Senin, 11 April 2011

Tiga Tipe Magersari di Kemlayan Solo (4)

|0 komentar
Tangani Kasus Cokrosuman Kemlayan

Dalam berbagai kesempatan, Walikota Solo Joko Widodo menjelaskan akan mengalihkan Pasar Malam Ngarsopuro ke jalan Gatot Subroto. Hal ini dilakukan sebagai upaya meramaikan kawasan Ngarsopuro saat ini yang akan diisi menjadi pusat pementasan kesenian. Rencana ini nampaknya sudah banyak didengar warga di Kemlayan. Warga setempat yang berjualan juga sudah didata oleh Lurah Pasar Singosaren. Rencananya mereka yang telah didata akan diberi tempat jualan di kawasan night market tersebut.

Pengembangan di wilayah Kemlayan tidak hanya Night Market tetapi juga rencana pembangunan Acasia Hotel dan Honggowongso Square. Proyek Honggowongso Square kini sudah masuk tahap pembangunan fisik sedangkan untuk Acasia Hotel belum ada kabarnya. Ketika informasi perkembangan soal ini pada pihak kelurahan, sepertinya belum ada strategi yang akan dilakukan pihak kelurahan. Padahal ini merupakan kesempatan bagi pemerintah kelurahan untuk menaikkan posisi tawar warga untuk masuk bekerja pada sektor formal.

"Pintu masuk" ke kampung
Jangan sampai kejadian tutupnya supermarket (counter yang menjual kebutuhan sehari-hari) di Matahari menyebabkan konsumen merosot drastis sehingga kondisi perparkiran mempengaruhi pendapatan warga. Adanya home stay, hotel melati maupun tempat makan yang sering ramai juga belum banyak dioptimalkan masyarakat setempat untuk menggali lebih jauh potensi yang mereka miliki agar mendapat imbal balik yang berguna. Anak-anak didik harus disiapkan mengisi ruang kosong yang selama ini justru diisi oleh pihak luar.

Di Kawasan lain, kita akan menemukan kawasan Cokrosuman dan di gerbangnya tertulis Mess AURI. Lokasi ini terletak di bagian barat dari kantor kelurahan. Saat memasuki regol (pintu besar) terhampar tanah lapang yang begitu luas, kemudian juga joglo yang cukup tua serta jejeran rumah yang mengelilinginya. Dari berbagai info yang dikumpulkan, inilah kawasan yang saya sebut sebagai Magersari Struktural. Di lahan seluas hampir 1 ha, terdapat 14 kepala keluarga yang merupakan janda dari pensiunan TNI AU.


Awalnya kawasan ini merupakan peninggalan dari keturunan Paku Buwono IX yang bernama Raden Cokronegoro sehingga dinamakan Cokrosuman. Karena bekerja di TNI AU, dia kemudian ditugaskan di Mabes TNI AU dan mempersilahkan TNI memakai kawasan ini. Dijadikanlah tempat ini sebagai klinik yang cukup lengkap karena ada tempat bersalin, poliklinik serta laboratorium klinik juga. Seiring perkembangan jaman, lama kelamaan tempat ini makin sepi dan aktivitas TNI AU beralih ke panasan.

Lahan yang dimanfaatkan untuk parkir
Menurut Margono, pensiunan TNI AU yang masih tinggal disitu menyatakan bahwa Tahun 1959 tanah tersebut telah dibeli TNI AU senilai Rp 2juta. Namun entah mengapa tidak juga dikelola secara optimal padahal kawasan tersebut sangat strategis. Beberapa kali bahkan sempat akan ditukar guling dengan beberapa pihak yang tertarik tetapi selalu gagal. “Saya tidak tahu apa kendalanya dan silahkan tanya ke panasan saja mas” ungkapnya saat ditemui. Warga yang masih menempati disitu juga tetap rutin membayar listrik sementara untuk pembayaran PBB berhenti Tahun 2006 tanpa tahu alasan yang jelas.

Sumber lain yang patut dipercaya menyatakan wilayah itu jadi sengketa antara TNI AU dengan keluarga Cokronegoro.  Terlepas dari soal mana yang benar, hendaknya tanah-tanah yang tak optimal pengelolaannya ditengah kota segera ditangani agar permasalahan yang ada tidak berlarut. Penanganan itu harus melibatkan semua pihak yang mengetahui perjalanan sejarah bagaimana lokasi tersebut digunakan oleh TNI AU dan atas nama siapa pemilik tanah sebenarnya.

Sabtu, 09 April 2011

Tiga Tipe Magersari di Kemlayan Solo (3)

|0 komentar
Membengkaknya Warga Kemlayan

Meski terletak dilingkungan pertokoan yang pastinya membutuhkan banyak pekerja, namun jarang ditemukan warga yang bekerja di pertokoan Kemlayan. Di Matahari Departemen Store, sebuah supermarket besar di Singosaren Mall hanya ada 3 orang saja. Beberapa yang lain sudah tidak bekerja lagi. Bahkan menurut pengakuan Wulan, seorang anak SMP, saudaranya kena PHK. Artinya keberadaan pertokoan bahkan mall ternyata tidak memberi kontribusi langsung pada warga sekitar.

Menurut salah satu warga, Joko jika ingin menjadi pekerja di supermarket itu harus memiliki persyaratan yang lumayan rumit. Baik secara fisik maupun teknis atau keahlian. Saat ini hanya ada 3 orang yang bekerja secara resmi di Matahari dept store. Yang paling banyak bekerja di kawasan tersebut adalah menjadi tukang parkir. Pilihan ini diambil dikarenakan uang yang mereka terima tiap harinya lumayan besar. Dalam sehari mereka ditarget memberi setoran Rp 240.000 padahal potensi parkirnya sangat besar.

Rumah salah satu warga
Dengan tarif parkir Rp 1.000 dan kapasitas parkir motor 4 baris baik di sisi jalan Gatot Subroto, barat matahari atau jalan kampung maupun Dr Radjiman (depan Matahari) tentu pendapatan harian para tukang parkir ini melimpah. Belum lagi dari parkir mobil yang memakan jalan dan bisa menampung beberapa mobil. Salah satu warga menuturkan bila digantikan orang lain karena kesibukan minimal Rp 25.000 bisa dikantongi.

Hanya saja dari segi fisik ketersediaan rumah, mereka yang bertempat tinggal di Rw III justru hanya magersari saja. Mereka menggunakan rumah secara turun temurun atau ada yang membeli milik tetangga mereka yang dijual. Sebenarnya jauh dari kata memadai atau layak disebut sebagai tempat tinggal. Tidak hanya dari faktor ukuran namun juga fasilitas, ventilasi, maupun kondisi sosial masyarakat. Banyak rumah yang hanya berukuran 20 – 30 m2 saja atau saya menemukan warga yang tinggal dipetak ukuran 4m2.

Dengan ukuran minim itu, kita tak akan menemukan sesuatu dipetaknya kecuali kasur yang diletakkan begitu saja diatas tikar kusamnya. Ditahun 1960an, menurut penuturan Ratman, sesepuh warga, hanya ada 12 rumah yang berada  wilayah Rw III. Awalnya mereka membayar sewa pada para pemilik tanah namun perkembangan jumlah warga meningkat kemudian pembayaran sewa menyewa menjadi hilang. Inilah yang saya sebut dengan magersari frontal, yaitu menempati rumah yang tak memenuhi aspek standarisasi apapun (legal ataupun aspek lainnya).

Salah satu rumah kuno
Berdasar penuturan Sarwono, mereka bersedia dipindah dari tempat tersebut asalkan pemilik tanah memenuhi 2 syarat yang mereka ajukan yaitu pertama menyediakan rumah dilokasi baru dan kedua mereka dipindah bersama (bedhol deso). Kedua syarat ini tidak boleh ditawar karena ikatan yang mereka miliki begitu kuat sehingga mereka tak siap kehilangan tetangganya. “jauh dari sekolah ataupun tempat kerja itu salah satu resiko yang siap kita hadapi mas” kata pria yang kesehariannya bekerja menjadi tukang parkir.

Menyusuri kawasan perkampungan di Kemlayan sebenarnya ada kenikmatan tersendiri. Di jalan selebar 1 meter hingga 1,5 meter itu kita akan menemui banyak pemandangan menarik. Tidak hanya jemuran pakaian namun juga, sepeda, motor, hingga tempat memasak tetapi kita akan berpapasan dengan warga yang mau berangkat kerja atau mandi. Pagi hari adalah waktu yang nikmat untuk menyusuri kawasan itu dan senandung keriangan anak-anak kecil menjadi iringan merdu langkah kita.

Jumat, 08 April 2011

Tiga Tipe Magersari di Kemlayan Solo (2)

|8 komentar
Kerabat P Singosari Masih Ada Di Kemlayan

Bila dikaji lebih jauh, di Kemlayan masih tinggal keturunan raja dari Raja Keraton Kasunanan Surakarta. Tidak hanya dari gelar namun juga bentuk bangunan tempat tinggal yang masih asli seperti bangunan joglo tua yang kemungkinan didirikan tahun 1900an. Mereka merupakan keturunan Raja Paku Buwono ke IX yang anak pertamanya dikenal dengan nama Pangeran Singosari. Wajar saja bila kawasan ini juga dikenal dengan nama Singosaren. Kemudian tanah dialihkan kepada adiknya ke 8 (atau terakhir) yakni Kanjeng Harum Binang.

Kini bangunan itu masih ditinggali 2 cucu Kanjeng Harum Binang dari anak no 3 yaitu RA Sri Murwani dari ketujuh anaknya. Lahan milik Pangeran Singosari sebenarnya seluas 10.000m2 namun setelah beberapa diantaranya dijual kini tinggal 7.700m2. Diseputar ndalem (rumah utama) banyak rumah yang awalnya ditempati para abdi dalem yang mengabdi pada para keturunan raja. Kini seiring berjalannya waktu rumah-rumah tersebut ditinggali anak cucu abdi dalem. Bila ditilik dari status tanah, tentu saja mereka hanya memakai saja.

Ndalem Singosari
Seiring perkembangan jaman, rumah-rumah itu kemudian berkembang dan bertambah banyak. Keturunan abdi dalem ada juga yang menyewakan rumahnya dan ada beberapa yang lain melakukan transaksi meski tidak memiliki kekuatan hukum. Walaupun rumah-rumah tersebut tak memiliki sertifikat tanah namun hampir semua tempat tinggal mendapat aliran listrik resmi serta membayar pajak bumi dan bangunan.

Sedangkan dirumah joglo dan seputaran ndalem tersebut kini yang menjadi tanggungan keturanan Paku Buwono IX  seluas 2.700m2 yang pajaknya sangat besar atau mencapai Rp 5juta/tahun. Idealnya pihak pemkot memberi insentif atas perawatan rumah yang bisa masuk kategori cagar budaya tersebut. Para keturunan yang masih tinggal di Ndalem Singosaren sebenarnya cukup berat merawat rumah dan berbagai kebutuhan lainnya.

Warga yang magersari ditanah milik Ndalem Singosaren (atau sebutan lainnya Kanjengan) menurut penuturan sumber utama menyatakan bertempat tinggal seadanya. Namun kemudian merembet dan rumahnya menjadi membesar atau semakin lebar. Di Rt 02/III awalnya bahkan ada 9 kepala keluarga saja (1980an) namun kemudian mengajak saudara atau menikahi warga setempat sehingga kemudian penduduk bertambah banyak. Inilah yang dalam tulisan pertama saya masukkan dalam kategori magersari kultural atau menempati rumah bukan miliknya sendiri secara budaya.

Pekarangan Ndalem Singosari
Disisi utara rumah tersebut masih terdapat tanah yang cukup luas. Di tanah itu digunakan untuk berbagai aktifitas warga seperti olah raga (main bola anak-anak, bulu tangkis), tanaman, sarana MCK umum, memelihara ternak dan sebagainya. Pihak keturunan Kanjeng Harum Binang lebih merasa nyaman bila ada pihak yang ikut membantu merawat rumah masih berdiri kokoh meski usianya sudah cukup tua. Masyarakat yang menempati bekas leluhur mereka juga tak terbebani dengan membayar pajak kepada keturunan Raden Harum Binang.

Masyarakat Kemlayan terutama yang magersari cukup faham bahwa relokasi menjadi pilihan kemungkinan yang bisa saja dialami oleh mereka. Hal ini bisa dilihat dari data yang tercatat di Kelurahan yang awalnya memiliki 9 RW, kini hanya tinggal 6 RW saja. Untuk mencari investor atau orang yang memiliki kemampuan keuangan besar tentu cukup mudah. Di Kemlayan memang lebih tepat sebagai lokasi perdagangan dibandingkan sebagai hunian tetap keluarga.

Kamis, 07 April 2011

Tiga Tipe Magersari di Kemlayan Solo (1)

|0 komentar
Menelisik Kemlayan Sebagai Kampung Tengah Kota

Kemlayan merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Serengan dan secara geografis berada di pusat kota Solo. Nama Kemlayan, berdasarkan penuturan Lurah Djoko Sarwoto, berasal dari wilayah yang (dalam sejarahnya) banyak pengrajin gamelan (disebut Mloyo dalam bahasa Jawa). Sehingga kemudian jadi Kemlayan (tempat para pembuat gamelan). Gamelan itu digunakan atau didistribusikan untuk Kraton Kasunanan Surakarta. Namun ada versi lain yaitu dari kata Kamulyan (orang mulya atau berkecukupan). Memang sejak dulu wilayah Kemlayan sebagai pusat perdagangan sehingga banyak orang kaya didaerah itu.

Salah satu jalan lebar di Kemlayan
Secara umum kondisi jalan di Kemlayan relatif baik apalagi kelurahan ini terletak di pusat kota yang merupakan jalan level kota. Empat jalur sabuk yang membatasi Kemlayan adalah jalan Honggowongso (sisi barat) dan jalan Yos Sudarso disisi timur membujur dari utara ke selatan. Ditengah jalur itu ada jalan Gatot Subroto. Sedangkan sisi selatan membujur dari barat ke timur yakni jalan Slamet Riyadi, disisi utara ada jalan Dr Rajiman. Itulah penanda batas administrasi kelurahan.


Kawasan ini dikenal dengan kawasan pertokoan yang cukup ramai. Bagi masyarakat yang tak pernah masuk ke perkampungan pasti tak bakal menyangka apa yang ada dalam kawasan tersebut. Di belakang pertokoan yang megah dan termasuk kawasan cukup mentereng, banyak terdapat rumah yang kontras dengan kondisi ditepi jalan utama. Jangankan kondisi rumah, mencoba memasuki jalan di samping toko kita harus memilih jalan yang memadai. Mungkin tak sampai 5 jalan yang bisa dilalui mobil. Bahkan beberapa diantaranya harus dengan jalan kaki.

Bila kita menaiki motor, mesin motor harus dimatikan dan motor dituntun. Akan lebih mudah jika motor ditaruh diujung jalan kemudian kita masuk dengan jalan kaki. Di kelurahan ini beberapa warga bertempat tinggal magersari atau rumah tinggal bukan di tanah miliknya sendiri. Banyak juga yang menyewa atau kontrak dan tinggal dirumah kos yang juga banyak tersedia. Fasilitas menyangkut kebersihan tersedia di berbagai titik. Walau begitu, masyarakat Kemlayan sangat ramah dan terbuka bila kita berkunjung kesana.

Jalan setapak
Dalam kunjungan yang penulis lakukan pada kurun waktu 4 – 13 April 2011 kemarin, banyak sekali dilihat pemukiman warga yang sebenarnya sungguh tak cukup layak disebut tempat tinggal. Setelah kami menggali berbagai informasi, ditemukan kondisi banyaknya warga yang magersari. Setidaknya ada 3 model magersari yaitu magersari kultural, magersari struktural serta magersari frontal. Penamaan ini untuk memudahkan pemahaman pemilahan magersari saja. Ukuran rumah maupun kondisi rumah sebenarnya tak cukup layak disebut sebagai tempat tinggal.

Masyarakat Kemlayan bekerja dengan beragam pekerjaan dan tak bisa dikategorikan homogen dalam sumber mata pencaharian. Di wilayah ini bisa ditemukan orang dengan penghasilan sangat besar hingga yang dalam hitungan ribuan rupiah perharinya. Tentu kondisi ini bisa dilihat dari bangunan fisik maupun situasi rumah. Orang dengan hasil sangat besar, dikelilingi para pegawai yang hilir mudik dirumahnya sedangkan disisi lain, orang dengan penghasilan ribuan bisa kita temui setiap saat.

Rabu, 06 April 2011

Pentingnya Penataan Pegawai Negeri Sipil

|0 komentar
Pada bulan ini, April, tiga kabupaten di eks Karesidenan Surakarta diributkan soal anggaran bagi pegawai yakni Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Sukoharjo. Meski pemberitaan media tidak sama namun substansi yang diangkat pada batasan soal kepegawaian dan tentu saja hal ini berimbas pada anggaran. Perdebatan yang lagi-lagi tidak pada ranah kinerja, pengentasan kemiskinan atau program bagi masyarakat luas. Diskursus yang muncul justru berkutat pada "dapur" pemerintahan daerah.

Kondisi ini mencerminkan kondisi internal penataan pegawai negeri di tiga wilayah itu ada masalah. Meski daerah lain tidak muncul pemberitaan namun tidak selalu menandakan bahwa penataan pegawai telah selesai. Bisa saja memang karena tak ada momentum yang bisa memantik isu ke permukaan. Padahal ditiga wilayah itu, anggaran bagi belanja pegawai di APBD Tahun 2010 sudah cukup besar. Masyarakat nampaknya kembali harus menantikan kinerja mereka yang lebih konkrit.

Di Sragen, ribut-ribut tentang JT atau job training serta anggaran Diklat Pra Jabatan muncul beriringan. Padahal landasan hukum perekrutan mereka sangat lemah. Meski bupati menyatakan bahwa keberadaan mereka untuk menutup ketimpangan ketersediaan tenaga pengajar, tetapi istilah JT merupakan hal baru. Agak aneh bila Untung menyatakan keberadaan mereka untuk mengcover tenaga guru di sekolah yang hanya ada 4-5 orang saja. Sementara pengadaan CPNS berasal dari pusat dan membutuhkan waktu.

Perdebatan penyelenggaraan diklat prajabatan bagi CPNS Sragen membutuhkan biaya hingga Rp 3juta/orang (espos 1 April 2011). Padahal kegiatan ini harusnya dibiayai oleh APBD. Penting diketahui untuk gaji PNS Kabupaten Sragen mencapai Rp 663 M atau sebesar 77,3 persen APBD pada Tahun 2010. Sungguh kondisi yang sangat kontras dengan keberadaan masyarakatnya. Bupati yang akan segera dilantik harus memberi catatan khusus mengenai hal ini.

Mendengarkan Pengarahan
Di Karanganyar, anggaran diklat prajabatan tahun 2011 dianggarkan sebesar Rp 2 M atau sebesar belanja bagi hasil kepada pemerintah desa di tahun 2009 maupun 2010. Anggaran yang sangat besar karena akan dibelanjakan untuk ratusan pegawai saja. Coba lihat data kondisi kelas ruang rusak tahun 2011 yang mencapai 705 (kategori sedang) dan 708 (kategori rusak berat). Adapun biaya untuk belanja guru yang sertifikasi mencapai Rp 57 M dan Rp 37 M untuk non sertifikasi.

Di Sukoharjo muncul polemik ratusan perawat kontrak tersebar di 12 kecamatan yang berjumlah 62 orang. Bukan soal jumlahnya namun gaji yang mereka terima tiap bulannya jauh dari layak karena hanya Rp 100.000/bulan. Sementara mereka sudah mengabdikan diri ada yang sudah enam tahun. Lucunya mereka berstatus magang dan dibayar dari pendapatan jasa layanan puskesmas. Yang perlu diketahui adalah setiap pendapatan harusnya masuk ke Dinas Pendapatan Daerah terlebih dahulu.

Ketiga polemik yang muncul bersamaan dengan problem yang hampir sama patut menjadi keprihatinan masyarakat baik di kabupaten yang bersangkutan maupun wilayah lain. Bagi kabupaten bersangkutan patut mempertanyakan sebenarnya bagaimana kinerja pemerintah daerah terutama Badan Kepegawaian Daerah setempat serta SKPD yang mengelola keuangan daerah mengaturnya. Sebab kasus itu muncul tidak serta merta namun ada tindakan yang tidak seharusnya dilakukan justru diterabas (misalnya adanya tenaga kontrak).

Bagi daerah lain, bisa saja problem yang sama sebenarnya dialami namun tidak ada yang memblow up. Kondisi seperti diatas sangat bisa terjadi diwilayah lain. Masyarakat perlu membangun dirinya untuk bersikap kritis supaya pajak maupun retibusi yang telah dibayarkan tidak dikeluarkan untuk hal-hal yang bisa melanggar aturan atau bukan urusan prioritas. Idealnya pemerintah daerah mengatur secara ketat dan disiplin dalam menjalankan pemerintahnya.

Kepala daerah harus cermat atas kinerja bawahannya dan harus sering melakukan cross check lapangan supaya tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tidak hanya menerima laporan apalagi yang baik-baik saja. Sudah tidak jaman lagi kepala daerah percaya begitu saja laporan bawahannya. Harus ada tindakan nyata untuk memverifikasi setiap jawaban "siap pak", "beres pak", "laksanakan" dan perintah sejenis lainnya. Karena pada dasarnya para kepala daerah memegang amanat masyarakat bukan warisan nenek moyang.

Jumat, 01 April 2011

Kenaikan Gaji PNS dan Etos Kerja

|0 komentar
Mulai tanggal 1 April 2011 ini, pegawai negeri sipil mendapat pembayaran kenaikan gaji yang cukup lumayan yaitu 15 persen. Meski ditengah-tengah kondisi keuangan negara dan masyarakat yang masih jauh dari sejahtera rupanya pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono – Boediono tetap menganggarkannya. Pembayaran dilakukan dengan menghitung kenaikan per 1 Januari 2011. Maka dari itu direncanakan biaya sebesar Rp 91,2 T dari belanja pegawai Tahun 2011 senilai Rp 180,6 T.

Kenaikan sebesar 15 persen ini merupakan kenaikan kelima sejak tahun 2006 – 2007 dengan prosentase sama, 2008 naik 20 persen, 2009 naik 10 persen dan tahun lalu hanya 5 persen. Artinya para birokrat tersebut telah mendapat kenaikan upah yang sungguh berbeda dibanding sektor lainnya. Kenaikan total belanja pegawai belum termasuk dalam hitungan pendapatan birokrasi dari honorarium, tunjangan dan uang lembur mereka.

Disisi yang lain, peran Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tidak terlihat cukup mencolok. Penataan pegawai dan perekrutan pegawai untuk diangkat menjadi PNS juga masih jadi persoalan rumit. Panja Tenaga Honorer DPR RI hingga sekarang belum memutuskan skema perekrutan tenaga honorer untuk menjadi PNS. Banyak kasus diberbagai wilayah yang melingkupi bagaimana tenaga honorer tersebut diangkat.

Salah satu update status fb seorang PNS

Sebut saja Kementrian Pertanian yang memiliki puluhan ribu Tenaga Honorer Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Dalam perjanjian kontrak mereka memang disebutkan tidak menuntut untuk diangkat menjadi PNS. Namun ketika pada tahun ini ada sekitar 28.000 penyuluh pertanian yang akan pensiun, tentu mereka berharap bisa direkrut. Kementrian Agama juga memiliki tenaga honorer yang cukup besar di daerah.

Sementara itu, dibanyak wilayah data tenaga honorer juga sangat rancu. Banyak data yang tidak sama antara Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dengan BKD Propinsi maupun kabupaten/kota. Disisi yang lain, banyak pula asosiasi tenaga honorer terutama untuk guru. Mereka mengklaim sudah bekerja cukup lama namun tidak diangkat juga menjadi PNS. Di Jawa Tengah juga muncul penamaan tenaga honorer kategori tercecer.

Di Sragen kini muncul yang namanya Job Training (JT) yang jumlahnya konon mencapai 4.000 orang dan waktu masuk mereka menyetorkan sejumlah uang. Di Kabupaten Kutai Kartanegara malah jauh lebih parah. Honorer daerah yang dimaknai dalam Tenaga Tidak Tetap Daerah (T3D) sudah direkrut sejak tahun 2005 berdasarkan kebutuhan SKPD. Mereka juga membayar agar bisa jadi T3D diberbagai dinas, badan maupun kantor.

Kasus itu menyeret beberapa orang (termasuk Kepala BKD saat itu) menjadi tersangka perekrutan tenaga tidak tetap daerah. Lantas bagaimana kinerja mereka? Seperti sudah umum kita tahu, kinerja birokrasi kita sangat lemah. Etos kerja, semangat, dedikasi dan loyalitas yang dulu menjadikan patokan penting untuk bekerja kini tak terdengar lagi. Banyak kita temui PNS di saat jam kerja keluyuran di pasar tradisional, toko maupun mall.

Masyarakat awam juga faham bahwa kinerja mereka dibawah rata-rata sehingga tak aneh bila ada pengumuman perekrutan PNS dari 100 orang yang dibutuhkan maka ribuan orang yang akan memasukkan lamaran. Lihat saja foto yang saya upload dari update status teman yang bekerja sebagai PNS. Postingan itu dikirim pada pukul 8 pagi dan jamak diketahui para pegawai negeri kita mayoritas memang tidak cukup besar memiliki etos kerja tinggi.

Masih banyak juga sebenarnya PNS yang secara serius dan sungguh-sungguh bekerja dengan benar. Sayangnya model reward yang diberikan tidak bersumber pada kinerja (meski keuangan daerah sudah mengacunya). Belum ada sistem yang dibuat oleh BKN untuk menilai dan memberi penghargaan pada para birokrat yang bekerja sungguh-sungguh. Penilaian masih banyak yang bersumber pada penilaian sepihak atasan.

Jika demikian, lantas apa yang bisa kita harapkan selaku warga negara? Semoga saja BKN segera membuat sistem yang dapat memantau kinerja para pegawai negara tersebut. Disisi lain, pemerintah daerah juga berkreasi membuat kebijakan yang dapat menjaga supaya pegawainya bekerja dengan sungguh-sungguh. Terakhir kita hanya dapat berdoa semoga mereka yang menjadi abdi negara sadar bahwa gaji mereka dibayar dari pajak masyarakat sehingga mereka mau bekerja sungguh-sungguh sehingga pendapatan mereka menjadi “halal”. Sekali lagi semoga.....

Dua Trilyun Rupiah Fasilitas Untuk DPR

|9 komentar
DPR Terus Berpolemik

Sebagai wakil rakyat seharusnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat bekerja secara serius untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Setidaknya mereka memikirkan masyarakat miskin di daerah pemilihannya atau di dapil dia dan merupakan simpatisan partainya. Sayangnya harapan itu kian hari kian menjauh saja. Kita tentu masih ingat polemik minimnya kehadiran wakil rakyat dalam sidang paripurna, pansus century dan yang terakhir ditolaknya pembentukan pansus pajak.

Setelah ramai-ramai itu, kini kembali terangkat polemik tentang pembangunan gedung Baru DPR senilai Rp 1,1 T (dari rencana semula Rp 1,6 T). Nampaknya ditengah kondisi rakyat yang masih kesulitan menghadapi kehidupan sehari-hari, rupanya mereka semakin abai saja pada konstituennya. Masyarakat masih banyak yang tertimpa bencana, kenaikan harga sembako (pasca pengumuman kenaikan gaji PNS per April ini), petani juga banyak gagal panen dan beragam masalah lain.

Ruang Asisten bersama staff ah
Sebagian besar anggaran tersebut diperuntukkan bagi pembuatan ruangan 560 anggota DPR RI dengan luas 111,1 meter persegi tiap anggota. Anggaran permeter untuk membangun ruangan itu senilai Rp 7,2 juta yang berupa bangunan fisiknya saja. Selama ini tiap anggota DPR hanya memiliki ruangan dengan luas 32m2. Dengan merencanakan penambahan staf ahli dari 2 orang ditahun 2011 menjadi 5 orang pada Tahun 2014 maka ruangan tersebut tak akan cukup.

Ruangan baru akan dilengkapi dengan MC/K karena saat ini anggota DPR hanya menggunakan 2 MCK bersama 8 anggota lainnya plus tenaga ahli dan asistennya. Meski hampir setiap fraksi telah menyatakan keberatan dengan pembangunan tersebut, kenyataannya lelang masih terus berlangsung. Gedung baru ini kemungkinan baru akan selesai tahun 2014 dan wakil rakyat yang saat ini merumuskan belum tentu akan menggunakannya.

Meski media telah memblow up masalah ini tetapi nampaknya para wakil rakyat itu berprinsip anjing menggonggong kafilah berlalu. Penolakan beberapa fraksi seperti PDIP dan Gerindra hanya disampaikan pada media dan tidak pernah dibawa ke rapat resmi. Kita tahu, belum lama ini mereka juga akan menempati rumah dinas hasil renovasi. Renovasi rumah dinas anggota DPR dianggarkan Rp 900 juta/rumah.

Lemari dan meja fasilitas negara, tv pengadaan sendiri
Jadi, mereka menggunakan fasilitas senilai Rp 1,7 T bangunan fisiknya saja belum ditambah berbagai fasilitas seperti AC, TV, spring bed, sofa, lemari (untuk rumah dinas) dan AC, komputer, uang muka mobil (Rp 70 juta), lemari, layanan serta masih banyak pernak-pernik lainnya. Bisa jadi tiap anggota mendapat fasilitas hingga Rp 2 T diluar gaji, tunjangan, layanan asisten, dukungan tenaga ahli 5 orang, fasilitas kesehatan dan masih banyak lainnya.

Hingga saat ini, masyarakat makin apatis, cuek dan hampir patah asa pada wakilnya. Kalau demikian, masihkah layak mereka disebut wakil rakyat? Masihkah tepat mereka menjadi penyalur aspirasi kita yang kian hari kian sulit menghadapi hidup? Masih banyak ketidakadilan yang muncul diberita-berita sehari-hari namun jangankan empati, simpati dan peduli saja hampir tak pernah tertuang dalam lembaran koran nasional.


Meja Kerja Anggota DPR
Yang menarik adalah statemen ICMI Orwil Eropa yang menyatakan bahwa pembangunan gedung DPR yang baru hukumnya adalah haram (http://www.detiknews.com/read/2011/03/29/112718/ 1603511/10). Akankah pernyataan ini ditindaklanjuti oleh ICMI pusat? Bagaimana reaksi MUI? Mestinya perdebatan halal haram tidak hanya berkutat pada soal makanan tetapi juga perilaku karena perilaku menunjukkan budaya kita.