Minggu, 20 November 2011

Kepala Daerah Minimal S1

|0 komentar
Membandingkan Efektifitas Draft RUU Pilkada Versi Pemerintah (3)
Sambungan

Sebagai gambaran, 7 kabupaten/kota se eks Karesidenan Surakarta dipimpin oleh kepala daerah berlatar belakang S1 namun kenapa tingkat kemajuan daerah bisa berbeda? Artinya faktor tingkat pendidikan tidak cukup berpengaruh dalam kepemimpinan. Apalagi sistem pendidikan di Indonesia masih banyak yang dipertanyakan. Jokowi (Walikota Solo) latar belakang pendidikannya adalah Kehutanan namun dia mampu mengelola kota dengan lebih baik. Bagaimana korelasi materi kuliah kehutanan dengan kepemimpinan daerah?

Terakhir soal kedelapan yakni mengenai pembiayaan Pilkada yang bersumber dari APBD. Sudah banyak yang mengupas anggaran daerah kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan saja sudah pontang panting. Apalagi trend 2 tahun belakangan, Dana Alokasi Umum tak cukup lagi untuk membayar gaji pegawai dan harus mengurangi alokasi belanja modal serta belanja barang dan jasa. Bila harus ada penganggaran untuk penyelenggaraan pilkada, apa tidak semakin bangkrut? Belum lagi periode Pilkada adalah proses rutin lima tahunan.

Sudah sepantasnya biaya penyelenggaraan Pilkada disediakan oleh pemerintah pusat dengan pengajuan dari Pemda atas usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah. Pemerintah pusat juga dapat mengontrol penggunaan dana ini. Sudah banyak kasus penyelewengan dana Pilkada yang justru untuk memobilisasi calon incumbent. Beredarnya video mobilisasi kepala instansi di Propinsi Banten untuk memenangkan Atut Chosiyah-Rano Karno semakin menunjukkan tingkat kerawanan itu. Pemetaan daerah-daerah penyelenggara pilkada bisa dilakukan jauh-jauh hari oleh Kemendagri bersama Kemenkeu sehingga bisa diprediksi kebutuhannya.

Pemungutan Suara Saat Pemilu Legislatif 2009 Lalu
 Partai politik yang memiliki wakil di DPR sebaiknya menyiapkan konsep tandingan untuk membahas hal ini. Jangan hanya semata mengkalkulasi kepentingan golongan saja namun lebih melihat tingkat efektifitas dan efisiensi keluaran Undang-undang. Argumentasi yang dijadikan rujukan tidak hanya berbasis pada strategi memenangkan jago di daerah namun lebih pada produk pilkada yang berdampak luas di masyarakat. Mereka harus memiliki kajian, analisa dan data konkrit bagaimana dua periode Pilkada (dipilih DPRD dan dipilih rakyat) yang sudah dilakukan.

Walaupun masyarakat mengerti selama ini partai politik jarang melakukan penelitian kualitatif, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Misalnya meminta masukan dari asosiasi pemerintah daerah (Apkasi, Apeksi, Adeksi, APPSI), peneliti, perguruan tinggi, LSM dan banyak elemen lain. Masyarakat juga tak perlu menunggu pembahasan di DPR dan segera mengorganisasikan diri mengkritisi draft tersebut. Agar keluaran produk ini menguntungkan semua pihak. Kebiasaan mengubah kebijakan yang cepat (kurang dari 10 tahun) harus diubah. Pengubahan kebijakan semestinya tidak hanya mengandalkan argumentasi yuridis, filosofis dan sosiologis (seperti amanat UU No 10 Tahun 2004) tetapi juga berdasar kajian atau penelitian atas pelaksanaan kebijakan yang dirubah.

Terakhir, penulis berharap tim Panja RUU Pilkada saat membahas benar-benar menggunakan hati nuraninya. Mendengarkan dengan hati, melihat dengan jeli dan menyuarakan yang hakiki supaya hasil yang diperoleh mampu menjawab persoalan dengan tepat. Kita semua perlu melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung. Langsung dengan hadir saat pembahasan atau membuat koalisi dan tidak langsung bisa dilakukan dengan mengirim surat, email, mengadakan diskusi di daerah dan banyak cara lain.

Kepala Daerah Dan Wakil Tak Satu Paket

|0 komentar
Membandingkan Efektifitas Draft RUU Pilkada Versi Pemerintah (2)
Sambungan

Point kedua yakni pengajuan calon kepala daerah propinsi akan kembali dicalonkan oleh fraksi. Artinya calon independen tak lagi diakomodir meski Mahkamah Konstitusi jelas-jelas menyatakan membolehkan dengan dasar melanggar HAM. Mengembalikan pemilihan kepada wakil rakyat tak menjamin ada perubahan signifikan terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Maka dari itu, strategi paling jitu menata propinsi adalah sebagai fungsi koordinatif dari tingkat kabupaten/kota. Bila demikian maka tak perlu ada wakil rakyat dan dinas/badan/kantor. Gubernur cukup ditunjang oleh sekretariat daerah.

Sementara untuk pemilihan bupati/walikota tetap dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai soal ketiga. Terkait hal ini, draft RUU Pilkada pemerintah rupanya menghindari serangan dari wakil rakyat dipusat. Diluar itu, menetapkan pemilihan kepala daerah tingkat II langsung oleh rakyat patut dihargai supaya kepentingan atau suara rakyat tidak tersandera kepentingan politik. Walaupun ada PR bagaimana membangun strategi agar tidak ada kongkalikong kepala daerah dengan DPRD  itu yang harus dipikirkan kembali. Calon independent bupati/walikota juga masih diakomodir dalam draft tersebut.

Kampanye Salah Satu Parpol


Yang diprediksi akan menjadi perdebatan panjang yakni masalah ke empat yaitu mengenai wakil kepala daerah yang tidak satu paket dengan kepala daerah. Usulan ini akan banyak menuai kritik oleh partai politik. Bagaimana kepala daerah dengan wakilnya tidak satu paket padahal mereka harus bisa kerjasama. Alasan yang diajukan pemerintah supaya tidak ada politisasi birokrasi. Faktanya selama ini banyak daerah yang tidak melibatkan birokrasi dalam menjalankan pemerintahan meski kepala daerah berasal dari parpol.

Justru pengajuan tidak satu paket akan malah menimbulkan dualisme kepemimpinan. Apalagi latar belakang wakil kepala daerah yakni dari birokrasi yang sudah mapan dari level eselon (sebagai masalah ke lima). Pertanyaannya kalau tidak ada yang cocok, apakah harus dipaksakan? Apakah bisa mengambil birokrat dari tempat/wilayah lain? Bila jawabannya bisa, bukankah bisa menimbulkan kecemburuan pejabat yang eselonnya sudah sesuai syarat tetapi tidak dicalonkan. Penentangan ini dapat berdampak memacetkan roda birokrasi yang berakibat pada pelayanan publik tidak optimal.

Soal keenam yakni dengan beberapa indikator dimungkinkan satu daerah ada lebih dari satu wakil kepala daerah. Sungguh menjadi usulan yang kian tak jelas argumentasinya. Saat ini kepala daerah dengan satu wakil saja kadang bisa macet apalagi lebih dari satu wakil. Lihat perjalanan Bupati Untung Wiyono sebagai Bupati Sragen periode 2001-2006 dan 2006-2010. Selama dua periode itu nyaris hanya 3 tahun saja kemesraan Untung dengan Agus Fatkhurrahman yang kini justru menggantikan Untung. Disisi lain, pejabat tertinggi birokrasi di daerah sudah dijabat oleh Sekretaris Daerah dan diharapkan menjadi implementator dari kebijakan-kebijakan kepala daerah.

Potensi-potensi konflik Sekda dengan wakil kepala daerah yang berasal dari birokrasi akan jauh lebih komplek. Mestinya pemerintah pusat melalui Kemendagri sudah sangat faham dengan hal ini dan bukan malah membuka peluang konflik baru. Kemudian masalah ketujuh adalah pendidikan calon kepala daerah setingkat strata 1 atau sarjana. Dalam regulasi sebelumnya, pendidikan calon kepala daerah memang hanya SMA. Kemungkinan hal ini dipengaruhi faktor syarat pendidikan calon presiden yang hanya SMA. Masih sebegitu pentingkah latar belakang pendidikan dibandingkan soal-soal lain?

Sampai sekarang tak jelas juga apa argumentasi mengenai latar belakang pendidikan sebagai sebuah syarat kepala daerah. Bukannya malah mempertajam pentingnya pengalaman kepemimpinan calon. Hingga saat ini penulis belum pernah membaca ada tidak penelitian tentang pengaruh tingkat pendidikan kepala daerah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara kasat mata akan dijawab tidak akan berpengaruh karena memimpin sebuah daerah lebih kepada rasa memiliki kepedulian, empati, tanggungjawab dan profesionalitas.

Bersambung

Pemerintah Ajukan Draft RUU Pilkada

|0 komentar
Membandingkan Efektifitas Draft RUU Pilkada Versi Pemerintah (1)

Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) merupakan salah satu tahapan proses demokrasi di Indonesia yang bisa dikategorikan dalam perwujudan demokrasi langsung. Pemilihan ini selalu menarik diikuti dan melibatkan sisi psikologis masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia sudah merasakan bahwa kepala daerah mampu mempengaruhi kondisi kehidupan di daerah. Yang menarik dicermati adalah pemilihan kepala daerah tingkat II atau kabupaten/kota. Sedangkan pilkada propinsi kurang banyak diminati baik prosesnya maupun hasilnya karena tidak berimbas langsung pada kehidupan masyarakat.

Meski dalam kurun waktu 12 tahun pasca reformasi, ternyata tidak banyak pengaruh signifikan perubahan sistem atas pemilihan kepala daerah namun tetap memiliki magnet tersendiri. Hal ini sering dikaitkan dengan proses kemenangan sebuah partai dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) atau Pemilihan Legislatif (Pileg) ditingkat nasional dan daerah dibandingkan dengan hasil pilkada. Tidak jarang kemenangan parpol dalam pilpres maupun pileg tidak menjamin suksesnya parpol tersebut dalam pilkada. Hal ini bisa diindikasikan tingkat kesadaran masyarakat cukup tinggi.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil pilkada berbeda dengan pemilihan lain. Tingkat partisipasi tiga pemilihan itu juga cukup berbeda alias tidak bisa jadi ukuran. Salah satu faktor penting kemenangan sebuah parpol dalam Pilkada yakni calon kepala daerah yang diajukan. Tidak selalu calon incumbent (calon yang masih menjabat), istri, anak atau calon dari Parpol pemenang Pilpres/Pilkada akan otomatis menang. Faktanya banyak Pilkada dimenangkan diluar kategori tersebut bahkan justru calon independen yang menang (Baca Jabatan Kepala Daerah Bukan Warisan)

Usulan Atas Draft RUU Pilkada Versi Pemerintah
Sistem pemilihan kepala daerah sendiri sudah mengalami transformasi dari yang semula dipilih oleh DPRD (sejak sebelum tahun 2004), kini pilkada dilaksanakan secara langsung . Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi maka pilkada sejak tahun 2005 dilaksanakan secara langsung bukan melalui DPRD. Hal ini kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilu Nomor 22 Tahun 2007. Dengan keluarnya regulasi ini setidaknya Parpol tidak bisa main-main mengajukan calon agar tidak menanggung malu dikemudian hari.

Perubahan sistem pemilihan dari DPRD kepada pemilihan langsung oleh rakyat bukannya tanpa hambatan. Yang paling besar dampaknya adalah adanya konsekuensi penyediaan anggaran yang sangat besar untuk tiap penyelenggaraan Pilkada. Meski sejak Tahun 2005 penyelenggaraan Pilkada secara langsung, rupanya hasil dari model ini masih tak jauh berbeda dengan pola lama (dipilih DPRD). Masyarakat tetap tersandera oleh kepala daerah yang tetap saja berkompromi dengan DPRD. Bagaimana tidak tersandera apabila laporan pertanggungjawaban kepala daerah masih melalui legislatif sebagai wujud perwakilan rakyat.

Kebijakan pemilihan kepala daerah sejak jaman orde baru sering berada satu paket dengan regulasi tentang pemerintah daerah. Padahal idealnya pemilihan kepala daerah dapat disatukan dengan pemilihan umum dengan argumentasi pola pelaksanaannya yang memang sebangun. Dalam UU No 22 Tahun 2009 dan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, klausul tentang hal ini (Pilkada) masih menjadi bagian didalamnya. Bukannya di analisis secara matang dan dibedah persoalannya dengan lebih hati-hati, kini pemerintah mengajukan draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum yang beberapa diantaranya justru kembali pada model lama.

Seperti yang tertuang dalam draft ajuan dari pemerintah, setidaknya ada 8 point yang akan dikupas tulisan ini. Pertama tentang pemilihan gubernur yang akan dikembalikan lagi menjadi kewenangan DPRD Propinsi untuk memilihnya. Klausul ini seperti yang dulu sudah ada di UU No 22 Tahun 1999 dan kemudian sejak putusan MK mulai Juni 2005 pemilihan gubernur dilakukan secara langsung. Posisi gubernur sebagai kepala daerah otonom yang justru sebaiknya dikaji sehingga kemudian diubah menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Kalau alasan pengembalian pemilihan ke DPRD soal biaya tentu mengubah propinsi seperti “kecamatan” yang hanya kepanjangan tangan pemerintah pusat akan jauh lebih efisien (baca Posisi Propinsi)

Bersambung

Jumat, 18 November 2011

Fakta Tentang Transparansi APBD Pada Web Pemda

|0 komentar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau disebut APBD merupakan Rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama antara Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dokumen ini menjadi dokumen penting bagi masyarakat sebuah wilayah. Kenapa? karena data yang disajikan menunjukkan arah pembangunan kepala daerah yang dijabarkan dalam program dan kegiatan.

Dengan majunya teknologi, maka Pemda tak perlu lagi harus mencetak dan menyebarkan APBD pada masyarakat luas yang membutuhkan waktu dan biaya tak sedikit. Masyarakat berhak tahu atas informasi itu agar pembangunan yang direncanakan bisa tepat sasaran dan memenuhi rencana pembangunan yang telah disusun. Beberapa regulasi juga mengamanatkan agar APBD dapat disosialisasikan atau dibuat transparan. Harapannya masyarakat tahu kegiatan apa yang bakal dilaksanakan.

Bahkan dalam regulasi Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah pasal 6 menyebutkan "Penyampaian Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dilakukan secara berkala melalui dokumen tertulis atau media lainnya". Artinya menyebarkan informasi ini merupakan kewajiban Pemda. Meski masyarakat belum banyak yang tahu atau belum bisa membaca dokumen anggaran, pasal ini menafikkan hal tersebut.


Kemudian pasal 12 ayat (e) tertulis "menyajikan informasi keuangan daerah secara terbuka ke masyarakat". Klausul ini mendorong Pemda supaya tidak menutupi informasi terutama yang berkaitan dengan kegiatan yang berdampak pada masyarakat. Berangkat dari 2 klausul ini, mari kita coba cek apakah Pemda Se Soloraya (6 kabupaten dan 1 kota) telah memenuhi perintah PP No 56 Tahun 2005 tersebut? Pengecekan hanya dilakukan ke website milik masing-masing Pemda.

Untuk Kabupaten Klaten, mencari informasi Ringkasan APBD tahun berjalan cukup rumit. Bahkan beberapa kali penulis mencoba melacak di mana APBD itu "disimpan" pada web mereka. Ternyata hingga tulisan ini dibuat, penulis tak cukup bisa menemukan hal itu. Kemudian Kabupaten Boyolali, menampilkan IPPD atau Informasi Penyelenggaraan Pemerintah hingga tahun terbaru (2010). Di halaman muka website Pemda, dengan mudah kita menemukannya.

Bagaimana dengan data APBD, bagi yang tidak telaten atau jeli tidak akan menemukannya karena data itu dimasukkan ke bidang Produk Hukum. Rupanya informasi ringkasan APBD dianggap masuk wilayah hukum karena landasannya Perda. Pemerintah Sragen sepertinya juga tidak menampilkan tentang Ringkasan APBD namun hanya memasukkan ILPPD (Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Data ini dikategorikan sebagai informasi penting.

Selanjutnya untuk Wonogiri tak tampak dihalaman muka dan harus masuk ke menu download. Setelah masuk maka akan terlihat tidak hanya ILPPD tetapi juga Ringkasan APBD. Kabupaten Sukoharjo, menempatkan ringkasan APBD pada menu keuangan. Menu ini ada dilayar muka sehingga kita mudah melacaknya. Data yang ditampilkan cukup lengkap karena mulai dari tahun 2006 hingga 2011 kecuali tahun 2009 yang entah menghilang kemana.

Di website Kabupaten Karanganyar, data APBD sulit ditemukan oleh penulis. Tampilan media itu juga agak ramai sehingga kebingungan melacak data anggaran yang dibutuhkan. Kota Surakarta menampilkan data APBD Perubahan di menu Informasi Surakarta. Meski terkesan janggal namun setidaknya ada penyampaian data APBD sementara data ILPPD tidak ditemukan.

Sayangnya 7 Pemda itu hanya menyampaikan ringkasan APBD dan bukan rincian. Padahal rincian APBD justru jauh lebih penting dengan harapan masyarakat bila membutuhkan informasi kegiatan apa yang bisa diakses atau penggunaan anggaran yang lebih tepat sasaran. Ke depan, Pemda harus mulai menampilkan data secara lengkap. Tidak boleh beralasan file terlalu besar sebab menampilkan foto maupun video ukurannya juga besar.

Senin, 14 November 2011

Moratorium PNS Harus Konsisten

|0 komentar
Keluarnya Keputusan MenPAN Nomor KEP.75/M.PAN/7/2004 tentang pedoman penghitungan kebutuhan pegawai berdasarkan beban kerja dalam rangka penyusunan formasi PNS patut kita apresiasi. Hal ini menandakan upaya serius pemerintah untuk melakukan pengadaan pegawai berdasarkan kebutuhan. Tidak seperti selama ini yang terjadi, kabupaten, kota maupun propinsi rutin mengadakan pengadaan tanpa disertai dengan peta kepemilikan PNS yang sudah ada.

Oleh sebab itu tak aneh bila pada tahun-tahun sebelumnya rekrutmen PNS selalu dalam jumlah yang besar. Disisi lain, penempatan PNS yang tidak sesuai dengan latar belakang, kapasitas/kemampuan serta keseimbangan beban kerja menambah banyak kekosongan yang ada. Belum lagi tiap tahun banyak pegawai memasuki masa persiapan pensiun dan pensiun. Otomatis kondisi ini dimanfaatkan daerah untuk meminta tambahan pegawai. Dampaknya anggaran yang diperlukan juga bertambah besar.

Padahal bila kita lihat, banyak pegawai di daerah bekerja secara musiman. Musim perencanaan pada awal tahun, musim implementasi dan musim pertanggungjawaban merupakan musim dimana para birokrat terlihat sibuk luar biasa. Musim perencanaan dapat kita lihat pada bulan Februari-Maret, musim implementasi pada kurun waktu Juni-Agustus dan musim pertanggungjawaban pada bulan Desember-Januari. Diluar 7 bulan itu biasanya banyak yang "menganggur".

PNS dalam sebuah acara seminar
Coba saja anda cek dengan datang ke sebuah instansi pada bulan April-Mei dan September-November. Banyak pegawai nongkrong di kantin, maen game di komputer, baca koran atau bahkan ke mall. Kesibukan yang terus terjadi tiap bulan hanya dialami oleh SKPD pelayan publik seperti di Puskesmas, Rumah Sakit, Sekolah, Kelurahan, Kecamatan dan KPPT (Kantor Pelayanan Publik Terpadu). Ditiap instansi yang juga selalu memiliki pekerjaan biasanya bagian administrasi dan keuangan.

Keluarnya kebijakan moratorium PNS (kecuali untuk guru, tenaga kesehatan dan tenaga teknis yang diperlukan) oleh Pemerintah mengandung makna yang strategis. Apalagi moratorium itu berlaku sejak 1 September 2011 hingga 1 Desember 2012. Penerimaan PNS harus dimaknai sebagai kegiatan yang benar-benar dibutuhkan untuk mendukung kinerja bagi kesejahteraan rakyat. Keluarnya KepmenPAN diatas menjadikan daerah tidak asal-asalan mengajukan kebutuhan pegawai dengan alasan kekurangan.

Sekarang ini pemerintah pusat meminta daerah yang akan mengajukan permohonan pegawai harus menyertakan analisis kebutuhan pegawai sesuai KepmenPAN tersebut. Hingga 25 Oktober 2011, sudah ada 97 kabupaten/kota yang mengajukan kebutuhan PNS dari 22 propinsi. Sementara 11 Propinsi yakni Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Bangka Belitung, Jawa Barat, DKI, Kalsel, Kalteng, Kaltim dan Maluuku Utara. Bahkan Sulawesi Selatan semua kabupaten/kota sudah melaporkan kebutuhan pegawai.

Ternyata dari 97 wilayah yang mengajukan pengadaan PNS tak ada satupun yang melampirkan analisa beban kerja dalam rangka penyusunan beban kerja pegawai seperti yang diamanatkan dalam regulasi Daerah Tak Lampirkan Analisa Jabatan Dan Beban Kerja. Apakah dengan kondisi demikian Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (KemenPAN) serta Badan Kepegawaian Nasional (BKN) bisa konsisten dengan kebijakan moratorium?

Banyak daerah yang memiliki jumlah pegawai tidak tetap yang jumlahnya ribuan. Mereka hanya mengandalkan surat keputusan kepala daerah atau bahkan kepala dinas bersangkutan sehingga tidak menjamin diangkat menjadi PNS. Gaji yang mereka terima pun sangat kecil. Beberapa wilayah bahkan bermasalah dengan para honorer tersebut hingga berlanjut ke pengadilan. Sebut salah satu contohnya Tenaga Tidak Tetap Daerah (T3D) di Kutai Kartanegara Kaltim.

Jika pemerintah benar-benar ingin mengoptimalkan kinerja, lebih baik keputusan moratorium diperpanjang. Berdayakan birokrasi yang sudah ada dan kemampuannya ditingkatkan karena anggaran untuk mereka sudah besar. Gaji yang diterima juga bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kebijakan moratorium ini pasti didukung oleh rakyat apalagi ditambah dengan moratorium kenaikan gaji untuk tahun 2013 sehingga kenaikan APBN difokuskan untuk program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Rabu, 09 November 2011

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tak Kunjung Membaik

|0 komentar
Mendiskusikan korupsi di Indonesia tak akan pernah tuntas. Meski sudah dinyatakan sebagai extra ordinary crime namun kenyataannya tak kunjung menyusut. Beberapa pengamat malah menyatakan secara kuantitas memang berkurang tetapi secara kualitas meningkat. Maksudnya jumlah pelaku korupsi berkurang tetapi jumlah nominal yang dikorupsi justru bertambah besar. Penulis tak yakin atas pernyataan ini karena fakta membuktikan jumlah pelaku korupsi tetap banyak.

Korupsi yang termasuk didalamnya suap, tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang berniat ikut lelang proyek pemerintah namun juga pejabat bersangkutan. Sudah berapa mentri yang divonis menjadi terpidana korupsi, berapa gubernur, bupati, walikota, dirjen, anggota DPR, DPRD dan lainnya. Masyarakat selama ini hanya bisa mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berharap pada Kepolisian atau Kejaksaan sering malah mengecewakan.

Sayangnya serangan kepada KPK justru malah meningkat pesat. Ada yang usul wewenangnya dibatasi, anggaran dikurangi hingga Marzuki Ali (Ketua DPR) mengusulkan supaya lembaga KPK dibubarkan saja. Sebuah usul yang tidak jelas dan ngawur argumentasinya meski dia sudah menjelaskan, tetap saja alasannya sulit diterima. Ada lelucon ironi soal korupsi di Indonesia, bila jaman orde baru korupsi itu dibawah meja namun kini mejanya bahkan ikut dikorupsi.

Tersangka Koruptor Yang Dibebaskan
Pengadilan Tipikor Daerah

Beberapa terpidana korupsi bahkan menikmati remisi atau koruptor kakap seperti Gayus masih saja bisa menyuap dari dalam sel. Yang disuap tidak tanggung-tanggung, yaitu petugas penjaga tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua Jakarta. Kejadian ini menciderai rasa keadilan masyarakat. Maka dari itu, kini muncul tuntutan agar ada moratorium remisi bagi koruptor dan teroris. Pihak-pihak yang tidak sepakat beralasan hal itu melanggar HAM. Tidakkah mereka berpikir bahwa tindakan mereka mengkorupsi uang rakyat itu melanggar HAM juga dan korbannya jauh lebih banyak.

Keseriusan KPK mengungkap kasus-kasus korupsi mengakibatkan jumlah perkara menjadi banyak. Hal ini mendorong dibentuknya pengadilan Tindak Perkara Korupsi di daerah karena pengadilan Tipikor di Jakarta sudah overload kasus. Adapun hakimnya diambil dari hakim karir maupun non karir seperti advokat maupun akademisi. Ternyata, hingga November ini sudah ada 40 tersangka koruptor dibebaskan pengadilan Tipikor daerah. Sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Tipikor saat masih ada di Jakarta saja. Mereka yang disidangkan sudah pasti di vonis bersalah.

Kini serangan kembali mengarah ke KPK untuk membubarkan Tipikor daerah. Rupanya tindakan pelemahan pemberantasan korupsi tak pernah padam. Koruptor-koruptor itu masih bergerak, menyusun strategi, memainkan peran supaya penyidikan korupsi oleh KPK bisa dilemahkan. Konsolidasi mereka cukup intens dan memainkan peran penting hingga Ketua MK, Prof Muhammad Mahfudz MD mengusulkan pembubaran pengadilan Tipikor Daerah. Penulis memahami pernyataan Ketua MK sebagai nyanyian yang terbawa arus permainan pelaku koruptor.



Mempercayakan pengadilan koruptor pada pengadilan negeri atau tinggi sama saja menyerahkan persoalan bukan pada ahlinya. Akibatnya Mardijo (Mantan Ketua DPRD Propinsi Jateng) yang disidang dengan dakwaan korupsi diputus hukuman percobaan. Beberapa pengadilan negeri dan tinggi juga hanya menghukum
terdakwa dengan hukuman penggantian uang korupsi. Sebut saja Pengadilan Negeri Surakarta dan Sukoharjo.

Kita harusnya sadar, akibat permisifnya masyarakat atas perilaku korup mengakibatkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tak beranjak membaik. Bahkan IPK Indonesia belum pernah masuk urutan 100 negara dari 133 negara lain yang diteliti. Masuk diatas urutan 100 karena negara yang diteliti dibawah 100 atau posisi ke 96 negara dari 102 negara. Itupun sudah tahun 2002 atau sembilan tahun yang lalu. Nilai IPK tak pernah mencapai angka 3 untuk rentang 0 - 10 dengan penjelasan nilai 0 sangat korup dan nilai 10 paling bersih dari perkara korupsi.

Jargon pemberantasan korupsi yang didengung-dengungkan SBY selaku presiden tak berjalan efektif. Bahkan Bendahara Parta Demokrat (saat itu), M Nazarudin malah melakukan tindak pidana korupsi untuk proyek wisma atlet penyelenggaraan Sea Games Tahun 2011 ini. Sebaiknya segera ambil tindakan agar ke depan anak cucu kita tidak mengalami hal yang sama. Hukum koruptor dengan hukuman maksimal supaya para pelaku tersebut atau orang yang mau korupsi tidak akan berani. Tidak usah sampai hukum mati, tapi hukum koruptor dengan kemiskinan itu saja.

Anggaran Pendidikan 20 Persen Tapi Hasilnya Mengecewakan

|0 komentar
Meski Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan kewajiban anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN maupun APBD sejak tahun 2005, kenyataan dilapangan justru sebaliknya. Sulit menyatakan pendidikan di Indonesia 5 tahun sejak dikeluarkannya aturan tersebut dampaknya bisa dinikmati masyarakat. Justru kini banyak muncul masalah baik infrastruktur, menejemen maupun keluaran pendidikan. Rupanya penetapan anggaran 20 persen tak diimbangi dengan keseriusan pemerintah membenahi pendidikan.

Banyak hal yang bisa dipotret atas kondisi pendidikan kekinian baik di Jawa apalagi di luar Jawa yang kondisi geografisnya sangat mempengaruhi. Meski ada beberapa keberhasilan pendidikan (sebut saja kejuaraan olimpiade sains yang selalu mendapat emas diluar negeri) tetapi masalah-masalah pendidikan hampir rutin menjadi berita rutin di media massa kita. Hal ini tak bisa dibiarkan dan harus menjadi kewajiban bersama menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.

Gedung roboh, anak drop out, perkelahian pelajar, sertifikasi guru, sekolah mahal, kekerasan guru dan masih banyak yang lainnya masalah dibidang pendidikan. Padahal sesuai amanat UUD 45 pasal 31 sudah mewajibkan anggaran pendidikan 20 persen. Sertifikasi guru kenyataannya tak banyak membantu keluaran pendidikan lebih memuaskan. Problem bidang pendidikan bisa diibaratkan seperti mengurai benang kusut atau lingkaran setan yang terus saja memutar.


Kementrian Pendidikan Nasional sendiri malah berkutat dengan perubahan nama dari Departemen Pendidikan Nasional, Kementrian Pendidikan Nasional hingga kini kembali bernama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Perubahan itu membawa banyak konsekuensi yang mengakibatkan tingkat perhatian pendidikan terutama proses belajar mengajar seakan stagnan dan tak beranjak dari masalah-masalah klasik. Yang menyedihkan lagi, problem itu menghinggapi Kemendikbud pusat hingga ke daerah.

Alokasi anggaran yang besar ternyata tak berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Posisi IPM Indonesia terus saja berada di level yang rendah dibandingkan negara lain. Berdasarkan data Kementrian Keuangan Tahun 2008, anggaran Pendidikan dialokasikan sebesar Rp 154,2 T. Anggaran ini tersebar dibeberapa kementrian, tidak hanya Kemdikbud. Saat itu IPM Indonesia 0,598 atau berada di urutan 107 dari 177 negara. Tahun 2009 anggaran melonjak menjadi Rp 208,3 T, IPM pun terdongkrak menjadi 0,607 tetapi posisi Indonesia di dunia turun ke posisi 111 dari 182 negara.

Artinya negara lain nilai IPMnya bergerak naik lebih baik sehingga posisi Indonesia justru malah melorot. Tahun 2010, anggaran pendidikan mencapai Rp 225,2 T dan IPM menjadi 0,613. Hal ini memperbaiki posisi IPM didunia menjadi urutan 108 dari 169 negara. Tahun ini alokasi pendidikan menjadi Rp 249 T dan menambah IPM ke 0,617 namun sayangnya urutan Indonesia justru terburuk dalam 4 tahun terakhir alias menempati posisi 124 dari 189 negara.


Melihat hal ini, harusnya pemerintah mengevaluai berbagai kebijakan dibidang pendidikan. Terutama Rencana Strategis (Renstra) Kemdikbud yang telah tersusun, apakah mampu menjawab problem-problem utama atau hanya menangani masalah-masalah pinggiran saja. Kalau mau jujur, banyak kebijakan Kemdikbud yang memang layak dievaluasi atau diganti dengan kebijakan lain yang strategis. Agar roadmap pendidikan kita berada pada jalur yang benar.

Sebut saja program Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang minim pemberitaan namun anggarannya besar. Atau Bantuan Sosial yang tak tepat dikelola oleh kementrian. Juga alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan, Sekolah Bertaraf Internasional yang lebih sering diplesetkan menjadi sekolah bertarif internasional, penyelenggaraan Ujian Nasional dan banyak lagi. Lihatlah kondisi dilapangan dari Sabang hingga Merauke.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan selayaknya fokus pada kebijakan-kebijakan strategis saja dan tak menangani hal teknis seperti BOS, DAK, dan Bansos. Serahkan dana-dana itu langsung ke daerah dan monitoring serta evaluasi pelaksanaannya. Badan Litbang kementrian juga harus menjadi ujung tombak dalam melakukan evaluasi kebijakan yang ada. Jadi hal-hal teknis tidak lagi menjadi urusan kementrian. Hingga tahun 2011, kementrian masih saja menerima proposal pengajuan Bansos dan itu membuat mereka sibuk dalam urusan teknis semata.

Jika urusan-urusan teknis ini tak segera dilimpahkan ke daerah, jangan pernah berharap IPM Indonesia secara prosentase naik signifikan apalagi urutan Indonesia pada IPM dunia akan melonjak. Ranah kementrian idealnya hanya pada policy, monitoring dan evaluasi. Beri reward daerah-daerah yang mampu mengatasi pendidikan secara strategis dan beri punishment daerah yang malah memperburuk kondisi pendidikannya. Dengan hal ini maka daerah akan berlomba membenahi sistem dan proses penyelanggaraan pendidikannya.

Sabtu, 05 November 2011

Libatkan Warga Dalam Penataan Taman

|0 komentar
Polemik Penataan Taman Di Solo (2)

Strategi yang harus dilakukan walikota supaya taman tetap terjaga dan biaya tidak semakin besar dari tahun ke tahun yakni melibatkan masyarakat. Ada 4 langkah yang perlu ditempuh Jokowi untuk pelibatan publik dalam penataan taman. Pertama, petakan secara jelas lokasi yang cocok menjadi taman kota baik dalam kerangka perwujudan 30 persen ruang terbuka hijau maupun aspek estetika kota. Tindakan ini untuk menjaga agar taman tetap terawat tidak hanya sebatas proyek seperti kondisi taman sekartaji depan terminal Tirtonadi.

Kedua, libatkan publik dalam pembuatan taman. Artinya tidak hanya memberi stimulan namun rangsang dengan pengadaan lomba keindahan dan perawatan taman. Lomba diadakan dengan penilaian pembuatan dan perawatannya agar masyarakat senantiasa menjaganya. Lomba bisa dibagi untuk 2 kategori yakni taman yang dibuat masyarakat dan taman yang dibuat oleh perusahaan. Pengusaha juga harus dilibatkan dalam program ini seperti ketika Pemkot melibatkan mereka dalam pembuatan selter PKL, Pengecatan becak atau penyelenggaraan event.

Ketiga, perlu langkah strategis agar taman kota bisa terjaga meski banyak karnaval di Solo. Selama ini banyak anggaran percuma karena taman terinjak-injak warga yang melihat pawai entah perayaan kota, peringatan hari nasional atau event budaya. Kebiasaan ini mengakibatkan masyarakat diajari tidak bertanggungjawab. Diatas sudah dijelaskan tentang visi eco cultural city dan tentu tindakan atau kegiatan pemda dan masyarakat harus mencerminkan hal itu.


Taman di jalan protokol (jalan Slamet Riyadi)

Keempat, dorong para pemilik tanah kosong yang tidak dimanfaatkan untuk membuat taman. Bila perlu keluarkan perwali soal ini. Penulis pikir tidak menyalahi aturan yang ada karena justru akan lebih mempercepat ruang terbuka hijau yang ada di kota. Bayangkan berapa luas kawasan Benteng Vastenburg, Lahan depan (utara) Solo Center Point dan beberapa lokasi lain yang tidak dikelola dengan baik yang malah menimbulkan kesan kotor bahkan menyeramkan.

Dalam beberapa program, Jokowi sudah melatih masyarakat terlibat di kegiatan kota seperti Car Free Day, Solo Batik Carnival dan ajang lainnya. Sudah saatnya pelibatan masyarakat tidak hanya dalam kegiatan insidental namun konteks jangka panjang yang sifatnya strategis. Libatkan para perencana tata ruang, ahli lingkungan, ahli tata kota dan pihak yang berkaitan dengan itu. Supaya keberadaan taman tidak hanya indah dipandang mata namun memenuhi aspek lainnya juga.

Masyarakat juga perlu menyampaikan gagasan brilian terutama yang memang ahli dibidang yang disebut diatas untuk memberi masukan. Komunikasi dua arah yang selama ini sudah dibangun walikota bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kota yang lebih alami dan hijau. Pembatasan ijin pendirian mall memberi peluang masyarakat semakin banyak membuka kawasan hijau yang indah dan asri.

Lokasi yang selama ini sudah banyak pohonnya seperti jalan Adi Sutjipto, DR Rajiman dan Slamet Riyadi perlu dipertahankan. Sementara jalur yang belum banyak pepohonannya seperti jalan Ahmad Yani,  DR Moewardi dan kawasan lain perlu diberi tumbuhan. Semakin tahun pertumbuhan kendaraan begitu pesat sedang kawasan hijau justru kebalikannya alias menyusut. Kalau dibiarkan yang rugi adalah masyarakat sendiri sehingga penataan kota yang teduh dan banyak menyimpan oksigen bagus bagi perkembangan jasmani dan rohani warga kota.

Besarnya Anggaran Taman Di Kota Solo

|0 komentar
Polemik Penataan Taman Di Solo (1)
Solo dibawah kepemimpinan Ir Joko Widodo berkomitmen mewujudkan kota dalam kebun atau Solo Eco Cultural City. Atau bisa bermakna pengembangan kota hijau yang berlandaskan budaya. Secara teknis diwujudkan dalam beberapa program penambahan ruang terbuka hijau baik dilokasi perkantoran, sekolah atau lahan-lahan kosong. Lahan terbuka hijau saat Jokowi menjabat baru 14 persen dan diupayakan menjadi 30persen sesuai peraturan perundang-undangan.

Maka takheran dibeberapa wilayah Solo sekarang terus digalakkan penataan taman-taman dengan leading sektor Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pekerjaan Umum. Anggaran yang digunakan untuk mendukung mimpi Jokowi tidak tanggung-tanggung, mencapai miliaran. Secara fisik kita bisa lihat dibeberapa sudut kota, taman terlihat tertata rapi dan indah apalagi di jalan utama kota yakni jalan Slamet Riyadi.


Sayangnya, disisi lain sang walikota hobi mengadakan karnaval atau parade melewati jalan utama itu. Dapat diprediksi akibatnya terhadap taman kota setelah karnaval banyak pohon di taman yang merana bahkan mati. Otomatis harus diganti lagi karena masih banyak taman yang tak berpagar pengaman seperti yang terletak di depan ruang pamer Batik Danar Hadi.

Berdasarkan pelacakan dokumen APBD Kota Solo Tahun Anggaran 2010 dan 2011, dana untuk Ruang Terbuka Hijau terdapat pula di kelurahan dan kecamatan. Total tahun 2010, anggaran pertamanan mencapai Rp 2 M dan naik 24,85 persen atau menjadi Rp  2,7 M (lihat box). Dalam penelusuran media lokal ternyata pembuatan taman dan perawatannya sedang menjadi topik hangat minggu ini. Penyebabnya karena perusahaan yang disebut mengerjakan pembuatan taman dan perawatan taman ternyata menolak statemen kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Solo.
Taman Sekartadi saat masih baru terlihat terawat

Mereka menegaskan bahwa CV atau PT mereka sama sekali belum pernah menawarkan, ditunjuk apalagi mengelola proyek tersebut. Background perusahaan mereka pun jauh dari wilayah itu.  Polemik ini tentu menurunkan citra Jokowi yang mengusung jargon “Berseri Tanpa Korupsi”. Lantas apa yang perlu dilakukan walikota agar permasalahan ini menjadi clear? Bagaimana supaya budget yang kian tahun makin besar tidak menambah beban APBD?

Terkait masalah siapa yang sebenarnya menjadi rekanan DKP dalam proyek ini, langkah Jokowi sudah tepat yakni meminta inspektorat menyelidikinya. Yang menggelikan justru statemen para pengusaha itu yang awalnya mengaku tidak mengerjakan kini berbalik arah. Ada apa dengan ini semua? Dana yang dikelola DKP sendiri untuk proyek itu lumayan besar yakni Rp 1,2 M tahun 2010 dan meningkat menjadi Rp 1,9 M tahun 2011.

Berubahnya pernyataan para pengusaha itu tentu menimbulkan kecurigaan. Kalau sebelumnya mereka ngotot bahkan ingin menanyakan ke DKP kenapa sekarang justru mereka pasang badan? Proyek ini (sesuai kupasan dimedia) adalah proyek penunjukan yang otomatis pihak yang menunjuk dan yang ditunjuk pasti tahu. Penyidikan masalah ini harus cepat agar tidak banyak dokumen atau data yang hilang dan tiba-tiba muncul.