Selasa, 13 Maret 2018

Islam Kita

|0 komentar

Mengapa Islam begitu banyak pengikutnya? Ini bukan soal apa yang sudah digariskan sang Pencipta namun karena para penebar agama kedamaian ini menebarkan nilai-nilai Islam dengan cara Islami. Cara-cara yang memang mencerminkan Islam itu sendiri.
1.    Rasulullah
Sebagai pembawa agama Illahi, beliau tidak bisa dibandingkan dengan siapapun. Semua mengakui bahwa Muhammad Rasulullah telah menerapkan dan mengajarkan sebuah agama yang menjadi kebutuhan semua manusia. Semua yang disampaikan benar-benar secara akal, naluri hingga jiwa mencerminkan kebutuhan kita sebagai manusia. Beliau tidak hanya dihormati oleh para sahabat atau umatnya namun juga oleh musuh-musuhnya. Banyak cerita yang kita dengar bagaimana Nabi Muhammad menyikapi atau memperlakukan sesuatu.

Beliau tidak sekedar menyampaikan wahyu ilahi, menyebarkan agama Islam tapi berjuang menegakkan kebenaran. Yang didoakan beliau bukan hanya keluarganya, sahabatnya bahkan dalam sebuah hadits beliau menyebut umatnya. Beliau mengkhawatirkan umatnya. Tak heran, akhlak serta cara beliau menebarkan Islam menjadikan agama Allah ini masih tetap banyak pengikutnya meski beliau telah wafat ribuan tahun lalu.

2.    Walisongo
Di Indonesia dikenal walisongo yang menyebarkan Islam dan hingga kini telah menjadi 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Islam berkembang sangat pesat waktu itu meski saat Walisongo datang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Mengapa mereka beralih agama? Secara umum Walisongo “merayu” atau berdakwahnya sesuai dengan apa yang dilakukan masyarakatnya. Silahkan cari rujukan dimanapun, tidak pernah ada tulisan yang menjelaskan bahwa cara menebar Islam dengan cara tidak Islami. Bandingkan dengan di benua atau Negara lain, Islam tumbuh tidak seperti di Indonesia.

Walisongo datang bukan tanpa sebab namun karena “petunjuk” Allah. Cara berdakwah juga seperti yang dilakukan Rasul, dengan santun, menjunjung adab dan yang pasti Islami. Prosesnya tentu panjang dan tidak serta merta. Penuh liku dan laku. Oleh sebab itu, Islam Indonesia secara aqidah jelas sama dengan Islam dibenua manapun namun cita rasanya jelas berbeda. Ibarat makanan, bahan dan cara mengolahnya sama namun ketika kokinya beda maka kelezatan yang dirasakan lidah pasti berbeda. Bahkan hingga medio 80an, bagi masyarakat yang sudah berusia setidaknya 7 tahun merasakan betul damainya Islam Indonesia.

Dibandingkan tampilan fisiknya, Islam 2000an terlihat lebih Islami. Bagaimana tidak kalau mulai polisi, PNS, anak-anak, sekolahan Islam, sopir dan hampir sebagian besar muslimah pakai jilbab bahkan dengan beragam tatanan. Bagi generasi lama dulu jangankan melihat orang berhijab, ketemu bu Nyai pondok saja cuma pakai kerudung yang ditaruh dikepalanya. Tetapi tingkat adabnya dengan sekarang tidak ada apa-apanya. Jelas dampak dakwah walisongo terasa hingga era 80an. Perkataan keras saja kepada yang non muslim saja kita tabu bahkan merasa malu.


3.    Nahdlatul Ulama
NU hanya salah satu firqah (golongan) para pengikut ahlussunnah waljamaah yang setidaknya sekarang beranggotakan lebih dari 90 juta. Padahal golongan dalam Islam sendiri jumlahnya banyak. Hal ini menandakan NU sebagai organisasi atau pengikut sunah nabi mampu menarik orang Islam itu sendiri. Mengapa kemudian NU menjadi besar walaupun hingga sekarang secara organisasi tidak modern? Bila kita mengenal NU, kadang terbersit sangat ndeso, ketinggalan jaman, tidak asyik dan lain sebagainya. Lihat saja sukanya pakai sarung, peci hitam dengan warna hampir memudar, suka jalan kaki atau pakai onthel, nentengnya kitab, gemar lesehan ketika ngaji dan sebagainya.

Pada sebelum 80an, orang lebih nyaman berada di jamiyyah NU. Entah ikut pengajian tiap jum’at, tahlilan tiap kamis, ratiban tiap senin, barzanjain, manakiban atau kegiatan lainnya. Sekarang orang-orang perkotaan lebih jarang beraktifitas begini hanya karena katanya bid’ah. Sebuah kesimpulan konyol dan tak mendasar. Jika adu kitab pun, para penolak bidah jelas kalah referensi. NU mendasarkan pada banyak kitab sebagai rujukan sedangkan para penentang potong kompas hanya ke Al Qur’an dan Hadits. Faktanya memahami Islam caranya jelas tidak hanya butuh pengetahuan yang luas, ketenangan batin, juga beribadah secara tekun seperti para ulama khos NU.

Para ahlul bidah (NU) sering menganjurkan para pengikutnya untuk mengikuti saja apa yang disampaikan oleh kyai-kyai mereka. Ibaratnya kita butuh santan ya beli yang sudah jadi. Tidak perlu menanam kelapa sendiri, merawat pohonnya, menunggu tahunan, memetik buahnya dengan memanjat tinggi, menjatuhkan buahnya, mengupas kulitnya dan proses lain yang butuh energy besar. Bagi awam berat melakukan hal ini. Biar kyai-kyai NU yang bukan sekedar memiliki ilmu, kesabaran, keluasan jiwa serta ketekunan “meminta” petunjuk Allah sehingga umat tinggal menjalankan.

Secara organisasi dibandingkan Muhammadiyah atau bahkan yang lainnya terkesan NU kurang menarik. Padahal kapasitas keilmuan generasi muda NU jauh lebih menjanjikan dibandingkan Muhammadiyah. Ada beragam sosok aktivis sosmed atau bahkan web milik NU yang sendirian bertarung melawan kelompok wahabi. Silahkan sebut penulis-penulis muda kelas sosmed, mayoritas dikuasai anak-anak muda NU. Belum lagi cendekiawan2 yang ada di universitas, lagi-lagi NU. Muhammadiyah? Ada yang bisa disebut?

Setidaknya di 3 wilayah itulah Islam menjadi sangat menarik dan menjawab tantangan kehidupan umat manusia. Oleh karenanya jumlah pengikutnya makin bertambah banyak dan bukan sebaliknya. Prihatin dengan apa yang terjadi sekarang. Tidak ada satupun ajaran nabi yang menyalah-nyalahkan orang lain. Jangankan satu agama, berbeda agama saja nabi tidak pernah menyebut si A, si B atau si C sebagai kafir. Yang selalu dipesankan kepada umatnya adalah jangan sampai ciri-ciri orang yang disebut kafir, munafik, murtad, fasiq dan lainnya itu tercermin di diri kita. Tidak percaya? Kapan Rasulullah menyebut pamannya Abu Lahab sebagai kafir? Tunjukkan riwayatnya.

Oleh karena itu ber Islamlah seperti ajaran Rasulullah