Jumat, 19 April 2013

Mempertanyakan Affirmative Action Komposisi Caleg Kuota 30 Persen Perempuan

|0 komentar
Kuota 30 persen pada Daftar Calon Legislatif ternyata banyak membuat repot partai politik. Baik Parpol yang sudah besar apalagi parpol baru yang kiprahnya baru dimulai. Mereka kelabakan memenuhi kuota itu. Kenapa demikian? Bukankah partai politik merupakan sebuah sistem yang terus menerus beraktivitas dan tentu memiliki road map yang jelas bagaimana partai berkembang. Idealnya mereka tak akan kekurangan kader untuk memenuhi kuota tersebut.

Ada beberapa faktor yang sangat bisa mempengaruhi kenapa Parpol kesulitan memenuhi kuota 30 persen. Pertama pola pengkaderan di partai politik yang relatif tidak berjalan sebagaimana mestinya. Harusnya pengkaderan terus jalan tidak hanya menjelang pemilu saja. Jarang kita dengar aktivitas parpol selain jelang pemilu, pilkada dan harlah partai. Mereka relatif tidak menjalankan pengkaderan secara jelas, berjenjang dan berkelanjutan.

Mereka berpikir bahwa akan mudah mendapatkan kader-kader perempuan. Ternyata hingga jelang penutupan pendaftaran Caleg banyak pimpinan parpol mengeluh minimnya kader perempuan mereka. Faktor kedua, kinerja partai tak mampu menarik aktivis-aktivis perempuan untuk merapat ke partai mereka. Padahal ada banyak perempuan yang bisa didapat dari ormas maupun kelembagaan yang ada dimasyarakat. Baik ormas keagamaan, sosial, pendidikan dan lainnya.

Di masyarakat mereka bisa mencari misalnya kader PKK, Posyandu, Dharma Wanita atau di Ormas keagamaan parpol bisa mendekati Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah dan berbagai ormas lainnya. Belum lagi banyaknya aktivis LSM yang tersebar diberbagai wilayah. Pendekatan bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya sehingga mereka bisa direkrut. Kinerja partai politik sangat mempengaruhi ketertarikan aktivis perempuan untuk bergabung.

Faktor ketiga, banyak kepengurusan parpol tidak memberi kesetaraan terhadap kader parpol yang perempuan. Memang di level nasional ada Parpol yang dipimpin perempuan, namun di kepengurusan sangat minim kader perempuannya. Disisi lain, banyak perempuan yang aktif di parpol ditempatkan seperti biasa misalnya sekretaris, keuangan, administrasi dan lain sebagainya. Semestinya pemberian peran dan fungsi tidak boleh menjadi sangat diskriminatif.

Pemberian kuota 30 persen perempuan sudah memasuki pemilu ketiga namun tidak ada perubahan signifikan munculnya kader-kader politik yang perempuan. Meski kepengurusan partai menyediakan jabatan khusus tentang bidang pemberdayaan perempuan, nyatanya tak cukup signifikan melakukan pengkaderan secara kontinue. Keempat, persepsi perempuan terhadap politik sepertinya turut berkontribusi pada hal ini. Mainstream ini harus menjadi tantangan bersama.

Harapannya di masa mendatang bukan sekedar akan tersedia kader perempuan berlimpah namun juga diiringi kapasitas politik mereka yang cukup mumpuni. Ketua partai harus berpikir dan bekerja secara keras supaya parpol mampu menjadi magnet bagi orang-orang yang masih menganggap politik itu kotor. Lihat saja berbagai wilayah sangat sulit ditemui Kader Parpol yang menjadi anggota DPRD adalah perempuan. Mencukupi 10 persennya saja kerepotan apalagi 30 persen.

Kamis, 18 April 2013

Karut Marut UN, Bukti Tak Profesionalnya Pengelolaan Pendidikan

|0 komentar
Ujian Nasional sejak pertama kali diluncurkan sudah banyak menimbulkan gelombang protes. Baik sebagai tolok ukur satu-satunya kelulusan hingga menjadi salah satu faktor kelulusan (meski kini tinggal 40 persen). Banyak pihak menolak kebijakan pemerintah baik dalam aspek regulasi maupun implementasinya. Sebab dalam UU Sisdiknas, tak disebutkan UN menjadi bagian evaluasi akhir penentu kelulusan siswa hingga UN membuat tekanan bagi para siswa makin tinggi.

Problem-problem pendidikan terus menerus muncul bahkan membesar walaupun penetapan 20 persen anggaran pendidikan sudah disahkan. Hal ini menandakan bahwa masalah pokok pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan pada anggaran melainkan political will pemegang kebijakan. Ditambah lagi penetapan pengunduran jadual UN SMU dan sederajat di 11 propinsi yang ternyata hingga waktu yang ditetapkan (Kamis 18/4) ada beberapa propinsi keteteran.

Anak adalah harapan masa depan bangsa
Desakan mundur kepada Prof Muhammad Nuh sebagai Mendikbud terus menguat. Meski demikian sang Menteri yang notabene mantan Rektor ITS Surabaya keukeuh bahwa dia memang bertanggungjawab namun tak mau mundur. Argumentasinya, kesalahan tak lancarnya distribusi soal dikarenakan percetakan tidak memenuhi kewajibannya. Padahal dalam penentuan percetakan rakyat apalagi siswa yang menghadapi UN tidak terlibat. Apakah mereka yang tidak terlibat kemudian disuruh menanggung akibatnya?

Bagi 11 Propinsi rencananya Kamis (18/4) menyelenggarakan UN namun di Kaltim kembali ditunda hingga batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini dinyatakan oleh Awang Farouk Ishak dengan argumen belum semua soal UN diterima di 7 kabupaten/kota dari 15 kabupaten/kota. Hal ini menambah beban tekanan yang makin besar bagi para guru, siswa hingga orang tua. Yakin atau tidak, lihat saja hasil UN tingkat SMU sederajat tahun ini bakal mengejutkan.

Dari keterlambatan pendistribusian soal ini lah yang kemudian banyak pihak menuntut mundur pak Nuh sebagai Menteri. Diberbagai kesempatan ketika ditanya wartawan soal ini, beliau menyatakan bertanggungjawab. Masalahnya apa bentuk tanggungjawab itu? Sejak dulu pejabat kita sering bilang bertanggungjawab, nah apa bentuk tanggungjawab itu? Sayangnya keteladanan soal hal ini sangat minim bahkan bisa dibilang langka. Dalam ingatan saya, Mantan Menpora Andi Alfian Malanggeng melakukan aksi nyata bagaimana bertanggungjawab ketika dinyatakan tersangka oleh KPK.

Pada aspek lainnya, kedepan selayaknya setiap presiden terpilih tidak sekedar membuat kontrak dengan calon pembantunya tanpa disertai klasifikasi tanggungjawab. Sehingga ketika muncul masalah-masalah seperti yang dihadapi Mendikbud, Presiden tak perlu menyuruh-nyuruh berhenti. Di Indonesia sikap sungkan dan keteladanan memang harus mulai ditumbuhkan. Budaya malu ketika menjalankan program dan gagal perlu dimulai.


Minggu, 14 April 2013

Semua Cagub Jateng Sudah Melanggar Meski Belum Start Kampanye

|0 komentar
Hingga hari ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jateng belum menetapkan kapan agenda kampanye Pilgub. Sebab Selasa (17/4) baru saja ditetapkan nomor urut tiga Calon Gubernur yakni Hadi Prabowo dan Don Murdono mendapat nomor urut 1, Bibit Waluyo dan Sudijono Sastro Atmojo mendapat nomor urut 2 serta pasangan Ganjar Pranowo - Heru Sujatmiko mendapat nomor urut 3. Sebentar lagi, segala penjuru di Jateng bakal dipenuhi foto 6 orang ini.

Meski belum memulai masa kampanye, mobilisasi sudah terjadi dimana-mana baik yang dilakukan oleh tim sukses maupun oleh cagub-cawagub langsung. Sayangnya mobilisasi yang dilakukan malah melanggar aturan-aturan yang perlu ditaati. Meski ketiga Cagub adalah pejabat negara, rupanya mereka tidak bisa mengkondisikan massanya entah simpatisan atau parpol untuk tidak menggunakan fasilitas negara. Ketiganya segera diperiksa Panwaslu Jateng terkait pelanggaran yang terjadi.

Dalam berbagai media tersebar saat melakukan aktivitasnya mereka secara umum ternyata tidak sedikit yang turut hadir memakai fasilitas negara. Bahkan Cagub incumbent malah menumpang kegiatan atau acara disebuah daerah dengan membagi-bagikan kaos. Hal itu dilakukan Bibit waktu acara Panen Kebun Bibit Sekolah (KBS) dan peresmian Kebun Bibit Tentara (KBT) yang diadakan Pemkab Wonosobo Minggu (24/3) mendadak gubernur hadir.

Kehadirannya difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah dan membagikan kaos bertuliskan "Ojo Lali!!! Bali Ndeso Mbangun Ndeso" yang merupakan slogan Bibit Waluyo. Sebelumnya pada deklarasi Hadi Prabowo - Don Murdono di GOR Jatidiri Semarang juga diwarnai kehadiran mobil berplat merah. Setidaknya ada 48 mobil plat merah dari 17 kabupaten/kota atau separuh jumlah kabupaten/kota yang ada di Jateng. Hadi Prabowo sendiri belum mengajukan pengunduran diri sebagai Sekda Pemprop Jateng.

Demikian pula yang terjadi pada deklarasi pasangan Ganjar - Heru di Solo (14/4) lalu. Paling tidak terdapat 9 mobil plat merah yang terdata Panwaslu di kawasan Manahan, tempat dimana deklarasi dilakukan. Sayangnya kewenangan Panwaslu hanya sebatas memberi teguran bukan tindakan konkrit. Oleh sebab itu masyarakat perlu melakukan penilaian supaya ada pendidikan politik yang baik agar hal semacam ini kedepan tidak terjadi lagi.

Paling tidak, Panwaslu perlu merilis siapa pengguna atau pihak yang bertanggung jawab atas kendaraan dinas tersebut. Umumkan pada publik agar masyarakat tahu nama pemegang amanat kendaraan dinas tersebut. Sehingga pada saat masa kampanye tidak terjadi lagi. Ketiga Cagub rupanya belum belajar secara baik dan benar bagaimana menggerakkan massa tanpa melibatkan birokrasi. Disisi lain, pejabat daerah belum bisa membedakan bahwa melibatkan pihak lain tidak boleh memanfaatkan fasilitas pemerintah.

Senin, 01 April 2013

Sepinya Pilgub Jateng

|0 komentar
Pilkada Propinsi Jawa Tengah semakin dekat namun greget suasana Pemilihan tidak terasa sama sekali. Bukan karena penatapan Cagub belum dimulai, atau baliho yang masih jarang namun antusiasme masyarakat tidak terlihat. Baik perbincangan di kampung, diskusi diruang-ruang publik ataupun tulisan yang muncul di media yang sangat minim. Dinamisasi Pilgub yang sepi begini tentu dipengaruhi banyak faktor. Padahal disisi lain Parpol jelas sudah menyiapkan tim dan pergerakannya.

Bila dibandingkan dengan greget Pilgub DKI maupun Jabar sangat jauh rasanya. Padahal dibandingkan dengan dua propinsi tersebut sama-sama ada calon incumbent yang maju kembali. Bila melihat kondisi Jateng 5 tahun belakang memang tidak ada prestasi yang istimewa dari sang petahana. Jargon Bali nDeso mBangun Deso benar-benar tidak terasa. Coba saja kita susuri desa di Jawa Tengah, hampir tak terlihat perbedaan signifikan.

Meski bila dibandingkan dengan kewenangan gubernur memang tidak sebanding. Implementasi jargon Bali nDeso mBangun Deso hanya diwujudkan dengan pemberian bantuan Rp 5 juta/desa/bulan sangat kecil. Padahal anggaran ditingkat propinsi cukup besar serta kewenangan propinsi di era otonomi daerah tidak terlihat kecuali di infrastruktur seperti pembangunan jalan. Yang paling mencolok yakni pembuatan jalan tol Semarang-Solo yang anggarannya juga dibantu pusat.

Sayangnya wakil rakyat seperti DPRD Jawa Tengah dalam mengawasi jalannya pemerintahan Bibit Waluyo tidak optimal. Kasus penjiplakan LPJ APBD beberapa tahun yang lalu tidak menjadi tonggak penting untuk menekan gubernur agar beraksi lebih konkrit lagi. Berharap pada masyarakat untuk bersuara kritis juga jauh lebih tidak mungkin. Mereka disibukkan dengan kesulitan menghadapi kehidupan mereka ditengah menaiknya harga-harga kebutuhan pokok.

Kondisi ini idealnya dapat dimanfaatkan oleh Cagub non petahana seperti Ganjar maupun Hadi untuk lebih memberikan pendidikan politik bukan sekedar janji saja. Belajar dari berbagai Pilgub didaerah lain, seharusnya Cagub fokus saja pada beberapa persoalan inti. DI Jawa Tengah, membawa isu Desa merupakan isu strategis. Masih banyak warga yang tinggal di pedesaan sehingga memanfaatkan pergerakan Cagun di basis desa akan jauh lebih bermanfaat.

Isu-isu ditingkat desa yang bisa dioptimalkan menjaring suara yakni isu pertanian, bantuan dana desa, perbaikan infrastruktur pedesaan, perkebunan dan lain sebagainya. Menggarap isu desa jauh lebih simple dan mudah dilakukan dari pada isu besar yang sulit difahami. Sayangnya hal ini kadang tidak dimengerti oleh tim sukses sehingga tagline yang dibawa malah bersifat mainstream seperti pemberantasan korupsi. Saya sedang menunggu gebrakan dari 2 kandidat lain, apa yang mereka tawarkan.