Kamis, 28 Mei 2009

SUDAHKAH APBD BERPIHAK PADA MASYARAKAT?

|0 komentar
Era reformasi di Indonesia ditandai dengan banyaknya perubahan disegala bidang tidak hanya berubahnya bentuk atau penamaan instansi namun hingga mencapai tataran perubahan kebijakan. Salah satu perubahan kebijakan yang juga penting yakni adanya perubahan kebijakan dibidang anggaran. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga disertai penyerahan budget pada daerah. Desentralisasi pemerintahan mengakibatkan daerah mendapatkan banyaknya alokasi anggaran untuk dikelola. Memang salah satu tujuan dari reformasi anggaran adalah mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Pembangunan yang dilaksanakan pun akan segera terlaksana jika dikerjakan oleh pemerintah daerah. Tetapi apakah benar memang demikian yang terjadi?


Banyak daerah yang menerima limpahan anggaran yang cukup besar dari pemerintah pusat hingga saat ini masih belum beranjak dari keterpurukannya. Lihat saja daerah-daerah penghasil minyak, gas hingga tambang. Mereka masih bergelut dengan problem-problem dasar. Wilayah seperti di Riau, Papua dan Kalimantan Timur tidak banyak berubah dibanding pada saat orde baru berkuasa. Berbagai kasus korupsi yang melanda pejabat di 3 daerah itu juga semakin mengindikasikan ada yang salah dengan menejemen pemerintahan. Mentalitas birokrasi di era desentralisasi harus segera di ubah secara frontal supaya harapan desentralisasi bisa segera terlaksana. Tingkat kesejahteraan masyarakat benar-benar harus menjadi tujuan dialokasikannya dana dari pusat ke daerah.

Subsidi silang daerah kaya dengan daerah miskin harus terus dilakukan sehingga wilayah seperti NTT, NTB maupun kawasan yang minim dengan kekayaan alamnya bisa terbantu. Di Jawa sendiri sebenarnya juga sama hanya saja ketersediaan fasilitas publiknya sudah jauh lebih memadai sehingga relative tidak menimbulkan banyak persoalan. Bagaimana dengan 7 kabupaten/kota di Solo Raya menghadapi desentralisasi? Salah satu cara yang memudahkan kita untuk menilai yakni dengan melibat alokasi belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing kabupaten. Disinilah letak cerminan bagaimana kepada daerah mengelola sumber daya yang mereka miliki baik teknologi, manusia maupun keterbatasan anggaran.
Jawa Tengah termasuk salah satu kawasan yang minim sumber daya alam sehingga harus mengandalkan sector yang lain.

Ada juga yang memang masih memiliki cadangan alam seperti Cilacap dengan minyaknya, Cepu dengan gas nya ataupun kawasan Purwodadi dengan keberadaan hutan yang lebat. Namun 7 kabupaten/kota di Solo raya nampaknya tidak cukup tersedia berbagai dukungan tadi sehingga mereka banyak mengandalkan sector-sektor yang bisa diperbaharui misalnya pertanian, industry maupun jasa. Perlu diketahui meskipun distribusi anggaran dari pemerintah pusat cukup memadai tetapi ternyata urusan pembayaran pegawai juga menjadi kewenangan daerah. Inilah yang akan lebih jauh kita lihat. Seberapa besar APBD dialokasikan untuk pembangunan dan seberapa besar dialokasikan untuk aktivitas-aktivitas yang regular.


Disadari atau tidak, distribusi untuk gaji selama ini memang memakan uang yang sangat besar. Belum lagi untuk aktivitas-aktivitas harian para pegawai dikantor. Masih ada biaya perawatan/pemeliharaan, belanja modal kantor, ATK dan lain sebagainya. Sebenarnya sejauh mana daerah mendistribusikan dana yang mereka miliki untuk meningkatkan derajat kesejahteraan warga mereka. Selain belanja pembangunan (modal), masih ada program bantuan keuangan. Bantuan inilah yang juga didistribukan untuk daerah bawahan seperti desa. Oleh desa, dana ini juga digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 167 ayat (1) dan (2) dijelaskan untuk apa belanja itu. Pada ayat (1) berbunyi: ” Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22” dan dilanjutkan ayat (2) yang menegaskan “Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas social dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan social”.

Meski dalam aturan itu sudah sangat jelas tetapi nampaknya praktek dilapangan tidak demikian. Perhatikan prosentase yang muncul dalam table berikut:

Dalam UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (4) dan UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 66 ayat (3) yang bunyinya sama yaitu “APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi”. Dalam klausul penjelasan disebutkan bahwa “Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Lihat saja pada pos belanja pegawai yang semuanya memakan anggaran lebih dari 50 persen. Sedangkan alokasi belanja pembangunan terutama belanja modal terbesar hanya 23,93 persen (Kota Solo Tahun 2007). Bagaimana dengan kemajuan daerah apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika alokasi APBD sebagian besar untuk pegawai? Jika kita nilai, kalau sebagian besar alokasi belanja daerah hanya digunakan untuk belanja operasional terutama belanja pegawai dan belum memenuhi terutama fungsi alokasi yaitu mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian apa tindakan kita? Apakah kita akan diam saja? Berarti reformasi birokrasi dan reformasi keuangan di pemerintah daerah bisakah dinilai telah berhasil?

Selasa, 26 Mei 2009

SUDAHKAH APBD BERPIHAK PADA MASYARAKAT?

|0 komentar
Oleh : M Histiraludin *)

Era reformasi di Indonesia ditandai dengan banyaknya perubahan disegala bidang tidak hanya berubahnya bentuk atau penamaan instansi namun hingga mencapai tataran perubahan kebijakan. Salah satu perubahan kebijakan yang juga penting yakni adanya perubahan kebijakan dibidang anggaran. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga disertai penyerahan budget pada daerah. Desentralisasi pemerintahan mengakibatkan daerah mendapatkan banyaknya alokasi anggaran untuk dikelola. Memang salah satu tujuan dari reformasi anggaran adalah mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Pembangunan yang dilaksanakan pun akan segera terlaksana jika dikerjakan oleh pemerintah daerah. Tetapi apakah benar memang demikian yang terjadi?

Banyak daerah yang menerima limpahan anggaran yang cukup besar dari pemerintah pusat hingga saat ini masih belum beranjak dari keterpurukannya. Lihat saja daerah-daerah penghasil minyak, gas hingga tambang. Mereka masih bergelut dengan problem-problem dasar. Wilayah seperti di Riau, Papua dan Kalimantan Timur tidak banyak berubah dibanding pada saat orde baru berkuasa. Berbagai kasus korupsi yang melanda pejabat di 3 daerah itu juga semakin mengindikasikan ada yang salah dengan menejemen pemerintahan. Mentalitas birokrasi di era desentralisasi harus segera di ubah secara frontal supaya harapan desentralisasi bisa segera terlaksana. Tingkat kesejahteraan masyarakat benar-benar harus menjadi tujuan dialokasikannya dana dari pusat ke daerah.

Subsidi silang daerah kaya dengan daerah miskin harus terus dilakukan sehingga wilayah seperti NTT, NTB maupun kawasan yang minim dengan kekayaan alamnya bisa terbantu. Di Jawa sendiri sebenarnya juga sama hanya saja ketersediaan fasilitas publiknya sudah jauh lebih memadai sehingga relative tidak menimbulkan banyak persoalan. Bagaimana dengan 7 kabupaten/kota di Solo Raya menghadapi desentralisasi? Salah satu cara yang memudahkan kita untuk menilai yakni dengan melibat alokasi belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing kabupaten. Disinilah letak cerminan bagaimana kepada daerah mengelola sumber daya yang mereka miliki baik teknologi, manusia maupun keterbatasan anggaran.

Jawa Tengah termasuk salah satu kawasan yang minim sumber daya alam sehingga harus mengandalkan sector yang lain. Ada juga yang memang masih memiliki cadangan alam seperti Cilacap dengan minyaknya, Cepu dengan gas nya ataupun kawasan Purwodadi dengan keberadaan hutan yang lebat. Namun 7 kabupaten/kota di Solo raya nampaknya tidak cukup tersedia berbagai dukungan tadi sehingga mereka banyak mengandalkan sector-sektor yang bisa diperbaharui misalnya pertanian, industry maupun jasa. Perlu diketahui meskipun distribusi anggaran dari pemerintah pusat cukup memadai tetapi ternyata urusan pembayaran pegawai juga menjadi kewenangan daerah. Inilah yang akan lebih jauh kita lihat. Seberapa besar APBD dialokasikan untuk pembangunan dan seberapa besar dialokasikan untuk aktivitas-aktivitas yang regular.

Disadari atau tidak, distribusi untuk gaji selama ini memang memakan uang yang sangat besar. Belum lagi untuk aktivitas-aktivitas harian para pegawai dikantor. Masih ada biaya perawatan/pemeliharaan, belanja modal kantor, ATK dan lain sebagainya. Sebenarnya sejauh mana daerah mendistribusikan dana yang mereka miliki untuk meningkatkan derajat kesejahteraan warga mereka. Selain belanja pembangunan (modal), masih ada program bantuan keuangan. Bantuan inilah yang juga didistribukan untuk daerah bawahan seperti desa. Oleh desa, dana ini juga digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 167 ayat (1) dan (2) dijelaskan untuk apa belanja itu. Pada ayat (1) berbunyi: ” Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22” dan dilanjutkan ayat (2) yang menegaskan “Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas social dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan social”.

Meski dalam aturan itu sudah sangat jelas tetapi nampaknya praktek dilapangan tidak demikian. Dalam UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (4) dan UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 66 ayat (3) yang bunyinya sama yaitu “APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi”. Dalam klausul penjelasan disebutkan bahwa “Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Lihat saja pada pos belanja pegawai yang semuanya memakan anggaran lebih dari 50 persen. Sedangkan alokasi belanja pembangunan terutama belanja modal terbesar hanya 23,93 persen (Kota Solo Tahun 2007). Bagaimana dengan kemajuan daerah apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika alokasi APBD sebagian besar untuk pegawai? Jika kita nilai, kalau sebagian besar alokasi belanja daerah hanya digunakan untuk belanja operasional terutama belanja pegawai dan belum memenuhi terutama fungsi alokasi yaitu mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian apa tindakan kita? Apakah kita akan diam saja? Berarti reformasi birokrasi dan reformasi keuangan di pemerintah daerah bisakah dinilai telah berhasil?


Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo
No Kontak 08125514473
Update 26 Mei 2009
 Email : anugrahrawiyah@gmail.com

Kamis, 08 Januari 2009

Pro Kontra Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

|0 komentar
PNPM yang diklaim oleh pemerintah pusat sangat berhasil dan menjangkau puluhan daerah ternyata menimbulkan pro dan kontra. Artinya tidak disemua daerah program itu diterima masyarakat bahkan ada 22 daerah yang menolak program tersebut (http://www.korantempo.com/korantempo) termasuk salah satunya di DKI Jakarta. Sudah ada puluhan alasan yang dikemukakan berbagai daerah itu. Di Semarang, penolakan itu justru dilakukan oleh DPRD Kota Semarang yang beralasan budget yang ada tidak cukup menjadi pendamping PNPM yang dialokasikan melalui APBN. Sukawi Sutarip sebagai kepala daerah mengaku pasrah atas kondisi itu.

Di Kota Solo, ketika Walikota akhirnya “menyerah” menerima PNPM, justru menimbulkan konflik baru bagi aktivis posyandu dan kelompok kerja Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Dana pendamping PNPM justru diambil dari 2 pos tersebut. Ini mengindikasikan pemaksaan program pusat dan lebih mengorbankan kepentingan masyarakat miskin. Pro Kontra itu tidak hanya diranah itu. Di beberapa milis juga terjadi perdebatan yang sama. Berdasarkan pantauan penulis, perdebatan soal ini terjadi setidaknya di milis fasilitator_masyarakat@yahoogroups.com, studi-desentralisasi@yahoogroups.com serta di milis aktivissolo98@yahoogroups.com. DKI Jakarta sendiri menolak PNPM dengan argumentasi sudah ada program PPMK yang sudah lebih dulu diluncurkan.

Milis fasilitator_masyarakat@yahoogroups.com yang notabene berisi aktifis pendamping atau fasilitator pnpm lebih banyak menyoroti keberhasilan pnpm. Meski ada satu dua anggota milis yang menolak fakta-fakta seperti diungkapkan dalam iklan PNPM baik di media cetak maupun elektronik. Ida Hayati menulisnya dengan “…..Sehingga tidak ada salahnya jika kita belajar dari para Kepala Daerah yang menolak PNPM, karena dia yang tahu titik lemah dari program ini. Ada baiknya alasan-alasan mereka didengar dengan kepala dingin. Bahkan nampaknya kita harus berterima kasih karena mereka yang membukakan mata sehingga kita tidak hanya melihat PNPM dari nama besarnya saja.......”. Sedangkan Eka Simanjuntak malah menyebarkan pencarian Fasilitator PNPM bernama Raiz Al Mahfudz asal Desa Kandris Kecamatan Benua Lima Kabupaten Barito Kalteng yang ngemplang dana BLM sekitar Rp 49jt.

Perdebatan menarik juga terjadi di milis studi-desentralisasi@yahoogroups.com yang lebih banyak mengeksplorasi PNPM dengan ADD (Alokasi Dana Desa). Nando menulis bahwa “….Beberapa waktu lalu saya sampaikan "kasihan Pemerintah Desa" terlalu banyak program yang masuk ke Desa dan pada intinya tujuannya sama. Terlepas diskusi ADD versus PNPM, seharusnya apapun bentuknya dan darimanapun asalnya dana yang masuk ke Desa dimasukkan ke APBDesa, dan penggunaan untuk belanja juga harus melalui apa yang sudah direncanakan oleh Desa yang tercermin dalam APBDesa dimaksud.”. Dalam bulletin inspirasi edisi 2/September 2007 ditulis “Yang paling mengenaskan adalah, banyak pemerintah kabupaten/kota lebih senang merespon PPK (PNPM-pen) tinimbang ADD. Pemerintah kabupaten/kota mengerjakan ADD dengan setengah hati dan orang-ogahan. Kebanyakan dari mereka berpikir pendek bahwa ADD tidak lebih dari menggelontorkan dana kabupaten/kota kepada desa. Karena itu, mengerjakan ADD sama dengan bunuh diri, memereteli sendiri sebagian sumberdaya yang selama ini dikangkanginya”

Diskusi soal PNPM juga terjadi di milis aktivissolo98@yahoogroups.com. Di milis ini lebih banyak mengeksplorasi konteks local Kota Solo. Muhammad Amin dalam komentarnya menegaskan di point 4 yakni “PNPM Mandiri mengklaim bahwa setiap kecamatan akan menciptakan lapangan kerja bagi 250 orang. Namun penciptaan lapangan kerja hanya bersifat sementara karena berbentuk cash for work. Program PNPM Mandiri adalah lapangan kerja semu yang tidak berorientasi jangka panjang. Setelah proyek selesai para pekerja pun akan menganggur lagi, miskin lagi. Namun, secara politis strategi ini akan diklaim sebagai prestasi yang bisa dijual bahwa pemerintah telah mengurangi pengangguran sehingga memperbaiki data pengangguran BPS”.

Perdebatan mengenai PNPM hanyalah salah satu konsekuensi dikembangkannya otonomi daerah di Indonesia. Artinya pemerintah pusat tidak bisa lagi seenaknya memaksakan kehendak sebuah program kepada daerah. Memang dilihat dari satu sisi mungkin terlihat positif tetapi dari kacamata berbeda mungkin bisa saja negative. Perlu penglihatan lebih detil dan komprehensif dalam kasus-kasus seperti ini. Di daerah minim sumber dana mungkin saja cocok memakai pola PNPM atau daerah yang lebih banyak bergantung pada pemerintah pusat. Namun bagaimana dengan daerah yang masyarakatnya sudah sadar berpartisipasi, institusi masyarakat sipilnya sudah berdaya cocok dengan pola seperti ini? Penulis mencatat setidaknya ada 9 hal yang perlu dicermati mengenai PNPM tersebut.

Idealnya perdebatan pnpm antara diterima atau ditolak sangat menarik meskipun urgensinya bukan disitu. Selama ini yang berhasil atau menolak tidak banyak memaparkan sisi keberhasilan maupun aspek penolakannya. Penulis lebih suka focus pada aspek “impact”nya. Bila berhasil, apa impact bagi masyarakat sekitar? Demikian juga sebaliknya. Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dilihat secara jeli
Pertama, Untuk pengajuan anggaran pnpm, dibutuhkan RPJMDes/kel (nantinya akan kesana) sementara kelurahan itu tidak ada aturan membuat RPJMkel. Kelurahan hanya membuat Renstra RKPD dan Renja SKPD. Padahal aturan untuk itu belum ada. Apakah semua desa yg sudah terima pnpm sudah membuat RPJMDes? Kalau masih ada yang belum, berarti proyek yang dikerjakan dengan pnpm hanya sekedar proyek. Tidak lebih dari itu. Kenapa?

Proyek itu mestinya bagian dari rencana jangka menengah dan bukan alat pemadam kebakaran saja (memenuhi keinginan dibanding kebutuhan). Kedua, Dalam struktur belanja SKPD, sepengetahuan penulis kalau sebuah program itu dibiayai dinas (APBD) ya dinas saja atau paling dengan APBN. Kalau digabungkan dengan dukungan dari luar (misalnya pnpm) nomenklaturnya tidak ada (lihat : Permendagri 13/2006 dan permendagri 59/2007). Lalu di APBDes, bagaimana pertanggungjawaban ADD yang digabung dengan pnpm? Bukti2 pertanggungjawabannya diserahkan ke kabupaten atau pnpm? Atau dibuat jadi dua? Kalau dibuat rangkap dua tentu ada potensi Double accounting.


Ketiga,  Ada kepala daerah yang menyatakan kalo dana pendamping itu sampai 50% : 50 %, berdasarkan pengetahuan penulis, diberbagai kabupaten dana APBD utk dana pendamping pnpm itu lbh kecil tdk sampai 50%. Kalau sampai segitu bisa terjadi ketidakadilan. Keempat, Yang penulis amati banyaknya pnpm jalan itu karena proses musrenbang di wilayah itu berjalan tidak optimal. Kenapa mesti harus buat LKM atau BKM? Padahal di UU, PP, Perda kan keberadaan LKM ataupun BKM tidak diakui…. Kenapa tidak memberdayakan LPM yang sudah ada serta diakui dalam Keppres 49/2001? Munculnya LKM/BKM menimbulkan potensi konflik di kemudian hari bila kepala desa tidak pandai mengatur siasatnya. Tahun depan adalah tahun pemilu dan banyak caleg yang butuh duit. Kalo tidak hati-hati, siap-siap duit pnpm digunakan sebagai alat kampanye.

Kelima, PNPM itu direncanakan langsung dilaksanakan....padahal yang namanya perencanaan itu harus melalui tahapan yang jelas (1 tahun sebelumnya). Ini melanggar prinsip-prinsip perencanaan yang diatur dalam PP 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Keenam, Makin lama, (dengan proses dan administrasi yang jauh lebih rumit dibanding APBD dan ADD) para fasilitator PNPM (sering disebut relawan) akan stress...mereka akan minta honor. Artinya menambah beban APBD lagi. Ketujuh, Program PNPM secara nasional leading sectornya Departemen Kimpraswil sementara untuk TKPKD (focus pada pengentasan kemiskinan) dibawah Menko Kesra.

Jelas sulit untuk bisa konek krn budaya dari dulu bahwa setiap program itu milik instansi masing-masing yang hingga sekarang tidak berubah (Ini menanggapi perdebatan di media soal pnpm harus dibawah koordinasi TKPKD). Kedelapan, Keuangan desa itu diatur dengan Permendagri No 37 Tahun 2007. Ada yang bisa jelaskan PNPM masuk di pasal mana? Atau setidaknya integrasinya di pasal berapa? Kesembilan, Sebenarnya berapa utang Negara untuk penyelenggaraan PNPM ini? Selama ini pemerintah pusat belum mengclearence lebih jelas. Lebih dari Rp 5-6 T/tahun kan? Kenapa teman-teman fasilitator desa tidak mendorong Pemkab untuk mengimplementasikan pasal 68 PP 72 Tahun 2005 tentang ADD? Itu jelas hak desa yang tidak membebani Negara dan membebani anak cucu kita (terlepas berhasil atau tidak).

Akhirnya, saran penulis terhadap policy mengenai PNPM yaitu lebih baik PNPM diserahkan saja pada pemerintah daerah saja. Apabila akan mengambil program ini maka syarat dan konsekuensinya apa saja. Demikian pula bagi pemerintah daerah yang tidak tertarik untuk terlibat. Sehingga pembangunan daerah bisa optimal mengkreasikan pembangunan sesuai visi dan misi yang sudah ditetapkan. Semoga di dengar oleh Pemerintah Pusat, Amin.