Sabtu, 23 April 2005

Tunjangan Bulanan Pejabat Diminta Dihapus

|0 komentar
KARANGASEM - Forum untuk Partisipasi Kebijakan (FPK) meminta DPRD Surakarta melakukan rasionalisasi pada sejumlah usulan pembiayaan pada RAPBD 2005 yang dianggap tidak perlu. Langkah ini sebagai realisasi atas semangat ingin menekan angka defisit pada APBD 2005 hingga 0% agar tidak semakin membebani masyarakat.

Koordinator FPK M Nino Histiraludin menjelaskan, rasionalisasi yang perlu dilakukan di antaranya pada pembiayaan bantuan bulanan pejabat struktural sebesar Rp 1.121.700.000 dan bantuan keuangan kepada PKK sebesar Rp 300 juta.

"Setiap bulan, pejabat sudah mendapatkan tunjangan jabatan, tunjangan suami/istri, tunjangan kesehatan, dan tunjangan operasional. Jadi, tunjangan bulanan pejabat struktural itu harus dihapus," kata dia.

Selain itu, DPRD juga perlu melakukan efisiensi anggaran pada beberapa usulan pembiayaan. Di antaranya adalah anggaran biaya gas Rp 2,4 juta, padahal sudah ada anggaran makan dan minum tersendiri. Demikian juga anggaran mesin cuci di DPRD Rp 800.000.

"Bagian Umum juga menganggarkan pembuatan gapura dan garasi sebesar Rp 40 juta. Padahal kalau kita lihat, kompleks Pemkot sudah cukup memadai fasilitasnya. Jadi, itu cenderung pemborosan dan tidak efisien."

DPRD juga harus berani melakukan pemangkasan anggaran terutama untuk anggaran yang tidak memiliki dampak langsung kepada masyarakat. Berdasarkan Berdasar temuan FPK, dari 368 kegiatan yang direncanakan dalam RAPBD, 170 kegiatan merupakan hasil serapan dari proses musyawarah kota membangun (muskotbang), sedangkan sisanya berasal dari usulan selain muskotbang.

"Hanya 144 kegiatan atau 7% kegiatan yang berdampak langsung pada masyarakat. Pemangkasan dengan mencermati usulan-usulan program misalnya mengenai dari mana program berasal, tujuan, dan impact-nya itu akan sangat membantu mengurangi defisit."

Langkah itu mendesak untuk segera diupayakan DPRD. Apalagi sejak awal telah ada komitmen yang akan menggunakan sistem anggaran berimbang atau sejalan dengan Pasal 17 ayat 1 UU Nomor 17/2004 tentang Keuangan Negara.

"APBD memang sudah seharusnya disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan daerah. Jadi, kami sangat mendukung komitmen DPRD untuk menekan defisit hingga nol persen dan tidak berutang lagi." (G13-17hn)

Source : http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/23/slo05.htm

Rabu, 06 April 2005

HASIL ANALISIS FORUM UNTUK PARTISIPASI KEBIJAKAN

|0 komentar
HASIL ANALISIS FORUM UNTUK PARTISIPASI KEBIJAKAN
ATAS LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN AKHIR MASA JABATAN
WALIKOTA SURAKARTA TAHUN 2000-2004

Walikota sebagai Kepala Daerah mengemban amanat dari rakyatnya untuk melaksanakan tugas pemerintahan baik melakukan pekerjaan yang sudah disepakati dengan anggota DPRD, melakukan pengawasan internal birokrasi serta mewujudkan Kota Surakarta sesuai dengan Visi Misi Kota. Namun bila dilihat secara cermat dari Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan (LKP AMJ) Tahun 2000-2004 ternyata masih banyak hal yang perlu dikritisi. Secara sepintas bila dilihat dari pertumbuhan ekonomi masyarakat nampaknya menunjukkan peningkatan. Hal itu bisa dilihat dari LKP AMJ yang disampaikan Walikota misalkan tentang PDRB, PAD maupun pertumbuhan sector yang lain. Namun kenapa yang dirasakan masyarakat justru sebaliknya?

Fenomena ini tentu tidak bisa diperdebatkan tanpa menunjukkan data-data riil. Walaupun Pemerintah Kota telah mempunyai Peraturan Daerah No 10 Tahun 2001 Tentang Visi Misi, Perda No 6 Tahun 2003 Tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah, Perda Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Program Pembangunan Daerah dan Perda Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Rencana Strategis Daerah tetapi melihat pelaksanaannya jauh dari aturan yang telah ditetapkan tersebut. Mengupas apa yang disampaikan walikota dalam LKP AMJ, tidak ada focus bidang garapan yang jelas. Apakah akan memajukan pendidikan, ekonomi, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi pengangguran atau yang lainnya. Pekerjaan-pekerjaan berat tersebut tidak bisa diselesaikan semua dalam waktu 5 tahun.

Guna melihat secara obyektif beberapa permasalahan, marilah kita membuka data-data yang dijabarkan oleh Slamet Suryanto sebagai Walikota.

1.    APBD Tahunan

Seandainya kita mau fair, maka hal pertama yang bisa kita lihat yakni pencapaian pelaksanaan APBD tahunan. Memang secara garis besar selalu terjadi peningkatan uang yang dikelola (Lihat table atas). Namun hal itu tidak cukup membanggakan karena penggunaan anggaran lebih banyak untuk aparatur/birokrasi. Pada tahun 2000, penggunaan belanja pembangunan lebih dari 50 persen dari anggaran rutin. Yang perlu diingat pada tahun itu hanya terdapat 9 bulan (perubahan kebijakan nasional mengenai tahun anggaran). Sementara penetapan besaran biaya rutin sudah dilakukan sejak awal. Tahun 2001, belanja pembangunan hanya 10 persen dari belanja rutin. Dan nominal terbesar yang digunakan (dari dana Rp 19,5 M) itu untuk rehab gedung dewan beserta sarana dan prasaranya (hampir Rp 3 M) serta pembangunan pasar gede yang mencapai Rp 2,5 M. Artinya bahwa pada tahun itu, anggaran yang digunakan betul ke masyarakat tidak sampai Rp 15 M.

Ditahun 2002 belanja pembangunan meningkat menjadi 25 persen dari belanja rutin namun pendapatan asli daerahnya hanya meningkat Rp 10 M lebih (atau lebih kecil dari tahun sebelumnya Rp 13 M lebih). Kemudian pada tahun 2003, justru belanja rutinnya melonjak tajam meskipun seiring peningkatan tajam pula belanja pembangunannya. Padahal dari sisi PAD kenaikannya tidak signifikan dibandingkan penggunaan untuk belanja. Pemkot masih mengandalkan dana perimbangan dari pusat (baik DAU ataupun DAK). Tahun 2004 ketika Solo berusaha menyesuaikan atau melaksanakan anggaran kinerja, terlihat dana belanja publiknya lebih besar dari belanja aparatur. Dari dana belanja publik sebesar Rp 238 M, ternyata untuk Belanja Administrasi Umum (biaya gaji pegawai, tunjangan dan lain sebagainya) sejumlah Rp 188 M. Hingga sisa penggunaan dana ke masyarakat hanya sekitar Rp 49 M.

2.    Pendapatan

Pada sektor pendapatan, Solo masih banyak mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat. Tidak adanya kebijakan Pemerintah Kota Solo dalam hal intensifikasi pendapatan maka akan sulit mendongkrak pendapatan asli daerah. Selain itu, pengawasan internalpun tidak pernah tersampaikan. Apakah selama ini benar-benar tidak pernah ada kebocoran pendapatan? Melihat PAD dan mengandaikan belanja pembangunan itu dibiayai dari PAD, ternyata pada tahun 2000 dan 2002 PAD kita tidak akan mencukupi belanja pembangunannya. Dua hal itulah (intensifikasi pendapatan dan meminimalisir kebocoran) tidak terlihat dalam kurun waktu 5 tahun.

Diluar itu, penarikan retribusi dan pajak seharusnya tidak harus naik karena menyangkut masyarakat banyak. Justru pada pajak dan retribusi bagi pengusaha besar yang harus diintensifkan lagi. Kasus reklame “murah” Rp 200 juta di Purwosari menunjukkan ketidakadilan tersebut. Seharusnya bisa lebih ditingkatkan lagi dan ada batasan sampai dimana nilai tertinggi atau tidak wajar itu berada. Sebab bila terlalu besar akan mematikan iklim investasi. Grafik PAD sendiri secara prosentase terhadap jumlah penerimaan tidak naik malah turun. Berturut-turut sejak tahun 2000 yang mencapai 19 persen, 17 persen (2001), 17 persen (2002), 16 persen (2003) dan 16 persen (2004). Hal ini menunjukkan ketidak seriusan walikota menangani 2 hal yang telah disebutkan diatas tadi.

3.    Hutang

Memang akibat kerusuhan Mei 1999 banyak bangunan di Solo hancur sebut saja Balaikota dan Gedung DPRD, Pasar Singosaren, SE Purwosari dan banyak lagi. Disusul musibah kebakaran di Pasar Gede. Mau tidak mau Pemkot harus berhutang pada pihak luar. Tapi tidakkah kita melihat kebijakan hutang ini sangat membebani masyarakat? Jumlah hutang plus bunga tiap tahunnya (meskipun dicicil) ternyata masih cukup besar. Berturut-turut beban hutang yang harus dibayar Rp 24.767.039.868 (Th 2000), Rp  23.249.150.685 (Th 2001), Rp 22.001.976.951 (Th 2002), Rp 27.912.281.574 (Th 2003), Rp 33.959.912.219 (2004). Dan puncaknya tahun 2004 semua hutang itu harus dibayar lunas. Dampak dari hal ini anggaran publik dan belanja program bagi masyarakat tersedot untuk melunasi hutang. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk pengajuan hutang baru sebab justru selain membebani masyarakat, akibat lainnya mengurangi anggaran belanja publik.

4.    Kajian Perbidang

5.    Catatan

Dari penjabaran diatas banyak hal terungkap yang menjadi rencana dan implementasinya. Mulai dari Visi Misi, Pola Dasar Pembangunan, Program Pembangunan Daerah serta Rencana Strategis Daerah dan implementasi melalui APBD tahunan. Kami mempunyai 3 catatan yang perlu dikemukakan yakni
a.    Tidak adanya capaian (progress report) secara jelas. Artinya tiap tahun apa yang dicanangkan dan apakah terpenuhi atau tidak. Tolok ukur tercapai atau tidak, juga tidak ada sehingga masyarakat bisa tahu keberhasilan pelaksanaan program oleh Walikota.
b.    Tidak diuraikannya tantangan dan hambatan yang dihadapi. Padahal pemaparan ini sangat penting dan menjadi pembanding atas apa yang telah dilakukan. Selain itu bisa menjadi pembelajaran bagi pihak eksekutif, legislative atau masyarakat.
c.    Peminjaman dana masih mendominasi dalam memenuhi pembangunan. Kebiasaan ini berdampak buruk bagi masyarakat. Idelanya Walikota dalam melaksanakan pembangunan harus realistis. Masyarakat akan bisa sangat memahami kalau tohpun pembangunan tidak begitu besar karena kendala keuangan.
d.    Transparansi kebijakan dan tingkat partisipasi masyarakat masih dibatasi dalam ruang tertentu. Dalam pelaksanaan pemerintahan selama 5 tahun transparansi kebijakan bisa dikatakan tidak ada sementara partisipasi masyarakat hanya terwujud di perencanaan pembangunan saja. Konsep Nguwongke Uwong yang di “Jual” Slamet Suryanto sebagai Walikota hanya doktrin. Pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan hanya terbatas dilingkup kelurahan.

6.    Sikap

Oleh karena itu, didasarkan analisis pelaksanaan pemerintahan selama 5 tahun serta berbagai kebijakan yang melingkupinya maka Forum untuk Partisipasi Kebijakan (FPK) menyatakan :
a.    MENOLAK LKP AMJ Walikota Surakarta Periode Tahun 2000 – 2004
b.    MENUNTUT Walikota Surakarta meminta maaf secara terbuka pada masyarakat atas implementasi kebijakan yang masih jauh dari harapan (Visi Misi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat)
c.    MENUNTUT DPRD Kota Surakarta agar menjadikan LKP AMJ Periode Tahun 2000-2004 ini sebagai pembelajaran agar Walikota mendatang harus diawasi secara ketat dalam impelentasi mandat yang diberikan rakyatnya


Surakarta, 6 April 2005





NINO HISTIRALUDIN
Koordinator FPK