Jumat, 20 Desember 2013

Transparansi BOS Macet Di Tingkat Sekolah

|0 komentar
Di era serba keterbukaan ini seharusnya menjadi perhatian banyak pihak. Terutama bagi pengelola uang negara karena dengan transparansi sebenarnya memenuhi hak warga masyarakat untuk tahu, terbuka dan akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan). Salah satu dari berbagai anggaran pemerintah yang semestinya itu bisa diakses dan transparan yakni Bantuan Operasional Siswa (BOS). Kurun sebulan terakhir pada medio Juli - Agustus, Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Surakarta beserta puluhan NGO mencoba melakukan uji akses terhadap dana BOS.

Hasilnya sungguh mencengangkan. Masih terdapat banyak sekolah yang jangankan memberikan SPJ penggunaan dana BOS, memberi jawaban atas surat permohonan akses dana BOS saja tidak. Uji akses itu dilakukan terhadap 112 SD dan 110 SMP di 8 Propinsi yakni Jateng, Jatim, Jabar, DIY, DKI, Banten, Aceh dan Lampung. Jumlah sekolah yang diuji akses yaitu Propinsi Jawa Tengah (39 SD dan 41 SMP), DIY (22 SD dan 23 SMP), Jawa Timur (16 SD dan 14 SMP), Jawa Barat (10 SD dan 10 SMP), DKI (9 SD dan 10 SMP), Lampung serta Aceh (masing-masing 5 SD dan 5 SMP) serta Banten (4 SD dan 4 SMP).
Ilustrasi

Uji akses ini sekaligus sebagai upaya pembuktian difahaminya UU No 14 Tahun 2008 Tentang Kebebasan Informasi Publik sebagai hak warga. Permohonan yang diajukan dari jaringan NGO tersebut ada yang atas nama organisasi berbadan hukum (56 persen), perseorangan mewakili dirinya sendiri (29 persen) serta perseorangan mewakili kelompok (15 persen). Mayoritas permohonan dikirimkan langsung (90 persen) dan sisanya melalui surat menyurat. Dari ratusan permohonan tersebut ternyata sikap sekolah beragam.

Jumlah terbanyak yakni diam membisu (22 persen), dialihkan (18 persen), penolakan lisan (15 persen), informasi diterima (13 persen), menolak untuk menerima (12 persen), Informasi tidak ada (10 persen), Jawaban tidak memadai (6 persen), akses parsial (3 persen) serta penolakan tertulis (1 persen). Sementara dari 22 persen jawaban diam membisu banyak terjadi di DKI Jakarta, Aceh, Jatim, Banten dan DIY paling minim.

Hasil ini menandakan proses tranformasi dan pemahaman atas undang-undang tidak cukup dikuasai oleh sekolah. Padahal pendidikan di Indonesia mengelola anggaran terbesar dibandingkan sektor lain sesuai mandat UUD. Anggaran besar tidak hanya untuk sekolah, siswa, peningkatan mutu tetapi hingga gaji-gaji guru sering mendominasi mayoritas anggaran. Sayangnya besarnya anggaran tidak dibarengi dengan sikap yang terbuka dan transparan. Sekolah merupakan salah satu institusi yang anggarannya didapat dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

Mendikbud Muhammad Nuh perlu mendorong keterbukaan sekolah supaya pendidikan tidak sekedar gratis namun berguna bagi semua. Biarlah sekolah swasta mahal asal sekolah negeri memang untuk warga. Negara ini bukan negara Sosialis apalagi Komunis namun berlandaskan Pancasila sehingga yang disokong adalah masyarakat miskin. Tidak ada prinsip sama rata, sama rasa atau adil itu harus sama. Sudah selayaknya sekolah berubah.

Senin, 16 Desember 2013

Pak Rent Kena Teguran Tuhan

|0 komentar
Kampung Ganjil sudah lama teduh dan tenang. Kehidupan berjalan normal saja dan saat mulai musim hujan kerja bakti digalakkan kembali. Pak Utomo masih menjabat Ketua RT memasuki 2 periode dan semuanya masih baik-baik saja. Ada sih riak-riak kecil namun solidnya kepengurusan menjadikan mereka berjalan kompak. Dukungan pak Ardi sebagai wakil ketua RT dan pak Muhammad di sie pembangunan menopang kesolidan pengurus.

Setelah membenahi selokan, pak Utomo memprogramkan pembuatan gudang RT yang sudah direncanakan 3 Ketua RT sebelumnya dan gagal. Kendalanya soal design dan uang. Namun berkat kerja keras dan usaha nyata akhirnya terbangun dengan swadaya warga. Separuh lebih biaya pembuatan gudang disokong warga. Meski ada suara-suara mencela, pengurus bekerja cukup solid. Sempat ada pedebatan tentang hari kerja antara Ketua RT dengan pak Kabar yang menyebabkan pak Kabar mogok memantau. Dengan trik tasyakuran tengkleng, cairlah hubungan mereka.

Lorong Kampung Ganjil
Sepertinya pak Utomo pandai membagi peran diantara pengurusnya. Bagi yang membandel akan ditangani pak RT dan pak Ardi sebagai sesepuh. Sementara taktik mencairkan dan strategi membuat warga berpartisipasi banyak disokong pak Muhammad. Pengurus lain cenderung sebagai implementator saja, apa yang diperintahkan ya jalan. Disisi lain saat membangun usaha pak Rent sedang ramai-ramainya. Dia menjanjikan membantu asbes dan patungan dengan pak Wijo agar atap pos ronda, hik dan gudang terlihat rapi.

Awalnya pak Utomo tidak setuju karena waktu dan biaya pasti membengkak. "Wah bisa dikomplain warga nih kalau lepas tenggat" tukas pak Kabar yang dipercaya pak Utomo memantau pembangunan gudang. Pusing juga pak Muhammad memikirkannya sebab ada 2 orang yang di awal tidak berencana membantu tiba-tiba bersedia. Lantas pak Utomo didekati dan diberi penjelasan aspek kerapian, waktu dan mensiasati budget. Deal, pak Utomo sepakat.

Pak Wijo membayar biaya asbes sedangkan sisanya akan dibayar pak Rent pasca kepulangan dari kerjaan driver di Bali. Sementara biaya disupport oleh kas RT. Namun pak Muhammad tidak mau menagih dengan alasan kesadaran diri saja sebab atas usulnya sendiri. Seminggu hingga sebulan tak ada dana masuk hingga kini. Rupanya Tuhan Maha Adil, ditegurlah pak Rent dengan menyepinya order usaha dia. Dari 3 mobil yang hilir mudik dirumahnya, kini tak tersisa 1 mobilpun.

Ah ternyata kita benar-benar harus hati-hati apalagi berjanji didepan banyak orang tidak ditepati. Apalagi janji itu untuk membangun fasilitas umum. Teguran dari tuhan malah merepotkan pak Rent beserta keluarganya. Dengan kejadian ini warga berintrospeksi bersama agar dimasa depan tidak gampang berjanji. Teguran Allah itu karena kesalahan kita sendiri dan menjadi pembelajaran penting.

Senin, 02 Desember 2013

Undang-Undang Desa dan Syarat Penting Sebelum Disahkan

|0 komentar
Berbagai kabar berhembus menjelang pergantian Tahun 2013 ke Tahun 2014 ini. Selain akan memasuki tahun politik, suhu meningkat dengan dikabarkannya akan segera disahkan Rancangan Undang-Undang Desa. Salah satu topik penting dalam pembahasan RUU Desa yaitu adanya alokasi desa 10 persen dari APBN yang bila dikira-kira tiap desa akan mendapatkan Rp 800 juta hingga Rp 1 milyar. Sebuah jumlah yang fantastis karena masih banyak birokrasi yang hanya sanggup mengelola dana hanya puluhan juta saja. Hal ini bukan berarti menegasikan bahwa perangkat desa tidak mampu.

Selain itu masih ada soal masa jabatan kades serta periodisasi kades dan berbagai polemik lainnya. Dua tahun belakangan isu ini menjadi menarik karena mayoritas masyarakat memang tinggal di desa. Selama ini perspektif umum tentang desa adalah pelosok, ketinggalan jaman, infrastruktur tidak memadai dan berbagai kelemahan lainnya. Selama ini memang desa tidak cukup mendapat alokasi yang adil dari pemerintah daerah. Kementrian Dalam Negeri juga belum pernah mengeluarkan evaluasi secara nasional implementasi ADD. Maklum saja, berbagai kementrian terlalu banyak beban anggaran yang tidak pada tempatnya.

Untuk menghadapi rencana pengesahan RUU Desa, mari coba kita bedah lebih jelas bagaimana menyikapi RUU ini. Ada 4 persoalan penting yang harus tuntas sebelum pengesahan undang-undang yang diinisiasi secara massif oleh Budiman Sudjatmiko ini. Keempat persoalan tersebut yakni sisi negatif, sisi positif, sugesti serta tantangan yang harus dipikirkan secara matang. Tanpa mampu menjawab 4 persoalan besar ini, blunder kedua negara ini akan terulang. Entah disepakati atau tidak, blunder terlalu cepat menerapkan otonomi daerah tahun 1999 itu jelas dan diakui penggagasnya, Ryas Rasyid.

Ada beberapa aspek negatif yang harus dikaji secara jeli sebelum penerapan RUU ini. Dengan kondisi sekarang saja ada kepala desa melarikan anggaran PBB, Akta Tanah, bermain pada tukar guling aset desa dan lainnya. Di proyeksikan dengan undang-undang ini bisa jadi korupsi ditingkat desa akan marak. Belum lagi tuntutan pemekaran desa yang bisa berujung konflik. Siapa yang tidak tergiur dengan alokasi Rp 800 juta - Rp 1 Miliar setahun? Kalau saja penduduknya hanya 500 jiwa, bukankah tiap orang bisa mendapat uang Rp 2juta/tahun. Kalau 1 KK ada 4 orang bukankah bisa mendapat Rp 8 juta?.

Bisa jadi kemudian desa mengalokasikan anggaran yang tidak dibutuhkan seperti LCD, kulkas, AC dan lainnya. Apa manfaat LCD dengan pertemuan ditingkat desa yang jarang? Atau alokasi membeli mobil dinas. Beberapa kelurahan akan meminta statusnya beralih ke desa, munculnya banyak makelar proyek dan dengan anggaran sebesar itu maka pengawasannya akan minim. Meski demikian sisi positifnya cukup terbuka yaitu akan menahan laju urbanisasi penduduk, kondisi desa bisa lebih maju, ekonomi desa akan tumbuh dengan pesat dan dampak lain.

Oleh sebab itu penting kiranya memagari atau memberi rambu-rambu sebelum regulasi ini ditetapkan. Isu Undang-undang desa ini sangat penting dan baik. Bila ditangani tidak serius akan menimbulkan bangunan otonomi semakin rapuh. Yang terpenting untuk dipikirkan (sugesti) yakni sebaiknya besaran alokasi tidak sama rata tiap desa. Harus ada indikator yang terstruktur secara jelas. Pun demikian alokasi ditiap propinsi maupun daerah. Kemendagri harus menetapkan alokasi rerata tiap desa mendapat berapa dan ditambah variable yang akan dijadikan alokasi tambahan.

Misalnya tentang inflasi, kondisi geografis, kemiskinan warga, akses ke pusat pemerintahan, kondisi sumber daya alam dan banyak lainnya. Variable di level nasional inilah yang menjadi penentu alokasi ADD ditiap daerah kabupaten. Nantinya di kabupaten bisa jadi ada perhitungan tersendiri misalnya kontribusi PBB, tertib administrasi, ketepatan penyusunan APBDes dan lainnya. Sehingga tidak otomatis alokasi dana ke desa langsung disalurkan dari Kementrian Keuangan pada rekening desa. Penerapan anggaran ke desa juga sebaiknya bertahap dengan pra syarat sistem monitoring dan evaluasi harus telah selesai terlebih dahulu di tingkat kabupaten.

Bagi wilayah (kabupaten) yang sistem monitoring dan evaluasi belum selesai, maka alokasi desa tak bisa dicairkan. Sementara aspek tantangan yang dihadapi pemerintah, pengesahan UU ini bukan merupakan jualan poltiik. SBY harus benar-benar menyiapkan jurus jitu. Kemudian bagaimana PP dan Juklak Juknis distribusi anggaran bukan juklak juknis penggunaan. Sebaiknya juklak juknis penggunaan anggaran diserahkan ke daerah sebagai salah satu syarat mencairkan anggaran desa. Termasuk adanya klausul di UU No 32/2004 bahwa otonomi itu ditingkat kabupaten/kota bukan di desa. UU ini akan rawan kepentingan dan bisa digugat lawan politik.

Bagi penulis, menyarankan kalangan eksekutif dan legislatif bahwa pengesahan bisa saja dilakukan Januari 2014 seperti dalam rencana. Namun cantumkan saja tahap yang harus dipersiapkan dengan tahapan serta syarat yang harus dipenuhi tiap tahunnya secara jelas dan bisa berlaku penuh di 2019 (5 tahun mendatang). Alokasi ke desa bisa dimulai dengan prosentase yang bertahap juga sembari memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaanya. Sebab ide ini cemerlang namun tidak berarti secara totalitas bisa diterapkan langsung. Kita semestinya banyak belajar dari berbagai kasus korupsi kepala daerah pasca otonomi.

Eh bagaimana nasib ADD pasca undang-undang ini disahkan?