Rabu, 11 Juni 2003

LPMK VERSUS PARTISIPASI RAKYAT

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin

Keseriusan Pemerintah Kota Surakarta dalam menghadapi era otonomi daerah nampaknya patut diacungi jempol. Pemkot tidak hanya menginisiasi proses perencanaan yang partisipatif melalui Perencanaan Pembangunan Partisipatif namun juga mengganti LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) yang sejak dulu identik dengan Partai Golongan Karya. Pengganti LKMD adalah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK). Hal ini merupakan tindak lanjut dari turunnya Keputusan Presiden  Nomor 49 tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain.

Pembuatan lembaga pengganti LKMD telah diinisiasi oleh masyarakat, akademisi dan LSM sekitar setahun lalu. Mereka kemudian dirangkul Bagian Tata Pemerintahan Pemkot dan dibentuklah Tim 21 guna menindaklanjuti. Hasil penggodokan itu disetujui dewan dan disahkan menjadi Perda no 7 tahun 2002 tentang LPMK. Otomatis keberadaan LKMD menjadi hilang ditambah keluarnya Surat Keputusan Walikota Nomor 4 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Tata Tertib Pemilihan Pengurus LPMK.

Di jalur yang lain, proses pembangunan yang selama ini dilaksanakan LKMD sudah berbeda. Sejak 3 tahun lalu Pemkot menyelenggarakan proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang lebih demokratis. Artinya dalam forum Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang, LKMD berkedudukan sebagai peserta dan sama dengan stakeholders yang lain. Sebagai konsekuensinya Pemot menurunkan dana pembangunan melalui block grant. Berarti proses penurunan block grant tahun ini akan dilewatkan ke LPMK untuk dikerjakan bersama-sama.

Proses penurunan dana block grant melalui 3 tahapan dan pada bulan ini turun tahap pertama sebesar 30 persen dari dana yang disetujui. Sehingga supaya pelaksanaan pembangunan segera berjalan maka pembentukan LPMK lebih dipercepat dan bahkan harus selesai terbentuk ditiap kelurahan pada tanggal 28 April ini. Padahal dari tahap yang harus dilalui ada 3 dan itu membutuhkan waktu. Pertama, tahap pemilihan bakal calon anggota ditingkat RT. Kedua, pemilihan calon ditingkat RW dan ketiga, pemilihan pengurus ditingkat kelurahan.

Benturan
Keluarnya Perda No 7 tahun 2002 ini sebetulnya tidak tepat dan perlu dikaji ulang terhadap beberapa pasalnya. Pertama, keluarnya Perda LPMK hanya berjarak 12 bulan dari pemilihan umum jelas kurang tepat. Lembaga ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik dalam menggalang suara. Memang persoalan ini sudah diperkirakan Pemkot. Di pasal 5 ayat 3 tentang Persyaratan disebutkan “…….Pengurus LPMK yang berasal dari partai politik tidak mewakili Partai Politik”.

Pasal itu hanya menyatakan orang partai tidak mewakili partainya dan tidak ada batasan yang jelas kapan dia sebagai pengurus LPMK dan kapan dia bertindak sebagai aktivis partai (jika memang berasal dari partai). Kedua, kaidah yang tertulis baik dalam Perda maupun SK tidak memenuhi prasyarat perundang-undangan maupun hirarki hukum, tumpang tindih dan ada yang sudah diatur di Perda tapi disebutkan sama persis di SK. Artinya ada hal-hal teknis yang diatur di Perda (Pasal 6 tentang pemilihan anggota) dan ada hal besar yang diatur di Surat Keputusan dan ini sudah diatur di Perda.

Misalnya Pasal 5 tentang Persyaratan. Dalam Perda LPMK terdapat 6 persyaratan untuk menjadi anggota namun di SK disebutkan 8 persyaratan. Lalu Pasal 13 tentang Tugas dan Pasal 14 tentang Fungsi ternyata ditulis ulang dalam pasal 4 dan 5 di SK Walikota. Ketiga, banyak pasal (terutama di SK) yang bertentangan dengan semangat demokrasi, transparansi, akuntabilitas, berprespektif gender dan plural. Beberapa pasal bisa menimbulkan efek penolakan dari masyarakat. Pasal-pasal dalam Perda yang bisa dipersoalkan yakni Pasal 6 ayat a dan c point 4 dan pasal 11. Pasal 6 ayat a sangat tidak mengakomodir gender. Disebutkan pemilihan ditingkat Rt diikuti oleh Kepala Keluarga. Berarti perempuan tidak bisa masuk dan bertarung untuk menjadi bakal calon.

Di Pasal 6 ayat c point 4, kewenangan ketua Rw bisa menghilangkan nuansa demokratis. Dia berhak menunjuk calon anggota ditingkat Rw untuk menjadi anggota LPMK bila saat pemilihan dengan voting jumlah suara yang didapat calon tetap sama. Bisa diasumsikan bila Ketua Rw punya kandidat dan diperkirakan akan kalah maka dia akan buat pemilihan menjadi dead lock sehingga bisa saja dia menunjuk untuk diusulkan ke kelurahan. Di pasal 11 ayat 1 soal pertanggungjawaban, tidak diatur mekanismenya secara detil. Hanya disebutkan “Pengurus LPMK  pada akhir masa bhakti memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat”.

Lebih parah lagi dalam Surat Keputusan Walikota nomor 4 tahun 2003 mengenai juklak pemilihan pengurusnya. Pada bagian Tugas dan Fungsi pengurus, Pasal 10 ayat 2 soal fungsi seksi telah menggugurkan Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang selama ini dilakukan masyarakat melalui Muskelbang. Jelas terbaca ketua seksi mempunyai wewenang lengkap mulai dari perencana pembangunan, penyelenggara pembangunan, koordinasi dengan seksi lain, mengawasi kegiatan, evaluasi kegiatan, membuat laporan. Pola ini mengandung peluang besar terjadinya korupsi, manipulasi dan sangat merugikan masyarakat.

Bagian lima mengenai hubungan kerja pasal 15 ayat 1 juga tersirat bahwa mekanisme Muskelbang bisa hanya menjadi sejarah yang indah bagi masyarakat. Disebutkan “LPMK menyusun rencana pelaksanaan pembangunan melalui mekanisme perencanaan pembangunan partisipatif bersama-sama dengan Rt, Rw dan pemerintah kelurahan”. Berarti mekanisme Muskelbang yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan bukan hanya mewakili teritorial ternegasikan. Paguyuban HIK, becak, kesenian, koperasi tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendapat perhatian Pemerintah Kota.

Kedua peraturan itu juga tidak memberi kesempatan bagi stakeholder lain untuk ikut berperan bila mereka tidak mewakili territorial atau wilayah. Lalu bagaimana masyarakat miskin bisa meningkatkan kesejahteraan mereka bila tidak ada representasi dari mereka di kepengurusan. Belum lagi soal kelurahan yang mempunyai Rw sangat banyak seperti Kelurahan Jebres dan Mojosongo. Padahal semua calon anggota LPMK akan menjadi pengurus. Berarti di Kelurahan Jebres akan ada 68 orang pengurus (dari 34 Rw) dan Kelurahan Semanggi ada 62 orang pengurus.
Keempat, ada beberapa pasal yang multi persepsi sehingga dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan pertentangan dan kebingungan masyarakat. Persoalan ini perlu diantisipasi oleh birokrasi agar masalah yang diperkirakan timbul bisa diantisipasi.

Perspektif Kedepan
Dari uraian diatas tadi sangat jelas tergambarkan kedua peraturan itu tidak layak diteruskan. Resiko yang akan terjadi bila diteruskan akan memakan banyak biaya social dan juga masyarakat kembali akan jadi korban. Ada beberapa alternatif yang perlu dilakukan Pemkot ataupun DPRD. Pertama, aturan itu dibatalkan dan dibuat ulang, Kedua ditinjau untuk direvisi beberapa pasal yang diperkirakan menimbulkan masalah dan ketiga tetap dilaksanakan dengan masa kepengurusan hanya 1 tahun untuk menyiasati penerimaan block grant. Selama 1 tahun itu hak dan wewenang pengurus juga dibatasi. Tetapi pasal-pasal krusial harus tetap diperbaiki. Tiga langkah itu tetap dalam bingkai (jika direvisi) pelibatan seluruh stakeholder masyarakat.

Pada wilayah lain, minggu ini memasuki sosialisasi dari Perda, SK sekaligus musyawarah Rt untuk menentukan calon. Ada waktu bagi masyarakat semestinya sebelum langsung musyawarah sebaiknya mengkritisi pasal-pasal baik yang ada di Perda maupun Surat Keputusan Walikota itu. Atau guna mensiasati terjadinya blunder, alangkah bijaknya tiap kelurahan membuat tata tertib yang lebih jelas agar pemaknaan makna di Perda dan SK bisa tertangani.

Peluncuran Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan menjadi momentum penting dan bagus guna mewujudkan masyarakat yang demokratis. Sayangnya ada kelemahan tekstual sehingga perlu dibenahi. Seandainya ditunda untuk segera diperbaiki (terutama pasal yang bermasalah) maka akan terwujud Kota Surakarta yang patut dijadikan contoh wilayah lain pada bidang kepemerintahan seperti mekanisme Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang banyak membuat tertarik Pemda/Pemkot di wilayah lain.

Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo