Selasa, 31 Agustus 2010

Kepanduan atau Kepramukaan?

|0 komentar
Pada era sebelum reformasi (pra 1999) gerakan pramuka merupakan salah satu kegiatan ekstra kulikuler yang cukup digemari siswa sekolah dasar hingga orang dewasa. Mulai dari level siaga, penegak, pandega bahkan setiap departemen (sekarang kementrian) memiliki yang namanya satuan karya. Mereka berlomba-lomba menggerakkan anggotanya berpartisipasi secara aktif tanpa paksaan dari siapapun. Namun pasca reformasi, gerakan pramuka semakin hari semakin lesu hingga hampir tidak pernah disebut lagi dalam berbagai media. Hari Pramuka 14 Agustus yang dulu selalu diwarnai dengan jamboree kini hanya tinggal kenangan semata.

Belum jelas factor apa yang mempengaruhi namun yang jelas berbagai pihak memprihatinkan kondisi ini. Hampir semua masyarakat bila ditanya tentang kemanfaatan pasti akan menjawab bermanfaat namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Kondisi inilah yang kemudian ditangkap pemerintah perlu dibangkitkan kembali (revitalisasi). Hanya saja pemerintah melihatnya, mengaktifkan kembali pramuka dengan membuat peratutan (baca : undang-undang) dengan harapan akan terjadi kebangkitan. Bila dilihat dari aspek social, ide mengundang-undangkan pramuka sebenarnya tidak tentu tepat sebab bisa dimaknai ada pemaksaan melakukan kegiatan kepramukaan. Padahal seperti terungkap diatas, maraknya gerakan pramuka tidak dikarenakan adanya aturan namun kesadaran atas kebutuhan.

Maka dari itu salah satu target penyelesaian UU tahun ini adalah adanya UU Gerakan Pramuka yang masuk dalam daftar legislasi nasional serta tinggalan dari DPR RI periode 2004-2009. Undang-undang ini merupakan usul inisiatif pemerintah dengan berbagai alasan. Seperti dikemukakan Prof Dr  dr Azrul Azwar MPH sebagai Ketua Kwartir Nasional menyebutkan 4 alasan penting yakni pertama, Pramuka memiliki nilai-nilai khusus. Kedua, Pramuka mampu melahirkan militanisme. Ketiga, karena Pramuka telah mencontohkan sebagai organisasi pembinaan watak, sikap, generasi muda dan yang keempat,  pendidikan Pramuka dianggap mampu memberikan hasil yang baik buat generasi muda. keempat, sesungguhnya pula lah pendidikan Pramuka itu kalau dijalankan dengan baik akan memberikan hasil yang baik. Pendidikan akan baik kalau ditopang oleh pengadaan sumber yang cukup. Untuk pengadaan sumber-pengadaan sumber, harus ada dasar hukumnya (http://www.madina-sk.com).

Namun dalam perkembangannya, dalam pembahasan Panitia Kerja RUU Gerakan Pramuka di DPR memunculkan banyak penafsiran yang tidak sama. Belum menyentuh ke berbagai kerangka atau batang tubuh, penamaan RUU ini sendiri telah menimbulkan perbedaan. Ada 2 kelompok di DPR yang terpecah dalam penamaan RUU tersebut. Fraksi PD, FPDIP, FPKB menyepakati usulan pemerintah, sedangkan Fraksi PG, FPKS, FPAN lebih memilih RUU Kepramukaan. Dari penamaan yang hingga kini belum disepakati menimbulkan konsekuensi pada kerangka lanjutannya yang tentu akan menimbulkan serentetan pemahaman yang berbeda.

Lihat saja dalam klausul penjelasan, pendidikan kepramukaan, siapa Pembina, anggota hingga metode pengajaran. Pemerintah dalam berbagai statementnya masih juga mencampuradukkan istilah kepramukaan dengan kepanduan yang sebenarnya secara substansial jauh berbeda. Bahkan dalam perkembangannya ada beberapa kepala daerah hingga kepala Negara tidak memahami substansi kepanduan hingga kostum yang dipakainya tidak mencirikan gerakan kepanduan. Belum lagi perdebatan apakah kepramukaan ditingkat nasional saja yang satu tapi bisa beragam di daerah. Dalam salah satu Rapat Dengar Pendapat Umum yang mengundang beberapa gerakan kepanduan seperti Hizbul Wathan, Saka Dharma, Pandu PKS dan lainnya terungkap, mereka secara jelas menyampaikan aspirasi tetap menggunakan kepanduan.

Mengutip salah satu aktivis Pandu Rakyat Indonesia, R Darmanto Djojodibroto menjelaskan bahwa tujuan kepanduan adalah menjadikan anak menjadi warganegara yang bermutu, utamanya dalam karakter dan kesehatannya. Caranya dengan menangkap karakter anak-anak ketika mereka dalam keadaan antusiasme yang menyala-nyala dan menggemblengnya dalam bentuk yang benar, membimbing dan mengembangkan pribadinya, hingga mereka dapat mendidik dirinya sendiri menjadi orang baik dan warganegara yang berguna untuk tanah airnya. Perlu ditegaskan lagi bahwa kepanduan sejak semula adalah PERMAINAN yang menolong anak mengembangkan diri dengan sedikit mungkin pengawasan dari orang dewasa.

Artinya bila dikupas lebih jauh ada banyak perbedaan signifikan antara kepramukaan (yg terdapat dalam RUU) dengan metode kepanduan yang telah menjadi konsensus internasional. Setidaknya bila dirunut dari aspek sejarah. Kata PANDU, dilontarkan pertama kali oleh H Agus Salim untuk mengganti kata Padvinder yang menggunakan Bahasa Belanda. Kata ini juga terdapat dalam lagu kebangsaan Indonesia serta tercantum dalam dalam ikrar sumpah pemuda. Oleh karena itu idealnya kondisi ini tidak menjadikan kita buta pada sejarah bangsa. Bila disatukan ditingkat pusat, akan muncul kendala apakah ormas yang memiliki gerakan kepanduan bersedia menjadi bagian dari Kwarda? Mereka juga memiliki hirarki hingga tingkat nasional.

Selain itu, pasal 28 UUD menyebutkan setiap warga berhak menyatakan pendapat, berkumpul, berserikat dan berorganisasi. Bila dipaksakan, UU ini akan menghadapi judicial review dari para aktivis kepanduan. Selayaknya para wakil rakyat harus melihat secara jernih kondisi ini. Karena sebenarnya tanpa UU, toh gerakan pramuka, gerakan kepanduan atau apapun namanya bila itu muncul dari kesadaran masyarakat tentu akan aktif. Bukankah jaman dulu juga tetap eksis tanpa aturan apapun? Pun demikian, bila tanpa UU, gerakan pramuka tidak akan menjadi oleng, kisruh atau menjadi kegentingan yang teramat sangat. Jika dipaksakan, kita lihat bagaimana akhirnya?

Jumat, 13 Agustus 2010

Membangun C(er)itra

|0 komentar
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ini pada posisi yang terjun bebas di mata rakyat Indonesia setelah beberapa kinerjanya terus menerus di sorot oleh masyarakat. Kondisi ini nampaknya harus disadari betul dan dibenahi tidak sekedar oleh satu dua orang anggota namun juga secara kolektif kolegial bersama. Partai Politik sebagai pemilik maupun pihak yang berkepentingan menaikkan posisi tawar dimata rakyat harus benar-benar memperhatikan tingkah laku tersebut. Tanpa itu semua, niscaya tingkat kepercayaan masyarakat akan terus menurun.

Sudah mafhum diketahui bahwa partai politik berjuang untuk meraih kekuasaan namun bukan berarti dengan segala cara. Harus melalui cara-cara yang elegan, legal dan menguntungkan masyarakat secara umum. Awal kinerja anggota dewan periode 2009-2014 diuji dengan penelusuran kasus Bank Century yang pembahasan Pansusnya berjalan cukup panjang. Namun kini hasil rekomendasi yang berbentuk pengawasan tak kunjung jelas. Bahkan ada rumor akan dihentikan dan ditindaklanjuti. Apalagi 2 orang yang dibidik sudah memegang posisi strategis. Tentu makin sulit saja meneruskan kasus ini lebih dalam meski fakta-fakta yang terungkap dalam rapat-rapat pansus telah jelas.

Begitu berita ini meredup, muncul isu baru rencana pembangunan gedung DPR yang kata anggota dewan gedung telah miring sehingga membahayakan penghuninya. Pernyataan yang bersumber dari pengecekan PU pun telah dibantah. Hingga kini, siapa orang yang melontarkan awal rencana pembangunan gedung baru tidak jelas. Masyarakat, ahli, akademisi dan berbagai unsur mengkritik keras atas usulan pembangunan gedung baru sebagai akal-akalan anggota saja. Perlu diketahui awal dilantiknya anggota dewan periode ini terjadi gempa bumi di daerah Jakarta termasuk yang ikut “bergoyang” ya senayan. Menurut seorang teman yang menempati lantai 13, getarannya sangat terasa sehingga menimbulkan kepanikan.

Tiga bulan sesudahnya, kondisi gedung di cek dan konstruksi yang terganggu kemudian di suntik agar kembali kuat. Entah penelitian dari mana sehingga rumor gedung miring itu muncul. Belum hilang dari peredaran, ada lontaran dari salah satu fraksi pentingnya dana aspirasi anggota DPR sebesar Rp 15 M/anggota. Bila dikalikan dengan jumlah anggota 560 orang maka akan didapat anggaran trilyunan. Karuan saja isu ini menjadi pemberitaan yang kembali mendapat sorotan masyarakat. Dr Harry Azhar yang saat itu menjadi Ketua Badan Anggaran menyatakan fungsi dana aspirasi ini untuk pemerataan.

Sebenarnya gagasan ini cukup bisa diterima akal sehat hanya saja ada 2 catatan penting. Pertama, besaran nominal dengan jumlah yang sama akan menimbulkan ketimpangan antara Jawa dengan Luar Jawa. Anggaran yang bakal teralokasi di Jawa akan sangat besar karena memang Dapil terbanyak ada di Jawa. Selain itu dengan nominal sebesar itu di Jawa dapat dimanfaatkan dengan luar biasa. Sementara di luar Jawa seperti Kalimantan maupun Papua tentu tidak seberapa. Apalagi, jumlah anggota dewan dari dua pulau itu sangat minim. Maka dari itu, kalau mau direalisasikan harus mengacu pada asas proporsionalitas.

Kedua, Usulan yang akan ditangkap dengan dana aspirasi harus melalui Musrenbang. Tidak bisa anggota DPR asal mengajukan maupun hasil lobi kepala daerah dengan anggota dewan. Catatan yang perlu digarisbawahi adalah penyelenggaraan Musrenbang harus transparan, aspiratif, partisipatif dan akuntabel. Proses yang terselenggara harus benar-benar bottom up bukan top down. Sehingga program yang diajukan tidak sekedar keinginan para legislative daerah atau eksekutif local namun usulan yang melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Usulan ini sebenarnya ingin mengadopsi konsep “pork barrel” kongres Amerika. Sayangnya lontaran ini tidak secara utuh ditangkap masyarakat sehingga mentah lagi.

Entah karena masalah ini atau bukan, yang jelas kini Dr Harry Azhar Azis telah diganti oleh Melcias Mekeng. Pasca penolakan dana aspirasi, sempat muncul dana pembangunan desa Rp 1 M/desa namun perdebatannya tidak cukup panjang. Belum reda isu ini di media, public kembali dikagetkan dengan malasnya anggota dewan mengikuti sidang paripurna di DPR. Setjen sendiri diduga justru yang membocorkan dokumen kehadiran. Tercatat setidaknya dalam Sembilan bulan terakhir kehadiran wakil rakyat merosot. Bila masa sidang I (1 Oktober – 4 Desember 2009) mencapai 92,57%, dan turun pada masa sidang ke II (4 Januari – 5 Maret 2010) menjadi 84,32 % kemudian masa sidang III (5 April – 18 Juni 2010) tinggal 71,59 %. Ditengah sorotan tajam itu, anggota dewan kemudian melakukan pembelaan diri secara berlebihan.

Bahkan dalam sidang paripurna terakhir (29 Juli 2010), seorang anggota DPR menyatakan Setjen harus ditegur atas ulahnya membocorkan kehadiran anggota DPR. Gonjang-ganjing masih berlangsung, muncul isu baru yang bakal segera menguras emosi masyarakat. Pius Lustrilanang dari Fraksi PDIP menyatakan telah ada kesepakatan di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR akan mengalokasikan rumah aspirasi di daerah sebesar Rp 200 juta/ anggota sehingga dibutuhkan anggaran Rp 122 M dalam satu tahun untuk merealisasikan rumah aspirasi tersebut. Gagasan itu merupakan studi banding BURT ke Jerman dan Perancis. Kalau demikian, apakah benar berbagai isu yang dilontarkan dapat MEMBANGUN C(ER)ITRA anggota dewan yang kian hari kian merosot?

Kamis, 05 Agustus 2010

Perlukah Rumah Aspirasi?

|0 komentar
Rumah Aspirasi yang kini lagi mencuat menjadi perdebatan baru atas langkah controversial anggota DPR RI menambah panjang daftar catatan atas kinerja mereka. Masyarakat melihatnya anggota dewan yang terhormat melakukan segala sesuatu harus dibiayai Negara. Padahal gaji mereka sendiri sudah mencapai puluhan juta. Lantas apakah tugas dan tanggungjawab mereka sudah setimpal dengan apa yang mereka terima? Perdebatan tentang rumah aspirasi merupakan perdebatan kesekian kali yang dilontarkan anggota DPR RI periode 2010-2014 ditahun pertamanya. Dan banyak perdebatan yang dimunculkan tidak ke hal yang substansial melainkan aspek teknis yang kemudian menimbulkan konsekuensi biaya tinggi. Lihat saja isu gedung miring, dana aspirasi, studi banding dan sekarang yang baru muncul tentang rumah aspirasi.

Soal rumah aspirasi ini sebenarnya juga bukan hal yang baru karena DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga telah memilikinya. Bahkan beberapa anggota DPR sebut saja seperti Budiman Sudjatmiko dan Anas Urbaningrum telah memilikinya. Isu ini muncul
dari penjelasan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI, Pius Lustrilanang yang menyatakan BURT telah menyepakati program rumah aspirasi bagi anggota untuk anggaran tahun 2011. Adapun biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 122 M atau Rp 200 juta/anggota/tahun. Biaya itu diperlukan bagi penyerapan aspirasi didaerah. Apa sebetulnya rumah aspirasi dan bagaimana sebenarnya isu ini serta penting atau tidak bagi anggota? Apa pula pendapat para pimpinan parpol atau ketua fraksi?

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya gagasan ini (versi penulis) yaitu : pertama, Penggalangan isu daerah bisa lebih strategis. Tiap daerah dipastikan memiliki isu yang kebijakannya menjadi urusan pusat. Maka dari itu bila didorong secara bersama-sama oleh Rumah Aspirasi yang disambungkan dengan anggota DPR dari satu dapil maka akan jauh lebih kuat. Sebab anggota yang tersebar dibeberapa komisi dapat menyuarakan aspirasi terkait isu daerah. Berbeda bila isu hanya diangkat oleh seorang anggota saja. Kedua, Keterpilihan anggota DPR periode 2009-2014 berdasarkan suara terbanyak sehingga mereka lebih merepresentasikan wakil rakyat bukan sekedar wakil partai. Hal ini dipertegas dalam UU MD3 pasal 69 ayat (2) yang menyatakan “ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam representasi rakyat”. Isu daerah tentu saja berkaitan dengan kebutuhan atau prioritas bagi anggota DPR untuk memperjuangkannya. Hambatannya bila rumah aspirasi dikelola oleh perseorangan anggota DPR yakni bila komunitas yang memiliki aspirasi kebetulan bukan basis anggota DPR bersangkutan, majemuk partai atau bahkan komunitas non partisan. Akan ada kendala bagi komunitas yang tidak sealiran politik dalam penyaluran aspirasi

Ketiga, Membangun politicall culture baru di Indonesia baik sebagai pendidikan politik baik bagi anggota DPR maupun pendidikan politik masyarakat. Selama ini, berbeda partai bisa dimaknai berbeda segalanya. Maka dari itu penting membangun RA berbasis daerah pemilihan dan bukan berbasis individu. Sangat penting melakukan pendidikan bagi masyarakat sebagai bentuk pendewasaan bersikap. Agar konflik-konflik horizontal dimasa mendatang bisa dihilangkan. Dan keempat, Pengelolaan RA secara bersama-sama satu dapil akan memperkuat legitimasi baik penyikapan atas sebuah isu maupun ketika mendorong kebijakan. Bila berjalan sendiri-sendiri akan terlihat jelas lebih berpihak pada kepentingan segelintir orang atau kepentingan partai. Nuansa ini bisa sangat terlihat jelas dan berbeda dengan didorong secara bersama. Namun ternyata perdebatan rumah aspirasi di BURT tidak terjadi seperti 4 alasan yang disebutkan diatas sehingga kemudian rumah aspirasi berbentuk tempat penyaluran aspirasi secara tersendiri oleh anggota-anggota DPR di daerah pemilihannya.

Rumah aspirasi yang dirumuskan di BURT merupakan hasil kunjungan mereka ke Jerman dan Perancis. Meski pernyataan ini telah dikeluarkan oleh anggota parpol di BURT, namun nampaknya banyak yang tidak berkoordinasi dengan pimpinan parpol bersangkutan. "Rumah Aspirasi sangat penting. Selain menjadi kantor perwakilan di daerah pemilihan, juga menjadi tanda kedekatan politik anggota dewan dengan konstituen. Namun Rumah Aspirasi tidak perlu dibangun atas biaya APBN,," kata Anas Urbaningrum Ketua Umum Partai Demokrat dalam pesan tertulisnya kepada media, Kamis, 5 Agustus. Sementara Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengatakan “Golkar memandang Rumah Aspirasi yang menggunakan dana APBN tidak perlu didirikan, karena peran dari Rumah Aspirasi dapat dilaksanakan dengan baik oleh partai. Menurut Priyo, partai-partai pun ke depannya akan lebih berfungsi, berdaya guna, dan melekat di hati rakyat, apabila bermanfaat dan dekat dengan konstituennya sendiri.”

Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo menilai, ide `rumah aspirasi` anggota Dewan jelas meredusir fungsi DPRD dan Parpol. "Padahal, sistem demokrasi yang kita bangun adalah melalui penguatan sistem partai politik (Parpol). Lalu, kok muncul ide gagasan `rumah aspirasi` bagi anggota Dewan," tanyanya. Sekretaris Fraksi PPP Rhomahurmuziy, keberadaan rumah aspirasi akan menghapus peran kantor Parpol di Kabupaten dan anak cabang yang selama ini sudah bisa memerankan diri sebagai rumah aspirasi dengan pembiayaan swadaya para pengurus dan donatur partai. Sedangkan Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI Achmad Rubaei mengungkapkan "Saya tidak yakin kalau Rumah Aspirasi itu akan berfungsi dengan baik dan benar. Belum lagi pembiayaan untuk pemeliharaan, perawatan dan petugas yang menjaga Rumah Aspirasi itu. Dari mana dananya mau diambil, apakah masih membebankan APBN?" tanya Rubaie.

Sebenarnya gagasan rumah aspirasi itu menunjukkan bahwa selama ini fungsi partai politik tidak begitu jalan sehingga diupayakan di dorong melalui jalur lain tidak seperti yang ada selama ini. Namun pemahaman yang belum clear, ternyata sudah muncul dipermukaan. Sehingga para pimpinan parpol harusnya introspeksi dengan munculnya isu ini. Apalagi yang melontarkan adalah orang-orang partai di legislative. Lantas, apa yang akan terjadi di tahun 2011 nanti? Menarik kita tunggu wacana ini apakah hanya menjadi perdebatan media atau akan tetap direalisasi? Kalau direalisasi, lantas fungsi kepanjangan parpol di daerah akan menjadi apa?