Rabu, 21 September 2016

Etic Track Pejabat, Pintu Pencegahan Korupsi?

Kasus korupsi nampaknya masih akan terus terjadi dikalangan pejabat kita meski ancaman hukuman sudah mengerikan. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan sepertinya jauh panggang dari api. Hampir rata-rata 2 minggu sekali ada saja kasus korupsi yang diungkap oleh KPK. Vonis hukuman yang berat yang dikenakan pada koruptor dan di blow up media sepertinya tidak menimbulkan efek apapun. Pejabat kita baik eksekutif, yudikatif dan legislative masih saja ada yang terkena kasus.

Terakhir bahkan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman terkena kasus. Padahal banyak orang mengenal beliau cukup bersih. Inikah yang dinamakan perilaku kita akan terbawa oleh lingkungan? Bila sekelas Irman Gusman saja bisa terlena, bagaimana dengan yang lain?

Irman terkena kasus juga bekan merupakan rentetan dari kasus lain namun karena operasi tangkap tangan. Sungguh luar biasa memprihatinkan. Tidakkah kasus-kasus sebelumnya membuat pejabat merasa ngeri dan menjauhi hubungan yang memiliki resiko beginian? Padahal sebelumnya ada kasus percobaan penyuapan terkait penetapan Perda Reklamasi teluk Jakarta. Berbagai pihak telah ditangkap dan menjalani proses penyidikan.

Rupanya pemberantasan korupsi dengan cara pengungkapan di media sudah tidak lagi efektif untuk pencegahan korupsi. Saya cukup kaget membaca status di media social seorang teman yang berlatar belakang jurnalis senior di harian Kompas. Beliau kenal dengan Irman Gusman dan salah satu yang menjadi perbincangan pada intinya

Lantas apakah hal ini akan dibiarkan atau akan diantisipasi? Bila dibiarkan maka pemberantasan korupsi akan tetap seperti sekarang, tetap saja terjadi. Lantas apa yang bisa dilakukan supaya efektif? Salah satu hal menetapkan etic track. Apa itu etic track? Etik track adalah upaya melacak catatan kode etik yang dimiliki seorang pejabat sesuai dengan kode etik yang melekat pada jabatan-jabatan tertentu. Analogi sederhananya bila tentang laporan keuangan tiap tahun diaudit BPK dan BPKP maka etik track akan dilakukan lembaga yang dibentuk Negara untuk hal itu. Entah mau berdiri sendiri atau berada dibawah KPK.

Apa tugas mereka? Memberikan catatan, evaluasi dan feedback atas kode etik yang harusnya melekat dijabatan tersebut. Gagasan ini pasti bakal ditolak mentah-mentah karena merasa pergerakannya tidak bebas. Tapi apakah itu menjadi kekhawatiran bagi pejabat yang bersih? Saya kira tentu tidak. Sebut saja orang seperti Mahfudz MD, Anies Baswedan, Ahok, Risma, Ridwan Kamil tidak akan merasa keberatan. Kenapa? Karena mereka bersih dan memang tidak melakukan hal-hal yang melanggar kode etik sebagai pejabat.

Etic Track tidak perlu masuk sampai penyadapan telepon namun agenda harian, ketemu siapa, pergi kemana, rombongannya siapa, keperluan apa harus tercatat rapi. Sehingga badan yang dibentuk untuk itu mudah melakukan verifikasi dan penilaian.

Apakah tidak melanggar HAM? Jelas tidak karena pejabat dibayar mahal, menikmati berbagai fasilitas yang diberikan Negara untuk bekerja penuh mendedikasikan hidupnya untuk urusan Negara. Sehingga persoalan-persoalan etik tentu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Kasus seperti Irman menerima tamu dirumah dengan orang yang punya kepentingan, Akil Muchtar bertemu orang berperkara atau bahkan tidak hadir tanpa pemberitahuan, Lutfi Hasan menemui Fatonah akan jauh berkurang.

Lembaga ini pun tidak perlu memberi persetujuan pada agenda-agenda yang dirancang pejabat namun memberikan evaluasi setelah 1 tahun berjalan, persis seperti BPK. Sehingga pejabat dalam melakukan aktivitasnya tidak merasa diikuti, dipantau, diawasi secara ketat. Evaluasi yang dilakukan lembaga ini juga diberikan langsung pada pejabat yang bersangkutan sehingga kerahasiaan akan tetap terjaga. Dengan demikian potensi atau kesempatan melakukan tindakan korupsi atau aktivitas yang melanggar lainnya akan dapat diminimalisir.

0 komentar:

Posting Komentar