Sabtu, 24 September 2016

Dicari Kepala Daerah Yang Bisa Larang Sekolah Jual LKS

Saat ini hampir sulit menemukan sekolah tidak memperjualbelikan Lembar Kerja Siswa (LKS). Fungsi LKS itu sebenarnya membantu pendidik untuk melatih anak didik mengerjakan soal-soal dari materi yang diajarkan.

Padahal setiap guru dalam menyampaikan materi memakai metode yang berbeda. LKS sebenarnya alat bantu bagi pendidik untuk mengetahui sejauh mana siswanya menyerap pembelajaran yang diajarkan. Lantas dimana problemnya? Ada 2 argumentasi besar kenapa LKS tidak layak dijadikan materi bantuan bagi siswa didik. Pertama, jual beli LKS disekolah menambah beban orang tua dan kedua, evaluasi pembelajaran dilakukan oleh guru yang bersangkutan.

Seringkali LKS diadakan oleh sekolah dengan harga yang jauh lebih mahal. Bayangkan bila biaya produksinya hanya Rp 5.000/LKS namun dijual hingga Rp 15.000 – Rp 30.000/LKS. Seringkali pengadaan LKS dilakukan oleh guru atau sekolah tanpa pernah melibatkan orang tua dalam proses pembelian LKS. Misal menentukan penerbit yang cocok, materi didalamnya yang tepat hingga harga yang ditolerir.

Dan yang terpenting, guru yang sudah digaji oleh pemerintah dengan tinggi (karena mendapat sertifikasi) harusnya yang memberi tes harian sejauhmana daya serap siswanya.

Pendidik hanya mengambil cara gampangnya saja. Toh bila dengan LKS dia bisa mendapat tambahan pendapatan. Hampir tidak memeriksa materi untuk latihan soalnya diajarkan atau tidak. Saya beberapa kali memergoki harus mengajarkan anak mengerjakan soal di LKS karena gurunya tidak menyampaikan materi yang dijadikan PR dari LKS. Guru juga hanya mencari gampangnya saja. Padahal guru-guru jaman dahulu jika tidak memberi PR atau tes dari buku paket maka dia akan membacakan soalnya.

Fenomenya LKS ini hampir merata diberbagai wilayah. Pemerintah sudah meminta agar sekolah cq guru tidak berjualan LKS namun sepertinya diabaikan saja. Kepala daerah mestinya mendorong dan memberi rambu-rambu yang tegas soal jual beli LKS ini di sekolah. Belum lagi kasus banyak buku pendamping atau LKS yang ternyata memuat pornografi, radikalisme hingga tidak sesuai dengan usia anak didik.

Kementerian Pendidikan tidak mungkin mengontrol tiap LKS. Dinas Pendidikan saja tidak punya wewenang memeriksa setiap LKS yang dijual ke sekolah karena keputusan menggunakan tidaknya LKS tergantung kebutuhan sekolahnya sendiri alias gurunya. Baru-baru ini, Dedi Mulyadi Kepala Daerah Purwakarta Jawa Barat menerbitkan Surat Edaran Dinas yang melarang sekolah jual beli LKS ini.

Argumentasi yang diajukan oleh Kang Dedi ini tidak sekedar soal beban biaya orang tua. Kang Dedi dalam akun social medianya menjelaskan bahwa pengembangan kemampuan bukan hanya aspek kognitif tetapi juga kreatif dan produktif. Ada aspek motorik dan aspek afektif yang tak kalah pentingnya. Apa kita mau mendidik anak-anak hanya memiliki kapasitas pengetahuan padahal punya kapasitas lain yang mumpuni? Kang Dedi juga mengeluarkan ancaman yang tegas agar kepala sekolah maupun guru harus mematuhinya.

Kenapa Kepala Sekolah turut dilibatkan dalam pengenaan sanksi? Kadang ada kepala sekolah pura-pura tidak tahu guru melakukan jual beli LKS meski menerima sesuatu dari guru yang melakukan. Ancaman sanksi kepala sekolah memaksa dia menjalankan tugasnya memastikan anak buahnya tidak ada yang memperjualbelikan LKS. Lantas kabupaten/kota mana lagi yang berani melakukan terobosan seperti Kang Dedi?

0 komentar:

Posting Komentar