Rabu, 25 September 2002

Muskotbang Sebagai Perwujudan UU 22/99

|0 komentar
Menjelang Pelaksanaan Muskotbang 27 – 28 September 2002

Oleh : Muhammad Histiraludin

Proses perjalanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif melalui tahapan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) dan Musyawarah Kecamatan Membangun (Muscambang) telah selesai dan akan menginjak proses yang paling penting dalam tahapan itu yakni Musyawarah Kota Membangun (Muskotbang). Perhelatan besar itu sendiri menurut rencana akan digelar di Aula Sekolah Tinggi Seni Surakarta (STSI) selama dua hari pada hari Jum’at – Sabtu tanggal 27 – 28 September 2002 mendatang. Kegiatan itu akan melibatkan seluruh stakeholders kota baik ormas, LSM, sector privat, kelompok perempuan hingga wakil rakyat.

Berdasarkan Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Tahun 2002 halaman 14 point A. Pendahuluan Muskotbang dijelaskan “Muskotbang sebagai forum musyawarah perencanaan pembangunan yang demokratis dalam perencanaan pembangunan ditingkat kota dilakukan secara terbuka dengan melibatkan seluruh stakeholders kota”. Kemudian tujuan Muskotbang yakni untuk menyusun Daftar Skala Prioritas pembangunan tingkat kota sebagai bahan penyusunan APBD.

Sementara organisasi pelaksananya didalam SK tersebut dikatakan Muskotbang diselenggarakan oleh panitia Ad Hoc yang pembentukannya difasilitasi oleh Bapeda Kota Surakarta dan dibantu oleh Stakeholders kota. Berdasarkan item-item diatas terlihat jelas bahwa penyelenggaraan Muskotbang sangat membuka partisipasi masyarakat tidak hanya teknis persiapan penyelenggaraan tetapi juga mulai dari perencanaan program sampai out putnya. Jelas sudah keluaran hasil forum tertinggi di kota akan dijadikan sebagai bahan penyusunan APBD Kota Surakarta. Kemudian kalau melihat komposisi peserta yang akan dilibatkan ada sekitar 14 elemen sehingga diharapkan tak ada satu elemen pun yang tertinggal dalam kegiatan tersebut.

Lalu apakah legislative mau memahami kerangka perencanaan yang dulu hanya berbasis perencanaan dari dinas dan sekarang mengalami perubahan. Kepala-kepala dinas apakah juga sudah legowo membuat program kerja berdasarkan identifikasi masalah yang dilakukan pada saat Muskelbang. Kemudian masalah-masalah diluar itu atau yang menyangkut kebijakan makro kota akan dibahas dimana. Adakah peluang untuk mencermati itu dalam agenda Muskotbang. Pertanyaan-pertanyaan itu coba kita lihat bersama.

Forum Sinkronisasi

Melihat kembali perhelatan Muskotbang tahun lalu (atau yang pertama kali diadakan), semua pihak masih terjebak dalam sekat-sekat egoisme, ke-aku-annya dan belum ada kesamaan visi misi. Sehingga Muskotbang berjalan tidak cukup efektif. Usulan dari Muskelbang dibahas di 4 komisi yang ada sedangkan soal makro kota dibahas di komisi tersendiri. Dalam 4 komisi yang perencanaannya berbasis Muskelbang pun tidak maksimal. Artinya utusan kelurahan yang membawa program untuk ditawarkan kepada dinas susah diterima. Karena ternyata dinas ngotot memakai program yang mereka bawa sendiri. Bahkan ada dinas yang tidak hadir atau mewakilkan pada bawahannya yang tidak bisa mengambil kebijakan. Tentu hal ini mengakibatkan aspirasi masyarakat yang sudah digodok ditingkat bawah menjadi sia-sia sebab tidak diakomodir dinas terkait.

Pada Komisi Umum yang membahas isu makro kota juga tidak ada prakondisi mengenai hal-hal yang perlu dibahas. Jadi waktu masuk sidang komisi baru mengidentivisir persoalan dan ada 8 masalah besar yakni visi misi, isu kota, pelayanan umum, tenaga kerja, pembenahan infra struktur fisik dan non fisik, PKL dan Lembaga Pengganti LKMD. Itupun pembahasan detilnya baru menuntaskan mengenai visi misi sedangkan 6 isu besar lainnya belum dibahas. Yang patut disayangkan lagi ternyata hasil visi misi yang disepakati tidak terpakai karena DPRD membentuk tim sendiri dan membuat visi misi kota yang baru. Yang perlu dipikirkan sekarang yakni bagaimana agar seluruh program hasil Muskelbang dan isu kota bisa terakomodir dan menjadi basis kebijakan kota yang dipakai eksekutif maupun legislative.

Dalam perjalanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif Muskelbang dan Muscambang ada beberapa kasus yang itu menjadi titik perhatian warga kota. Lihat saja adanya dugaan korupsi di Kelurahan Kepatihan Kulon, Pembangunan Jalan di Kadipiro yang sempat ditulis seorang warga di Harian Solopos, dan juga pembongkaran paving blok oleh masyarakat di Kelurahan Sudiroprajan karena dianggap tidak ada sosialisasi sebelumnya dari dinas terkait. Berarti ada hal-hal yang terputus ditengah jalan atau ada media komunikasi yang ternyata tidak jalan. Tentu kalau dibiarkan akan mengakibatkan Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang digagas Walikota Surakarta yang sangat partisipatif bisa mati ditengah jalan.

Idealnya Hasil-hasil Muskelbang yang dibawa ke Muscambang perlu disinkronisasikan dengan Rencana Strategis (Renstra) Dinas. Artinya bagaimana memadukan antara apa yang dikerangkakan dinas itu bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kemudian hasil sinkronisasi itu akan dibuat besaran program oleh dinas terkait sehingga basis program kerja yang dihasilkan betul-betul sesuai aspirasi masyarakat. Dinas-dinas itu sudah melakukan sinkronisasi Muscambang di 5 Kecamatan yang digelar pada pertengahan sampai akhir bulan Agustus kemarin. Waktu jeda antara awal September hingga penyelenggaraan Muskotbang digunakan dinas untuk memadukan usulan tersebut dengan hasil Renstra.

Pada saat digelar Muskotbang giliran dinas terkait memaparkan hasil itu didepan utusan kelurahan. Kalau pada saat paparan bisa juga dilakukan validasi atau (istilah Drs Totok Sarsito/PR III UNS) bargaining masyarakat dengan dinas terkait. Pertanyaan selanjutnya akan diletakkan dimana isu makro kota yang menyangkut soal kebijakan. Sampai saat ini sudah ada semacam institusi yang dinamakan City Development Strategy (CDS). CDS telah membentuk gugus tugas yang bernama Tim Kerja Stakeholders/TKS yang memang menjemput bola ke basis-basis masyarakat soal isu-isu kota. Mereka terdiri dari berbagai kelompok seperti akademisi, kelompok sektoral masyarakat, ormas, NGO dan lainnya. TKS yang diinisiasikan sejak awal tahun ini sudah menyelenggarakan puluhan kali focused group discussion dalam kelompok masyarakat yang diidentifikasi termarginal, rentan akan kebijakan, baik dari kalangan seniman, budayawan, isu perempuan, eksessibilitas dan lainnya.

Yang jelas ada 3 besaran isu yang digarap TKS yakni Kemiskinan, Tata Ruang serta isu Konflik dan Kamtibmas. Tiga hal inilah yang dianggap memang menjadi focus perhatian bagi pelaksanaan kebijakan-kebijakan kota. Isu yang tertangkap akan dikerangkakan menjadi besaran-besaran isu yang akan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh birokrasi. Garapan TKS CDS ini nanti juga merupakan bagian dalam agenda Muskotbang dan nantinya tetap difloorkan kembali dalam bentuk rekomendasi bukan bentuk program. Inilah yang membedakan di arena Muskotbang mana perencanaan yang berbasis wilayah (melalui tahapan Mukelbang, Muscambang) dan perencanaan yang berbasis sector atau kelompok strategis lainnya.

Peran Dewan

Tinggal sekarang kita coba melihat kontribusi dan peran apa yang bisa dilakukan oleh wakil rakyat. Pengalaman tahun lalu, sejak tahapan paling bawah yakni Muskelbang keterlibatan wakil rakyat sangat minim. Bahkan di Muskotbang justru mereka nampak seperti tamu agung. Datang lalu duduk didepan, mendengarkan upacara pembukaan, memberikan sambutan lantas setelah acara pembukaan selesai meninggalkan tempat. Padahal jelas acara itu mestinya sangat penting bagi anggota dewan karena penyusunan APBD berbasis usulan program dari masyarakat melalui Perencanaan Pembangunan Partisipatif tersebut.

Harapannya sekarang, setelah beberapa acara di Muskelbang juga diikuti aktif oleh anggota dewan, nanti di Muskotbang mereka mau membuka telinga lebar-lebar, membawa bolpen dan mencatat hal-hal yang betul-betul dibutuhkan masyarakat sehingga dalam Tim Panitia Anggaran tidak ada penghapusan usulan tersebut. Memang ada beberapa kasus yang patut disayangkan dalam proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif tersebut. Satu contoh kecil ketika di arena Muskelbang (yang nota bene merupakan forum musyawarah tertinggi untuk membuat program) tidak mencuat usulan perpindahan kantor kelurahan, justru diarena Muscambang usulan itu muncul. Ironisnya lagi yang melontarkan justru anggota dewan. Isu ini bahkan sempat keluar beberapa hari dimedia massa.

Baiklah, hal itu coba kita singkirkan terlebih dulu. Sekarang sampai sejauh mana tahapan-tahapan, peran, kontribusi masing-masing pihak bisa seoptimal mungkin dalam arena Muskotbang. Kalau hal itu bisa terjadi tidak mengherankan Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang diinisiasi Walikota menjadi hal yang produktif, berbasis perencanaan serta kebutuhan masyarakat, transparan, partisipatif serta demokratis. Out put Muskotbang akan menjadi dasar perumusan program pembangunan atau RAPBD tahun mendatang yang akan diajukan ke legislative. Di DPRD nantinya masyarakat menginginkan ada klarifikasi terhadap program yang dibahas atau sering dikenal dengan istilah public hearing.

Public hearing yang dilakukan Panitia Anggaran untuk mencross chek kembali kebutuhan masyarakat. Sehingga keluaran APBD 2003 mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kota. Selain itu rekomendasi yang dihasilkan oleh CDS bisa dipakai Walikota dan atau wakil rakyat sebagai dasar pengambilan kebijakan ditingkat kota. Akhirnya pelaksanaan UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah di kota Surakarta bukan hanya bualan atau omong kosong belaka tetapi betul-betul bisa diimplementasikan secara nyata. Selamat menjalankan Muskotbang 2002.

Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo