Sabtu, 09 Desember 2017

Benahi Acara Keagamaan di Lembaga Penyiaran Publik

|0 komentar
5 Desember 2017 pada acara Syiar Kemuliaan di Metro TV yang tayang pukul 04.00 pagi diisi oleh ustadzah Nani Handayani. Selang sehari kemudian terjadi polemik karena ternyata dalam tayangan tersebut terjadi kesalahan fatal tulisan ayat Al Qur'an. Banyak pihak yang kemudian memprotes kejadian ini. Bagaimana bisa seorang penceramah agama tidak tahu kesalahan tulis atau kesalahan elementer ayat Al Qur'an.

Pada video klarifikasi, Nani menanggapi salah tulis ayat Al Qur'an dengan menyalahkan pihak produser yang menuliskannya. Alasannya alat macet dan tulisan sudah tidak bisa diganti. Tapi melihat tayangan berikutnya (ketika ibu Nani sudah diganti) bentuk tulisannya sangat berbeda. Hal ini menandakan tulisan itu dibuat sendiri oleh pemateri/penceramah bukan oleh produser.

Artinya Nani Handayani tidak jujur mengungkap atau sungguh-sungguh mengakui kesalahannya. Mengapa alasan Nani tidak masuk akal? Jika membandingkan Syiar Kemuliaan terbaru, maka akan ditemukan fakta : 1. Tentu produser tak mau gegabah menuliskan ayat Al Qur'an karena bukan ahlinya 2. Bentuk tulisan jelas berbeda jauh. jika produser yang menulis maka hurufnya akan sama baik pada saat acara dipandu Nani maupun penceramah lain. 3. jika alat rusak atau menemukan tulisan salah mestinya minta diganti atau ditulis sendiri di white board. 4. Dalam video permintaan maafnya, dia menjelaskan manusiawi. Argumentasi yang mengada-ada. Semua kesalahan jelas kesalahan manusia namun salah tulis ayat Al Qur'an bagi penceramah agama sangat fatal. Mengapa tidak memastikannya langsung? Apakah di Metro TV tidak ada Al Qur'an?

Kejadian ini membuktikan bahwa tidak semua ustadz/ustadzah yang muncul di televisi kapasitas keilmuannya layak disebut ustadz/ustadzah. Masyarakat harus tahu mana yang benar-benar ahli agama dan bukan. Demikian pula pihak televisi meminta daftar ustadz/ustadzah ke Ormas Muhammadiyah atau NU yang pasti tidak akan sembarangan menyodorkan nama.

Perlu diketahui, Ustadzah Nani Handayani juga merupakan politisi PKS dari DPP PKS. Memprihatinkan, seorang pengurus DPP PKS yang notabene partai agama kapasitasnya begitu. Secara kelembagaan meski Metro TV mengundang secara individu sudah selayaknya PKS mengklarifikasi kejadian ini. Bahkan bila perlu mengevaluasi semua kadernya yang mengisi acara publik agar tidak terulang.

Kesalahan Nani bukan kesalahan sepele karena yang dilakukan Nani adalah hal mendasar. Bagaimana seseorang yang tidak menguasai huruf arab dan berhubungan dengan ayat suci Al Qur'an bukan hanya menempati jajaran DPP PKS tapi juga dipercaya mengisi ceramah. Pantas saja sekarang banyak penceramah bukan membuat masyarakat sejuk setelah mengikuti tausiyah atau ceramah namun malah menimbulkan fitnah.

Pihak lain yang juga penting untuk terlibat dalam pembenahan syiar agama di media publik yaitu KPI. Komisi Penyiaran Indonesia juga harus ambil peran, panggil semua stasiun televisi untuk rumuskan panduan acara keagamaan di televisi. Libatkan NU, Muhammadiyah atau MUI untuk merumuskannya. Kedua ormas selain sudah teruji, memiliki lembaga pendidikan, memiliki ribuan pondok atau sekolah namun juga terbukti ideologi keIslamannnya lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Jika dibiarkan bukan hanya kesalahan elementer seperti yang dibuat Nani Handayani terulang namun bibit-bibit intoleransi akan terus bersemai diacara keagamaan.

Jumat, 08 Desember 2017

Terima Kasih Karni Ilyas atas Tema ILC, "212 : Perlukah Reuni?"

|0 komentar
Apapun Karni Ilyas, host Indonesia Lawyers Club (ILC) pantas kita acungi jempol dan cerdas memanfaatkan momen. Terutama pada gelaran ILC yang tayang di TVONe kemaren Selasa 5 Desember 2017 dengan “Tema 212 : Perlukah Reuni?”. Pemerintah dan kelompok nasionalis harusnya berterima kasih atas ide briliannya bukan hanya mengangkat tema tersebut namun atas narasumber yang dihadirkan juga sangat menguntungkan. Seperti diketahui, paska debat itu malah menimbulkan perdebatan di sosmed berkepanjangan. Lantas mengapa pemerintah dan kelompok nasionalis harus berterima kasih?

Pada ILC itu yang turut hadir kelompok pendukung alumni 212 yakni Al Khathath, Eggi Sujana, Fachri Hamzah, Fadli Zon, Felix Siaw, Ahmad Dhani hingga Rocky Gerung. Sementara dari kubu penolak reuni, 2 aktivis sosmed yaitu Denny Siregar, Abu Janda, anggota DPR dari PDIP, Aan Anshori hingga salah satu Ketua PBNU, Marsudi Mashud. Pihak netral yang sempat dihadirkan secara langsung Sujiwo Tejo dan yang tidak langsung adalah Mahfud MD. Rekaman ulang ILC bisa disaksikan di youtube baik secara lengkap maupun secara terpotong. Yang jelas, dari tema utama tentang Reuni 212 sempat melebar dan memperdebatkan tentang khilafah. Terutama antara Permadi Arya alias Abu Janda dengan Felix Siaw.

Di medsos Rabu, kubu pendukung Reuni Nampak sorak sorai merayakan kemenangan “pembantaian” Abu Janda dan Denny Siregar yang menurut mereka kalah telak. Apalagi ditunjang dengan apologi Abu Janda maupun Denny di akun sosmednya. Padahal bila dianalisa secara mendalam, justru kelompok pro 212 kalah telak. Terbukti Fachri Hamzah sampai menegur penggunaan kata “kafir” oleh Eggi Sujana. Padahal seperti kita tahu, FH selama ini hampir tidak pernah mengkritik secara tajam rekannya sendiri.

Lalu sebenarnya dimana kekalahan telak para pendukung 212? Baiklah, saya coba urai secara mendalam penelanjangan 212 oleh Karni Ilyas.

Pertama, aksi reuni 212 jelas sudah digelar dan ILC diadakan tanggal 5 dengan tema “Perlukah Reuni 212?”. Tema ini justru merendahkan para pendukung 212, sebab kegiatan sudah berlalu. Karni cerdas, dia sengaja menghadirkan hal itu dengan kesan membela para aktivis 212. Tapi dengan kata “Perlukah” semestinya kelompok pro 212 menolak kecuali kata “perlukah” diganti dengan “Agenda strategis paska reuni 212”. Tema ini jauh lebih visioner dan membuka cakrawala tentang strategisnya gerakan ini.

Kedua, pihak yang dihadirkan baik yang pro dan yang kontra tidak sejajar. Bukankah sejak rencana reuni 212 digelar setidaknya ada 3 pihak atau kelembagaan yang jelas menolak. Mengapa bung Karni tidak menghadirkan mereka? Ada dari NU, Muhammadiyah dan MUI. Memang PBNU hadir tapi tidak mengundang Muhammadiyah dan MUI. Malah yang dihadirkan Abu Janda dan Denny Siregar. Mereka siapa? Aktivis sosmed yang fans nya sangat cair, tidak punya ikatan kuat. Pengen tahu buktinya? Ditangkap dan diprosesnya Asma Dewi, Buni Yani, Jonru, pemilik Saracen tidak mampu menghadirkan 1000 orang saja dalam tiap persidangan mereka. Bahwa tulisan mereka disukai atau merasuki itu jelas tapi sampai menimbulkan pembelaan berlebihan ya tidak. Contoh mudah lagi, sinetron sebagus apapun, berseri hingga tahunan ketika habis ya sudah. Apa pernah fans nya demo minta diperpanjang? Tidak.

Terjebak Kata "Ustadz"

Belum lagi banyak pendukung 212 tidak faham penggunaan kata “ustadz” dan nama abu janda. Dipikirnya ini ustadz beneran dan abu janda nama yang serius. Baca saja di group pro 212, membully abu janda dengan hinaan serius terhadap kata “ustadz” dan “abu janda”. Padahal nama itu digunakan Permadi Arya sebagai sindiran pada teroris ISIS asal Indonesia, Abu Jandal Al Indonesiyi. Tidak lebih. Jelas bully-bullyan di group pro 212 gagal total dan abu janda melenggang tenang. Lalu dengan DS, ya dia enjoy saja. Penulis itu tidak terpengaruh dengan model bully-bullyan, hinaan, caci maki, merendahkan begitu. Dia akan sangat terpengaruh jika berdebat langsung dengan durasi cukup panjang. Lihat, tidak akan berdampak apapun. Ke depan tulisan-tulisan DS tetap akan tajam, satir dan ditunggu penggemarnya.

So, jika ada yang bilang Felix, Al Khathath atau Eggi berhasil mengalahkan ya salah. Mereka menendang angin. Apalagi uraian KH Marsudi Masyhud dari PBNU tidak dibantah atau malah mereka tidak bisa membantah. Sudah begitu lihat yang pro 212 siapa saja? Al Khathath jelas bekas pimpinan HTI, Felix merupakan ustadznya HTI/pengusung ideology khilafah, Eggi Sujana pengacara Rizieq Shihab, dan nama lain yang sudah pasti punya posisi. Artinya oleh Karni diposisikan orang-orang penting itu levelnya sepadan dengan aktivis medsos di kubu kontra 212.

Ketiga, acara itu berhasil membuka kedok bahwa ideology khilafah masih ada dalam otak Felix. Mengapa diskusi tentang reuni 212, Felix terbawa arus oleh pancingan Abu Janda tentang bendera ISIS. Entah by design atau by accident, penunjukan foto bendera tauhid mampu memancing masih bercokolnya faham khilafah dalam otak Felix. Sampai-sampai prof Mahfud menguliahi Felix soal ini dan menyebut bahwa Khilafah yang diperjuangkan HTI itu bukan tentang kepemimpinan tapi sistem pemerintahan. Memperjuangkan system pemerintahan di Indonesia jelas makar dan harus menghadapi proses hukum. Jika berdalih bahwa khilafah merupakan system yang harus dianut Islam, mengapa di timur tengah system pemerintahan tidak ada yang sama. Dengan tegas Prof Mahfudz menyatakan Indonesia sudah menggunakan system Khilafah al Indonesie, sudah Islami.

Keempat, keyakinan Felix yang menyebut bendera Rasulullah adalah seperti yang dibawa oleh mayoritas peserta Reuni 212 dipertanyakan banyak pihak. Bahkan prof Nadirsyah Hosen mengupas dalam tentang hal itu dan mempertanyakan kesimpulan Felix. Felix Siaw pun terjerembab dalam kesombongan diri serta menyatakan orang paling tahu tentang Turki Utsmani. Dugaan saya tentu hanya karena dia pernah menulis buku tentang itu. Padahal seperti kita tahu kesombongan seperti itu dilarang dalam Islam. Apakah dia sangat yakin tidak ada orang Indonesia yang pernah meneliti tentang hal itu? Bagaimana dengan beberapa orang yang pernah kuliah disana, mengajar disana bahkan juga melakukan penelitian serupa?

Kelima, Fachri Hamzah dan Sujiwo Tejo malah menyudutkan kubu pro 212. Fachri menasehati Eggi dengan kesalahan menyebut kafir serta Sujiwo Tejo mengungkapkan kalimat yang ditujukan pada Rocky Gerung memakai kunci kata murid saya ada 2 yakni Cak Nun dan Gus Mus. Bagi yang faham itu kritikan sangat pedas dan telak. Tampak Rocky tersenyum kecut sedangkan yang lain tersenyum tanpa tahu maknanya.

Di akhir penutupan, Karni Ilyas terlihat tersenyum puas atas suksesnya ILC kali ini yang menelanjangi kubu pro 212. Bagi awam, nampaknya memang mereka memenangkan pertarungan tapi hingga H+3 acara itu, tiba-tiba bak air bah membuka semua tabir argumentasi kubu pro 212 tertelan argumentasi tersebut. Beruntungnya isu itu segera tertutupi pernyataan Donald Trump tentang Jerussalem dan pergantian Panglima TNI. Bersyukurlah kawan.