Sabtu, 01 Mei 2004

PENCERMATAN ATAS RAPBD KOTA SOLO TAHUN 2005

|0 komentar
HARUSKAH RAKYAT (KEMBALI) DIKORBANKAN?

Oleh Muhammad Histiraludin

Mencermati pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBD) Kota Surakarta tahun 2005 cukup menarik. Perdebatan panjang selama sebulan ini belum lagi ditambah dengan publik hearing DPRD atas RAPBD cukup menyita perhatian. Terbukti dari porsi pemberitaan di media massa terus bergulir. Tidak hanya itu, muncul juga beberapa artikel dari masyarakat yang ikut menyoroti hal tersebut. Seperti Pemkot Solo Berjalan Tanpa Arah (Espos 20/4) dan RAPBD dan Masukan Untuk DPRD Kota Solo (Espos 9/4). Namun nampaknya masyarakat memang harus mengalami kekecewaan kembali karena apa yang disuarakan Suharno dan Suci Handayani dalam artikel diatas dianggap angin lalu saja oleh pihak eksekutif maupun legislative.

Beban gaji dan beban hutang Pemerintah Kota Solo menjadikan anggaran yang dialokasikan untuk masyarakat kembali dikorbankan. Awalnya rakyat cukup lega dengan statement wakil rakyat mengenai penetapan anggaran berimbang (defisit 0%). Tetapi ditengah perjalanan, pernyataan itu kembali hanya menjadi ‘bunga tidur’ masyarakat Solo sebab Kepala Kantor Keuangan Kota Solo tidak berani menjanjikan sedangkan DPRD menyatakan tidak mungkin melakukan defisit 0 % (Espos 26 dan 27 April). Eksekutif yang awalnya mengajukan RAPBD defisit Rp 29 M, berhasil ditekan Rp 19 M dan hingga sekarang belum ada kejelasan berapa pinjaman yang akan dilakukan Pemkot Solo untuk menjalankan roda pemerintahannya.

Meskipun daerah dapat melakukan pinjaman/hutang, ada beberapa catatan menyertainya. Hal itu dapat dilihat di UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada pasal 17 ayat (1) UU 17/2000 disebutkan “APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah”. Penjelasan pasal ini berbunyi dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran. Artinya pengeluaran diusahakan diminimalisir agar tidak malah membebani APBD terutama jika menyangkut kepentingan masyarakat umum.

Kemudian pada pasal 192 ayat (3) UU 32/2004 disebutkan “Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD”. Konteks pasal ini dapat dimaknai eksekutif dan legislative hendaknya tidak memaksakan anggaran-anggaran kegiatan yang tidak berdampak baik langsung ataupun tidak langsung untuk penduduk Kota Solo. Hal lebih tegas lagi diatur di pasal 167 ayat (1) UU 32/2004 yang berbunyi “Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22”. Sementara ayat (2) lebih jelas penjabarannya yakni “Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan system jaminan sosial”.

Tentunya dengan aturan seperti itu, birokrasi tidak boleh ngotot  menganggarkan dana bagi kegiatan yang tidak menyentuh kesejahteraan masyarakat. Penegasan ketersediaan dana dapat dilihat di pasal 9 PP 105/2000, “Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup”. Klausul ini lebih menghendaki kepastian ketersediaan dana bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Anggaran Bombastis

Bila dicermati aturan-aturan diatas dan membuka RAPBD ataupun hasil pembahasan komisi di DPRD dengan eksekutif, masih banyak anggaran atau kegiatan yang “menabrak” aturan yang berlaku. Sebenarnya, pembahasan APBD tidak boleh terjebak antara pemaknaan anggaran defisit atau surplus. Dapat difahami bila 5 tahun yang lalu hutang Pemkot cukup banyak dikarenakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik seperti Balaikota, Gedung DPRD, Pasar Singosaren, Pasar Gede dan lain sebagainya. Nah kalau sekarang mau menghutang lagi, haruskah rakyat yang sudah tercekik akibat kenaikan BBM juga harus menanggung akibatnya?.

Dalam RAPBD, Pemkot Solo mengajukan pengeluaran sebesar Rp 370.172.087.442 sementara pendapatannya hanya sebesar Rp 350.299.669.849. Ketika muncul wacana defisit 0%, pembahasan hanya terfokus pada pengurangan proyek dan kegiatan. sementara pengkritisan pengeluaran Belanja Administrasi Umum untuk item non gaji, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas serta belanja pemeliharaan tidak disentuh sama sekali. Padahal di kelompok ini ada anggaran yang bombastis seperti biaya foto copy, biaya telpon, biaya penggandaan/cetak, uang lembur, honor panitia bila ada kegiatan (total Rp 3,6M/232 kegiatan). Di pos belanja wajib dan rutin ada pos yang susah dimengerti masyarakat namun tetap melenggang saja. Lihat di Bagian Umum Pemkot terdapat pos jamuan tamu Pemda (Rp 450 juta), Pengadaan inventaris kendaraan dinas (Rp 1,3 M) meski akhirnya dicoret, Pengadaan/pembelian pakaian dinas pegawai (Rp 1,7 M), Di BKD terdapat biaya bantuan bulanan pejabat structural (Rp 1,1M), di DKP ada pembangunan Taman Mapam Manahan (Rp 202 juta), DPU ada pembangunan garasi Pemadam Kebakaran di Kota barat (Rp 285 juta) dan masih banyak lagi.

Kalau proyek/kegiatan ini menyangkut kepentingan masyarakat maka kita akan mahfum. Namun kegiatan seperti bantuan kredit bergulir untuk koperasi dan UKM di Dinas Koperasi dihapuskan, padahal semula dianggarkan Rp 413.500.000. Selain itu muncul kegiatan yang memakan dana besar dibiarkan saja seperti Lomba Tertib Lalu Lintas, pengecatan marka jalan (DLLAJ) masing-masing sebesar Rp 100 juta, penyusunan buku statistik kepariwisataan (Diparsenbud) Rp 40 juta, belanja perjalanan dinas (Bapeda) yang semula Rp 70 juta menjadi Rp 129.677.500, Misi dagang ke luar negeri (Dinkop dan UKM) Rp 300 juta dan lain sebagainya.

Political Will
Jika kondisinya seperti ini, kepada siapakah kita (rakyat) berharap mendapat perhatian? Tidak mudah menjawab hal ini karena eksekutif dan legislative pasti punya argumen sendiri-sendiri yang pada intinya menguatkan penjelasan kenapa Pemkot mesti berhutang. Perlu diingat, akibat hutang-hutang terdahulu, APBD 2005 yang digunakan membayar hutang plus bunganya Rp 33 M atau separo lebih PAD Kota Solo. Akankah kejadian ini diualang kembali meskipun kebijakan pemerintah sudah jelas memberi rambu-rambu.

Solusi yang ditawarkan adalah, Pertama, DPRD harus punya political will berupa dua keberanian. Satu, keberanian tetap konsisten menerapkan APBD berimbang (defisit 0%) dan keberanian kedua memangkas anggaran-anggaran bombastis. Meloloskan dana-dana yang dipergunakan selain untuk kemakmuran rakyat berarti menyalahi UU dan itu telah ditegaskan sejak awal. Kedua, buka ruang-ruang publik dengan masyarakat dan jelaskan kenapa anggaran yang diperuntukkan bagi masyarakat masih terbatas. Misalkan saja soal dana pendidikan, dana kesehatan, kesejahteraan masyarakat dan lainnya. Jangan menjadikan publik hearing menjadi legitimasi dan pembohongan jargon keterlibatan masyarakat di era otonomi daerah. Penjelasan yang dilakukan DPRD itu untuk memenuhi transparansi serta bentuk akuntabilitas legislative.

Ketiga, Penyusunan APBD 2005 jadikan pembelajaran ditahun-tahun mendatang supaya perdebatan anggaran defisit, surplus atau berimbang dapat ditetapkan jauh-jauh hari sehingga legislative tidak dituduh “mencla-mencle” bersikap. Sebagai pejabat publik mestinya konsisten memegang apa yang dikatakan pada masyarakatnya. Masyarakat tentunya berharap bahwa program yang akan dijalankan betul-betul bermanfaat bagi mereka dan rakyat tidak harus menanggung hutang dimasa mendatang. Atau public hearing benar-benar dimaknai rakyat yang yang mendengarkan, betulkah begitu wakil rakyat?


Penulis menjadi Koordinator Forum Untuk Partisipasi Kebijakan, Pekerja Sosial di IPGI Solo dan alumnus 39th PDM Course Asian Institute Management Philipina