ada predikat sekolah percontohan kabupaten, sekolah penerapan kurikulum 13, predikat SD Pembina, predikat SD dengan Managemen Transparan, Akuntabel dan Partisipatif (MANTAP) dan lainnya.

Di sekolah ini jangan harap pihak sekolah dengan mudah memungut iuran atau sumbangan pada orang tua. Pun bukan berarti komite sekolah tidak akan menyetujui apapun terkait permohonan iuran atau tarikan sumbangan pada wali murid. Mereka (KS) akan setuju sepanjang argumentasi dan kebutuhannya memang dirasa perlu.

Sekolah dan Komite yang Menginspirasi

|0 komentar
Pendidikan menjadi persoalan mendasar bagi bangsa Indonesia sebab design besar pendidikan Indonesia tak pernah menjadi kesepakatan. Tiap berganti rezim, berganti pula kebijakan pendidikan. Walaupun design pendidikan hampir tiap 5 tahun berubah, namun cukup banyak orang-orang yang memiliki inisiatif dalam mengembangkan pendidikan.

Baik secara individual maupun memanfaatkan posisinya untuk mengembangkan pendidikan dengan lebih baik. Salah satu contohnya bisa dilihat di Gunungkidul yang memiliki potensi dalam mengembangkan pendidikan. Saat itu kami kebetulan berkunjung ke SDN 1 bertemu dengan bu Endang, sang kepala sekolah. Setelah beberapa saat berbincang mengenai program kemudian kami berbincang mengenai partisipasi masyarakat.

Rupanya bu Endang memiliki trik cukup unik untuk menggali partisipasi orang tua siswa. Misalnya untuk kelas 1-2 kan belum bisa membersihkan kelas sendiri. Hal itu disampaikan kepada orang tua siswa, kemudian para orang tua bergantian piket meski sore hari. Atau ketika kondisi kelas sudah lusuh, orang tua siswa bergotong royong membenahi kelas. Mereka patugan membeli peralatan dan bekerja bakti.

Bahkan ada yang sampai lembur hingga malam hari. Ah sebuah inspirasi membangun partisipasi masyarakat yang sudah hampir lenyap di negeri ini.

Pandangan berbeda justru dilontarkan oleh Komite Sekolah SDN 1 Wonosari itu, pak Bambang. Menurutnya inovasi itu berawal dari berbagai niat iuran di sekolah yang ditolak oleh komite. Penolakan iuran itu ditolak karena pihak sekolah tidak ada yang mau tandatangan. Maka kepala sekolah menggerakkan langsung orang tua siswa.

Sebenarnya hanya ada miss di soal ini sebab iuran orang tua siswa boleh saja asalkan tidak dikenakan batas minimal. Tanpa ada tambahan anggaran dari orang tua siswa, pengembangan pendidikan di SDN 1 Wonosari tidak bakal optimal. Padahal SD itu menjadi SD percontohan, penerapan kurikulum 13 serta mendapat predikat 8 lainnya.

Artinya baik Komite maupun Sekolah harus mau duduk bersama mendiskusikan berbagai kebutuhan sekolah dan keputusan apa yang hendak diambil. Jangan sampai salah faham ini justru malah merugikan anak-anak didik yang tidak tahu apa-apa.