Kamis, 29 Maret 2012

Musrenbangkot Solo 2012, Menebak Arah Partisipasi Warga

|0 komentar
Mencengangkan, itu perasaan saya sewaktu hadir semalam dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota (Musrenbangkot) Kota Solo Kamis 29 Maret 2012. Musrenbangkot adalah musyawarah penyusunan perencanaan pembangunan sesuai UU No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Solo, sudah mengembangkan Musrenbang 11 tahun lalu dan prosesnya tentu makin matang.

Tahapan Musrenbang yang dimulai dari musyawarah Rt, Rw, Kelurahan hingga tingkat kota kini sudah banyak berubah dengan sistem yang dulu dijalankan sekitar tahun 2001 - 2004. Perbedaan itu secara subyektif berdasarkan penilaian subyektif justru bergerak pada ranah "mematikan" partisipasi bukan malah membuka ruang partisipasi. Pendapat ini memang bisa didiskusikan lebih lanjut. Yang menarik apakah benar ini yang dimaui Walikota Joko Widodo yang senang mendengar ketika rakyatnya berbicara? Sepertinya ada yang memang merancang skema secara sistematis agar tidak begitu.

Pada Tahun 2001 - 2004, sebelum masuk ke Musrenbangkota ada yang namanya Focussed Group Discussion yang difasilitasi NGO atas permintaan Bappeda. NGO tersebut memang yang mendampingi komunitas sektoral yang rentan serta marginal. Komunitas itu terdiri dari 7 sektor seperti tukang becak, PKL dan pedagang asongan, pengamen dan anak jalanan, PSK, difabel, slum area dan parkir. FGD diadakan untuk menyerap aspirasi di internal komunitas tersebut. Hasilnya dibawa ke pertemuan dengan dinas yang memiliki kewenangan atau tupoksi yang sesuai.

Dalam pertemuan dengan dinas, terjadi diskusi, sharing, tukar gagasan baik bagi komunitas maupun dinas untuk menyamakan gagasan. Mana yang bisa dilakukan bersama dan mana yang tidak bisa ditangani oleh dinas. Setelah itu baru di Musrenbangkot, hasil pertemuan dengan komunitas dimasukkan dalam daftar usulan program dan dibahas dengan masyarakat. Meski demikian, perwakilan komunitas tetap ada di Forum Musrenbangkot. Sehingga ketika ada perdebatan, tidak hanya dinas yang menjawab (terkait usulan komunitas) namun juga komunitas bersangkutan.

Walikota Solo Saat Berbicara di Musrenbangkot 2012 (By Ardian Pratomo)
 Contoh konkrit pada Musrenbangkot Tahun 2003, masyarakat menghendaki relokasi PKL namun komunitas PKL sebaliknya menginginkan penataan. Maka tidak diambil keputusan apapun melainkan diserahkan pada Walikota.Tahun ini, tidak ada dinamisasi atas usulan-usulan melainkan hanya penajaman. Komunitas sektoral yang hadir juga minim sehingga penentuan pimpinan sidang sudah paket dari Bappeda. Pimpinan sidang hanya bergantian membacakan hasil Forum SKPD atau Renja SKPD. Dulu, dari komunitas bisa menjadi pimpinan sidang, sebut saja Semmy Samuel Rory (Parkir) dan Sapto Nugroho (Difabel).

Keberadaan mereka dalam pimpinan sidang sangat strategis sebab secara otomatis masuk dalam tim perumus untuk menyempurnakan hasil sidang Musrenbangkot. Tahun ini, meski ada perwakilan dari masyarakat tetapi titik keberangkatan mereka dari Forum SKPD. Selain itu, ditiadakannya sidang komisi menjadikan output Musrenbang minim semangat kebersamaan. Saya tidak cukup yakin banyak masyarakat mengetahui secara garis besar apa-apa saja yang menjadi usulan. Sebab dengan pengelolaan forum yang banyak membacakan hasil Forum SKPD, peserta Musrenbang tidak antusias mengikuti dengan seksama.

Pada Tahun 2001 - 2004, Musrenbangkot terbiasa dilakukan selama 2 hari dengan perdebatan yang sungguh mencerdaskan. Adu argumentasi, tukar pikiran, saran, gagasan tercurah dengan bebas dan bisa dimaknai sebagai forum yang mencerdaskan warga. Kalau sekarang hanya 1 hari dan hampir minim lontaran, bagaimana memaknai partisipasi? Tidak hanya kehadiran namun juga validasi atas usulan. Kalau begitu, kenapa pelaksanaan Musrenbangkot ditiadakan dan bahan dibagikan saja, bisa menghemat banyak anggaran.

Menebak Tabir Jokowi Ke DKI 1

|0 komentar
Pemilihan Gubernur DKI pada Juli mendatang tentu menjadi moment yang menyedot perhatian masyarakat, tidak hanya di DKI tapi secara nasional. Maklum Jakarta adalah propinsi ibu kota dan problem sosialnya begitu kompleks. Tidak mudah menyelesaikan persoalan-persoalan yang membelit Jakarta karena sudah terlewat rumit untuk diurai satu persatu. Masalah mulai banjir, macet, PKL, kebakaran, kriminalitas dan beragam persoalan lain yang tak kalah peliknya.

Ketika masalah itu banyak, kenapa partai politik masih saja menyorongkan calonnya untuk bertempur jabatan Gubernur? Resiko kegagalan memenej ibu kota ada didepan mata. Termasuk salah satunya Fauzi Bowo yang pada saat kampanye dulu memasang tagline Serahkan Pada Ahlinya. Apa yang terjadi? macet, banjir, kebakaran, bentrokan masih saja terjadi. Sudah banyak masyarakat yang menyuarakan hal ini tetapi tak ada tindakan nyata.

Saking cueknya Foke (Fauzi Bowo), sang Wakil Gubernur Prijanto sempat mengundurkan diri sebagai pendamping Foke. Namun pengajuan itu kemudian ditolak oleh DPRD Jakarta. Kini Foke kembali mencalonkan diri dari Partai Demokrat. Salah satu pesaingnya yakni Joko Widodo yang saat ini menjabat Walikota Surakarta, memiliki track record cukup baik dibidang pemerintahan. Banyak yang menyatakan sebetulnya Jokowi menyelesaikan tugas sebagai walikota baru bersaing untuk jabatan lain. Ada juga analisa, tentang sulitnya mengatur Jakarta, Solo dan Jakarta berbeda dan beragam analisa lain yang ujung-ujungnya tidak menghendaki Jokowi turut bertarung di Jakarta.

Ada beragam analisa dari banyak pakar tentang latar belakang Jokowi maju sebagai calon gubernur dari PDIP dan Gerindra. Saya memiliki beberapa analisa kenapa dia berniat bertarung memperebutkan jabatan DKI 1. Pertama, Solo sudah tak menantang lagi bagi dirinya. Pasca relokasi PKL Tahun 2004 sudah tidak ada program yang menarik dan besar untuk dia selesaikan. Yang ada sekarang hanya inovasi-inovasi biasa yang mudah dilakukan siapapun seperti penataan pasar tradisional, membatasi mall berdiri, PKMS, BPMKS dan lainnya. Toh banyak daerah punya program sejenis.

Disamping itu, banyak masyarakat miskin di Jakarta yang butuh sentuhan pemimpin yang benar sebab selama ini mereka banyak diabaikan, tidak didengar dan selalu mendapat dampak dari pembangunan yang dilakukan serta hanya menguntungkan kalangan berduit saja. Kedua, dalam berbagai kesempatan sebelum dicalonkan PDIP, dia menyatakan Tidak akan mencalonkan diri kecuali diberi tugas partai dan bersedia hanya untuk calon gubernur. Pernyataan yang membuat Ketua Umum PDIP terpojok dan itu bisa dilihat menjelang batas akhir pendaftaran, Megawati tak mengeluarkan statement apapun terkait DKI 1.

Sikap Joko Widodo mengandung 3 makna yakni a) pencalonan kepala daerah merupakan kewenangan partai politik, sehingga ketika partai mengajukan seorang calon ya harus kadernya sendiri. bukan orang luar partai bahkan kader partai lain. b) Tiap kader partai harus siap ditugaskan sebagai apa dan dimana. Dia tidak berambisi, namun siap bila diberi tugas. c) kenapa Jokowi hanya mau dicalonkan sebagai gubernur? karena kursi PDIP di DPRD Jakarta ada 14 sementara syarat mengajukan calon gubernur memiliki 15 kursi. Dia ingin mendorong PDIP bersikap jantan, berani dan bertanggungjawab kepada konstituennya.

Ketiga, memberi pesan kepada kepala daerah lain bahwa ketika anda berhasil membangun daerah maka jangan berhenti disitu. Indonesia masih membutuhkan orang-orang yang memiliki visi untuk membangun negeri kaya raya ini. Lihat saja Gamawan Fauzi dan Alex Nurdin yang tidak hanya berhenti sebagai bupati namun berupaya bertarung ditingkat yang lebih tinggi supaya kebijakan yang dibuat bisa dirasakan orang lebih banyak lagi.

Keempat, mendidik masyarakat Solo untuk mengerti sebuah jabatan itu ada batas waktunya. Jokowi merasa masyarakat Solo mencintainya berlebihan dan ini tidak baik bagi kepala daerah sesudah masa jabatannya berakhir. Masyarakat tidak akan belajar untuk mandiri, mendukung kepala daerahnya, mensukseskan programnya. Toh kalau jabatan Gubernur bisa diraih, secara otomatis Hadi Rudyatmo sebagai Wakil Walikota akan menjadi Pelaksana Tugas (Plt). Bila tidak dididik sejak dini, Jokowi khawatir, pada 2014 saat masa jabatannya habis, masyarakat masih nggondeli.

Dari 4 argumentasi itu jelas bahwa niat Jokowi bertarung di Jakarta bukan membawa motif pribadi. Lebih banyak motif sosial yang dikembangkan agar kehidupan demokrasi di Indonesia berjalan sesuai jalurnya. Demokrasi di Indonesia masih banyak kelemahan dan perlu dibenahi tetapi tugas pembenahan itu sangat jarang dilakukan oleh partai politik. Maknailah niatan Jokowi seperti tulisan diatas. Silahkan yang mau mendukung atau menolaknya.

Kamis, 22 Maret 2012

Calon Gubernur DKI Jakarta 2012

|0 komentar
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, 11 Juli mendatang akan mengadakan Pemilihan Kepala Daerah Periode 2012 - 2017. Pilkada ini tentu akan banyak menyita perhatian masyarakat sebab bisa menjadi moment menarik pertarungan elit atau juga pertarungan serta pertaruhan Parpol. Bahkan diprediksikan akan jauh lebih ramai dibanding Pilkada 2007 lalu. Pilkada sebelumnya hanya ada 2 calon bertarung, sedangkan kini ada 6 calon gubernur yang akan memperebutkan posisi B-1.

Nampaknya partai-partai besar lebih suka mengajukan calon sendiri dan ingin menunjukkan jati diri siapa sebenarnya "penguasa" Jakarta sesungguhnya. Pemenang Pilkada Jakarta mempunyai posisi strategis tidak hanya ke dalam namun juga efek snow ball ke berbagai wilayah di Indonesia. Gengsi partai benar-benar dipertaruhkan dalam Pilkada kali ini. Tak heran bila kemudian mereka berlomba mencari kader terbaik di penjuru negeri. Dari 6 Cagub, hanya 2 yang memang kader partai sementara sisanya bukan kader inti partai.

Pilkada Juli 2012 akan diikuti oleh 6 pasangan Cagub yang berasal dari Parpol (4 pasang) dan independen (2 pasang). Sepertinya pertarungan ini dilihat sebagai titik strategis partai untuk test case Pemilu 2014 mendatang. Dalam proses menuju penjaringan Cagub, terlihat Parpol gelagapan mengajukan calon. Tidak ada Parpol yang sudah mensounding kandidat lebih diatas 1 bulan alias semua parpol mengajukan calon 1 minggu saat pendaftaran akan ditutup. Hal ini mengindikasikan parpol tidak mempersiapkan kadernya secara serius dan tidak cukup menganggap penting.

Dua kandidat gubernur dari calon independen yaitu pasangan Faisal Basri dan Biem Benyamin serta Hendardji Supandji dengan Achmad Riza Patria. Faisal (mantan Sekjen PAN) lebih dikenal sebagai akademisi, pengamat ekonomi nasional yang pandangannya terhadap ekonomi tersebar diberbagai media. Pasangannya tak lain adalah pemilik Biems Radio, anak dari seniman kenamaan Betawi, Benyamin Soeib. Di komunitas Betawi, Bang Biem ini sangat familiar dan dihormati. Dari aspek dedikasi tentu pasangan ini tak perlu diragukan lagi.

Hendardji adalah pensiunan TNI dengan jabatan terakhir Asisten Pengamanan KSAD 2008 - 2010 dan masih bersaudara dengan Hendarman Supandji mantan Jaksa Agung dan Budi Soesilo Supandji (Gubernur Lemhanas). Sedangkan A Riza Patria di Jakarta mungkin banyak yang mengenal karena aktif di berbagai ormas dan memiliki perusahaan sendiri. Putra dari Ketua MUI H Amidhan ini juga pernah menjabat sebagai anggota KPU DKI Jakarta.

Sementara 4 pasangan cagub dari partai politik yakni (1) Alex Nurdin dan Letjen (Purn) Nono Sampono yang diajukan oleh Golkar, PPP dan PDS. Awalnya nama Nono Sampono sempat ditarungkan dengan Jokowi di PDIP dan menariknya lagi keduanya tak mau diposisikan sebagai Cawagub. Aneh bin ajaib ternyata, Nono menurut saja sewaktu dipasangkan dengan Alex yang saat ini masih menjadi Gubernur Sumatera Selatan. Nono sendiri merupakan eks marinir dengan jabatan mentereng, pernah jadi Dan Paspampres, Gubernur AAL, Komandan Marinir serta berbagai jabatan mentereng lainnya.

Pasangan (2) yang diajukan PKS dan PAN adalah Hidayat Nurwahid yang didampingi Didik J Rahbini. Hidayat pernah menjadi Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Ketua MPR dan seabrek jabatan lainnya. Pria kelahiran Klaten terlihat sangat sederhana dan tak ambisius. Dipasangkan dengan pengurus pusat PAN, Didik J Rachbini yang notabene pengamat ekonomi. Dibidang menejemen birokrasi, keduanya kurang teruji namun siapapun tahu basis dukungan PKS adalah massa solid sehingga pasangan inilah yang sudah sejak sekarang barangkali tahu berapa perolehan suara minimal.

Pasangan ketiga (3) adalah Ir H Joko Widodo dengan Basuki Tjahaja Purnama, calon PDIP dan Gerindra. Keduanya punya pengalaman memimpin daerah meski sulit untuk dibilang pengalaman mereka menjadi modal utama mengelola Jakarta. Jokowi memimpin Solo, kota kecil dengan 5 kecamatan yang penataan kotanya menjadi perbincangan nasional. Sementara Basuki, pernah menjadi Bupati di Bangka Belitung nun jauh disana. Tidak cukup signifikan untuk bekal mengelola Jakarta dan apakah masyarakat Jakarta terpengaruh dengan hal ini? kita lihat saja nanti.

Kemudian pasangan dari (4) Demokrat yakni sang incumbent Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Tahun 2011 lalu sebenarnya Bang Foke (panggilan Fauzi Bowo) banyak dicibir orang terutama saat berkomentar tentang rok mini penyebab munculnya kasus perkosaan. Sedangkan Nachrowi adalah pensiunan Jenderal (Mayjen) kelahiran asli Betawi dengan jabatan terakhir di militer adalah Kepala Lembaga Sandi Negara. Pasca itu, teman satu angkatanSoesilo Bambang Yudhoyono ini ikut terjun ke Parpol dan bergabung serta menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Jakarta.

Menarik sebenarnya melihat latar belakang mereka dan apakah akan berpengaruh besar terhadap dukungan massa. Tidak selalu penduduk Betawi akan mendukung kandidat lokal dan menolak produk import. Masyarakat Jakarta sungguh sudah cerdas sehingga isu etnis, golongan, money politik mungkin tak terpengaruh. Saya kira, kandidat yang selama masa kampanye bersikap terbuka dan jujurlah yang akan mendapat simpati warga. Tapi siapakah itu? Ya tunggu saja Juli 2012

Minggu, 11 Maret 2012

BBM Naik Lagi

|0 komentar
Sebentar lagi (1 April) harga Bahan Bakar Minyak akan dinaikkan pemerintah dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 untuk premium. Padahal premium merupakan BBM yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kita baik kelas elit hingga masyarakat kecil. Pemerintah menutup mata atas dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga yang diprediksi oleh BI akan mendongkrak inflasi 2,1 persen. Imbas tidak sekedar angka 2,1 persen tetapi harga-harga makin tak terkendali.

Sejak jaman Soeharto lengser, pilihan menaikkan BBM menjadi pilihan strategis pemerintah mengatasi beban subsidi yang ditanggung. Sama sekali tak pernah ada solusi atas selisih harga produksi dengan harga pasar. Sekali lagi pilihannya menaikkan harga dan bukan soal lainnya. Sempat ada analisa pembatasan pemakaian premium untuk kalangan tertentu tetapi sepertinya ini hanyalah pepesan kosong yang tak bakal menjadi solusi mengatasi kenaikan harga produksi.

Pun dengan terobosan penggunaan energi alternatif seperti solar cell, minyak jarak atau lainnya. Premium digunakan tidak hanya untuk mobilitas warga namun juga pembangkit tenaga listrik. Seharusnya ada teknologi pembangkit tenaga listrik lain seperti memanfaatkan panas matahari, panas bumi, angin atau limpahan air di negara kita. Penggunaan gas atau pembatasan premium hanya untuk motor dan angkutan umum dibatalkan dengan alasan infrastruktur belum siap.

Sebuah SPBU di Samarinda
Alasan lainnya adalah kesulitan mengontrol alokasi premium bagi kendaraan umum dan motor. Pemerintah hanya mengambil jalan mudah dan tak mau peduli dengan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini. Bahan bakar untuk industri yang harganya dibedakan sebetulnya sama dengan penggunaan premium bagi kendaraan umum dan motor. Kenapa kebijakan ini tak diterapkan? Sekali lagi mereka hanya mencari gampangnya saja toh tak perlu banyak persiapan.

Anehnya kenaikan ini kemudian di kompensasikan dalam bentuk BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), Raskin yang 14 bulan serta alokasi bea siswa untuk lebih banyak siswa. BLSM dulu bernama BLT dengan besaran Rp 100.000 kini menjadi Rp 150.000 dan akan didistribusikan untuk 9 bulan. Sementara Beras untuk Rakyat Miskin awalnya dialokasikan selama 12 bulan. Tetapi tepatkah kebijakan ini meringankan beban masyarakat?

Premium merupakan salah satu komponen penting dalam penentuan harga suatu barang. Di Indonesia belum semua daerah dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya sendiri. Bahkan beras, tepung, apalagi komoditas lainnya sudah dipastikan mengimpor dari luar negeri. Akibatnya harga yang seharusnya terjangkau bagi masyarakat kini makin tinggi. Produksi minyak mentah di Indonesia meski berlebih namun kita belum mampu mengolah menjadi bahan bakar siap pakai.

Lembaga-lembaga strategis milik pemerintah seperti LIPI, BPPT dan perguruan tinggi belum cukup mampu mengatasi problem riil yang dihadapi masyarakat umum. Efek kenaikan BBM terutama premium akan menimbulkan dampak berantai yang makin memberatkan. Entah sampai kapan hal ini akan terus terjadi dan berlangsung terus menerus. DPR sebagai representasi wakil rakyat seperti tak bereaksi apapun dan seia sekata dengan program itu. Isu BBM menjadi momok bagi masyarakat dan membuat Benar-Benar Menakutkan.

Sabtu, 10 Maret 2012

Memetakan Niat Jokowi Pada Pilkada DKI

|0 komentar
Ir H Joko Widodo, Walikota Surakarta atau Solo kini sedang menjadi perbincangan di berbagai media terkait pemberitaan Pilkada DKI. Media massa hingga kemarin menurunkan berita bahwa Jokowi (panggilan akrabnya) digadang-gadang akan menjadi Calon Gubernur dari PDIP. Dia akan bersaing dengan Fauzi Bowo (incumbent) untuk memperebutkan DKI 1. Benarkah dia akan serius maju untuk memperebutkan kursi panas itu dan meninggalkan posnya sebagai AD 1?

Berbagai prestasi yang ditorehkan Jokowi di Solo telah membuka mata banyak pihak bahwa pola kepemimpinannya banyak mengundang simpati. Entah sudah berapa kali dia muncul di televisi maupun diberbagai seminar terkait terobosannya di daerah yang melambungkan namanya. Banyak pihak berkeyakinan bila peluang menjabat Gubernur DKI cukup terbuka lebar. Penanganan PKL, penataan kota, city branding adalah beberapa hal yang dicatat menjadi point positif meraih jabatan itu.

Berbagai kalangan seperti paguyuban warga jawa, pedagang, facebooker di Jakarta dan lainnya dikabarkan sudah menggalang dukungan. Pengamat, wartawan, politisi juga memunculkan analisis yang memungkinkan peluang itu diraih. Meski demikian, nampaknya kenyataan akan jauh dari harapan banyak pihak. Penulis berkesimpulan Jokowi tidak hanya menang namun dicalonkan saja tidak. Kenapa? berikut beberapa alasan yang melatarbelakangi kesimpulan itu.

Pertama, pencalonan kepala daerah terutama dari PDIP diberbagai daerah justru berasal bukan dari internal partai tapi dari pihak luar. Dulu, Jokowi menjabat Walikota pertama kali juga bukan merupakan orang PDIP. Sekarang dia sudah orang PDIP makanya peluang itu akan sangat tipis. Di kantong PDIP saja tidak mencalonkan orang dalam apalagi di Jakarta yang mayoritas pendukung PDIP tidak terdapat disana.

Salah satu sudut Kota Jakarta

Kedua, Jokowi hingga hari ini menyatakan tak akan pernah mendaftarkan diri atau mencalonkan namun siap ditugasi. Maknanya dia berposisi menyerahkan pencalonannya kepada partai. Hal ini mengindikasikan bahwa bila diajukan atau ditugasi oleh partai maka biaya yang dikeluarkan akan ditanggung oleh Parpol bersangkutan. Yang menjadi pertanyaan, siapkah partai membiayai seluruh proses pencalonan hingga pemilihan nanti? Di DKI tentu biaya pemenangan seorang kandidat pasti akan sangat besar dan jika ditanggung oleh Parpol sepertinya tidak akan mungkin.

Ketiga, masa jabatan Jokowi masih 3 tahun lagi dan tipologi orang jawa pasti tidak akan tinggal glanggang colong playu alias tidak bertanggungjawab. Sebuah filosofi yang akan dipegang teguh oleh orang jawa tentunya Jokowi sendiri. Tidak adakah beban psikologis pada masyarakat Solo yang telah memilihnya demi mengejar jabatan lebih tinggi? Pengamat CSIS, J Kristiadi juga meragukan hal itu.

Keempat, tipologi masyarakat Jakarta adalah heterogen sehingga tidak mudah memetakan pendukung inti maupun swing voter. Jokowi tentu berhitung benar bila serius akan mencalonkan diri. Kalau akan kalah telak, dia pasti tidak akan mau meski partai menunjuknya. Di sisi lain, masyarakat betawi tentu menginginkan yang memimpin Jakarta adalah keturunan Betawi. Apa yang bisa di "jual" Jokowi agar mampu merebut simpati warga betawi?

Kelima, kompleksitas persoalan Jakarta lebih berat dibandingkan Solo. Problem macet, banjir, kebakaran, PKL, kriminalitas dan masih banyak lagi jauh lebih sulit ditangani. Hal ini berbeda dengan Solo yang masyarakat dan kondisi budayanya masih relatif terjaga. Ada perumpamaan bahwa masyarakat Jawa itu bila "dipangku mati". Artinya bila kita mampu menyentuh hatinya maka segala yang dilakukan akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat.

Keenam, penentu calon yang akan diajukan di PDIP terletak ditangan Ketua Umum yakni Megawati Soekarnoputri. Meski selama ini hubungan Ketua Umum PDIP dengan Walikota Solo relatif lancar, hal itu tidak menjamin lancarnya proses pencalonan di internal partai. Di politik, apa yang terjadi kadang tidak sebagaimana apa yang dipersepsikan.

Setidaknya kelima point tadi yang diyakini bakal menghadang pencalonan Jokowi sebagai Calon Gubernur DKI 2012 - 2017 mendatang. Sehingga kemunculan nama Jokowi dalam tahap penggodokan calon merupakan test case atau cek sound sekaligus konsolidasi pemilih untuk memetakan suara masyarakat DKI. Lihat saja nanti yang terjadi, bukan Jokowi yang akan dicalonkan melainkan Fauzi Bowo meski si "ahli" ini tetap tak mampu menangani beragam masalah pada periode pertamanya.

Kamis, 08 Maret 2012

Tulisan Dikutip Penulis Jurnal Internasional

|0 komentar
Seperti yang ada di kolom "pikiran saya", disitu tertulis mengkritisi dengan menulis bukan dengan ngerumpi. Ini untuk membudayakan menulis yang masih minim berada di masyarakat kita. Menulis ada banyak manfaat tidak hanya pada diri sendiri namun juga pada orang lain. Tidak mudah bagi sebagian orang karena mereka tak segera memulai menulis. Entah sudah berapa orang yang berniat menulis bahkan dengan puluhan mimpinya, sementara satu kata tak segera ia tuliskan.

Saya sebenarnya tak memiliki bakat ini, pun dengan membaca secara kritis. Keunggulan yang saya miliki adalah ya menulis saja terus, tak peduli baik atau tidak. Kenapa menulis? karena dengan menulis setidaknya kita membuktikan pernah memiliki sebuah gagasan, memiliki sebuah ide, melahirkan pemikiran dan sebagainya. Harapannya gagasan, ide, pemikiran itu bisa dimengerti oleh orang lain. Bisa jadi ada yang sama dengan pihak lain dan bisa jadi tidak.

Wujud tulisan tidak hanya di blog ini, namun diberbagai tempat. Beruntung sekarang sudah ada internet sehingga kita tak butuh hard drive besar, berlembar kertas, puluhan botol tip ex dan kelebihan lainnya. Buku karya sendiri memang baru satu, pengennya sudah lebih namun keterbatasan anggaran saja yang belum mewujudkan buku baru. Buku dari gagasan, ide dan pemikiran sendiri tentang sesuatu. Beberapa teman ada yang sudah drop dari soal tulis menulis.

Saat cek page rank di alexa.com, nyatanya masih berada di belasan juta. Namun tak pernah menyerah untuk itu sebab ini bukan soal gagah-gagahan. Biarlah yang penting terus saja menulis. Tak sengaja coba cek nama di googling, yang akhirnya menemukan nama sendiri disebuah tautan tulisan. Dulu, nama hanya memang nyangkut di web sendiri.

Alhamdulillah ternyata buku dan tulisan di web sudah dijadikan rujukan. Memang tak menerima apa-apa tapi pantas berterima kasih pada sang penulis yang mau menghargai karya orang lain. Toh kalau dia mengutip saja tanpa disertai referensi tak bakal ketahuan saya. Sebab saya tidak mungkin meneliti karya satu persatu dan mungkin sudah ada juga yang mengambil tanpa izin. Ya biarlah, setidaknya mengurangi dosa dan menambah pahala.


Dua tulisan diatas adalah bukti penyertaan link yang diambil dari saya dan mengakui penulis. Bahkan salah satunya masuk dalam jurnal di Asia yang berjudul "Local Politics In Indonesia, 1999 - 2010 : A Literature Review" yang ditulis oleh Pratikno dan Hasrul Hanif. Tidak mendapat apa-apa namun hal itu menambah motivasi kedepan untuk menulis lebih baik lagi.

Rabu, 07 Maret 2012

Desentralisasikan Anggaran Segera

|0 komentar
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai konsekuensi implementasi UU No 22 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 32 Tahun 2004 membawa perubahan di daerah. Sayangnya design desentralisasi yang dilakukan tak diikuti oleh kebijakan desentralisasi anggaran. Pemerintah pusat melalui berbagai kementrian masih banyak melakukan pengelolaan anggaran. Padahal tipologi berbagai kabupaten dan kota di Indonesia sangat unik dan berbeda baik yang ada di Jawa apalagi diluar pulau Jawa.

Aceh dan Papua merupakan propinsi yang memang mendapat alokasi khusus untuk anggaran otonomi khusus. Meski demikian, kenyataan yang bisa ditemui di dua wilayah ini masih saja belum cukup mengejar ketertinggalan dengan daerah lain. Disini yang patut dicatat kemajuan tidak diukur dari aspek fisik namun tingkat kesejahteraan masyarakat. Keberadaan mall, mobil mewah atau tingginya APBD bukan panduan bahwa sebuah daerah itu maju.

Lihat saja di Papua, Riau atau Kalimantan Timur banyak kabupaten dengan APBD diatas Rp 1,5 trilyun dan masih saja banyak masyarakat miskinnya. Lebih ideal bila pemerintah pusat hanya sebagai regulator dilanjutkan dengan monitoring serta evaluasi pelaksanaan program di daerah. Terutama untuk pelaksanaan urusan wajib yang diatur dalam undang-undang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga kabupaten/kota mampu mengkreasikan anggaran dari pusat sesuai kebutuhan mereka.

Sampai saat ini banyak kementrian yang mengelola anggaran dan mendistribusikannya ke daerah tidak berupa dana melainkan menangani program. Banyak bantuan sosial yang dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi oleh kementrian. Sementara peran daerah (baca : kabupaten/kota) cukup memberi data dan mendampingi tim dari pusat. Dengan keragaman etnik, budaya, suku, geografis serta ragam lainnya tentu pelaksanaan daerah satu dengan yang lainnya berbeda.

Sebut untuk program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) misalnya alokasi tiap siswa SD/SDLB sebesar Rp 580.000/tahun atau Rp 48.333/bulan/siswa dan siswa SMP/SMPLB/SMPT sebesar Rp 710/tahun atau Rp 59.166/bulan/siswa. Bagi siswa di Jawa mungkin dengan anggaran sebesar itu cukup namun bagaimana dengan yang diluar Jawa? Berbagai peralatan yang bisa dibelanjakan dengan anggaran ini tak akan mencukupi kebutuhan mereka.

Berdasar catatan dalam Nota Keuangan dan RAPBN Pemerintah Tahun Anggaran 2012, disebutkan ada 7 program kementrian yang didistribusikan ke daerah. Jumlah total anggaran tersebut bahkan mencapai Rp 52,9 trilyun. Bila ditambah program yang lain yang belum disebut seperti Jampersal, KUR, Subsidi Pupuk tentu bisa lebih besar dari angka itu. Dengan asumsi kabupaten/kota di Indonesia ada 530 daerah maka bila dibagi rata, tiap daerah bisa mendapat tambahan Rp 99, 8 M.

Tentu sebuah jumlah yang lumayan sebab banyak daerah melaksanakan program pendamping bagi sebuah kegiatan hanya sebesar belasan rupiah. Di Solo misalnya, alokasi Jamkesda (PKMS) hanya memerlukan Rp 20 M (Tahun 2011) yang artinya masih banyak sisa anggaran yang bisa dialokasikan untuk yang lain. Pastinya tidak akan dibagi rata dan pemerintah bisa merumuskan indikator pembagi. Daerah tentu akan lebih bisa mengoptimalkan penggunaan anggaran agar program tersebut berhasil.

Sudah saatnya pelaksanaan desentralisasi disertai dengan desentralisasi anggaran sehingga hasilnya lebih optimal. Tidak berada pada posisi yang tepat bila sebuah kementrian bahkan mengeluarkan aturan juklak dan juknis implementasi program. Bila hal itu masih terjadi, apa fungsi dinas atau SKPD di daerah? Mereka bertugas mensukseskan pelaksanaan program kepala daerah dan mereka bukan bawahan kementrian. Apalagi sudah banyak daerah dipusingkan dengan alokasi belanja pegawai yang nominalnya lebih tinggi dibanding DAU.