Kamis, 18 Desember 2014

Menelisik Sengkarut Data Orang Miskin (PSKS)

|0 komentar
Meributkan Data Orang Miskin (1)

Pengurangan subsidi BBM yang dialihkan ke berbagai sektor harapannya mampu meningkatkan produktifitas masyarakat. Pemerintah menengarai bahwa subsidi BBM lebih banyak digunakan untuk hal-hal konsumtif dibandingkan dengan hal produktif. Sejak 18 November, subsidi BBM dikurangi dan dialokasikan untuk infrastruktur, pertanian, nelayan maupun program peningkatan daya beli masyarakat.

Tahun 2014 subsidi BBM dihitung Rp 246,5 T dan listrik Rp 103,8 T. Salah satu program pemerintah dalam pengalihan subsidi ini yakni PSKS (Program Simpanan Keluarga Sejahtera). Meski pada awal Desember program ini diluncurkan banyak polemik (terkait sumber dana cetak kartu) namun pemerintah tetap jalan.

Wajar saja sebab BBM sendiri telah dinaikkan untuk premium bertambah Rp 2.000. Dilapangan, masyarakat miskin mendapatkan PSKS senilai Rp 400.000/2 bulan. Ternyata dilapangan banyak masalah. Berdasar pantauan saya dimedia lokal, rata-rata disemua kecamatan yang ada di eks Karesidenan Surakarta terjadi sengkarut.

Mulai dari nama yang tidak ditemukan, warga sudah meninggal, sudah pindah, sudah mampu, tidak mendapat meski sangat miskin dan lain sebagainya. Bahkan ada yang masyarakat setempat bersepakat penerima PSKS menyisihkan sebagian dana yang diterima untuk dibagikan warga miskin lain yang tidak mendapat PSKS.

Sumber Data

Problem pertama timbul dari data PSKS yang ternyata tidak update. Saya menduga data yang dijadikan rujukan oleh pemerintah berdasarkan PPLS 2011 yang dilakukan BPS tahun 2010. Bila sekarang tahun 2014 akhir, bisa dibayangkan fakta dilapangan seperti apa. Untuk memudahkan menjabarkan, saya mencoba dalam gambar dibawah ini :

Kegiatan PPLS 2011 dikoordinasikan oleh Badan Pusat Statistik tiap Kabupaten/kota. Mereka merekrut masyarakat untuk dilatih melakukan sensus, tentu dengan persyaratan cukup ketat. Setelah lolos mereka ikut pelatihan 3-4 hari disertai praktek. Sensus 2010 itu menggunakan 14 indikator secara nasional, artinya dari Sabang sampai Merauke alat ukurnya sama.

Kesamaan indikator inilah yang menjadi problem PSKS yang kedua. Sebut saja soal luasan lahan, dinding harus tembok, lantai plester tanah dan masih banyak yang lain. Banyak ditemukan juga pendataan yang tidak valid. Hal ini disebabkan pendata bukan orang setempat, data sementara tidak disahkan/disetujui Rt, data mengarang, informasi bohong dan lainnya.

Nah pasca terkumpul ditingkat entah kecamatan atau kab/kota, tidak diverifikasi atau paling tidak dilakukan spot cek untuk uji validitas data. Uji ini penting sebagai penilaian kerja pendata. Apabila ditemukan 1 saja data tidak valid, harus dilakukan pendataan ulang.

Data ini kemudian diolah ditingkat nasional dan dipilah menjadi 4 level/kategori yaitu sangat miskin, miskin, hampir miskin serta rentan miskin. Keluarlah jumlah tiap level tersebut untuk kabupaten/kota. Data ini kemudian dikirimkan ke Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang bekerja dibawah koordinasi Kemenko Kesra.

Berhubung dana yang terbatas, maka pemerintah membedah data di kategori sangat miskin. Merekalah yang akan menerima Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Raskin (Beras Miskin) maupun mendapatkan bantuan uang tunai bagi pemegang PKH (Program Keluarga Harapan). Untuk 3 program ini pada 2013 pemerintah menghabiskan anggaran Rp 30,6 T yang terbagi dari Rp 10,1 T (Jamkesmas), Rp 17,1 T (Raskin) dan PKH sebesar Rp 3,4 T.

Cuma sayangnya tidak 100 persen masyarakat yang masuk Kategori Sangat Miskin itu mendapat bantuan. Hal ini terlihat dimasyarakat yang kadang ada masyarakat yang sangat miskin tidak mendapat bantuan namun tetangganya yang ekonominya “sedikit” lebih baik mendapat. Atau janda masuk data PKH sedang lansia sebatang kara malah terlewatkan dan beragam kasus lain.

Problem ketiga inilah yang kemudian menimbulkan polemik, pertanyaan, hingga tidak sedikit masyarakat yang mendemo kepala desa atau Rt nya. Mereka sih menjawabnya enak karena saat pendataan 2010 lalu, mereka tidak terlibat/dilibatkan sehingga tidak turut bertanggungjawab.

Bisa juga sewaktu di kantor pos ada antrean pengambilan PKH, pihak pos berkelit mereka hanya bagian menyalurkan. Pun ketika kita datangi BPS, mereka kadang menjawab kami memang memilahnya menjadi 4 level kemiskinan namun terkait nama yang mendapatkan, itu ada pada TNP2K.

Nah, bagaimana sebaiknya? Sudah lelah nih, besok lagi dilanjut yah…

Rabu, 29 Oktober 2014

Kabinet Kerja Akan Terbebas Dari Kasus Korupsi?

|0 komentar
Ketika kabinet kerja pemerintahan Jokowi baru dilantik 27 Oktober lalu tentu kita semua harus optimis. Mereka tidak akan melakukan korupsi dikarenakan mereka sudah disumpah, mereka memiliki integritas, mereka sudah kaya dan semoga mereka tidak punya nafsu untuk merasa kekurangan harta. Apalagi fasilitas jabatan menteri, tunjangan operasional menteri dan proyek yang ada dikementrian memang sangat besar. Mempercayakan integritas pada seseorang memang harus total atau penuh. Tidak ada yang berani menjamin seseorang tidak tergoda untuk korupsi.

Latar belakang agama kuat? Bagaimana dengan presiden PKS Lutfi Hasan Ishak yang terkenan kasus suap impor daging sapi, Menteri Agama Suryadharma Ali kasus kuota haji, atau Zein Bajeber mengkorupsi pengadaan Al Qur'an. Atau orang yang sekolahnya sudah tinggi? Lihat titel Kepala BP Migas Rudi Rubiandini yang sudah mencapai profesor doktor, juga rektor Unsoed Purwokerto Prof Edy Yuwono serta Rektor UI Prof Gumilar Rusliwa. Hal ini menandakan bahwa kasus korupsi bisa menjerat siapa saja. Lihat seberapa kayanya Akil Muctar, Irjen Djoko Susilo, Ratu Atut Choisiyah.

Apakah kekayaan mereka sebelum melakukan tindakan korupsi sangat minim? Tidak. Dengan argumen ini maka membedah kekayaan para menteri Kabinet Kerja menjadi sebatas pengetahuan saja. Menteri terkaya yaitu Menteri BUMN Rinie Soemarno yang pada tahun 2004 kekayaannya mencapai 48 M namun dia memiliki hutang sampai Rp 66 M. Dari 34 menteri (seperti dirilis detikcom pada 28 Oktober 2014) baru 20 menteri yang pernah melaporkan daftar kekayaannya. Tiga menteri dari Parpol yakni Puan Maharani, Yasona Laoly dan Saleh Husin melaporkan kekayaan pasca ditetapkan sebagai pejabat.

9 Menteri lainnya memang belum pernah melaporkan harta kekayaannya dikarenakan belum pernah menjadi pejabat publik. Mereka adalah Rahmat Gobel (Menteri Perdagangan/PT Panasonic), Andi Amran (Mentan/ PT Tiran Group), Susi Pudjiastuti (PT ASI Pudjiastuti), Anies Baswedan (Menbuddik/Paramadina), Rudiantara (Menkominfo/Indosat) dan Rinie Soemarno (Menteri BUMN/AORA TV). Adapun 23 menteri sisanya perlu ditekan untuk segera melaporkan kekayaannya. Kenapa? Karena ke 23 menteri tersebut sebelumnya memegang jabatan publik namun tidak melaporkan kekayaannya tepat waktu.

Misalnya Menkopolhukkam Laks TNI (Purn) Tedjo Edy yang menjadi KSAL 2008 - 2009 tidak tercatat Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN)nya. Atau Sofian Djalil yang melaporkan LHKPN 2004 padahal purna tugas Menteri BUMN terakhir tahun 2009. Ada juga dosen maupun rektor universitas negeri namun tidak melaporkan LHKPN pada pejabat yang berwenang. Ada Andrinof Chaniago (Dosen UI/Menteri PPN Bappenas), Prof Yohana (Dosen Universitas Cendrawasih/Menteri PP dan PA), juga Rektor UGM Prof Pratikno (Mensesneg), dan Rektor Undip Prof M Nasir (Menristek dan PT).

Sebagai akademisi tentu komitmen, integritas maupun dedikasinya tidak perlu diragukan lagi. Guna mengurangi suara sumbang masyarakat seharusnya mereka segera merilis atau melaporkan LHKPN. Apalagi sebagai dosen dan rektor tentu bukan baru kemarin mereka menjabat. Apa tidak malu berada dalam lingkaran Presiden Jokowi yang dikenal bersih dan terbuka tetapi mereka tidak mempublikasikan kekayaannya. Juga politisi yang kini duduk menjadi menteri seperti Marwan Dja'far, Hanif Dzakiri, Ferry Mursidan serta lainnya segera menyusun LHKPN.

Kepercayaan publik akan mudah digapai bila pejabat bersangkutan juga mau transparan apa saja yang mereka miliki. Anda sekarang pejabat publik, tunjukkan apa saja yang anda miliki, bila punya usaha segera dilepaskan agar tidak terjadi konflik kepentingan, pesankan pada teman dan saudara untuk tidak mencoba memanfaatkan posisi anda. Ini bukan sekedar demi menjaga citra tetapi membentuk pemerintahan yang bersih kudu dimulai dari hal sepele maupun sederhana.

Selasa, 28 Oktober 2014

Berharap Pada Kabinet Kerja Jokowi - JK

|0 komentar
Akhirnya kabinet Presiden Ir H Joko Widodo dan Wakil Presiden H Jusuf Kalla dilantik Senin (27/10) kemaren setelah beberapa kali tertunda. Dari sisi jumlah menteri yang diumumkan, sama dengan Kabinet Indonesia Bersatu II yakni 34 menteri. Bedanya kali ini Menko ditambah 1 yakni Menko Kemaritiman yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Dwisuryo Indroyono, MSc. Presiden terpilih berharap fokus pembangunan ke depan mengutamakan maritim. Selama ini kita memunggungi maritim, laut dan segala potensi yang dimilikinya, kata Jokowi dalam sambutan pelantikannya.

Dilihat dari komposisi 34 menteri, terbagi atas 14 menteri berasal dari partai dan sisanya dari kalangan profesional. Adapun 16 partai berasal dari PDI Perjuangan (4 menteri), PKB (4), Nasdem (3), Hanura (2) dan PPP yang gabung belakangan di Koalisi Indonesia Hebat mewakilkan 1 menteri. Dilihat dari kalangan profesional, tidak banyak nama baru dibidangnya sebab mereka ada yang dari lingkungan dalam kementrian, perguruan tinggi, pelaku usaha yang sudah cukup dikenal dan lainnya. Satu nama yang mengejutkan yakni Susi Pudjiastuti yang menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.

Walaupun berlatar belakang bisnis, Susi tidak cukup dikenal masyarakat. Polemik bertambah panjang ketika diketahui Susi hanya tamatan SMP, bertato dan merokok. Masyarakat Indonesia nampaknya tidak faham bahwa jabatan menteri bukanlah jabatan akademis yang mensyaratkan kualifikasi akademik. Jabatan publik lebih mensyaratkan kapasitas serta kemampuan. Hal ini bisa ditilik dari rekam jejak atau kiprahnya selama ini. Bila melihat keberhasilan usaha Susi, tak ada yang salah dengan pilihan presiden. Tinggal kita menunggu kinerja perempuan yang sudah punya 1 cucu tersebut.

Sebelum mengumumkan kabinet, Presiden sudah mengirimkan daftar nama menteri ke KPK maupun PPATK untuk diverifikasi "bersih" atau tidak. Ini sebuah kebiasaan baru yang cukup berbeda dengan yang dilakukan presiden sebelumnya, Soesilo Bambang Yudhoyono. Pada era SBY, fokus kandidat menteri di test sendiri lantas diminta melakukan cek up ke rumah sakit dengan maksud apakah tidak ada penyakit yang bakal menghalangi kerjanya 5 tahun mendatang. Kebanyakan yang melakukan cek up adalah kandidat menteri yang hampir pasti.

Pasca dilantik SBY, sang menteripun diminta menandatangani pakta integritas. Sehingga ketika mereka terkena kasus, mereka harus mengundurkan diri. Sudah ada 3 menteri SBY yang terkena kasus korupsi yakni Andi Alfian Malarangeng (Menpora), Surya Dharma Ali (Menteri Agama) dan Jero Wacik (Menteri ESDM). Ketiga menteri tersebut juga berasal dari partai politik dan ini menjadi perhatian penuh supaya Jokowi tidak mengalaminya lagi. Sewaktu proses seleksi ada puluhan nama disebar ke masyarakat untuk mendapat respon.

Setelah diberi respon, digodok dan dimatangkan untuk dikirim ke KPK serta PPATK. Sempat muncul 8 nama yang diberi tanda oleh KPK tidak bersih. Beberapa nama yang sempat disebut akan menjadi menteri namun batal yakni dari kalangan internal PDI Perjuangan seperti TB Silalahi, Mangara Siahaan, Rieke Dyah Pitaloka, Eva Sundari. Dari non partai sebut ada Rizal Ramli, Kurtubi, Iman Sugema, Ilham Habibie dan masih banyak daftar nama lainnya. Faktanya nama itu tersingkir dan tidak menduduki pos kementrian.

Semoga mereka (para menteri itu) benar-benar menjaga harga dan martabat dirinya sehingga tidak tergelincir melakukan perbuatan korupsi. Presiden sudah berpesan untuk kerja, kerja dan kerja. Artinya tidak ada waktu untuk memikirkan kekayaan diri sendiri. Masyarakat sudah lama menanti pemerintah yang mendengar dan bekerja untuk rakyatnya. Bukan pemerintah yang abai dan melalaikan masyarakatnya. Melihat latar belakang mereka, meski tidak 100 persen sesuai ekspektasi namun semoga hasilnya mensejahterakan rakyat.

Minggu, 05 Oktober 2014

Cara Kurangi Subsidi BBM, Jangan Tiru Regim Sebelumnya

|0 komentar
JANGAN NAIKKAN HARGA BBM (2)

Di penyebab ke lima yakni tidak adanya budaya malu membeli BBM jenis premium meski menggunakan mobil yang CC nya bisa diatas 2.000. Pemerintah tidak melakukan upaya cukup konkrit untuk hal ini. Disisi lain memang tidak mudah karena orang cenderung gampangnya saja. Bisa jadi dia membeli bensin eceran lantas dituangkan ke kendaraan mewahnya. Malu? dia bisa menyuruh sopir pribadi, tukang kebun atau pembantunya membelikan. Penyebab keenam, transportasi publik tidak pernah mendapat insentif, fasilitas tidak nyaman serta terlalu rumit.

Beberapa daerah tidak cukup taktis mengelola sistem perhubungan mereka. Lihat saja Solo, meski menjadi kota yang lumayan ramai sebetulnya kategori kota yang tidak cukup besar. Sehingga angkutan dalam kota yang cocok ya mobil kecil bukan bus kecil. Namun kebijakan ini harus beriringan dengan kebijakan menaikkan pajak kendaraan pribadi. Senyaman, secepat, semudah akses apapun kendaraan umum bila pajak kendaraan maupun parkir tidak naik atau lumayan mahal maka jangan berharap masyarakat akan berpaling ke angkutan umum.

Diurutan penyebab ketujuh, wilayah jalur transportasi sudah mengalami titik jenuh alias tidak mungkin bertambah baik panjang jalan maupun lebar jalan. Otomatis dengan bertambahnya kendaraan menyebabkan lalu lintas tidak lancar. Penyebab kedelapan yaitu pola pengelolaan SDA seperti minyak mentah menjadi siap konsumsi tidak dilakukan atau tidak berkembang. Mengimpor sepertinya hanya satu-satunya jalan. Dengan membeli BBM dari luar secara otomatis akan digunakan standar harga internasional. Sebagai salah satu negara penghasil minyak selayaknya kita mampu mengelola sendiri.

Tidak adanya teknologi alternatif bagi pengembangan teknologi itu sendiri maupun bahan bakar alternatif pengganti BBM seperti minyak tanah atau premium menjadikan konsumsi masyarakat terus meningkat. Ini menjadi penyebab kesembilan. Pilihan penggunaan minyak jarak, sumber energi angin, panas bumi, panas matahari, energi air hingga kini belum ada terobosannya. Padahal bila sumber-sumber tersebut bisa dieksplorasi, penggunaan premium bahkan minyak akan merosot tajam. Lihat saja sekarang banyak hal yang tidak berhubungan dengan kendaraan mengkonsumsi BBM.

Misalnya pengairan sawah, penerangan rumah, pemanas air maupun kebutuhan lainnya. Sedang penyebab jebolnya konsumsi BBM terakhir adalah kebijakan daerah bebas kendaraan (Car Free Day) yang mengalami pergeseran makna. Saat ini CFD lebih dimaknai tempat kumpul, tempat jalan-jalan, tempat nongkrong dan bukan kampanye penyelamatan uang negara untuk hal tidak penting. Seharusnya pemerintah mampu mendorong daerah menerapkan wilayah tertentu sebagai daerah bebas kendaraan tiap hari minggu, kantor pemerintah bebas kendaraan tiap jum'at, car free night dan lain sebagainya.

Hal ini penting untuk terus dikampanyekan sehingga semakin lama konsumsi BBM akan rasional. Bahwa akan ada yang terkena dampak dari beberapa kebijakan yang diterapkan itu sudah pasti. Sepanjang pengalihan anggaran benar-benar untuk masyarakat serta tidak dikorupsi, kebijakan pasti akan didukung. Jangan lagi bicara kenaikan BBM sebab hal itu secara psikologis mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Jokowi - Jusuf Kalla sebagai presiden ke 7 RI harus membuat terobosan yang berbeda dan lebih konkrit.

Apabila ke 10 penyebab kenaikan BBM itu bisa dirubah, secara otomatis konsumsi akan turun sehingga subsidi yang diberikan pemerintah akan "normal". Bukan diberikan secara tidak tepat atau hal yang tidak penting. Ini tantangan besar bagi presiden terpilih terutama bagi Menteri ESDM yang baru. Sang menteri harus berupaya menciptakan kebijakan dan merubah pola pikir masyarakat agar konsumsi BBM yang digunakan masyarakat memang berdasar kebutuhan bukan untuk hal-hal yang tidak penting. Dengan demikian alokasi subsidi BBM bisa digunakan untuk kebutuhan mendasar masyarakat.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Subsidi BBM Jebol, Ubah Pola Konsumsi Masyarakat

|0 komentar
JANGAN NAIKKAN HARGA BBM (1)

Bahan Bakar Minyak yang dikonsumsi masyarakat Indonesia memang luar biasa besar. Terutama BBM yang memang dibutuhkan masyarakat kebanyakan yakni premium, minyak tanah dan solar. Setidaknya untuk  subsidi paling besar yakni lebih dari Rp 200 miliar pertahun sejak 2011. Diikuti subsidi listrik menembus Rp 100 miliar 2 tahun terakhir. Konsumsi premium sudah mencapai 29,4 juta kilo liter pertahun. Hal ini menjadikan APBN yang semestinya bisa digunakan untuk layanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan serta jaminan sosial bagi masyarakat tidak mampu tidak berjalan optimal.

Bila dikaji lebih mendalam cukup banyak faktor yang menyebabkan konsumsi BBM tinggi. Sebetulnya bila konsumsi itu dikarenakan kebutuhan riil tidak masalah. Nyatanya dilapangan banyak kita temui kebijakan serta perilaku yang tidak tepat bahkan ada yang sampai melanggar kebijakan. Hingga ketika ada rencana kenaikan BBM, masyarakat selalu menolak. Kenapa? Karena BBM sudah seperti kebutuhan pokok layaknya pangan, kesehatan maupun pendidikan. Hampir semua regim pernah menaikkan harga BBM dengan alasan tidak sesuai harga pasar dunia.


Setidaknya ada 10 latar belakang kenapa konsumsi BBM kita cukup tinggi. Pertama soal macet. Entah ada berapa puluh atau berapa ratus kota besar atau pusat kota tiap pagi dan sore mengalami kemacetan. Jangankan bicara Jakarta sebagai ibu kota negara, kota diluar Jawa seperti Samarinda, Riau, Manado, Tarakan dan lainnya apalagi kota di Jawa. Hal ini menyebabkan trilyunan rupiah bahkan diprediksikan Jakarta akan mengalami kerugian Rp 12 T hingga Rp 65 T pada tahun 2020. Itu baru Jakarta belum ditambah kota besar lain.

Penyebab kedua yaitu mengenai budaya hidup masyarakat Indonesia 10 tahun terakhir. Diakui secara ekonomi membaik tetapi tidak diiringi kesadaran diri mengelola ekonomi lebih bijak. Hampir setiap rumah di Indonesia di Jawa atau pusat kota dimanapun punya sepeda motor. Bahkan yang luas ruang tamu rumahnya tak bisa untuk memarkir kendaraan bisa memiliki kendaraan lebih dari satu. Hampir semua aktivitas diluar rumah dilakukan dengan memakai kendaraan walaupun bukan untuk aktivitas produksi seperti membeli sayur, bekerja, mengantar anak ke sekolah, malam mingguan dan ratusan aktivitas lain.

Sangat mudah kita temui anak usia SMA bahkan SMP berkendara bergerombol, tak memakai helm bahkan berkendara di jam sekolah. Atau sekedar menikmati sore, fotokopi, membeli sayur yang jaraknya tak sampai 100 meter, pagi hari, punya sepeda tetap naik motor. Memang tidak banyak menghabiskan BBM tetapi dalam 1 hari ada berapa aktivitas begini. Ketiga, gap harga BBM internasional dengan dalam negeri menjadikan beberapa orang melakukan penjualan BBM ilegal keluar negeri. Kasus ini mudah ditemui di wilayah perbatasan. Tak jarang melibatkan aparatur negara.

Demikian juga petugas yang berkaitan dengan distribusi BBM, tidak jarang "kencing" ditengah jalan. Atau permainan petugas pengiriman dengan petugas di SPBU dan beragam lainnya. Faktor keempat yang menjadikan konsumsi BBM berlebihan yaitu kredit dan pajak kendaraan terlalu murah. Pemerintah sendiri malah mengeluarkan kebijakan bebas pajak bagi kendaraan murah (LGCC). Kebijakan yang bertentangan dengan niatan membatasi subsidi BBM. Pun demikian kampanye mobil murah buatan dalam negeri. Seharusnya pembelian kendaraan, pajak, KIR hingga parkir dikenakan tarif lebih mahal dari saat ini.

Sebab faktor konsumsi BBM tidak langsung berkaitan dengan itu. Diluar negeri yang namanya parkir apalagi di jalur utama memang mahal. Pun demikian dengan pajak maupun KIR. Meskipun beberapa wilayah sudah menerapkan pajak progresif diatas 2 mobil atas nama seseorang, tetap bisa disiasati masyarakat. Bisa diatasnamakan istri, anak atau saudaranya. Artinya kebijakan pajak progresif kurang tepat. Pemerintah harus berani menaikkan pajak bahkan untuk kendaraan bermotor. Tidak apa-apa di awal berjalannya kebijakan akan ada protes tapi manfaat jangka panjangnya akan lebih terasa.

Bersambung

Jumat, 26 September 2014

Kekeringan Tahunan Di Wonogiri Harus Segera Diatasi

|0 komentar
Hampir setiap tahun Kabupaten Wonogiri mengalami kendala kekeringan di beberapa kecamatan. Setidaknya ada 7 titik kecamatan yang rutin mendapat kesulitan air bersih. Kondisi ini semestinya tidak diatasi dengan kegiatan karitatif seperti droping air bersih. Sebab droping hanya bersifat sementara dan tidak berjangka panjang. Pemerintah dalam hal ini BPBD Wonogiri mesti mengupayakan ketersediaan air bersih bagi masyarakat. Tidak mudah memang mengusahakan air bersih di wilayah yang minim sumber mata air.

Selain kesulitan menemukan sumber mata air, biaya membuat jaringan air bersih diwilayah tersebut juga tinggi. Apalagi Wonogiri dikenal dengan kabupaten yang kering, berbukit dan struktur tanahnya dipenuhi bebatuan. Tidak mudah mengkross pipa untuk menyingkat jarak, menembus hutan, menggali tanah untuk mencapai sumber mata air. BPBD perlu melakukan upaya menciptakan kantong-kantong air diwilayah tersebut. Selain itu, kampanye penyimpanan air dalam tanah perlu digalakkan. Tanpa peran aktif masyarakat, upaya pemerintah akan makin berat.

Berdasarkan media cetak yang edar pada 23 September 2014, 7 kecamatan itu meliputi Giriwoyo (4 desa krisis air, ada 1786 keluarga dan 6461 jiwa), Nguntoronadi (5 desa, 1001 keluarga, 3103 jiwa), Eromoko (4 desa, 1580 keluarga dan 6622 jiwa), Manyaran (2 desa, 590 keluarga dan 2181 jiwa), Paranggupito (8 desa, 2922 keluarga, dan 8456 jiwa), Pracimantoro (9 desa, 6010 keluarga dan 19180 jiwa) serta Giritontro 5 desa, 3465 keluarga dan 12133 jiwa).

Melihat data diatas, maka prioritas yang harus segera ditangani yakni Kecamatan Pracimantoro karena jumlah jiwa hampir 20.000. Kemudian diikuti Giritontro, Paranggupito, Eromoko, Giriwoyo, Nguntoronadi serta Manyaran. Sedangkan kebutuhan suplemen air bersih tentu makin banyak jumlah jiwa, tingkat kebutuhannya makin tinggi. Kebutuhan air bersih diprioritaskan untuk konsumsi serta non konsumsi. Kekeringan itu melanda hingga sumber mata air beserta sungai sehingga kebutuhan non konsumsi harus dipenuhi juga.

Untungnya sudah masuk bulan September dan diperkirakan 2 bulan hujan sudah turun. Total kebutuhan air bersih mencapai 464 tanki hingga 2 bulan kedepan. Apabila dihitung biayanya hampir mencapai Rp 5 M kurang sedikit. Memang dari aspek anggaran, Pemkab Wonogiri selalu punya SILPA yang jumlahnya Rp 70 M tiap tahunnya. Yang perlu dicatat, Pemda dan masyarakat tidak boleh terus berharap begini sebab tingkat ketergantungannya cukup besar. Bupati harus mencari terobosan lain seperti yang dilakukan didaerah lain di Indonesia.

Sebut saja Jembrana Bali yang mendapat hibah alat pengolah air laut menjadi air siap konsumsi. Dengan melihat kecamatan yang mengalami kekurangan air berada di tepian pantai selatan, seharusnya bupati mampu mengusahakannya. Bupati Jembrana saat itupun mendapatkan alat dari Jepang secara gratis. Instalasi alat tersebut juga dibantu oleh lembaga internasional. Masyarakat Wonogiri harus mendorong setidaknya wakil rakyat supaya musibah tahunan itu bisa segera teratasi.

Kamis, 25 September 2014

Tahun 2014, Ribuan Warga Solo Tak Miliki Jamban Pribadi

|0 komentar
Meski Solo dikenal sebagai Kota yang lumayan maju namun masih banyak masyarakat yang menggunakan MCK umum. Jumlahnya pun masih diatas 3.000 keluarga. Bahkan dipinggiran kota kita dapat dengan mudah menemukan masyarakat menggunakan sungai sebagai tempat buang air besar. Artinya kampanye kesehatan yang digalakkan Dinas Kesehatan setempat harus lebih dioptimalkan. Kesadaran dalam menjaga lingkungan menjadi hal yang seharusnya sudah difahami masyarakat. Termasuk diantaranya kebiasaan membuang sampah ke sungai.

Padahal Kota Solo sudah melayani persampahan secara rutin yang pembayaran perbulannya sangat murah yakni Rp 1.000/rumah/bulan yang kriteria R1. Maka dari itu upaya penyadaran kebersihan serta menjaga lingkungan menjadi isu penting selain soal lainnya. Berdasar data dari YKKS Tahun 2012 tercatat ada 24.254 KK yang menggunakan MCK Umum dan sebanyak 96.092 menggunakan MCK Pribadi. Pengguna MCK Umum terbanyak yakni Kecamatan Pasar Kliwon (7.190 KK), diikuti Jebres (6.932 KK), Banjarsari (5.004 KK), Serengan (2.667 KK) dan Laweyan (2.461 KK).

Sementara pengguna MCK pribadi yang terbanyak Banjarsari (32.665 KK) kemudian Jebres (25.232 KK), Laweyan (17.424 KK), Pasar Kliwon (12.491 KK) dan terakhir Serengan (8.280 KK). Apabila diprosentase masyarakat di Kecamatan Laweyan dan Banjarsari 70 persen menggunakan MCK pribadi, di Jebres 65 persen, di Serengan 59 persen serta di Pasar Kliwon hanya 54 persen. Adapun yang tidak menggunakan MCK Pribadi di Pasar Kliwon mencapai 31 persen, Serengan 19 persen, Jebres 18 persen, Banjarsari 11 persen serta 10 persen di Laweyan.
Solopos Cetak 14 Agustus 2014

Pada Tahun 2014, Dinas Kesehatan Kota Solo memeriksa 49.161 rumah dari 101.807 rumah di Kota Solo. Hasilnya 3.980 belum memiliki jamban pribadi alias mengakses jamban umum. Diperkirakan kepemilikan jamban pribadi pertumbuhannya tidak akan signifikan karena orang cenderung menambah ruangan dengan membangun kamar dibandingkan jamban. Disisi lain, sudah banyak MCK Umum yang fasilitas maupun kebersihannya memadai serta tarif cukup terjangkau. Disisi lain, untuk renovasi MCK Umum juga banyak program dari pemerintah untuk itu.

Sebut saja disebuah kawasan Semanggi, MCK itu berkeramik, bersih, bayar cukup Rp 200, memakai sepuasnya dan tanpa membersihkan. Kendalanya ya harus sabar antri. Bagi masyarakat kelas bawah, membangun MCK Pribadi selain harus mengeluarkan uang setidaknya diatas Rp 3 juta namun juga menyediakan tempat minimal 1 x 1,5 m2. Rumah-rumah masyarakat diperkotaan sudah sempit bahkan berbatasan langsung dengan jalan. Kalau tumbuh juga keatas sehingga sulit menyediakan pertumbuhan jamban.

Dari pendataan yang dilakukan DKK, hasilnya mirip dari pemetaan YKKS yaitu Pasar kliwon paling banyak terdapat rumah tanpa jamban pribadi. Sementara Laweyan yang wilayahnya tidak cukup luas, jumlah kelurahannya juga tidak banyak otomatis jumlah rumah tak berjamban sedikit. DKK tidak harus mendorong pertumbuhan jamban namun yang penting kesadaran menjaga kesehatan. Agar tidak sembarangan membuang sampah maupun kotoran disungai atau tempat umum lainnya.

Mewujudkan Sragen Sebagai Salah Satu Kabupaten Lumbung Padi Di Jateng

|0 komentar
Selain Wonogiri, Boyolali, Karanganyar, Klaten, Kabupaten Sragen juga mengejar sebagai salah satu Kabupaten yang memproduksi padi alias jadi lumbung padi. Perlu di Ketahui, beberapa kabupaten yang berbatasan dengan Kota Solo, lahan padinya sudah menyusut tajam. Sebut saja Sukoharjo (Kecamatan Baki, Grogol, Kartosuro), Boyolali (Ngemplak, Mojosongo), Karanganyar (Colomadu, Palur, Gondangrejo) yang beralih fungsi sebagai pemukiman. Tanpa segera menetapkan policy yang jelas, niscaya lahan pertanian didaerah tersebut akan segera habis.

Meski Sragen dikenal sebagai jawaranya investasi, rupanya bupati pengganti Untung Wiyono, yaitu Agus Fatchurrahman mampu mendorong produksi padi secara baik. Meski baru 2 tahun memegang tampuk sebagai kepala daerah, kontribusi Agus cukup jelas. Prestasi yang dicatatkan Untung dalam hal produksi padi bisa terus ditingkatkan. Artinya peluang investasi tidak serta merta menghabiskan lahan pertanian. Tidak banyak daerah yang mampu menjaga wilayah apalagi menggenjot hasil pertanian tetap terjaga.

Sudah sejak reformasi, hasil pertanian meski tetap menjadi kebutuhan pangan nasional tidak banyak diperhatikan kepala daerah. Hal ini diperparah tidak adanya kebijakan nasional yang memproteksi petani. Kran impor masih dibuka pada hasil pertanian sebut saja jagung, lada, gula, kemudian harga pupuk yang mahal, harga gabah yang turun saat musim tanam, tidak ada insentif bagi pemilik lahan pertanian maupun buruh tani serta kebijakan lainnya. Kondisi ini diperparah inovasi benih pertanian atau rekayasa tanaman tak cukup baik.

Hampir tidak ada hasil penelitian yang berupa terobosan menarik, revolusioner maupun inovatif yang dihasilkan baik LIPI, BPPT maupun perguruan tinggi. Tentu hal seperti ini menyebabkan petani atau pemilik lahan lebih suka menjual lahannya atau mendirikan bangunan. Bupati Sragen tidak hanya membuka investasi namun merumuskan kebijakan konkrit dalam berbagai bentuk. Misalnya ada subsidi pupuk daerah, menghargai gabah secara tinggi maupun pemberian insentif bagi petani baik pemilik pertanian padi maupun palawija.

Tingkat pertumbuhan hasil produksi padi cukup menggembirakan. Di Tahun 2007 ada 493 ribu ton, naik menjadi 461 ribu ton (2008), bertambah hingga 511 ribu ton (2009), dan menjadi 542 ribu pada 2010. Sementara 2011 berhasil mendapat hasil padi 609 ribu ton, kemudian turun 584 ton (2012) dan tahun 2013 berada di 601 ribu ton. Hasil ini memang masih kalah dari tahun 2011 lalu tetapi dengan melihat kondisi secara umum, akan lebih positif bahkan melebihi produksi 2011.

Pemda perlu mengoptimalkan penggunaan anggaran, kebijakan ditingkat daerah maupun bantuan pemerintah propinsi dan pusat bagi pengembangan produk pertanian. Dijalankannya UU Desa pada 2015 semakin membuka kemandirian desa dalam melestarikan lahan pertanian. Sebaiknya dorong agar desa menganggarkan secara khusus supaya lahan mereka tidak tergerus habis. Ingat, desa juga harus dibatasi dalam mengelola anggaran untuk pembangunan. Jangan sampai lahan pertanian bengkok berubah pertokoan, pasar, minimarket berjejaring atau bangunan lain.

Rabu, 24 September 2014

Pemerintah Harus Gali Potensi Energi Alternatif Pengganti BBM

|0 komentar
Jangan Naikkan Harga BBM (2)

Apakah kebijakan menaikkan BBM itu tepat? Terutama menutupi defisit karena konsumsi BBM? Lagi-lagi pemerintah beralasan banyak mobil membeli premium yang seharusnya membeli pertamax. Jelas pemerintah akan kesulitan membatasi siapa yang boleh membeli premium dan yang tidak. Bisa jadi nanti akan ada permainan pembelian BBM antara pemilik kendaraan dengan petugas SPBU. Maka dari itu, memudahkan mengatasi defisit, pemerintah mengambil jalan pintas dengan menaikkan BBM. Padahal kebijakan ini memberatkan masyarakat secara luas.

Bagaimana tidak, berdasarkan pengalaman yang ada begitu pemerintah mengumumkan rencana kenaikan BBM pasti akan diikuti kenaikan hampir 100 persen harga barang. Sebab hampir tak ada barang yang tidak membutuhkan bahan bakar. Maka dari itu menaikkan harga bukan solusi yang tepat. Yang lebih pas dilakukan pemerintah bukan menaikkan BBM melainkan meningkatkan sektor yang tidak terkait secara langsung dengan kehidupan masyarakat menengah kebawah. Ada banyak kebijakan yang dampaknya akan menguntungkan semua pihak.

Pertama, naikkan pajak kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua terutama yang bukan untuk angkutan umum/plat kuning. Bisa saja motor yang dikaryakan menjadi ojek, diijinkan untuk di plat kuningkan sehingga bagi kendaraan ber plat kuning akan mendapat insentif. Pajak pertahun bisa mencapai 10 hingga 15 persen dari harga motor. Kedua, naikkan tarif parkir terutama yang ada dijalan raya sehingga masyarakat akan berpikir menggunakan kendaraannya. Bila perlu naikkan hingga 500 persen. Selain mengurangi penggunaan kendaraan yang berefek mengurangi konsumsi BBM.

Ketiga, benahi moda transportasi massal baik fasilitasnya maupun jalurnya. Artinya masyarakat akan tergerak menggunakan transportasi umum dibanding menggunakan transportasi pribadi. Bila perlu batasi plat nomor luar kota memasuki kota lain atau propinsi lain untuk waktu tertentu kecuali transportasi umum baik penumpang maupun barang. Keempat, kembangkan daerah bebas kendaraan maupun waktunya. Bila selama ini car free day hanya berlaku hari minggu hingga pukul 09.00, diperpanjang hingga sore maupun seminggu berlaku 3 hari car free day.

Hal lainnya yang perlu dicatat atau dicarikan jalan keluar adalah mengembangkan sumber energi alternatif sebagai bahan bakar tenaga listrik maupun pengganti BBM. Mengalihkan BBM dari premium ke gas atau dari minyak tanah ke gas sebetulnya sama saja sebab bahan bakar gas adalah bahan bakar yang tidak mudah diperbaharui alias membutuhkan proses. Carilah energi yang cukup berlimpah di Indonesia yang sudah tersedia tinggal diproduksi seperti energi panas bumi, panas matahari, energi angin, energi air dan lainnya.

Empat langkah inilah yang diharapkan mampu mengatasi konsumsi BBM yang berlebihan. Selama ini pemerintah lebih suka mengatasi kendala dengan langkah yang tidak mau repot. Empat langkah tersebut juga lebih berprospektif bagus dan  mendidik masyarakat berperilaku dibanding menaikkan harga BBM yang dampaknya hanya sesaat. Ir Joko Widodo sebagai Presiden terpilih harus mengambil kebijakan yang berani serta tidak mudah. Percayalah langkah-langkah diatas akan lebih tepat bagi negara Indonesia.

Selasa, 23 September 2014

Atasi Defisit Selalu Naikkan BBM, Pemerintah Tak Kreatif

|0 komentar
Jangan Naikkan Harga BBM (1)

Bahan bakar minyak terutama yang dikonsumsi sektor transportasi hingga kini dianggap sektor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ekonomi. Betapa tidak, selain hampir seluruh masyarakat membutuhkan dan negara sepertinya tidak berdaya mengurangi kebutuhan konsumsi. Bagi sektor transportasi, setidaknya ada 2 bahan bakar yang di subsidi pemerintah yaitu BBM jenis premium dan solar. Khusus solar kini diberlakukan pembelian tidak boleh dilakukan diatas pukul 18.00. Kebijakan yang sebetulnya aneh serta tidak masuk akal.

Pemerintah berupaya menekan konsumsi BBM tetapi upaya yang dilakukan kurang efektif. Sebut saja larangan konsumsi BBM bersubsidi bagi kendaraan pemerintah, kebijakan car free day, car free night, hingga hari larangan berkendara pribadi dibeberapa pemerintah daerah tak kunjung mengurangi konsumsi BBM. Bagaimana mau mengurangi bila kebijakan kendaraan murah (LGCC), uang muka kredit pembelian kendaraan bermotor yang ringan (Rp 500 ribu untuk kendaraan Rp 5 juta hingga Rp 50 juta untuk mobil tergantung harganya).

Masyarakat sendiri tidak dididik berprilaku yang menghemat BBM. Lihat saja dalam kehidupan sehari-hari mudah kita temui aktifitas masyarakat yang selalu saja menggunakan kendaraan meskipun bukan untuk kegiatan produktif atau mencari uang. Berbelanja, mengantar anak, pergi bekerja, nonton film, jalan-jalan dan lain sebagainya menggunakan kendaraan. Akibatnya jalanan macet, banyak BBM terbuang percuma, subsidi yang diberikan pemerintah terbuang sia-sia. Hitung dalam sehari berapa BBM terbuang akibat macet di Jakarta? Berapa ribu liter dalam setahun dan berapa puluh atau ratus miliar setahun?

Banyak orang pergi bekerja berangkat pukul 08.00 pulang pukul 16.00 atau 17.00. Kendaraan terparkir sejak pagi hingga sore tanpa hasil apa-apa. Mestinya bila transportasi umum tersedia secara baik, jadualnya teratur, kendaraannya nyaman pasti akan menggerakkan masyarakat mengalihkan penggunaan transportasi. Pemerintah harus mensubsidi, memberi insentif bagi pengusaha angkutan yang bentuknya tidak selalu berupa kemudahan atau pengurangan pajak tetapi misalnya layanan bagi usaha angkutan yang mudah dan cepat, sistem jemput bola atau previledge lainnya.

Konsumsi BBM terutama jenis premium meningkat pesat dibandingkan 4 tahun lalu. Bahkan medio September ini diperkirakan jatah subsidi sudah habis dari alokasi 46 juta kiloliter baik premium, solar maupun minyak tanah. Dari 3 jenis BBM tersebut, yang paling banyak dibutuhkan masyarakat yakni premium. Faktor paling berpengaruh karena tidak adanya kebijakan yang membatasi jumlah kendaraan maupun pajak progressif yang memang mampu menahan atau setidaknya mengurangi pembelian kendaraan bermotor.

Dari sisi jumlah rupiah, subsidi BBM mencapai lebih dari 10 persen APBN di Tahun 2014 yaitu Rp 246,5 trilyun. Padahal tahun 2013 subsidi BBM sempat turun meski tidak cukup signifikan. Hal ini dipengaruhi dari naiknya harga BBM jenis premium. Pasaran di internasionalpun harganya turun 6,3 USD perbarel sehingga mempengaruhi. Subsidi listrik juga turut menguras APBN karena menghabiskan separo dari subsidi BBM (lihat tabel).

(Bersambung)

Kamis, 18 September 2014

Layakkah Solo Disebut Kota Layak Anak?

|0 komentar
Sejak Juli 2011, Kota Solo telah mendeklarasikan diri sebagai Kota Layak Anak. Meski tidak mudah mewujudkannya namun Walikota saat itu Joko Widodo optimis bisa mewujudkannya. Nah dari waktu pencanangan harapannya Tahun 2015 ini akan terealisasi. Idealnya dimana ada negara, ada pemerintah dan ada anggaran disitulah tiap wilayah harus layak anak. Unsur-unsur untuk merealisasikan tidak mudah dan butuh proses panjang. Terutama bagi masyarakat sebab perwujudan layak ini harus menjadi mindset seluruh warga tidak hanya pemerintah daerah.

Solopos cetak 14 Agustus 2014
Sesuai Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 12 Tahun 2011 pasal 7 menyebutkan ada 5 klaster hak anak. Klaster tersebut meliputi (1) hak sipil dan kebebasan; (2) hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (3) hak kesehatan dasar dan kesejahteraan; (4) hak pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya serta (5) hak perlindungan khusus. Tiap klaster tersebut memiliki indikator terpisah yang bila dihitung dari 5 klaster akan sampai 31 item indikator. Tiap wilayah akan cukup berat memenuhi hal ini.

Misalnya untuk klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (pasal 9) ayat b tersedia lembaga konsultasi bagi orang tua/keluarga tentang pengasuhan dan perawatan anak. Yang tersedia ya layanan PPA di Polsek atau Dinas Pemberdayaan Perempuan tingkat kota/kabupaten. Mereka belum menjangkau layanan hingga ke kelurahan atau kampung. Kemudian klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan (pasal 10) ayat i menyebutkan tersedia kawasan merokok. Dalam penjelasannya tidak hanya kawasan merokok terpisah tetapi iklan layanan rokok juga sudah tidak ada.

Adapun aspek yang berkaitan dengan layak anak ada yang berupa layanan, fasilitas maupun lingkungan yang baik disetiap sudut kota. Untuk layanan administratif berupa akte lahir, Solo patut diapresiasi sebab pengurusannya mudah, cepat serta gratis. Nah berkaitan layanan pendidikan sepertinya Pemkot harus bekerja lebih keras lagi. Meski sudah banyak sekolah gratis namun pengaruh lingkungan yang menyebabkan anak-anak terpengaruh hingga mogok sekolah. Selain itu ada juga kasus-kasus anak tidak bersekolah karena hamil.

Sedangkan setelah lulus SMU, layanan berupa pelatihan ketrampilan telah tersedia meski kadang peminatnya tidak banyak. Sementara itu berdasar informasi dari Pemkot, setidaknya Tahun 2014 baru menganggarkan Rp 9,5 juta/kelurahan/tahun dengan alokasi jelas. Masing-masing Rp 2 juta untuk operasional forum anak, operasional posyandu dan operasional pembina KB. Sedangkan sisanya operasional pokja layanan anak (Rp 2,5 juta) dan penyusunan buku profil anak (Rp 1 juta). Sekali lagi besaran ini ditetapkan sama untuk kelurahan besar maupun kecil.
Iklan rokok terpampang dalam big screen di kawasan perempatan Purwosari

Tugas berat yang pertama adalah me-mainstreaming-kan kota layak anak pada masyarakat. Anggaran bisa disusulkan sehingga warga kota faham dan mampu menginternalisasi nilai-nilai layak anak ditiap keluarga. Misalnya saja kampanye bersekolah adalah hak anak dan bila usia sekolah tidak bersekolah orang tua/wali bisa dipidana. Larangan merokok dirumah yang masih terdapat anak dan pelanggar bisa kena sanksi meski ringan. Tidak ada lagi kekerasan dalam rumah tangga terutama anak.

Yang harus diperjelas adalah mengenai eksploitasi anak atau mempekerjakan anak. Bagi kalangan usaha terutama usaha kecil, pasti anak akan diajari atau bahkan belajar sendiri. Nah rumuskan secara jelas kriteria tentang eksploitasi serta mempekerjakan anak. Jangan sampai anak membantu orang tua membersihkan rumah, tetangganya yang tidak suka malah melaporkan si orang tua dengan pasal ekploitasi. Jadi menurut saya tidak mudah mewujudkan kota layak anak.

Minggu, 31 Agustus 2014

Menanyakan Kiprah Bupati Boyolali Yang Pensiun Pada Periode Pertama

|0 komentar
Bila tidak ada aral melintang, Seno Samudra sebagai Bupati Boyolali tahun 2015 akan berakhir. Berdasarkan desas desus yang beredar Seno tak akan mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Namun ini pernyataan yang cukup mengejutkan mengingat kiprah Seno yang cukup menyedot perhatian masyarakat. Satu kebijakan yang disorot banyak masyarakat adalah pemindahan kantor bupati ke Mojosongo dan menyedot anggaran lumayan besar.

Padahal hingga saat ini tantangan Boyolali masih lumayan besar menyangkut beberapa sektor. Sebut di Pertanian, krisis air dimusim kemarau, bencana alam maupun anggaran pembangunan yang terbatas. Padahal wilayah Boyolali sangat luas dan relatif besar sehingga butuh manajemen yang baik agar terjadi pemerataan pembangunan. Waktu itu bupati menjanjikan tidak akan menggunakan APBD namun kenyataannya justru sebaliknya. Nah kini masuk di tahun keempat pemerintahannya, selain belum terlihat terobosan spesifik tantangan lainnya tetap perimbangan anggaran.

Solopos cetak 28 Agustus 2014
Dibeberapa wilayah, Pemkab memang memiliki program RTLH alias perbaikan rumah tidak layak huni. Jumlah anggaran di tahun 2012 sebesar Rp 2,5 M, 2013 dan 2014 besarannya sama yakni Rp 3 M untuk 1000 rumah. Sayangnya masyarakat tidak banyak tahu dan media massa tidak memblow up fakta dilapangan. Dengan jumlah rumah yang dire nov mencapai 1.000, semestinya Pemkab menjabarkan dititik mana rumah-rumah tersebut yang dilakukan perbaikan.

Sedangkan membuka APBD, untuk surplus/(defisit) dibandingkan dengan 6 kab/kota lainnya relatif kecil. Perhitungan SILPA juga tidak melebihi Rp 70 M. Bandingkan dengan pemda lainnya yang sering melebihi angka Rp 100 M bahkan Kota Surakarta Tahun 2012 berdasar perhitungan akhir APBD diatas Rp 200 M, sebuah angka yang fantastis. Untuk PAD, tercatat terus meningkat setidaknya sejak 7 tahun lalu dan 3 tahun terakhir menembus Rp 108 M (2012), Rp 142 M (2013) dan Rp 181 M (2014.

Sementara belanja pegawai Rp 767 M lalu menjadi Rp 831 M dan tahun ini menjadi Rp 922 M. Cukup penting mencari tahu, dengan bukti hitam diatas putih tersebut dan ketidakinginan bupati melanjutkan periode kedua cukup menimbulkan pertanyaan. Namun apabila memang dilandasi niat yang baik, tentu kita pantas memberikan apresiasi yang tinggi. Seharusnya hal seperti inilah yang layak dijadikan contoh, terkecuali memang masyarakat masih menghendaki.

Kondisi politik di Boyolali sendiri kini lebih kondusif dibandingkan sebelumnya. Dalam pemberitaan banyak disinyalir bupati mengkonsolidasikan aparatnya hingga paling bawah. Upaya itu untuk mendukung kepemimpinannya dan apabila tidak membantu dilapangan, ya akan di geser ke daerah pedalaman yang cukup jauh. Hal ini menyebabkan keresahan dikalangan birokrasi. Isu ini menguap begitu saja karena tidak ada yang berani membuka.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Guru Di Wonogiri Siap Dengan Pengajaran Kurikulum 2013

|0 komentar
Sudah banyak pihak yang mengkritisi segala hal yang berkaitan dengan sistem pendidikan kita. Kementrian Pendidikan perasaan juga sudah membuat berbagai terobosan dibidang pendidikan. Namun menanti pendidikan untuk semua, pendidikan yang mencerahkan, pendidikan yang ramah koq rasanya masih jauh kita gapai. Tahun 2014 ini, lebih dari Rp 200 T dialokasikan untuk anggaran pendidikan namun di media massa selalu saja ada kisruh soal pendidikan.

Mulai dari pungutan, mengeluh soal sulitnya dapat sekolah, kurikulum, kekerasan di sekolah dan ragam persoalan lainnya. Mengerucutkan masalah pendidikan dalam beberapa kelompok, tidak gampang saya rasa. Sebut saja problemnya infrastruktur, SDM dan Kurikulum? Infrastruktur sendiri bila dibedah secara kasat mata sudah bisa dipecah atas kondisi sekolah, kondisi MCK, kondisi geografi, akses dan ragam lain. Kondisi sekolah masih dibagi ruang kelas, ruang guru, ruang perpus, rumah penjaga sekolah dan hal lain.

Solopos Cetak 7 Agustus 2014

Sejak tahun ini pemerintah menekankan implementasi Kurikulum 2013 (K-13) yang diluncurkan Mendikbud Muhammad Nuh. Walau demikian, ternyata problem SDM masih cukup rumit untuk diurai. Jangankan berharap mereka menerapkan K-13 seperti jauh panggang dari api. Berdasar hasil uji kompetensi melalui UKG, hasilnya tak ada 35 persen dari guru yang sudah mendapat sertifikasi nilainya diatas 50. Ini sengkarut di internal pendidikan belum menyangkut stakeholders mereka yakni siswa.

Maka dari itu, terpilihnya Joko Widodo yang ketua tim suksesnya dijabat Anies Baswedan memunculkan optimisme perubahan mendasar. Walaupun begitu, sebenarnya tidak mudah merubah format pendidikan di Indonesia yang tidak membebani anak didik. Lihat saja mereka, makin hari pendidikan bukannya mencerahkan tetapi menghambat perkembangan anak. Bukan saja otak namun tinggi badan mereka sulit tumbuh dengan buku-buku yang bejibun.

Di Wonogiri, perubahan kurikulum dari KTSP 2006 ke 2013 rupanya belum diikuti semua guru. Yang terbanyak malah guru SMP dan SMA masih belum mengikuti diklat. Sementara guru SD sebagian telah mengikuti dan guru SMK sudah tuntas.Dari 4.257 guru SD baru 3.620 sudah mengikuti diklat, untuk SMP dari 2.025 guru sudah ikut pelatihan 1.468 guru, untuk SMA dari 457 baru 73 orang yang sudah. Sementara semua guru SMK telah mengikuti diklat kurikulum 2013 padahal tahun anggaran telah berakhir.

Pemerintah Daerah jarang mengambil inisiatif meningkatkan kapasitas guru. Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan kebanyakan atas inisiatif pusat. Harusnya pemerintah daerah mendorong peningkatan kapasitas guru misalnya mengadakan pelatihan mendongeng, menulis, pengajaran kreatif, teknik menyusun soal, pembelajaran internet dan ragam tema lainnya. Meningkatnya gaji guru hampir tak sejalan dengan motivasi mereka dalam menyelenggarakan pendidikan.

Jumat, 29 Agustus 2014

Sistem Zonasi Sekolah Di Surakarta Klop Dengan Kurikulum 2013

|0 komentar
Ada gagasan yang menarik perdebatan pasca penerimaan siswa baru Tahun Ajaran 2013/2014 di Kota Surakarta. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta ingin mengembangkan zonasi sekolah berdasarkan teritori atau wilayah. Sepertinya belum ada model pengelolaan seperti ini. Penerapan zonasi ini memang tidak mudah diimplementasikan karena ada beberapa faktor. Sebelumnya Kota Surakarta menerapkan kebebasan memilih sekolah. Namun siswa yang diterima hanya berdasar quota dalam kota dan luar kota berdasar alamat tinggal.

Disamping itu, ada beberapa sekolah dengan sistem plus atau bagi warga miskin sekolah tidak sekedar bebas biaya namun peralatan sekolah seperti tas, buku, seragam, sepatu bisa dibantu. Hanya kemudian perspektif masyarakat menjadi negatif pada sekolah plus. Guru-guru disekolah itu juga kesannya direndahkan. Bisa jadi akan mempengaruhi minat guru mengajar sebab siswa benar-benar dibantu keuangannya oleh Pemerintah kota. Terobosan zonasi sekolah kini coba diterapkan untuk Tahun Ajaran 2014/2015.

Gagasan ini menarik dan perlu diterapkan di Indonesia. Apa makna zonasi sekolah? Yaitu membatasi siswa bersekolah dengan memilih sekolah semaunya alias dia harus bersekolah ditempat yang sudah ditunjuk berdasar dimana dia tinggal. Pada jaman dahulu, kita memang bersekolah yang dekat sehingga bisa jalan kaki. Seiring kemajuan zaman, orang tua siswa menyekolahkan ditempat sekolah favourite dan kadang biayanya bisa lebih mahal dibanding sekolah negeri yang lain. Guru-guru dikabarkan juga banyak mengincar sekolah ini karena tunjangannya berbeda.

Keuntungan zonasi sekolah cukup banyak sebut misalnya tidak ada lagi sekolah unggulan. Sistem zonasi mewajibkan siswa mendaftar di sekolah yang terdekat tempat tinggalnya. Maka siswa yang bertempat tinggal di dekat SMP 1, SMP 2, SMP 3, SMP 9 dan beberapa SMP favourite cukup diuntungkan. Pun dengan model kurikulum 2013, sistem zonasi lebih tepat karena pembelajaran fokus pada siswa dan proses belajar. Disisi lain, siswa yang cerdas akan terbagi secara acak ditiap sekolah. Siswa juga diharapkan lebih bisa tepat masuk jam sekolah karena jarak sudah dekat.

Pun demikian bila siswa mengalami hambatan, ada masalah di sekolah, siswa sakit maka sekolah bisa secara mudah dan cepat memberitahukan pada orang tua. Disdikpora Kota Surakarta sendiri dalam mengucurkan anggaran ke sekolah lebih mudah karena share siswa tiap sekolah setidaknya akan berimbang. Beban tiap sekolah bisa jadi sama. Tetapi tantangan atau kerugian juga menjadi hal yang harus dicarikan jalan keluarnya supaya siswa tidak dirugikan. Persiapan pembuatan zonasi sekolah harus matang. Database siswa sejak dini betul-betul siap sehingga ketika pendaftaran bisa sesuai.

Lebih bagus lagi jika sudah disiapkan sistem online. Siswa tak perlu bawa banyak berkas karena dokumen siswa dari jenjang sebelumnya sudah tercatat disekolah yang akan dituju. Jadi pendaftaran hanya memastikan bahwa siswa resmi mendaftar. Bagi orang tua, tidak akan lagi bisa memilih sekolah terutama bila sekolah yang terdekat selama ini dianggap "kurang" atau keluarannya tidak bagus. Guru sendiri perlu meningkatkan kapasitas bila siswa didiknya kebetulan hasilnya pas-pasan namun keluaran sekolah selama ini bagus.

Sistem zonasi ini tepat digunakan untuk jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Sementara untuk SMA tidak pas terutama bagi siswa yang akan menempuh pendidikan kejuruan (SMK). Keberadaan SMK tidak merata dan tidak selalu SMK yang menjadi incarannya tidak berada di zona dimana siswa tersebut tinggal. SMK sendiri terbagi ada beberapa yakni yang teknik, ketrampilan maupun seni. Bila seorang siswa berminat pada seni namun SMK yang terdekatnya adalah SMK teknik maka potensi yang dimilikinya tidak tergali optimal.

Nah sekarang tinggal kita tunggu penerapan zonasi sekolah di Kota Surakarta. Inilah terobosan yang brilian dan muncul dari Kota Surakarta. Sistem ini harus menjadi patokan secara nasional sehingga pemerataan pendidikan benar-benar dapat tercapai. Jadi sekolah yang baik itu yang mampu mengeluarkan output pendidikan dari input apapun. Selama ini sekolah favourite sering menghasilkan output yang baik karena inputnya sendiri sudah bagus.

Kamis, 28 Agustus 2014

Mengantisipasi Pernikahan Dini Di Boyolali

|0 komentar
Pernikahan merupakan kehidupan yang dilakukan oleh 2 orang dengan usia maupun sikap yang matang. Tanpa itu, pernikahan yang salah satu tujuannya melahirkan generasi penerus berkualitas tentu tidak akan tercapai. Sesuai UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 menegaskan salah satu syarat yang cukup penting yakni usia kedua mempelai. Disebutkan untuk perempuan minimal berusia 20 tahun dan laki-laki setidaknya berusia 25 tahun.

Berdasarkan kajian, usia ini dianggap usia matang seorang perempuan dan laki-laki mampu mengarungi bahtera rumah tangga. Seiring perkembangan jaman, sudah selayaknya perlu dikaji, apakah benar hanya usia saja yang mempengaruhi kualitas keturunan mereka? Bukankah konsumsi makanan, pengetahuan, kedewasaan juga faktor penting yang harus turut menjadi pertimbangan selain faktor kesehatan? Sudah selayaknya ada semacam lembaga yang memberikan pembekalan pra nikah bagi pasangan yang hendak menikah.

Solopos Cetak 2 Agustus 2014
Hal ini penting agar dalam menjalani kehidupan rumah tangga, sepasang suami dan istri hidup tidak atau bukan untuk menyalahkan. Pembekalan pra nikah semacam ini tentu bukan dengan model ceramah semata. Tawarkan saja bagi mereka yang mau menikah mau melakukan pembekalan dengan model seperti apa? Ada yang dengan permainan, sharing, melihat video dan berdiskusi, ceramah, kunjungan atau campuran dari berbagai metode.

Biarkan mereka yang menentukan dan tarif yang dikenakan bisa berbeda-beda. Harapannya pembekalan dapat memberi pemahaman bahwa kehidupan yang bakal mereka jalani bukan kehidupan egois seperti layaknya masih sendiri. Mereka sudah terikat dalam perkawinan sehingga harus tahu apa hak dan kewajiban sebagai suami istri. Begitu juga dengan munculnya problem dalam rumah tangga yang bentuknya bisa dalam berbagai hal tidak melulu soal pendapatan keluarga.

Sayangnya pembekalan ini tidak pernah ada di Indonesia. Bahkan di Boyolali, usia pernikahan dibawah umur lumayan tinggi. Artinya usia pasangan baik laki-laki maupun perempuan kurang memenuhi syarat. Mereka berusia dibawah 19 tahun (laki-laki) dan 16 tahun (perempuan). Usia dibawah umur untuk laki-laki terdapat di 10 kecamatan dengan jumlah terbanyak di Kecamatan Musuk (4 orang). Sementara perempuan terkonsentrasi hanya di 5 kecamatan meliputi Ampel (8 orang), Karanggede (5), Musuk (2), Ngemplak (1) serta paling banyak di Boyolali Kota (19 perempuan).

Kantor Urusan Agama (KUA) harus bekerjasama dengan SKPD terkait di Boyolali terutama Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan,  Disnaker, Bapermas KB untuk melakukan pencerahan bahwa menikah usia dini penuh resiko. Tanpa upaya dan kerja sama yang baik, jumlah pernikahan dini dari tahun ke tahun akan terus meningkat. Bila sudah begitu, sumber daya manusia di Boyolali akan menurun pun begitu dengan kualitas kesehatan keluarga.

Jumat, 22 Agustus 2014

Benahi Pemberian Tunjangan Bagi Lansia Di Klaten

|0 komentar
Klaten merupakan salah satu kabupaten yang memperhatikan kehidupan para Lanjut Usia (Lansia). Pemerintah benar-benar berupaya menjaga kesehatan dan kesejahteraan mereka. Bupati Sunarna menerapkan program tunjangan bagi para Lansia terutama yang memenuhi persyaratan. Hanya saja bantuan yang diberikan memang belum cukup banyak. Mereka mendapatkan bantuan bulanan sebesar Rp 50.000 yang biasanya diterimakan di akhir tahun.

Hal ini sebagai upaya menghargai dan sedikit banyak membantu Lansia terutama yang kehidupannya masih kekurangan. Tujuan lain mendorong masyarakat mempedulikan sesepuh mereka karena kadang banyak yang melupakan jasa lansia meski para lansia tersebut adalah pendahulunya. Disisi lain, dengan membaiknya tingkat kesehatan menjadikan usia harapan hidup bertambah. Otomatis jumlah lansia pun terus meningkat signifikan.
Solopos cetak 12 Agustus 2014

Bila dilihat dari data Pendataan Program Perlindungan Sosial (2011) untuk Kabupaten Klaten jumlah total Lansia di Klaten mencapai 148.424 jiwa dari 1,3 juta jiwa tersebar di 26 kecamatan. Dari jumlah tersebut ada 34.295 lansia dengan status miskin. Adapun yang posisinya janda sangat miskin tercatat 2.228 jiwa. Untuk jumlah lansia cacat mencapai 2.500 jiwa serta lansia berpenyakit kronis ada 5.669 jiwa. Berdasar ketersediaan anggaran, Pemkab tahun 2013 hanya mampu membantu 2.500 lansia saja.

Ke depan, pemerintah daerah harus memikirkan upaya yang efektif bagi keluarga dengan lansia yang memang harus diperhatikan. Memberi bantuan sebesar Rp 50.000/bulan/jiwa tetap bermanfaat hanya kurang efektif dan berkelanjutan. Pemkab melalui SKPD perlu memepelajari latar belakang para lansia tersebut. Bagi lansia yang memang sendirian, tidak ada keluarga sama sekali jalan keluarnya ya diberi bantuan. Mereka tidak boleh dikaryakan/dipekerjakan.

Sedangkan bagi lansia yang masih memiliki keluarga, dikaji dimana mereka tinggal. Bila di pedesaan relatif mudah. Misalnya keluarganya memiliki sawah, bantuan Pemkab bisa disalurkan dalam bentuk pupuk. Atau memiliki kebun yang cukup luas, bisa diberi bantuan hewan ternak. Bisa jadi minta Dinas Koperasi menyalurkan bantuan modal lunak agar keluarga lansia bisa menambah jenis usaha demi meningkatkan penghasilan.

Pemkab harus mengurangi program karitatif (bantuan dana cash) agar tidak membuat malas warga. Terkecuali memang lansia tersebut tidak memiliki keluarga. Dan apabila memang kondisinya sangat memprihatinkan sebaiknya dipelihara oleh dinas terkait. Dengan demikian kehidupan mereka akan jauh lebih terjamin.

Kamis, 21 Agustus 2014

Produksi Padi Dan Jumlah Warga Miskin Di Wonogiri

|0 komentar
Seringkali keberhasilan pembangunan disalah satu sektor, tidak diikuti oleh sektor lain. Hal ini menandakan pertumbuhan ekonomi bagi suatu daerah tidak dilakukan by design alias jalan dengan sendirinya. Pertumbuhan yang terjadi karena upaya masyarakatnya sendiri sehingga kontribusi pada peningkatan kesejahteraan tidak terwujud. Hal ini bisa kita lihat indikatornya hampir di semua kabupaten/kota. Pertumbuhan pendapatan perkapita naik tetapi jumlah warga miskin tetap bahkan bertambah. Atau produksi tertentu meningkat namun warga miskin meningkat.

Solopos cetak 22 Februari 2014
Sekarang kita lihat di Kabupaten Wonogiri. Melihat pertumbuhan luasan lahan pertanian maupun hasil padi meningkat pesat lima tahun terakhir, faktanya 2 tahun terakhir jumlah warga miskin meningkat. Tahun 2008 ada seluas 43.600 ha lahan tanaman padi yang menghasilkan 2,4 juta kwintal padi. Setahun berikutnya menjadi 47.970 ha dengan hasil 2,8 juta kwintal padi. Kemudian di 2010 menjadi 49.876 ha hasilnya bertambah menjadi 2,9 juta kwintal. Di Tahun 2011 hasil terus bertambah menjadi 3 juta kwintal dari lahan 54.185 ha. Dan 2012 dengan 55.168 ha menghasilkan padi 3,2 juta.

Bila dikalkulasi selama 5 tahun luas lahan bertambah sekitar 12.000 ha dengan peningkatan hasil 800 ribu kwintal lebih. Bukankah penambahan luas maupun hasil akan meningkatkan jumlah petani atau penggarap sawah? Inilah peran pentingnya Dinas Pertanian atau yang terkait untuk melakukan pemetaan, pemerataan pertumbuhan, pendistribusian kebutuhan maupun tindaklanjut dari hasil panen sendiri. Otomatis bertambahnya barang akan meningkatkan keterlibatan pihak lain. Dinas Pertanian Wonogiri harus mencermati perkembangan positif ini.

Anehnya berdasar data Kantor Ketahanan Pangan penurunan warga penerima raskin hampir separuhnya. Di 2013 tercatat ada 127.885 keluarga penerima raskin. Namun setahun berikutnya hanya tersisa 70.569 keluarga saja. Apakah mungkin dalam 1 tahun jumlah warga miskin berkurang hingga 50.000 keluarga? Analisa ini harus dilakukan dengan baik dan benar supaya tiap pergantian pemerintahan jumlah warga miskin membesar dan menjelang akhir selalu beringsut turun. Danar Rahmanto sebagau bupati tidak terdengar kiprah spesifiknya dalam pemberantasan kemiskinan.
Solopos cetak 5 Februari 2014

Peningkatan APBD 3 tahun terakhir dari Rp 1,3 T ke Rp 1,5 T dan tahun ini menembus Rp 1,623 T tentu pantas disyukuri. Sayangnya dari sebesar anggaran tersebut, sebanyak Rp 1 T berasal dari pusat yakni Dana Alokasi Umum. Tak heran bila anggaran sebesar itu ya habis semua untuk membiayai gaji pegawai. Sedangkan belanja barang modal dan jasa sangat minim. Di Tahun 2012 tercatat belanja barang dan jasa serta modal hanya Rp 333 miliar, 2013 naik menjadi sekitar Rp 375 miliar dan tahun ini ada Rp 431 M.

Terpilihnya Jokowi sebagai presiden harusnya mampu memacu semangat bagi bupati untuk melayani masyarakat semakin baik. Wonogiri dulu dikenal dengan kegersangannya namun kini sudah mulai berkurang dan inilah potensi besar yang bisa dikembangkan. Ada banyak modal yang sudah ada untuk membangun wilayah, tinggal kemauannya ada atau tidak. Tanpa kepemimpinan yang baik, Wonogiri akan tertinggal dari kabupaten lain disekitarnya.

Rabu, 13 Agustus 2014

Tingkat Buta Aksara Di Boyolali Masih Tinggi

|0 komentar


Meski tingkat pertumbuhan APBD Kabupaten Boyolali sejak 2010 diatas 10 persen tetapi faktanya tingkat pertumbuhan tersebut kurang merata penanganan masalah di semua bidang. Salah satunya yakni pemberantasan buta aksara yang hingga kini masih ada 3.248 orang mengalaminya. Dari data ini serta perkembangan sektor pendidikan bisa dianalisis wilayah yang kemungkinan buta aksaranya cukup tinggi. Sebenarnya tingkat akses transportasi di Boyolali hampir semua sudah terhubung baik yang ada di dekat Merapi hingga di pinggiran Waduk Kedungombo.

Cuma masih terbatas akses serta kemampuan masyarakat di 2 wilayah tersebut. Masyarakat dibawah lereng Merapi cenderung relatif bisa hidup lebih tertata. Tanah mereka subur, akses mudah, dilalui jalur tembus Magelang – Boyolali yang lumayan ramai, air mudah dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan pinggiran Boyolali yang berbatasan dengan Kabupaten Grobogan tentu berbeda. Disana akses mudah hanya transportasi umum lumayan sulit dan hanya pada jam tertentu. Tanah di musim kemarau akan terlihat tandus, waduk surut airnya serta tidak cocok untuk pertanian.

Solopos cetak 13 Agustus 2013
Oleh karena ini, tingginya tingkat buta aksara (no 2 di Jawa Tengah) harus segera diatasi oleh Bupati. Kalau dianggap 2-3 tahun awal kepemerintahannya alokasi anggaran banyak dihabiskan untuk memindahkan kantor kabupaten, inilah saatnya Seno memperhatikan layanan dasar. Memang bisa jadi angka kemiskinan sebanyak itu tidak semua usia sekolah. Penting kiranya melacak dari jumlah tersebut berapa yang berkategori usia sekolah. Harusnya tidak ada lagi usia sekolah yang masih buta aksara.

Dinas Pendidikan perlu menjabarkan data yang diperoleh dari harian solopos edisi cetak ini. Data yang didapatkan kemudian dianalisa titik mana yang memang mayoritas mengalami buta aksara. Bandingkan dengan fasilitas pendidikan yang ada saat ini serta kemudahan atau akses bagi mereka ke pendidikan. Dengan adanya BOS, Kartu Indonesia Pintar maupun BOSDA, seharusnya tidak ada lagi hambatan anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Bentuk satuan tugas untuk menyapu kalau memang ditemukan masih ada anak usia sekolah tak bersekolah.

Tentu keberadaan mereka bukan di Kecamatan Boyolali Kota, Mojosongo atau Ampel namun bisa di kecamatan pinggiran. Kumpulkan stakeholders yang memahami pendidikan, lakukan eksplorasi bersama bagaimana mengatasi hal ini. Bupati juga perlu menggali terutama di 2 sektor yakni pendidikan dan kesehatan tentang apakah 2 layanan dasar masyarakat ini sudah memiliki Grand Design? Apakah yang akan dinas pendidikan lakukan pasca pelimpahan pendidikan menengah (SLTA/SMU) ke propinsi?

Maka dari itu peningkatan APBD semestinya juga meningkatkan pelayanan. Adapun perkembangan APBD dari 2011 yaitu Rp 1,103 T kemudian menjadi Rp 1,232 T di 2012, naik ke angka Rp 1,442 T (2013) hingga di tahun ini menembus Rp 1,642 T. Dari APBD sebesar itu, rata-rata pembelanjaan untuk barang, jasa maupun modal sekitar 30 persen. Bupati perlu mendorong agar alokasi pembelanjaan bisa lebih ditingkatkan secara optimal sehingga tingkat kemanfaatan bagi masyarakat akan lebih terasa.

Senin, 04 Agustus 2014

Peluang Investasi Di Boyolali Tetap Terbuka

|0 komentar


Perkembangan APBD kadang tidak selalu beriringan dengan iklim investasi daerah. Faktor yang jelas saling mempengaruhi yakni kebijakan. Pemerintah daerah tidak memiliki beban dalam memberi fasilitas investasi terutama pelayanan perijinan. Tetapi tidak banyak yang diharap kepala daerah memiliki terobosan penting. Selain perijinan, yang dipastikan oleh investor adalah iklim investasi, perkembangan pasar, biaya tenaga kerja, kepastian usaha dan beragam lain. Lokasi investasi belum tentu menjadi faktor penting.

Hingga sekarang tidak banyak pemerintah kabupaten yang memiliki penataan seperti Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang jelas. Mana wilayah untuk investasi, mana pemukiman, mana pertanian, mana perkantoran atau pertokoan dan lain sebagainya. Pembagian kawasan ini cukup penting supaya pengelolaan kota menjadi lebih ringan. Baik sistem drainase, manajemen angkutan jalan raya, pengaturan perhubungan, pembukaan ruang hijau dan faktor lain. Ada beberapa lokasi yang idealnya hanya untuk kawasan tertentu.

Solopos cetak 13 Juni 2013
Sebut saja kawasan pertanian yang tidak mudah digantikan wilayah lain karena bisa jadi wilayah baru itu tandus. Yang sering mencaplok kawasan pertanian pada akhir-akhir ini yaitu permukiman. Jumlah penduduk yang berkembang pesat menyebabkan permukiman tumbuh subur. Di pinggiran Solo Raya mudah kita temui perumahan baru seperti Kecamatan Colomadu, Palur dan Gondang Rejo (Karanganyar), Kecamatan Kartasura, Baki dan Grogol (Sukoharjo), Kecamatan Pengging dan Ngempak (Boyolali), Kecamatan Wonosari dan Delanggu (Klaten).

Boyolali sebagai salah satu kabupaten di Solo Raya yang membuka ruang investasi. Dalam 2 tahun sepertinya tumbuh dengan baik. Di Kabupaten Susu ini masih banyak wilayah yang bisa dikembangkan dengan investasi selain kawasan Mojosongo yakni Juwangi, Wonosegoro maupun Klego. Mengembangkan ruang investasi di Mojosongo maupun Ampel terkendala mahalnya harga tanah, akses lalu lintas terlalu padat maupun tanah yang dikandungnya lebih cocok dimanfaatkan pertanian.

Sebaiknya Seno Samudro sebagai bupati menghentikan peluang investasi disini. Alihkan peluang investasi bagi Juwangi, Wonosegoro dan Klego yang merupakan kawasan yang selama ini terkesan diabaikan. Padahal akses jalan saat ini lumayan bagus, lahan tersedia cukup luas dan pertanian tidak berkembang cukup baik. Sediakan insentif bagi investor yang mau berinvestasi kesana sehingga daerah sisi timur ini akan berkembang optimal. Awal tahun 1990an, waduk Kedungombo cukup menarik bagi wisatawan.

Namun sekarang seperti tak terdengar kabarnya lagi. Hal ini patut disayangkan dan cukup banyak tempat wisata di Boyolali kiprahnya tidak terdengar. Selain Kedungombo ada Pengging, Waduk Cengklik, Pemancingan Tlatar dan lain sebagainya. Masih banyak potensi lain yang bisa digali secara optimal dan menjadikan Boyolali sebagai salah satu alternatif kunjungan. Mengoptimalkan potensi akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan menciptakan atau membuat lokasi wisata baru.