Jumat, 29 November 2013

DPK Habis Untuk Anggaran Rutin Kelembagaan Di Kelurahan

|0 komentar
Disaat pembahasan berbagai anggaran yang hampir kesemuanya naik, rupanya ada salah satu alokasi anggaran di Pemerintah Kota Surakarta yang tetap. Anggaran tersebut adalah Dana Pembangunan Kelurahan (51 Kelurahan) yang bersifat hibah diperuntukkan bagi masyarakat. Jumlah keseluruhan alokasi DPK di 51 Kelurahan tersebut sejak 3 tahun lalu sebesar Rp 9 M dan nampaknya Tahun 2014 akan tetap sama saja. Masyarakat kurang terorganisir dalam menyampaikan aspirasi terkait hal ini. Padahal sebelumnya sudah pernah muncul wacana pemberian seragam Ketua Rt dan Rw yang nominalnya cukup besar.

Memang kebutuhan pembiayaan jauh lebih penting misalnya meningkatkan alokasi PKMS Silver dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta dan kategori Gold menjadi Rp 7 juta (dari Rp 5 juta). Belum lagi wacana cek darah 1 tahun sekali disertai general cek up. Belum ditambah adanya alokasi PKMS bagi kalangan Posyandu. Wacana ini memang penting dan amat dibutuhkan. Namun sudah sejak Walikota dijabat Ir Joko Widodo, banyak program yang bersifat fisik serta dipermukaan. Nampaknya hal ini tidak menjadi isu penting bagi masyarakat terutama para Faskel, LPMK maupun aktivis kelurahan lainnya.

Sedangkan bila dilihat dari skema atau postur APBD, peningkatannya cukup signifikan. Prosentase kenaikan PAD tahun 2013 ini mencapai 27 persen (dari Rp 189 M menjadi Rp 262 M). Sedangkan SILPA kurun 2 tahun tersedia cukup besar bahkan melebihi DPK rutin yaitu Rp 46 M (2012) dan Rp 54 M (2013). Bisa jadi Hadi Rudyatmo selaku Walikota tidak mau menggunakan DPK menjadi alat politik. Tetapi sebenarnya hal ini sah-sah saja karena dia memiliki wewenang serta yang memanfaatkan DPK semua orang (alias semua partai politik). Ini bisa dijadikan bantahan argumen bila Rudy sebagai policy maker dituduh mempolitisasi APBD.

Koridor Ngarsopuro ditata dengan APBD
Disisi lain, Tahun 2012 lurah-lurah juga sudah mendapatkan kendaraan dinas baru. Padahal makin lama alokasi DPK selain value berkurang, alokasi yang lain kian terbebani. Ada berbagai kelembagaan bentukan Pemkot yang alokasi kegiatannya dimintakan ke DPK. Sebut saja dengan KLA, Posyandu, Honor Rt dan Rw, GWJB, Pokdarwis serta lainnya. Di Tahun 2014 mendatang, masih menjadi perdebatan tentang penghentian PNPM, bisa jadi mekanisme penganggarannya akan masuk di DPK. Tentu lebih memberatkan beban DPK.

Maka dari itu, sudah saatnya Walikota meningkatkan alokasi anggaran DPK terlebih kemampuan APBD Surakarta cukup mumpuni. Pencatatan SILPA di APBD setidaknya 2 tahun belakangan sebesar puluhan miliar itu sangat disayangkan. Wakil rakyat juga kurang keras mendorong SILPA yang lebih rasional misalnya dikisaran angka Rp 20an miliar saja. Kalau lebih dari jumlah itu, patut dipertanyakan kinerja TAPD. Birokrasi telah melakukan anggaran sejak negara ini berdiri dan pengalaman mengalokasikan anggaran semestinya menjadi pembelajaran penting.

Elemen masyarakat seperti Rt, Rw, PKK, Karang Taruna, Faskel, LPMK, Pokdarwis dan lainnya bisa menyuarakan secara bersama. Penguatan analisa anggaran pada elemen-elemen masyarakat ditingkat kelurahan harus diupayakan kembali sehingga alokasi anggaran daerah bisa dimanfaatkan dengan baik. Salah satu sisi positif ditingkatkan DPK yaitu mengurangi alokasi bagi dana aspirasi yang memang regulasinya tidak jelas. Jadi, berani tidak pak Rudy menaikkan anggaran?

Kamis, 21 November 2013

Memudarnya Nama Kampung, Lenyapnya Sejarah

|0 komentar
Kemajuan era globalisasi memang banyak bermanfaat bagi manusia meski banyak yang tak seiring sejalan. Ada banyak konsekuensi logis dari kemjuan jaman diantaranya tradisi, bahasa, lingkungan hingga makin kaburnya sejarah. Di Jawa lebih khusus di Solo banyak lokasi memiliki nama yang memang terkait sejarah secara kental. Tetapi dikarenakan secara administratif menggunakan jenjang yang tidak sama otomatis penyebutan nama kampung secara perlahan bergeser. Secara administratif, pola pikir masyarakat ikut terstruktur mulai dari Rt, Rw, kelurahan dan lain sebagainya.

Padahal di Solo cukup banyak penamaan kawasan berdasarkan sisi kesejarahan yang tidak saja cukup diketahui melainkan juga dipelihara. Artinya ada beragam tradisi yang kadang mengiringi kehidupan kampung yang kini sudah banyak terhapus. Akibatnya berbagai even kebudayaan turut pula tergeser makna maupun aplikasi lapangannya. Bisa dilihat di sekaten (dari kata syahadatain) yang kini cuma berisi mainan anak, judi dan pertunjukan musik. Sementara aslinya perayaan sekaten penuh nuansa agamis yang mengikutsertakan siraman rohani.

Memelihara kebudayaan bukan hanya dengan pawai, arak-arakan atau karnaval semata. Lihatlah berbagai even yang diadakan pemerintah kota Solo lebih mengandalkan keramaian berkeliling. Yang menjadi unggulan Solo Batik Carnival walaupun tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi semestinya berbagai ajang kesenian memiliki kesejarahan cukup kental dan mampu memancarkan nuansa kebudayaan yang menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Biasanya tradisi Jawa yang adiluhung selalu menyelipkan nilai-nilai maupun pembelajaran yang baik.
Kawasan Benteng Vastenberg

Beberapa kesenian atau perayaan kebudayaan yang memiliki sejarah yaitu peringatan Apem Sewu, Grebeg Sudiro, malam 1 suro dan beberapa lainnya. Sampai saat ini berbagai even itu masih belum cukup dalam menyampaikan pesan selain berupa keramaian semata. Oleh sebab itu, penting kiranya Pemkot Surakarta menggalakkan kembali penggunaan nama kampung selain secara administratif. Kesejarahan itu pasti memiliki nilai dan akan mampu menggerakkan masyarakat untuk bertradisi baik.

Penamaan Lawiyan, Gajahan, Kemlayan, Kartopuran dan masih banyak yang lainnya itu mengandung makna sangat dalam. Berkembangnya sebuah kota juga menggeser tempat tinggal tokoh yang mengerti sejarah, menghancurkan situs (bisa berupa rumah kuno, benda bersejarah maupun hal lain) serta efek yang lain. Joko Widodo pernah mengutarakan Solo dengan slogan Solo Future is Solo Past. Tanpa mengembalikan penamaan kampung tentu kata-kata Jokowi itu hanya makna yang dangkal. Pengembalian penggunaan nama kampung secara psikologis akan menggerakkan penduduk menjadi penjaga kebudayaan.

Pengembalian nama kampung harus dilakukan secara perlahan dengan mencari kesejarahan, mencatat, menandai serta mengembangkan dan menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Tidak ada yang menyatakan majunya kota yaitu dengan jumlah mall atau hotel yang banyak melainkan kesejahteraan warga telah tercapai. Mengembalikan nama kampung sebenarnya mengembalikan masyarakat Surakarta ke dalam jati dirinya. Banyak stakeholders yang bisa dilibatkan dalam upaya-upaya pengembalian nama kampung. Termasuk mengembalikan segala hal baik fisik maupun kebudayaan pada asalnya walaupun untuk melakukan semua itu butuh proses.

Rabu, 20 November 2013

Bagaimana Menetukan Si Miskin?

|0 komentar
Menurut berbagai pemberitaan di media massa, seringkali saat dilakukan distribusi program pengentasan kemiskinan terjadi keributan. Entah dikarenakan warga tak berhak malah mendapatkan, entah karena yang mendapat masih sanak saudara ketua Rt dan lain sebagainya. Lantas bagaimana selama ini menentukan si miskin yang katanya dilakukan survey oleh Badan Pusat Statistik? Kenapa masyarakat yang mampu masih mendapatkan? Katanya metodologi yang digunakan sudah valid. Indikator kemiskinannya sendiri merupakan rumusan dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Beberapa daerah juga turut menyalurkan berbagai program versi daerah. Sebut saja Surakarta yang sejak jaman Walikota Ir Joko Widodo turut menyalurkan program pengentasan kemiskinan. Di pendidikan ada BPMKS, untuk kesehatan ada PKMS, penataan lingkungan ada RTLH, warga meninggal mendapat santunan dan yang paling akhir yaitu program Raskinda. Program Raskinda langsung di handle oleh Walikota baru yaitu Hadi Rudyatmo. Sayangnya protes pembagian Raskinda tetap menyeruak. Meski TKPKD Kota Surakarta merupakan salah satu TKPKD yang cukup progressif, faktanya masih terjadi kesalahan sasaran.

Penting kiranya TKPKD Surakarta tidak hanya melandaskan data yang dikirimkan TNP2K dari survey BPS. Namun Pemkot Surakarta perlu mendetilkan variabel yang menjadi sasaran. Seperti diketahui, PPLS (Program Pendataan Perlindungan Sosial) Tahun 2011 dijadikan dasar bagi penentuan warga miskin. PPKS itu menetapkan 23 indikator yaitu luas lantai, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, penerangan utama, fasilitas buang air besar, tempat pembuangan akhir tinja rumah tangga, sumber air minum, status tempat tinggal, jumlah penghuni rumah.

Masih banyak warga yang tinggal berdekatan hewan ternak (photo by Ian)

Kemudian ada pekerjaan, status kerja RTS dalam rumah, kepemilikan aset, jumlah tanggungan keluarga, kepala rumah tangga perempuan, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, anak usia sekolah yang tak bersekolah,. kemampuan berobat/kepemilikan jaminan kesehatan, penderita kecacatan, penderita penyakit kronis, konsumsi pakaian, bahan bakar memasak. konsumsi makanan dan frekuensi makan. Nah anggota TKPKD rupanya kurang jeli melihat data yang dikirimkan TNP2K. Sehingga menjelang pleno akhir tahun masih kesulitan menentukan warga miskin.

Selama ini memang penerima program lah yang aktif meminta kelurahan. Tetapi apakah memang sudah semua warga sadar akan hal itu. Bagaimana dengan orang lanjut usia yang tinggal sendirian? Oleh sebab itu penting pemerintah daerah mengkalkulasi dari berbagai indikator tersebut. Misalnya ketika merumuskan siapa yang berhak mendapat PKMS ya berarti indikator-indikator yang terkait dengan kesehatan terendah maka yang berhak mendapatkan. Diantaranya jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, penerangan utama, fasilitas buang air besar dan lainnya.

Demikian pula untuk penentuan penerima BPMKS, Raskinda, RTLH dan lain sebagainya.Sayangnya Kota Surakarta dengan TKPKD yang cukup aktif tidak merumuskan secara mendetil 23 indikator dengan variable seberapa. Padahal dengan sumber daya birokrasi dan ketersediaan anggaran yang memadai seharusnya bisa dilakukan. Hal ini juga lebih meminimalisir distribusi program yang tepat sasaran. Pejabat wilayah seperti lurah tak perlu takut lagi mendistribusikan bantuan karena rumusannya telah tepat.

Senin, 18 November 2013

Problem Pengentasan Kemiskinan

|0 komentar
Menentukan Indikator Saja, Pemda Bingung

Sebenarnya bukan tak yakin, bimbang atau ragu namun tidak cukup yakin Pemerintah dapat mengurangi tingkat kemiskinan meski berbagai program sudah disalurkan. Sejak mulai penentuan indikator kemiskinan, variabel, personal yang dilibatkan pendataan hingga distribusi program tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Terbukti dari berbagai program ketika disalurkan ke daerah selalu menimbulkan polemik, kekisruhan maupun gugatan dari masyarakat. Mulai dari tidak tepat sasaran, penerima tidak ada hingga tidak sedikit PNS maupun anggota TNI/Polri menerimanya.

Data kemiskinan yang saat ini dijadikan patokan menyalurkan berbagai bantuan disusun berdasarkan ketentuan 23 indikator oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Kemudian pelaksanaan survey dikerjakan Badan Pusat Statistik hingga entry data. Sedangkan pengolahan data dilakukan langsung oleh TNP2K. Data inilah yang menjadi penentu bagi penyaluran Jamkesmas dan Raskin. Model penentuan indikator secara nasional sendiri hemat penulis sudah tidak tepat dilakukan. Ada berbagai argumentasi yang melandasinya.

Sebut saja inflasi daerah, kondisi ekonomi, sosial, budaya dan masih banyak yang lainnya. Disisi lain pengelolaan anggaran oleh pusat (dan daerah tinggal mendistribusikannya) sungguh malah menambah parah karut marut penanganan kemiskinan. Selain Jamkesmas dan Raskin, banyak program yang disalurkan misalnya BOS, RTLH, PKH, BLSM. Anehnya kesalahan model begini kemudian ditiru oleh berbagai pemerintah daerah. Bukannya mengentaskan kemiskinan, justru kondisi daerah malah ruwet dengan penyaluran berbagai program tersebut.

Ilustrated

Keruwetan ini makin parah dengan implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sebab dana yang digunakan yaitu merupakan pinjaman World Bank yang pada Tahun 2015 sudah harus mulai diangsur/dicicil. Di tingkat daerah, PNPM juga merumuskan kriteria tersendiri. Maka dari itu guna membenahi berbagai problem pengentasan kemiskinan, pemerintah pusat harus mendekonstruksi pemikiran atas pengentasan kemiskinan. Langkah itu meliputi Pertama, Kebijakan tentang pengentasan kemiskinan secara nasional ditetapkan oleh pusat.

Artinya pemerintah tidak perlu membuat indikator secara detil. Misalnya indikator secara nasional saja ditetapkan namun daerah bisa mempertajam. Bila indikator penghasilan dimasukkan maka daerah harus menuliskan pada ambang batas berapa warga dikatakan miskin, hampir miskin atau sangat miskin. Atau tanggungan anak sekolah maka tiap daerah bisa menentukan kriteria berapa anak yang bisa dirumuskan menjadi kriteria lokal.

Kedua, melakukan koordinasi dan monitoring pada level propinsi yang selama ini dalam konteks pengentasan kemiskinan sering dilewati begitu saja. Optimalkan peran Pemprop untuk mengkonsolidasikan kebijakan di daerah. Sehingga peran propinsi yang selama ini seakan-akan tidak ada bisa dimanfaatkan. Ketiga, pusat mendistribusikan anggaran langsung ke daerah untuk dikelola dengan rumusan-rumusan tertentu. Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan rumusan tersebut yakni bisa tertib waktu penetapan APBD, jumlah warga miskin, jumlah siswa sekolah, jumlah RTLH atau yang lainnya.

Keempat, evaluasi dilakukan secara bersama dengan susunan tim dari pusat dan propinsi. Artinya TNP2K dan TKPKD Propinsi melebur untuk secara rutin ke daerah melakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan secara partisipatif dengan TKPKD Kabupaten/kota. Harapannya, mendesentralisasikan berbagai bantuan pengentasan kemiskinan dilakukan langsung oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini juga mengurangi kekisruhan perbedaan data yang kerap terjadi.


Kamis, 14 November 2013

Mengembalikan Peran Strategis LPMK Di Surakarta

|0 komentar
Bila kita lihat sekarang ini terdapat banyak kelembagaan/organisasi diberbagai institusi negara. Dalam satu dinas saja ada yang namanya Korpri, Dharma Wanita, Koperasi Unit dan lain sebagainya. Paling jelas di kelembagaan desa atau kelurahan. Di Solo apalagi karena termasuk kota yang cukup cepat merespon kebijakan pusat. Sehingga tumpukan berbagai jenis organisasi di kelurahan begitu marak. Soal efektifitas dan perannya, ya patut dicermati lebih dalam.

Sebenarnya yang formal diatur oleh kebijakan setingkat Permendagri seperti Lembaga Pemberdayaan Maysrakat Kelurahan, Program Kesejahteraan Keluarga dan Karang Taruna Indonesia. Namun di Solo kita banyak menemui organisasi lain. Sebut saja Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), GWJB (Gerakan Wajib Jam Belajar), KLA (Kelurahan Layak Anak), KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan lainnya. Berbagai organisasi itu sayangnya kurang didukung dengan sumber daya.

Banyak tokoh masyarakat yang terlibat diberbagai organisasi tersebut sehingga kadangkala tidak berjalan cukup efektif. Belum lagi ditambah dengan organisasi bentukan warga sendiri semisal kelompok seni, organisasi keagamaan, organisasi hobi maupun jenis lainnya. Tak ada yang salah dengan berbagai kelembagaan yang dibentuk. Hanya saja perlu dipikirkan benar soal efektifitas dan perannya dalam membangun masyarakat.

Sebut saja hingga kini peran LPMK yang menjadi kurang optimal. Idealnya LPMK bisa menjadi organisasi payung dari berbagai organisasi yang ada di masyarakat. LPMK menjadi partner strategis bagi pemerintah kelurahan dalam menjalankan program pembangunan di masyarakat. Faktanya justru malah sebaliknya. Keberadaan mereka seringkali bersifat rutinitas semata, menjalankan program ketika memang waktunya beraktifitas bukan merumuskan dan menjalankan program dari berbagai organisasi yang ada di kelurahan. Kewenangan yang dilindungi Perda kini malah tak berjalan.

Secara rutin LPMK menunggu dana yang diajukan dalam Musrenbangkel dan penentuannya malah dilakukan oleh panitia ad hoc (Panitia Pembangunan Kelurahan/PPK). Pemerintah Kota Surakarta semestinya mereview bahkan bila perlu revisi Perda tentang LKK. Dalam perjalanannya LPMK dapat menjadi konsolidator perencanaan, monitoring  pelaksanaan pembangunan maupun evaluator atas program yang dilaksanakan PPK. Bukan malah sebaliknya, menerima anggaran PPK dan melaksanakan kegiatan rutin tahunan berupa peringatan nasional atau hari besar keagamaan.

Sudah lama peran LPMK dipinggirkan bahkan sejak proses Musrenbang diinisiasi di Surakarta. Niat awal tidak memberi peran signifikan dalam Musrenbang dikarenakan dahulu LPMK (saat itu bernama LKMD) dikuasai tokoh yang dipandang masyarakat tidak obyektif dalam perencanaan pembangunan. Kini pasca otonomi makin membaik dan Musrenbang telah memasuki 12 tahun perjalanannya sebaiknya mengembalikan peran LPMK pada tempatnya.

Langkah pertama dan penting mereview kembali Perda LKK (Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan) serta mengembalikan peran semula. Termasuk membedah Perda LPMK yang sempat dicabut untuk kemudian dibenahi mana yang masih bisa reasonable dan mana yang tidak. Dengan demikian, kelurahan memiliki partner perencanaan yang setara. Tanpa itu semua, keputusan pelaksanaan hasil Musrenbang semestinya patut dipertanyakan bila kewenangan masih pada PPK yang secara kelembagaan sifatnya Ad Hoc.

Senin, 11 November 2013

Tiga Urusan Pokok Kemendikbud

|0 komentar
Sudah sejak 2003 alokasi anggaran pendidikan terus mengalami kenaikan signifikan tetapi hingga kini pendidikan masih saja berkutat pada biaya. Bagi para orang tua, faham betul menghadapi lika-liku ini. Sebut saja mulai pendaftaran, diterima, menjelang masuk sekolah, pembelajaran hingga penerimaan raport atau ijazah. Hampir semuanya membutuhkan uang yang jumlahnya bagi kalangan tertentu tidak sedikit. Catatannya ini di sekolah negeri yang biasa saja. Berbagai pungutan itu terjadi dikarenakan banyak hal tidak hanya karena ketidaktahuan orang tua saja namun ditambahi penyelenggara yang tidak transparan.

Dalam Permendiknas tentang Juklak Juknis BOS selalu dituliskan tentang pentingnya transparansi, keterlibatan orang tua siswa, larangan pungutan dan berbagai catatan lain. Sayangnya regulasi ini hanya didapat oleh sekolah. Peran komite yang seharusnya diposisi orang tua siswa tidak cukup optimal menjalankan perannya. Cek di berbagai media internet, sulit menemukan komite sekolah yang memiliki peran signifikan sebagai penyeimbang informasi sekolah.
Siswa sekolah turut partisipasi pemecahan rekor jarik terpanjang

Pungutan saat pendaftaran bisa beragam bentuk baik langsung maupun tidak langsung. Yang langsung misalnya biaya pendaftaran, jual formulir, stopmap. Yang tidak langsung jenis stopmap harus berlogo sekolah, formulir juga dibuat tersendiri, parkir kendaraan dan lainnya. Menjelang masuk sekolah juga ada pungutan bisa berupa uang gedung, uang seragam, infaq dan berbagai macam lainnya. Ketika pembelajaran sudah dimulai, akan ada tarikan seperti buku paket, LKS, uang kegiatan, piknik, sumbangan ini itu.

Diakhir tahun ajaran baik saat penerimaan raport atau kelulusan akan ada iuran kenang-kenangan, biaya piknik, fotocopy ijazah, sumbangan perpustakaan dan ragam bentuk lainnya. Semestinya berbagai pungutan ini makin berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Kenapa? karena anggaran pendidikan sudah di support tiap level baik daerah, propinsi maupun pusat. Tiap tahun ketika APBD meningkat, otomatis alokasi anggaran juga bertambah. Meski demikian, diberbagai wilayah tetap saja sekolah mengenakan pungutan, iuran, sumbangan atau apapun labelnya.

Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2013 merilis satu dasa warsa upaya pemberantasan korupsi di sektor pendidikan. Ternyata hasilnya cukup mencengangkan yakni penegak hukum mampu menindak 296 kasus sektor pendidikan dengan indikasi kerugian negara mencapai Rp 619 Miliar. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Bila jumlah itu yang bisa ditindak, artinya bisa ribuan kasus dengan potensi kerugian negara yang jauh lebih besar.

Tercatat ada 151 Dinas Pendidikan yang melakukan tindakan itu dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 356 M. Bagaimana tidak, sebut saja 1 elemen tentang gedung rusak pasti daerah menganggarkan namun juga berupaya mendapat alokasi dari propinsi. Disisi lain, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan proyek berupa Dana Alokasi Khusus untuk perbaikan sekolah rusak. Tumpang tindih ini yang rawan terjadi double anggaran atau proyek.

Sebaiknya Kementrian Pendidikan fokus pada 3 hal besar yakni sistem pendidikan, peningkatan kualitas guru serta kurikulum. Sementara soal bantuan siswa, sertifikasi, pembenahan fisik diserahkan ke daerah dengan komponen perhitungan tersendiri. Buat saja sistem untuk mengkalkulasi proporsi jumlah sekolah dengan potensi perbaikan atau kebutuhan pendirian sekolah baru misalnya. Terapkan juga reward dan punishment bila terjadi pelanggaran. Sehingga Kemendikbud tidak berkutat pada hal teknis, masak anggaran trilyunan masih mengurusi bansos senilai Rp 25 juta/sekolah.

Selasa, 05 November 2013

Dana Aspirasi Tak Ada Dalam Pasal Di Regulasi

|2 komentar
Hampir setiap tahun menjelang pengesahan anggaran diberbagai wilayah muncul usulan dana aspirasi. Padahal yang namanya dana aspirasi ini tidak pernah termaktub dalam regulasi apapun. Ini pemaknaan sesat wakil rakyat. Seperti diketahui fungsi legislatif ada 3 yakni legislasi, pengawasan dan anggaran. Sayangnya kata "anggaran" ini dimaknai sebagai hak mendapatkan anggaran bukan fungsi. Inilah sesat pikir yang terus dipelihara hingga saat ini.

Dijelaskan fungsi anggaran yaitu untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU APBN/D yang diajukan Presiden atau kepala daerah. Pemahaman yang sepotong ini kemudian dipolitisir bahwa mereka berhak mendapat anggaran untuk dialokasikan ke dapil mereka memenuhi usulan warga meskipun yang melaksanakan SKPD. Titik beratnya adalah penentu program dan kegiatan ada pada wakil rakyat. Hal ini tentu melanggar UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dalam UU No 25/2004 disebutkan segala program perencanaan pembangunan disusun berdasar Musrenbang dan diajukan secara bertahap sesuai dengan tingkatan. Yang masuk dalam prioritas itu akan dianggarkan oleh SKPD. Jadi tidak ada klausul usulan yang tidak masuk prioritas bisa diajukan langsung ke SKPD melalui DPRD. Sesat pikir ini turut melanda DPR RI ditahun 2010 yang menginginkan ada dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar/tahun/anggota. (sumber 1, 2, dan 3)

Bahkan apabila ditotal dana aspirasi itu dialokasikan tersendiri untuk 560 anggota DPR jumlahnya menjadi Rp 8,4 triliun. Lantas bagaimana mekanisme pengawasannya. Sesat pikir ini tidak sekedar melanggar UU No 25/2004 namun juga rawan penyelewengan. Siapa yang bisa mengontrol pemenang tender proyek tidak memberi fee pada yang mengajukan anggaran? Tugas anggota legislatif pasca pengesahan anggaran itu mengontrol pembangunan, crosscek, dan meminta keterangan bila ditemukan kejanggalan. Bila disibukkan dengan mengusulkan program, waktu akan tersita banyak memverifikasi proposal.

Belum lagi bila rencana program juga diusulkan di tingkat II, I atau pusat. Sebut saja kegiatan disetujui oleh Bupati, apakah pemerintah propinsi atau pusat sempat memverifikasi tiap program yang diajukan? Bagaimana bila kementrian ketika akan mengimplementasikan program ternyata sudah dikerjakan oleh daerah? Anehnya di Sukoharjo soal dana aspirasi ini menjadi perdebatan sengit antara wakil rakyat dengan bupati. Anggota dewan meminta Rp 500juta namun Wardoyo bersedia memberi hanya Rp 300 juta.

Disisi lain, masyarakat yang tidak faham juga kurang mendapat pencerahan baik dari kalangan dewan maupun jajaran birokrasi. Harusnya mereka bisa menjelaskan bahwa prosedur pengajuan program tetap harus melalui Musrenbang karena itu jalan satu-satunya yang konstitusional terkecuali memang force majeur alias kegentingan. Untuk alokasi kegentingan sudah ada anggarannya tersendiri yang biasanya dimasukkan dalam pos Anggaran Tak Terduga.

Hendaknya mulai disosialisasikan dan pemerintah serta legislatif bersikap sama. Keuntungan menjalankan sistem sesuai aturan membuat tiap elemen akan fokus pada pekerjaannya. Silahkan masyarakat kalau mau potong kompas pengajuan usulan tidak masalah tetapi akan ditindaklanjuti oleh wakil rakyat saat rapat pembahasan anggaran. Apakah program tersebut diusulkan eksekutif atau tidak. Di forum itu bisa dikupas kenapa program tidak diprioritaskan. Jadi, hentikan sesat pikir tentang dana aspirasi ini.