Kamis, 30 Agustus 2012

Hitung-Hitungan Insentif Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

|0 komentar
Upah pungut yang pada tahun 2005 hingga 2010 banyak bermasalah diberbagai daerah ternyata masih berlaku hingga kini. Padahal kurun waktu itu, tidak sedikit kepala daerah diseret ke meja hijau dikarenakan menyalahgunakan upah pungut. Salah satunya adalah kasus korupsi Syaukani Hasan Rais yang didakwa menerima upah pungut dana perimbangan minyak dan gas hingga Rp 93 M. Hanya saja sekarang istilahnya berganti menjadi insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di PP ini cukup banyak berisi hal-hal yang mengatur bagaimana insentif ini dipungut dan dibagikan tidak hanya ke eksekutif namun membuka peluang bagi pihak lain untuk menerima. Agak aneh tetapi pada pasal 3 ayat (2) e tertulis bahwa penerima insentif termasuk pihak lain yang membantu instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi. Contoh sederhana misalnya retribusi parkir sah diberikan pada pengelola parkir.

Pasar Gede Solo salah satu kawasan penyumbang retribusi (Photo : ardian)
Sedangkan kepala daerah, wakil kepala daerah dan sekretaris daerah meski tidak secara langsung berkutat dalam pemungutan pajak serta retribusi, dia berhak menerimanya (pasal 3 ayat {2} huruf b dan c). Selain itu kepala desa/lurah dan camat diberikan insentif hanya terkait Pajak Bumi dan Bangunan. Instansi bersangkutan atau petugas pemungut otomatis juga mendapat alokasi insentif (huruf a). Sementara besaran insentif yang bisa diambil paling tinggi hanya 5 persen (untuk kabupaten/kota). Meski tertulis paling tinggi, banyak daerah menetapkan insentif sebesar itu.

Besaran 5 persen itu tertulis dari rencana pendapatan pajak dan retribusi bukan dari realisasi. Sehingga meski belum ada perhitungan berapa dana yang masuk ke kas daerah, kepala daerah bisa menerima dana insentif tersebut. Termasuk bila realisasi pendapatan tidak sesuai rencana (lebih rendah) maka tidak membatalkan insentif tersebut (Pasal 4 ayat 6).

Melihat total insentif sebesar 5 persen dari pendapatan pajak daerah serta retribusi daerah, nilai itu cukup besar. Solo misalnya yang dalam kurun tiga tahun belakangan APBD melonjak drastis. Lihat saja pendapatan pajaknya mencapai Rp 53,5 M (2010) kemudian Rp 90,8 M (2011) dan target tahun ini Rp 106 M. Sedangkan retribusi menyumbangkan Rp 46,9 naik menjadi Rp 49 M dan terakhir ditarget Rp 56 M. Dari penjumlahan keduanya maka setidaknya insentif Rp 5 M (2010), Rp 6,9 M (2011) dan Rp 8,1 M Tahun 2012.

Artinya tiap bulan ada anggaran Rp 418 juta (2010), Rp 583 juta (2011) dan Rp 676 juta (2012) yang dibagikan pada kepala daerah, wakil kepala daerah, sekretaris daerah, kepala SKPD berkaitan dan staf pemungut insentif. Sebuah angka yang mengejutkan dan luar biasa besarnya. Asumsi saja bila setiap petugas pemungut hingga kepala daerah dihitung jumlah personelnya apakah akan mencapai 418 orang? Kalau toh pun iya, masak kepala daerah mendapat bagian Rp 1 juta sama seperti petugas pemungut?

Minggu, 12 Agustus 2012

Karut Marut Penyelenggaraan UKG Di Solo

|0 komentar
Anggaran pendidikan sudah naik menjadi 20 persen, berbagai program sudah dikucurkan, sarana sudah banyak yang diperbaiki namun sepertinya nasib pendidikan di Indonesia masih menjadi keprihatinan bersama. Hal ini disebabkan design pendidikan tak disiapkan secara matang dan dilakukan bertahap. Besarnya anggaran menyebabkan semua pihak bersama-sama menjalankan programnya sehingga bukan kemajuan yang didapat namun kesemrawutan.

Program Biaya Operasional Sekolah, Bea Siswa, Bidik Misi, DAK Pendidikan, Tunjangan Sertifikasi dan beragam program lainnya belum mampu mengangkat rerata tingkat kualitas output pendidikan. Jangankan kualitas, membuat biaya pendidikan terjangkau saja seperti mustahil. Saat ini seperti terjadi dilema para orang tua. Disekolahkan di swasta biayanya mahal dan sekolah negeri yang biasa hasilnya ya begitu. Kalau masuk di akselerasi atau RSBI setara sekolah swasta.

Dipundak merekalah kemajuan bangsa tersandar
Seminggu ini program pemetaan kualitas guru yang diselenggarakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan amburadul. Pemetaan itu dilakukan dengan cara Uji Kompetensi Guru (UKG) via online. Jadi jangankan mendapat peta secara jelas, teknis pelaksanaannya banyak ganjalan terutama di eks karesidenan Solo. Masalah-masalah muncul dan itu justru disebabkan oleh hal-hal yang menjadi kewenangan pusat bukan masalah yang timbul dari penyelenggara lokal.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Solo hanya mengkonsolidasikan tempat dan perangkat (komputer on line), selebihnya merupakan kewenangan pusat. Jangankan mengerjakan soal, untuk masuk ke soal saja tak bisa karena tiba-tiba server kelebihan beban. Hal ini tidak hanya di alami oleh guru pada jenjang yang sama namun mulai level SMU, SLB hingga tingkat taman kanak-kanak. Kalau toh pun bisa log in, data yang tersedia tidak match. Akibatnya 500 guru harus mengulangi UKG.

Beberapa masalah yang muncul yakni (a) server tidak bisa diakses (b) kekeliruan kode (c) salah data guru (d) soal yang muncul tidak sesuai data guru dan masih banyak kendala lainnya. Ternyata berdasar paparan Disdik Kota Solo ada guru dari 11 Mata Pelajaran yang harus mengulang. Belum lagi beberapa guru tidak melek teknologi sehingga harus diajari atau didampingi oleh petugas dari Dinas Pendidikan.

Bila dilihat lebih luas, gagalnya mereka menjalankan UKG berdampak kerugian yang lebih luas. Panitia harus kerja dua kali yakni ujian ulangan harus disiapkan kembali. Siapa yang harus mengulang dan siapa yang tidak. Mencetak undangan, no duduk, menyiapkan ruangan, berkoordinasi dengan Kemendikbud adalah beberapa hal yang nanti harus menjadi pekerjaan ulangan Disdikbud Solo. Guru-guru bertambah tegang disaat ujian ulangan digelar jelang mid semester, akibatnya beban bertambah.

Kemaren banyak guru yang meninggalkan kelas, meninggalkan pekerjaan pada anak didiknya bahkan ada yang memulangkan lebih cepat. Tetapi ketika bersiap ujian ternyata tidak berhasil. Maka dari itu, Mendikbud Muhammad Nuh harus mengevaluasi secara menyeluruh atas pelaksanaan UKG pertama. Harus ada trial and eror sebelum program diimplementasikan. Bila dalam evaluasi ditemukan ada pekerjaan yang belum diujicoba, layak pelaksana mendapat teguran bahkan sanksi. Sebab mengulang melaksanakan UKG berdampak membengkaknya anggaran. Atau benarkah hal ini disengaja agar anggaran bisa berlipat yang keluar? Ah semoga saja tidak.

Jumat, 10 Agustus 2012

DPK Banyak Terkuras Untuk Operasional Lembaga

|0 komentar
Dalam alokasi Dana Pembangungan Kelurahan (DPK) Kota Solo, anggaran bisa digunakan untuk organisasi-organisasi masyarakat. Kelembagaan yang biasanya mendapatkan "jatah" dari dana DPK sebut saja LPMK, PKK, Karang Taruna, TPA dan lain sebagainya. Dana ini sebagai stimulan organisasi agar aktivitasnya bisa terdukung dengan baik. Tidak banyak kelembagaan kelurahan yang mandiri dalam anggaran karena tidak mempunyai pemasukan rutin.

Padahal bila jeli, organisasi kelembagaan ditingkat kelurahan bisa mengelola potensi-potensi pendapatan yang bisa melancarkan organisasi. Kota Solo terbuka peluang untuk membuka banyak usaha yang bisa dimanfaatkan lembaga-lembaga itu. Banyaknya pasar, mall, pertokoan, mini market, warnet, hotel dan berbagai usaha lainnya. Mereka bisa mengajukan kerja sama dengan pengusaha untuk pengelolaan fasilitas publiknya.

Misalnya pengelolaan parkir, pengelolaan kamar kecil, jasa keamanan, penjaga malam di toko maupun beragam jasa lainnya yang bisa menjadi sumber pendapatan resmi. Berkaitan dengan anggaran biaya operasional, beberapa lembaga ditingkat kelurahan tidak sedikit yang mengandalkan dari DPK. Dalam studi yang dilakukan Yayasan Kota Kita Surakarta terhadap penggunaan DPK 2009 hingga 2011 terlihat alokasi Biaya Operasional (BO) kelembagaan ada yang diatas 40 persen bahkan lebih 50 persen DPK Kelurahan.
Hasil Pemetaan BO Kelembagaan Kelurahan Pada DPK 2009 - 2011

Penelitian itu dilakukan di 17 Kelurahan yang menyerahkan data hasil penggunaan DPK. Kelurahan yang BO organisasi antara 40 hingga 50 persen di Tahun 2009 terdapat di Kelurahan Stabelan dan Timuran, di Tahun 2010 bertambah menjadi Timuran, Sudiroprajan, Pucangsawit dan Baluwarti. Sedangkan 2011 hanya ada Kelurahan Jagalan yang BO organisasi antara 40 - 50 persen. Meski demikian cukup banyak kelurahan yang alokasi BO mencapai diatas 50 persen Dana Pembangunan Kelurahan.

Tahun 2009, Sudiroprajan mengucurkan 57,21 persen DPK untuk BO organisasi yang mencapai Rp 70 juta. Di Tahun 2010 hanya ada Stabelan yang alokasi BO mencapai 58,76 persen. Dan Tahun 2011 cukup banyak kelurahan yang alokasi BO diatas 50 persen bagi organisasi yakni Stabelan (62,60 persen), Sudiroprajan (60,94 persen), Kepatihan Wetan (62,97 persen) serta Kedunglumbu (54,39 persen). Bila dinominalkan, alokasi terbesar 2011 dialokasikan Kedunglumbu yang mencapai Rp 65,8 juta.

Dari 17 kelurahan itu memang bila dijumlahkan total BO masih dibawah 40 persen. Misalnya Tahun 2009, BO hanya 29,57 persen saja. Kemudian Tahun 2010 meningkat menjadi 32,71 persen BOnya atau senilai Rp 934 juta. Dan Tahun 2011 meningkat menjadi 33,98 persen. Idealnya untuk BO hanya 10 persen agar dana dari APBD bisa dialokasikan bagi program maupun kegiatan yang tingkat kemanfaatannya lebih jangka panjang.

Padahal potensi kelurahan-kelurahan itu cukup besar mendapat anggaran tersendiri dari lingkungan mereka. Sebut saja Sudiroprajan dengan Pasar Gede, Kepatihan Wetan dengan Pasar Legi atau Kedunglumbu dengan Pasar Kliwonnya. Inilah yang perlu dicermati organisasi ditingkat kelurahan agar mampu menghasilkan pendapatan secara mandiri. Agar tidak malah menambah beban mengurangi DPK untuk kegiatan fisik atau lainnya.

Bersambung

Rabu, 08 Agustus 2012

Prosentase Alokasi Bidang Dari DPK

|0 komentar
Kajian DPK Kota Solo 2009 - 2011 (1)

Mencermati Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) Kota Surakarta Tahun 2009 - 2011 banyak yang bisa dianalisa. Apakah kelurahan yang ada mengalokasikan anggaran secara merata di 4 bidang? Bagaimana prosentase atas 4 bidang itu? Apakah semua anggaran DPK hanya dialokasikan di satu bidang? Awal Tahun 2012, Yayasan Kota Kita Solo melakukan penelitian atas DPK di 17 Kelurahan di Solo dan banyak data yang didapat dari proses itu.

Ke 17 kelurahan itu yakni untuk Kecamatan Banjarsari ada 4 kelurahan meliputi Stabelan, Manahan, Nusukan dan Timuran. Kecamatan Jebres meliputi Jagalan, Sewu, Sudiroprajan, Pucangsawit, Tegalharjo dan Kepatihan Wetan. Kecamatan Laweyan hanya ada data dari Kelurahan Pajang, Kecamatan Pasar Kliwon meliputi Kedunglumbu, Baluwarti, Sangkrah dan Kauman. Sedangkan Kecamatan Serengan data yang lengkap untuk Kratonan dan Tipes.

Potret hasil matrikulasi penggunaan DPK


Untuk alokasi Bidang Sosial Budaya, selama 2009 hingga 2011 kelurahan yang alokasinya selalu paling tinggi dibanding bidang lain yakni hanya Kelurahan Sewu dengan prosentase 38,38 persen (2009), 36,70 persen (2010) dan 46,98 persen (2011). Yang lainnya hanya ada dalam kurun satu tahun saja alokasinya melebihi bidang lain.

Untuk Bidang Fisik Prasarana, dari 17 kelurahan hanya 3 kelurahan yang alokasinya selalu berada diatas bidang lainnya yakni Kelurahan Manahan, Nusukan dan Tipes. Meski Manahan dan Tipes berada di perkotaan, kenyataannya mereka masih mengalokasikan anggaran fisik lebih besar dibanding anggaran lainnya. Sementara Bidang Ekonomi tak pernah mendapat prioritas dana DPK selama 3 tahun itu. Ke 17 kelurahan itu tak memandang cukup penting dibanding bidang lainnya.

Sementara Bidang Pemerintahan Umum selama 3 tahun hanya Kelurahan Stabelan saja yang menempatkan porsi anggarannya cukup besar. Selain porsi anggaran itu, ada juga kelurahan yang tidak mengalokasikan anggaran untuk satu bidang. Fakta menemukan bahwa Kelurahan Jagalan tak mengalokasikan anggaran DPK untuk bidang ekonomi ditahun 2011, kemudian Sewu (Ekonomi, 2009), Sudiroprajan (Fispra, 2009 dan 2010).

Selain itu masih ada Pucangsawit (Ekonomi, 2009 - 2011), Pajang (Fispra, 2009), Baluwarti dan Kauman (Pemerintahan Umum 2011) dan Kratonan (ekonomi 2009 - 2011). Melihat kondisi ini sudah seharusnya ada evaluasi secara mendalam apakah benar tindakan masyarakat yang tidak menganggarkan bidang tertentu terutama bidang ekonomi? Apakah sudah tidak ada warga yang tidak butuh bantuan modal atau karena memang sudah ada lembaga lain yang membantu?

(Bersambung)

Rabu, 01 Agustus 2012

Prameks, Layanan Yang Kian Merosot

|0 komentar
Bagi warga Eks Karesidenan Surakarta tentu sangat familiar dengan yang namanya angkutan Kereta Api Prambanan Express/Prameks jurusan Solo - Kutoarjo. Apalagi bagi pekerja yang tiap hari rutin menggunakannya. Kereta komuter ini mulai diluncurkan 20 Mei 1994 tetapi mulai bertambah operasionalnya pada Maret 2006. Bila dibandingkan dengan bus, banyak pengguna transportasi memilih Prameks dikarenakan beberapa alasan.

Diantaranya adalah nyaman, cepat, bersih, tertib, tepat waktu dan murah. Tahun 2008 biaya sekali jalan ke Jogja hanya dikenai Rp 8.000, meski lebih mahal Rp 1.000 dibandingkan bus namun waktu tempuh yang selisih 30 menit membuat pengguna banyak beralih. Pemeliharaan pada awal dioperasikan, pemeliharaan kereta cukup memuaskan. Ketika naik, terlihat kereta yang bersih dan nyaman. Selama perjalanan juga lancar tanpa banyak kendala.

Prameks saat melintas di Manahan
Kini semuanya telah berubah drastis dan pelayanannya merosot tajam. Padahal sudah ada tambahan kereta operasional Madiun Jaya AC. Harusnya PT KAI sudah mendapat keuntungan yang berlipat dan melayani penumpang dengan lebih baik lagi. Tiap Jum'at sampai Minggu, keberangkatan jam berapapun dan dari manapun selalu penuh sesak. Rentang 3 hari itu rasanya tak mungkin tidak ada 1 gerbong orang berdiri 10 pasti lebih banyak.

Dalam sehari dulu ada 10 keberangkatan dari Solo dan Jogja sehingga total ada 20 perjalanan kereta. Bandingkan dengan kondisi saat ini yang hanya ada 5 alias setengahnya saja. Padahal karcisnya sudah naik menjadi Rp 10.000 atau lebih mahal Rp 2.000 dari angkutan bus. Konsumen yang setia menggunakan Prameks sudah berupaya membantu PT KAI mencarikan solusi dengan beberapa tawaran. Namun rupanya pengakuan merugi yang paling mempengaruhi operasional Prameks.

Entah sampai kapan kondisi ini akan berlangsung. Melihat tingginya minat pengguna harusnya membuat PT KAI berpikir bahwa peluang bisnis sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan saja. Anehnya mereka mengaku terus merugi sehingga kereta-kereta yang rusak tak bisa diperbaiki. Berdasarkan data wikipedia, kereta itu dibuat di PT INKA Madiun. Harusnya bila produsen jelas tentu kondisi kereta yang rusak dapat diperbaiki. Kini layanan kereta sudah sulit diperbaiki.

Jadual menjadi tak pasti, sering dibatalkan, penumpang penuh sesak, kereta mogok, penumpang dilimpahkan adalah sebagian kejadian-kejadian yang jamak terjadi. Tentu sudah banyak pelanggan beralih ke moda transportasi lainnya seperti bus. Jadi, berhenti totalnya Prameks nampaknya tinggal menunggu waktu meski kita tidak berharap demikian.