Jumat, 09 Februari 2018

Lagi, Ustadz Abdul Somad "Terperosok" Dalam keteledoran

|0 komentar
Dai yang sudah hamper setahun ini naik rupanya terus menimbulkan polemic. Bukan soal apa yang tidak dikuasainya tetapi justru dia mengulangi hal yang selayaknya tidak menjadi ranahnya. Entah apa yang dibenak Abdul Somad ketika menyampaikan soal suap syariah, suap yang diperbolehkan. Bagaimana bisa perilaku haram diperbolehkan. Ini menandakan bahwa siapapun harus menghindari kesombongan terutama dalam diri sendiri. Jika secara mentalitas tidak siap, akan mudah terpeleset. Hal-hal yang sangat dijaga oleh ulama-ulama NU. Sangat jarang para dai dari Nahdliyin terpeleset lidah sebab mereka memiliki pengendalian diri cukup matang.

Secara materi dan metodologi sebetulnya Ustadz Abdul Somad bagus. Dia yang berpaham ahlussunnah wal jamaah menyampaikan beberapa khilafiyah dengan cara bagus sehingga cukup banyak digemari. Ceramah pun disampaikan dalam bahasa sederhana diselingi dengan candaan-candaan ala Indonesia, rakyat awam sehingga mudah ditangkap. Meski lulusan luar negeri, beliau tidak cukup banyak berkutat soal halal haram, baik buruk, benar salah namun menjelaskannya juga runtut. Sayangnya paska “diseret-seret” pada kepentingan politik, sepertinya beliau lupa. Harusnya ada yang mengingatkan bahwa ada kepentingan besar yang ingin memanfaatkan ketenarannya untuk berada di kelompok tertentu.

Bahkan yang pantas disayangkan adalah ketika beliau bertemu pimpinan FPI Rizieq Shihab di Arab Saudi, makin jelas siapa yang menyeret beliau dalam pusaran. Ada 3 (tiga) momentum kepleset lidahnya UAS ketika berceramah dan semuanya terekam bahkan dibagikan secara massif di youtube. Pertama, statemen beliau mengomentari lepas jilbabnya Rina Nose. Semua penjelasannya clear dan ala ahlussunnah wal jamaah, hanya sayangnya ada 2 kata yang menurut saya tidak pantas diucapkan tokoh agama. Dua kata itu jelek dan pesek. Soal jelek jelas, ini sangat subyektif dan mengandung nafsu untuk merendahkan orang lain. Kedua, pesek yang menandakan bentuk hidung seseorang atas pemberian Allah SWT. Bukankah Allah SWT menurunkan kita di bumi dalam kondisi terbaik?

Kedua, penjelasan beliau soal penjelasan haramnya main catur dengan alasan tidak mengingat waktu. Pak Ustadz, bukankah jelas dalam Islam dalam hal apapun bahkan ibadah yang berlebihan itu tidak diperbolehkan? Pun sholat seharian penuh hanya istirahat makan atau ke kamar mandi juga tidak dianjurkan? Manusia itu makhluk social yang butuh orang lain untuk berinteraksi, saling bantu, bekerjasama dan lain sebagainya. Kalau toh pun catur hanya sebagai contoh mengapa tidak mencontohkan berbagai kegiatan? Bukan hanya satu hal.

Dan yang terakhir soal materi tentang suap alias menyogok syariah. Bukankah hal-hal yang diharamkan memang tetap tidak diperbolehkan? Jangan dibandingkan dengan makan atau minum haram kecuali hanya pilihan itu satu-satunya jika tidak akan mati. Kenapa? Karena jika kita tidak menyuap ala syariahpun kita tidak akan mati. Selayaknya pilihlah penyampaian materi ceramah yang tepat atau tidak mencampur adukkan logika atau pemahaman. Hal ini akan banyak mengandung salah faham bahkan penyesatan yang luar biasa. Memberi contoh dengan yang dilakukan masyarakat sehari-hari tentu dianjurkan supaya masyarakat tahu bedanya hanya saja harus tepat.


Inilah mengapa penting para dai, ulama, tokoh agama, kyai ketika menyampaikan tausiah perlu kehati-hatian. Ingat, ini bukan berarti kita membenci seseorang atau individu. Fokus yang dikupas dalam tulisan ini lebih ke kalimat yang digunakan, atau materi yang disampaikan. Seperti di awal tulisan disebutkan, Ustadz Abdul Somad adalah dai yang bagus dalam menyampaikan materi maupun ceramah. Tetapi tetap jika ada kesalahan patut kita ingatkan agar ke depan beliau makin bagus berkualitas. Bisa jadi keteledoran-keteledoran begini yang membuat beliau kemudian Hongkong memblacklist. Mari kita sama-sama benahi dengan cara tetap berpikir kritis dan konstruktif. 

Rabu, 07 Februari 2018

COO Kompasiana Yang Naif

|0 komentar
Saya tidak mengenalnya secara personal dengan Chief Operating Officer Kompasiana yang saat ini, Iskandar Zulkarnain. Hanya berteman via FB saja dan sudah lupa siapa yang duluan add. Dia menggantikan Kang Pepih Nugraha yang saat ini sudah mengoperasikan web sendiri yang lebih keren PepNews setelah sebelumnya ikut melahirkan Selasar. Setahu saya Iskandar pernah mampir solo ngajak bertemu beberapa Komposono (penulis Kompasiana) dari Solo. Kebetulan saat itu saya ada acara sehingga tidak sempat ketemu.

Dulu, Kompasiana cukup beken sebelum muncul berbagai media online yang menyita perhatian. Banyak penulis keren betah di Kompasiana serta ga yakin mandiri. Sebut saja Alifurrahman (Seword), Yusran Darmawan (Locita), Palti Hutabarat (Indovoice), Gunawan (Kabarkan) serta nama lain yang jadi andalan Kompasiana. Secara personal saya melihat Kang Pepih sanggup momong dan mengelola Kompasiana dengan baik.

Paska Kang Pepih out, diikuti berbagai penulis keren mendirikan website sendiri suara Kompasiana makin tidak terdengar. Jika dulu di WA atau FB sebuah tulisan sering di share, sudah lebih 6 bulan saya tidak menemukan orang share tulisan dari Kompasiana. Jangankan orang lain, si COO ini juga tidak mesti seminggu sekali share tulisan Kompasiana. Setidaknya hal ini mengindikasikan 2 hal yakni tidak ada tulisan keren yang  bisa dibagikan atau dia sendiri tidak memiliki kebanggaan dengan media itu.

Sebagai seorang pimpinan media online, seharusnya dia membangun interaksi dengan berbagai pihak dengan normal, wajar dan nyinyir. Tapi sepertinya hal itu entah disadari atau tidak, malah ditabraknya. Ada beberapa orang mutual friend kami namun hampir tidak pernah ada interaksi. Tidak usah dengan Kang Pepih yang  memang jauh lebih senior namun dengan penulis-penulis beken juga tidak terbangun. Status facebooknya lebih banyak nyinyir dibanding kritis dan secara pribadi saya menilai tragis seorang COO media online besar tidak mampu mengelola emosinya di ranah publik. Bagi kita para penulis yang sudah menghasilkan banyak tulisan, sangat jelas beda kritik dengan nyinyir.

Misalnya status FB soal Permendagri Pengajuan Surat Keterangan Penelitian (SKP), bukan hanya mengutip pemberitaan Tirto.id namun juga menyertakan kata Represif. “Jelang #pilpres2019, Presiden Jokowi menampilkan wajah pemerintahannya yg represif.” (status FB 7 februari 2018). Bagaimana bisa dirinya menggeneralisir sebagai represif? Saya setuju bahwa prosedur perijinan itu harus dicabut tapi menganggap itu tindakan represif sangat tidak masuk akal. Isjet (panggilan akrabnya) sangat faham bahwa kebijakan itu baru saja muncul. Kritik dan protes akan saya dukung karena saya juga tidak setuju kebijakan ini. Tapi menyebutnya represif terlalu mengada-ada.

Yang kedua, status “Esemka adalah Pilpres” 31 Januari lalu. Arah status ini dapat dimaknai sebagai tendensi ketidaksukaan pada presiden. Saya juga berkomentar disitu dengan menantangnya untuk jualan isu calon dia tapi dia menjawab tidak punya isu. Kemudian status-status yang lain terutama terkait dengan politik maka yang akan dimunculkan keburukan-keburukan dari partai yang tidak disukainya. Sedang kasus-kasus menyangkut politisi PAN, PKS atau Gerindra sangat minim. Termasuk polemik berbagai kebijakan Gubernur Jakarta seperti penataan PKL Tanah Abang, menggusur rumah bantaran sungai, DP 0 persen, pengoperasian kembali becak dan terakhir soal banjir. Pemberitaan banjir Jakarta sudah muncul sejak Selasa, 6 Februari 2018 sore namun selang sehari kemudian tidak ada status apapun soal banjir. Apalagi soal kaburnya Rizieq Shihab, statemen jelek dan pesek Abdul Somad ke Rina Nose, Caci makinya Sugi Nur Raharja, anti pancasilanya HTI dan lain sebagainya.

Sebagai pimpinan media online yang mengandalkan publik, seharusnya dia mampu membuat status-status yang menarik penulis-penulis pemula untuk nimbrung disana. Padahal secara materi saat ini Kompasiana jauh lebih banyak diiming-imingi uang. Itu kata teman saya yang masih aktif menulis. Jika secara pribadi mengelola keberpihakan diri saja belum bisa bagaimana media yang sudah terlanjur besar dikelola dengan kemampuan itu? Sejak Kang Pepih keluar saya sih tidak menemukan terobosan berarti atau inovasi dari Kompasiana. Tapi barangkali kita tunggu dimasa mendatang. 10 tahun lagi barangkali akan kelihatan perubahannya…….