Selasa, 23 Agustus 2011

Masih Saja Mobil Dinas Untuk Mudik

|0 komentar
Polemik Mobil Dinas Untuk Mudik (2)

Pemkab Boyolali juga memperbolehkan dengan alasan minimnya tempat parkir di sekretariat daerah dan harus membayar orang untuk menjaga. Pembelaan yang tidak masuk akal karena semestinya jika mendapat mandat memelihara mobil dinas plus biaya perawatannya maka untuk menjaga mobdin beberapa hari tidak masalah. Demikian juga dengan Sukoharjo yang meminta pemakai memenuhi sendiri konsumsi BBMnya. Pemkab Karanganyar memberi catatan selain bahan bakar membeli sendiri juga melarang menutupi plat nomor dengan kaca hitam apalagi mengganti plat nomor. Bupati mengancam akan memberi sanksi tegas bila dipergoki demikian. Sedangkan Pemkab Wonogiri tak terpantau beritanya.

Mobil Pejabat Sering Dapat Prioritas
Yang secara tegas melarang adalah Pemerintah Kota Solo apalagi hal ini juga sesuai dengan himbauan dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Sekda Solo, Budi Soeharto bahwa mobil dinas dibeli dengan uang rakyat sehingga tidak boleh dipakai untuk urusan pribadi. Sebenarnya setiap pejabat juga memahami bahwa fasilitas negara tidak dapat dipergunakan untuk urusan pribadi. Fasilitas negara diadakan oleh anggaran yang bersumber dari rakyat sehingga sungguh tidak etis bila digunakan untuk kegiatan individu.

Beberapa hal lain yang juga menjadi pertanyaan penggunaan mobil dinas yakni pertama, bagaimana memantau penggunaan kendaraan tersebut. Apakah yang memakai hanya pejabat yang bersangkutan saja atau plus keluarganya, sanak familinya atau bahkan tetangganya. Pemerintah daerah akan kesulitan memantau hal itu sebab disibukkan dengan rutinitas hari raya. Belum lagi bila si pejabat tinggal didalam kota, bukankah bisa dibisniskan (disewakan) kepada pihak lain. Misalnya saja anaknya yang akan mudik keluar kota atau tetangganya. Bila body mobil tidak tertulis nama instansi, dengan menutup atau mengganti plat nomor kendaraan maka kendaraan bebas dipakai siapapun.

Apalagi pemerintah daerah hanya memiliki catatan jenis kendaraan, nomor polisi dan pemegang kendaraan. Tidak ada pemberitaan mengenai koordinas penggunaan kendaraan tersebut. Setidaknya harus ada mekanisme yang jelas penggunaan kendaraan. Bisa saja membuat surat ijin pemakaian kendaraan dinas, dari kapan hingga kapan, siapa pemakai dan kegiatan apa yang akan diikuti. Setidaknya surat ini memberi batasan bagi pengguna kendaraan dinas tidak secara leluasa memakai kendaraannya kemanapun dimauai. Birokrasi itu penuh mekanisme yang jelas supaya bisa terpantau.

Tanpa pemeliharaan, mobil dinas cepat rusak
Yang tak kalah penting yaitu maintenance pra pemakaian mudik maupun setelah kembali ke daerah. Harus jelas bahwa pada bulan itu instansi pemilik kendaraan tak mengeluarkan biaya service atau pembelian bahan bakar lebih besar dibanding bulan sebelumnya. Patut dicurigai bila anggaran BBM tiba-tiba membengkak dan diluar kebiasaan pemeliharaan rutin. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan bila terjadi kecelakaan atau pencurian maka siapakah yang menanggungnya.

Bukankah tiap hari raya tiba, lalu lintas di daerah cukup padat sehingga rawan terjadi accident. Bisa saja misalnya pencurian atau perampokan. Kepala daerah harus secara serius memperhatikan kondisi-kondisi diatas. Bila tidak maka kendaraan dinas yang dibeli mahal dengan anggaran rakyat harus ditanggung kembali oleh rakyat. Sudah tidak saatnya menggunakan fasilitas negara bagi kepentingan pribadi sebab bila diteruskan akan membudayakan kebiasaan yang tidak baik.

Mobil Dinas Bukan Mobil Pribadi

|0 komentar
Polemik Mobil Dinas Untuk Mudik (1)

Nama atau sebutannya mobil dinas tetapi seringkali dipakai untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan kedinasan. Padahal bagi kalangan umat muslim ada contoh nyata dari sahabat Rasulullah SAW yang patuh atas hal ini. Lilin dirumahnya dimatikan ketika ada tamu yang berurusan tidak terkait dengan urusan kenegaraan. Sayangnya teladan itu luntur dibanyak pejabat negara yang jumlah umat beragamanya justru umat Rasulullah SAW. Kondisi memprihatinkan ini sudah berlangsung puluhan tahun dan banyak kepala daerah yang tidak mencoba menertibkan.

Beberapa Mobil Dinas Sebuah Pemda Siap Diluncurkan (Ilustrasi)
Yang jamak kita lihat fasilitas negara ini dipakai untuk kegiatan pribadi yaitu saat lebaran tiba. Dalam budaya Indonesia, mudik atau pulang kampung merupakan tradisi turun menurun yang rutin dilakukan untuk meminta maaf pada orang tua serta sanak saudara. Bagi banyak pegawai, memanfaatkan fasilitas kantor tentu lebih menguntungkan dibanding harus sewa yang harganya mahal, memakai mobil sendiri yang rawan rusak atau naik angkutan umum yang jelas tidak ramah.

Mobil dinas sebenarnya diadakan untuk menunjang berbagai kegiatan kedinasan atau untuk memperlancar tugas-tugas negara. Tetapi tidak sedikit yang kemudian dimanfaatkan untuk urusan pribadi. Telah jadi rahasia umum bila plat nomor kendaraan diberi pelapis mika agak hitam, diganti plat nomornya atau ditutupi dengan plat nomor lain guna mengelabui supaya tidak kelihatan. Penggunaannya begitu luwes dan hampir tidak ada pengawasan melekat. Bisa kita lihat mobil dinas dengan stiker atau tulisan nama Pemda di body mobil jauh lebih sedikit jumlahnya dibanding yang tidak bernama. Instansi yang umumnya menuliskan instansi pada body mobil yakni Puskesmas dan Satpol PP.

Kondisi ini berbeda dengan instansi swasta yang sangat ketat peraturan pemakaiannya. Penulis yang pernah bekerja di sebuah lembaga bantuan luar negeri bahkan harus menulis log book penggunaan kendaraan berupa digunakan kemana, urusan apa dan kapan. Setiap bulan catatan harian pemakaian kendaraan itu dilaporkan secara rutin. Dengan kondisi ini tentu sangat sulit untuk menggunakan kendaraan bagi kepentingan pribadi. Pada lebaran 2011 ternyata hanya Pemkot Solo yang melarang penggunaan mobil dinas untuk mudik sementara pemerintah se eks karesidenan Surakarta bersikap beragam yang mayoritas menyetujui dengan alasan yang terkesan dibuat-buat.

Kendaraan dinas yang pernah dipakai penulis
Dari berbagai media diperoleh informasi sikap Pemda se Eks Karesidenan Surakarta. Pemkab Klaten memperbolehkan SKPD memakai kendaraan dinas untuk mudik asal perawatannya ditanggung secara pribadi. Argumentasi pembolehan yang sangat aneh dan alasan ini dimaksudkan agar kendaraan tak rewel ketika akan digunakan untuk masuk kerja. Pemkab Sragen malah tidak memberi catatan apapun dan pembolehan sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan atas kinerja pembawa mobil dinas. Bila demikian mestinya ada kepala SKPD yang boleh membawa dan tidak boleh. Harus ada parameter bagi instansi yang berhasil maupun yang belum berhasil.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Pernikahan Ketiga

|0 komentar
"Ada hantaran dari ibu Minang, ada tasyakuran" kata bu Uta pada pak Muhammad sesaat sebelum keluar bersama anak istrinya. "Terima kasih" jawab Muhammad singkat. Dia sengaja tak menanyakan tasyakuran apa sebab malam kemarin dirinya mendengar berita pernikahan Bu Minang dengan Pak Breb. Tak ada keterkejutan apapun.

Warga kampung Tanya sudah banyak yang tahu tentang kiprah ibu Minang yang menjanda 2 tahun lalu. Sebelumnya sudah digeruduk warga karena menginapkan pak Breb tapi tingkat cueknya sudah sangat akut sehingga dia tetap santai saja. Malah menyuruh pak Ripi, tetangga depannya untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang memprovokasi serbuan malam itu.

Ilustrasi
Tingkah lakunya benar-benar sudah memuakkan. Pernikahannya ini merupakan ketiga kalinya. Pertama memiliki suami dan ditinggal karena wafat. Sebelum benar-benar bangkrut, dia menikah lagi dengan pak Jak. Awal pernikahan kelakuan mereka begitu belagu. Entak kesombongannya karena kekayaannya atau watak dasarnya.

Yang jelas semakin tahun usahanya semakin karut marut hingga ludes tak berbekas. Pak Jak sendiri tak peduli justru pindah ke jakarta dan jarang pulang. Saat menjalani kehidupan dengan pak Jak, dia mengambil anak perempuan. Dengan suami pertamanya sudah memiliki anak laki-laki yang kini bersekolah di SMK. Sementara anak perempuannya sudah SD kelas VI.

Meski menjabat sebagai sekretaris PKK dan hampir tiap malam mengaji dengan mendatangkan guru serta berpakaian muslimah namun kelakuannya jauh dari dijaga. Berbicaranya pun tak sopan dan asal-asalan bahkan cenderung kotor. Pak Ripi memastikan bu Minang ini hatinya penuh iri dan dengki. Sudah banyak tetangga yang jadi korban hasutannya.

Kawan karibnya bu Uta selalu setia menemani hari-harinya. Sebenarnya jauh-jauh hari ada banyak teman di perumahan itu tetapi karena kelakuan atau tindakannya semakin merugikan, akhirnya satu persatu kawan karibnya meninggalkan dia. Malam itu, mobil pak Breb diparkir di depan rumah tanpa was-was ban di gembosi para tetangga.

Mereka berdua juga tenang melewati entah malam keberapa bagi mereka sebab sudah beberapa kali pak Breb tidur dirumah itu sebelum menikah. Pak Breb sendiri adalah duda beranak tiga yang berdasar cerita pak Ardi (kebetulan berteman dengan ibu Breb sebelum cerai). "Cocok mereka berdua karena sama-sama bermulut besar" tukas pak Ardi setelah malam grebekan itu.

Kamis, 18 Agustus 2011

Software APBDes Terobosan Kelola APBDes secara Profesional

|2 komentar
Desa sebuah institusi pemerintahan di Indonesia yang berada paling bawah namun peranannya sungguh sangat signifikan. Diakui atau tidak kini institusi desa banyak dilupakan. Orang menganggap desa adalah miskin, sepi, sawah dan tidak ada hal yang menarik disana. Ditengah derasnya arus kapitalisme, uang adalah segalanya sehingga tempat yang tak ada mall adalah sudah ketinggalan jaman.

Software APBDes
Padahal disinilah penopang sesungguhnya negara. Negara telah gagal meletakkan desa sebagai sebuah elemen penting bagi soko ekonomi kemajuan negara. Pemerintah hanya mendesak agar kawasan pertanian di jaga namun fasilitas ekonomi kapital yang malah difasilitasi. Ratusan bahkan ribuan pasar tradisional yang menjual produk pertanian kolaps, tutup, mati bahkan berganti dengan supermarket yang dipenuhi pedagang dengan modal besar.

Kini pemerintah hanya sebatas mempedulikan memberikan jabatan PNS bagi sekretaris desa. Akibatnya perangkat lainnya (selain sekdes) menuntut hal yang sama. Adanya Alokasi Dana Desa yang diamanatkan PP 72 Tahun 2005 seakan bagai macan ompong, tak bertaring. Tingginya belanja pegawai sudah banyak mengorbankan ADD yang kian tahun kian menyusut. Hampir tak ada sisa anggaran bagi desa untuk membangun wilayahnya apalagi memelihara lahan pertanian, meningkatkan kontribusi pangan atau bahkan memperluas lahan pertaniannya.

Mestinya ini jadi keprihatinan seluruh pihak. Faktanya justru sebaliknya. Isu desa bagi beberapa elemen sudah dianggap kedaluarsa. Meski demikian, sebuah perusahaan bernama Atrap Spirit Mandiri (ASM) Samarinda bergerak untuk mendorong pemerintah desa mengelola anggarannya secara profesional. Mereka menciptakan sebuah sistem software untuk pengelolaan APBDes berbasis Perencanaan Pembangunan Partisipatif Desa (P3Des). Sayangnya sambutan untuk menggunakan software ini masih minim. Banyak pemerintah daerah terutama di Kaltim memandang sebelah mata.

Fasilitasi dengan cara partisipatif
Walau demikian, 2 kabupaten sudah berusaha memanfaatkannya secara optimal supaya APBDes dapat didayagunakan dengan benar. Kedua kabupaten adalah Tana Tidung dan beberapa desa di Kutai Kartanegara. Wajar mereka berusaha menggunakan software ini karena memang ADD yang diterima sangat besar. Bisa dibayangkan bila satu desa minimal menerima ADD sebesar Rp 800 juta bahkan ada yang hingga Rp 3,5 M pertahun. Bila tidak memakai perangkat lunak yang mampu mempermudah pengelolaan, sulit rasanya kita mempercayai laporan penggunaan ADD oleh desa.

Oleh sebab itu, kampanye penggunaan software ini perlu digalakkan seiring dengan kampanye keadilan APBD bagi masyarakat. Kampanye ini menjadi titik penting supaya kedepan pemerintah pusat sadar bahwa peningkatan alokasi belanja pegawai dengan selalu menaikkan gaji pegawai sebenarnya bukan langkah nyata meningkatkan perekonomian warga. Jika seluruh Indonesia jumlah pegawai hanya 4,2 juta orang (itupun terkonsentrasi di Jawa) maka efek kenaikan gaji PNS tidak signifikan meningkatkan daya beli masyarakat.

Pelatihan oleh ASM disertai praktek
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ormas, OKP, Organisasi sektor dan berbagai elemen lain perlu segera mendesak pada pemerintah pusat segera menghentikan rutinitas kenaikan gaji PNS. Karena dampaknya memang tidak signifikan bagi perbaikan ekonomi warga. Ada banyak agenda lebih penting dari kenaikan gaji yang justru anggaran programnya bisa lebih kecil. Hingga kini, pengaduan tidak optimalnya pelayanan publik masih saja sering muncul. Kasus korupsi juga tak pernah absen dari terbitan media di Indonesia. Ini menandakan bahwa ada yang salah dengan berbagai kebijakan itu (selain soal penegakan hukum).

PT ASM sendiri sangat profesional mendesign Software APBDes yang mampu meminimalisir kolusi dan korupsi. Piranti lunak diciptakan untuk mengantisipasi tindakan dan sebagai pelengkap kebijakan ditingkat lokal. Sudah seharusnya pemerintah daerah memanfaatkan software ini untuk mengembangkan daerahnya lebih optimal lagi. Dengan profesionalitas pengelolaan APBD maka dampaknya tidak hanya bagi pemerintah desa bersangkutan, warga desa, sebuah kabupaten tetapi juga sampai ditingkat regional.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Garis Kejut Depan Markas Militer

|0 komentar
Seminggu ini rubrik "Kring Solopos" ramai dengan komplain masyarakat tentang adanya polisi tidur ditengah jalan yang ukurannya tinggi dan jumlahnya relatif banyak. Kring Solopos merupakan rubrik harian Solopos, sebuah harian yang terbit memberitakan peristiwa di eks Karesidenan Surakarta serta Jawa Tengah. Masyarakat komplain melalui rubrik sms yang disediakan oleh media massa tersebut. Sementara itu polisi tidur atau garis kejut yang dikomplain berada di jalan yang kebetulan berada dilingkungan AURI Colomadu Karanganyar serta Markas Kopassus Grup 2 Kandangmenjangan Kartosuro Sukoharjo.

Pemasangan garis kejut tersebut, dari berbagai berita yang dirilis disebutkan untuk mengantisipasi kecelakaan lalu lintas yang sering terjadi. Namun ada beberapa fakta yang sebenarnya patut diketahui kenapa tiba-tiba garis kejut itu muncul disana. Selain itu ada beberapa usulan pertimbangan atas problem inti yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Tulisan ini tidak bermaksud menggurui atau menjustifikasi boleh tidaknya garis kejut tersebut karena penulis memang tidak cukup dalam mengetahui regulasi pusat ataupun daerah mengenai hal itu.

Garis Kejut Depan AURI Colomadu
Adapun fakta yang perlu diketahui adalah pemasangan garis kejut di komplek AURI sangat tidak masuk akal bila alasannya banyak kecelakaan. Kawasan itu tidak cukup ramai dengan lebar jalan "hanya" 6-8 meter saja. Masyarakat juga faham bahwa melintasi jalan yang kebetulan sisi kanan kirinya adalah komplek militer pasti tidak akan sembarangan. Jalur utama juga tidak melintasi kawasan tersebut sehingga sangat aneh bila jalan tersebut ditambahi fasilitas polisi tidur. Kejadian kecelakaan juga tidak cukup banyak terjadi di daerah yang menghubungkan antar kartosuro dengan bolon atau jalan alternatif itu.

Sedangkan di depan kompleks Kopassus Kandang Menjangan memang berada di jalur utama Solo - Jogja. Lebar jalan sebenarnya cukup memadai karena lebar mencapai lebih dari 12 meter (atau 4 lajur). Kopassus sendiri telah diberi ganti rugi oleh pemerintah pusat agar "menjual" sebagian tanah depannya untuk kepentingan umum. Di kawasan tersebut pengemudi juga faham sulit untuk melaju kencang dikarenakan ada berbagai pertimbangan. Sebut saja jalur itu masuk kategori padat dan tentu rawan kecelakaan, kemudian dari arah Jogja setelah melewati kawasan itu akan ada lampu lalu lintas, disisi barat kopassus maupun timur sekitar 1 km ada pasar tradisional (Pasar Delanggu dan Pasar Kartosuro).

Belum lagi ada cerita-cerita yang berkembang di masyarakat bahwa ngebut di daerah tersebut kalau lagi sial bisa berurusan dengan orang dalam. Banyak kawasan militer ditempat lain tidak diberi garis kejut setinggi itu bahkan tidak ada garis kejutnya sama sekali. Di depan Makodam Diponegoro Watugong Semarang, Asrama TNI AD Yonif 413 Kostrad Kompi A, Mapolda Jateng dan banyak tempat lainnya. Di media cetak memang tertulis bahwa inisiasi pemasangan polisi tidur atas inisiatif Bina Marga Jateng. Namun masyarakat tentu tidak percaya begitu saja.

Jalan itu sudah puluhan tahun ada dan dari dulu tidak pernah diberi garis kejut. Kalau soal kecelakaan, banyak tempat lainnya juga menjadi tempat rawan kecelakaan namun tidak dibuat polisi tidur juga. Dari dulu hingga sekarang jalan lama dialas roban sungguh sangat rawan namun tidak pernah diberi garis kejut. Justru dibuat jalan lain yang diharapkan mengurangi resiko kecelakaan yang bisa terjadi. Selayaknya para komandan berpikir jernih dan mencari jalan keluar yang tidak merugikan masyarakat secara luas.

Garis Kejut depan Markas Kopassus Kandang Menjangan
Secara umum, inilah akibat adanya barak militer yang tugasnya menjaga keamanan negara berada ditengah masyarakat. Sudah selayaknya mereka ditempatkan di tempat yang jauh dari masyarakat. Konflik militer dan masyarakat tidak hanya soal garis kejut bahkan rebutan lahan, peluru nyasar dan lain sebagainya akibat terbaurnya markas militer dengan masyarakat. Idealnya tempatkan mereka di pulau-pulau terluar Indonesia yang tak berpenghuni sehingga bebas berlatih dan jauh dari konflik.

Mereka juga bisa konsentrasi berlatih perang, tidak terganggu aktifitas masyarakat, menjaga keamanan secara optimal serta berbagai keuntungan lain. Jangan salahkan masyarakat bila konflik-konflik terus saja bermunculan akibat adanya barak atau markas militer yang berada ditengah tempat tingga masyarakat. Pemerintah dan TNI perlu memikirkan pemindahan ini. Soal biaya sebenarnya tak masalah karena mayoritas markas militer berada di wilayah strategis sehingga bisa tukar guling dengan pemerintah maupun sektor swasta untuk membangun komplek militer di pulau tak berpenghuni.

Senin, 08 Agustus 2011

Belanja Pegawai Boyolali Makin Tinggi

|0 komentar
Dalam menjalankan roda pemerintahan, tentu faktor sumber daya manusia menjadi titik penting karena disini letar motor penggerak baik tidaknya pelayanan yang diberikan. Mengelola birokrasi tidak seperti mengelola karyawan diperusahaan yang relatif lebih bisa diandalkan. Banyak faktor yang melingkupi tidak mudahnya memanajemen "karyawan pemerintah" ini. Tidak hanya dalam kuantitas tapi kualitas juga masih banyak pihak yang mempertanyakan. Apalagi output kerja mereka lebih pada pelayanan yang tolok ukurnya "agak" subyektif.

Pola perekrutan, karier, pembinaan, peningkatan kualitas birokrasi di pemerintah daerah sering menjadi penyebab kenapa kualitas mereka banyak dipertanyakan. Kali ini kita tidak akan membedah beberapa persoalan diatas namun mengupas berapa banyak alokasi anggaran untuk mereka. Penting sebenarnya melihat alokasi gaji pegawai di sebuah daerah karena memang alokasi anggaran daerah tidak hanya diperuntukkan bagi pegawai namun juga alokasi untuk publik seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya.

Selain itu juga masih ada peruntukan bagi pembangunan fisik, bantuan sosial, hibah dan masih banyak lagi. Dalam PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah penjelasan pasal 27 ayat (27) huruf a disebutkan bahwa belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas didalam maupun diluar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial dan lain-lain sejenis. 

Faktanya alokasi belanja pegawai di Kabupaten Boyolali justru menjadi faktor yang membebani anggaran. Disisi lain dengan kondisi geografis Boyolali masih membutuhkan banyak anggaran untuk mengkondisikan daerahnya menjadi lebih baik. Sebut saja sektor perkebunan, pertanian, pendidikan apalagi infrastruktur. Berdasarkan kajian APBD 2007-2011 terlihat bahwa alokasi anggaran untuk belanja pegawai semakin tahun semakin besar bahkan alokasi DAU yang diperuntukkan bagi belanja pegawai tak mencukupi. 

Tahun 2007 belanja pegawai baru Rp 380 M atau 54 persen dari total kebutuhan belanja. Meningkat secara signifikan menjadi 64 persen atau Rp 506 M pada tahun 2008, kemudian menjadi 65 persen (Rp 579 M) tahun 2009 dan kembali naik menjadi Rp 679 M (70 persen) tahun lalu dan tahun ini kembali mendongkrak jumlah prosentase atas total belanja menjadi 66 persen atau Rp 728 M. Yang perlu difahami, tiap tahun alokasi belanja terus meningkat sehingga idealnya meski belanja pegawai naik tetapi prosentase semestinya tetap atau kalau toh pun meningkat prosentase akan stagnan atau naik dalam kisaran 1-5 persen.

Kecamatan Ampel salah satu wilayah dengan unggulan pertanian
Bila kenaikan APBD diikuti dengan kenaikan prosentase belanja pegawai artinya mayoritas belanja pegawai percepatan kenaikannya mengalahkan kenaikan alokasi belanja lainnya (baca : belanja publik). Jika seperti itu, patut disayangkan pidato pengantar nota keuangan kepala daerah yang selalu memuji keberhasilannya mampu mendongkrak APBD terutama pada sektor pendapatan. Sayangnya kepala daerah sering tidak menjelaskan 2 hal yakni kenaikan pendapatan lebih pada pendapatan dari dana perimbangan serta alokasi terbesar APBD untuk belanja pegawai. 

Legislatif pun latah dengan banyak menyampaikan ke publik atas keberhasilan kenaikan APBD dari pada peruntukan alokasinya. Lantas bila DAU selama ini banyak digunakan untuk belanja pegawai, berapa prosentase belanja pegawai atas DAU di Boyolali? Pada tahun 2007 alokasi belanja pegawai sudah mencapai 71,9 persen. Tentu saja tahun 2008 naik menjadi 88 persen dan tahun 2009 menjadi 98 persen dari DAU. Puncaknya pada tahun 2010 belanja pegawai sudah tak cukup ditutup dari DAU karena sudah 115 persen meski di 2011 turun di 113 persen. 

Siapapun tahu bahwa tiap tahun ada kenaikan gaji birokrasi namun tak selayaknya kenaikan itu ditanggung langsung oleh masyarakat. Harusnya kenaikan itu ditutup dengan alokasi anggaran dari pusat sehingga dana pembangunan daerah tidak diperuntukkan bagi belanja pegawai. Masih banyak pos yang sebenarnya bisa di efisiensi agar belanja bagi birokrasi tidak bertambah besar. Siapapun tahu bahwa birokrasi mendapat anggaran tidak hanya dari belanja pegawai namun juga dari alokasi belanja lainnya.

 

Rabu, 03 Agustus 2011

Defisit Dan SILPA Masalah Dalam Manajemen Anggaran Daerah

|0 komentar
Defisit dan SILPA dengan Nominal Besar Wujud Tak Profesionalnya Birokrasi

Anggaran daerah semestinya digunakan untuk kemakmuran rakyat tidak sekedar membelanjakan kegiatan rutin seperti gaji dan kebutuhan kantor. Tetapi faktanya berdasar postur APBD yang ada, hampir mayoritas daerah secara prosentase lebih besar pada belanja tidak langsung. Belanja langsung tidak sampai 50 persen bahkan mungin hanya 30-40 persen. Pada nota keuangan daerah juga postur anggarannya lebih cenderung defisit dibanding surplus.

Bila kita jeli melihat nota keuangan yang disampaikan oleh para kepala daerah, defisit memang besar tetapi dalam Pembiayaan Daerah maka akan kita temukan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) juga sama besarnya. Tentu bagi yang jeli melihat ini akan mempertanyakan pola penyusunan anggaran yang tidak berimbang namun SILPA tetap besar. Hal ini dialami juga oleh 7 kabupaten/kota se eks Karesidenan Surakarta. Tidak ada daerah yang menerapkan pola surplus atau berimbang.

Argumentasi yang terus menerus diajukan oleh birokrat atas SILPA memang selalu standar yaitu 2 alasan. Pertama, peningkatan pendapatan yang signifikan dan kedua mengenai efisiensi kegiatan. Meskipun alasan ini bisa kita perdebatkan bila kita dan mereka (birokrat) memegang data. Bisa di cek selisih pendapatan seringkali tidak sampai Rp 20 M atau 5 persen dari target dan pelaksanaan kegiatan bukan efisien namun banyak yang dibatalkan.

Apakah masuk akal setiap proyek kegiatan yang nilainya Rp 1 M misalnya bisa efisien Rp 200 juta? tentu perencanaan atas kegiatan diragukan validitasnya. Bisa di cek juga untuk belanja pegawai pada belanja tidak langsung juga mengalami efisiensi. Bagaimana bisa? Bukankah jumlah PNS, golongan, kepangkatan, tunjangan dan sebagainya sudah bisa diprediksi? Bahkan yang akan pensiun berapa pegawai. Kalau toh pun ada yang meninggal tentu jumlahnya tidak banyak.

Memang tidak ada salahnya bahwa anggaran daerah itu defisit sepanjang tingkat defisitnya sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 104 ayat (2) disebutkan "Defisit APBD sebagaimana dimaksud ayat (1) ditutup dengan pembiayaan netto". Dalam klausuf penjelasan disebutkan defisit adalah "Defisit terjadi apabila jumlah pendapatan tidak cukup untuk menutup jumlah belanja dalam satu tahun anggaran".

Kondisi Jalan Kabupaten Klaten antara Cawas - Semin Gunung Kidul
Sementara SILPA dalam PP No 50 Tahun 2005 pasal 1 ayat 30 mengartikan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Sekarang kita coba bedah Defisit dan SILPA APBD kabupaten/kota se eks Karesidenan Surakarta tahun anggaran 2008 hingga tahun 2011. Dari data yang didapat jumlah SILPA sesungguhnya berarti defisit ditambah SILPA tahun berikutnya karena defisit itu kurang biaya dan SILPA tahun berikutnya anggaran sisa.


Misalnya Kabupaten Klaten pada tahun 2009 dalam nota APBD tercatat defisit mencapai Rp 67 M dan pada tahun berikutnya terdapat SILPA Rp 27 M maka defisit perencanaan anggaran tidak match/pas menjadi sebesar Rp 94 M. Anggaran sebesar ini tidak bisa disebut efisiensi. Semakin tahun ternyata lebih banyak yang bertambah sementara SILPA beragam.Dalam kurun waktu tersebut defisit terkecil ada di Kabupaten Klaten tahun 2010 sebesar Rp 3,4 M sedangkan SILPA paling "masuk akal" ada di Kota Surakarta Tahun 2010 dengan nominal Rp 18 M.

Padahal dibandingkan kondisi/data kemiskinan daerah, alokasi pendidikan, jaminan kesehatan maupun infrastruktur masih membutuhkan anggaran yang lebih besar dibanding SILPA. Bagaimana bisa disebut efisiensi bila SILPA mencapai Rp 108 M (tahun 2010) dan Rp 161 M (tahun 2009) pada Kabupaten Wonogiri. Benarkan masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur telah tuntas dientaskan oleh Begug Purnomosidi (bupati kala itu). Butuh kepedulian semua pihak agar defisit dan SILPA menjadi terkendali.

Data diatas tidak sekedar sederet angka namun memiliki makna yang dalam. Terlebih para kepala daerah dipilih oleh rakyat secara langsung. Mereka tak bisa seenaknya mengajukan anggaran defisit namun sisa anggaran tahun berikutnya puluhan bahkan ratusan miliar. Sayangnya yang bisa mengakses data ini hanya orang tertentu dan dengan tingkat pemahaman yang sudah tuntas. Butuh penyebaran dan penyadaran berbagai pihak agar kedepan proporsi anggaran bisa lebih masuk akal.