Padahal setiap guru dalam
menyampaikan materi memakai metode yang berbeda. LKS sebenarnya alat bantu bagi
pendidik untuk mengetahui sejauh mana siswanya menyerap pembelajaran yang
diajarkan. Lantas dimana problemnya? Ada 2 argumentasi besar kenapa LKS tidak
layak dijadikan materi bantuan bagi siswa didik. Pertama, jual beli LKS
disekolah menambah beban orang tua dan kedua, evaluasi pembelajaran dilakukan
oleh guru yang bersangkutan.
Seringkali LKS diadakan oleh
sekolah dengan harga yang jauh lebih mahal. Bayangkan bila biaya produksinya
hanya Rp 5.000/LKS namun dijual hingga Rp 15.000 – Rp 30.000/LKS. Seringkali
pengadaan LKS dilakukan oleh guru atau sekolah tanpa pernah melibatkan orang
tua dalam proses pembelian LKS. Misal menentukan penerbit yang cocok, materi
didalamnya yang tepat hingga harga yang ditolerir.
Dan yang terpenting, guru
yang sudah digaji oleh pemerintah dengan tinggi (karena mendapat sertifikasi)
harusnya yang memberi tes harian sejauhmana daya serap siswanya.
Pendidik hanya mengambil cara
gampangnya saja. Toh bila dengan LKS dia bisa mendapat tambahan pendapatan.
Hampir tidak memeriksa materi untuk latihan soalnya diajarkan atau tidak. Saya
beberapa kali memergoki harus mengajarkan anak mengerjakan soal di LKS karena
gurunya tidak menyampaikan materi yang dijadikan PR dari LKS. Guru juga hanya
mencari gampangnya saja. Padahal guru-guru jaman dahulu jika tidak memberi PR
atau tes dari buku paket maka dia akan membacakan soalnya.
Fenomenya LKS ini hampir
merata diberbagai wilayah. Pemerintah sudah meminta agar sekolah cq guru tidak
berjualan LKS namun sepertinya diabaikan saja. Kepala daerah mestinya mendorong
dan memberi rambu-rambu yang tegas soal jual beli LKS ini di sekolah. Belum
lagi kasus banyak buku pendamping atau LKS yang ternyata memuat pornografi,
radikalisme hingga tidak sesuai dengan usia anak didik.
Kementerian Pendidikan tidak
mungkin mengontrol tiap LKS. Dinas Pendidikan saja tidak punya wewenang
memeriksa setiap LKS yang dijual ke sekolah karena keputusan menggunakan
tidaknya LKS tergantung kebutuhan sekolahnya sendiri alias gurunya. Baru-baru
ini, Dedi Mulyadi Kepala Daerah Purwakarta Jawa Barat menerbitkan Surat Edaran
Dinas yang melarang sekolah jual beli LKS ini.
Argumentasi yang diajukan
oleh Kang Dedi ini tidak sekedar soal beban biaya orang tua. Kang Dedi dalam
akun social medianya menjelaskan bahwa pengembangan kemampuan bukan hanya aspek
kognitif tetapi juga kreatif dan produktif. Ada aspek motorik dan aspek afektif
yang tak kalah pentingnya. Apa kita mau mendidik anak-anak hanya memiliki
kapasitas pengetahuan padahal punya kapasitas lain yang mumpuni? Kang Dedi juga
mengeluarkan ancaman yang tegas agar kepala sekolah maupun guru harus
mematuhinya.
Kenapa Kepala Sekolah turut
dilibatkan dalam pengenaan sanksi? Kadang ada kepala sekolah pura-pura tidak
tahu guru melakukan jual beli LKS meski menerima sesuatu dari guru yang
melakukan. Ancaman sanksi kepala sekolah memaksa dia menjalankan tugasnya
memastikan anak buahnya tidak ada yang memperjualbelikan LKS. Lantas kabupaten/kota
mana lagi yang berani melakukan terobosan seperti Kang Dedi?
0 komentar:
Posting Komentar