Sabtu, 02 Juni 2018

Merealisasikan Indonesia Yang Pancasilais Di Tangan Jokowi

|1 komentar

Tidak banyak tokoh bangsa benar-benar memahami falsafah pancasila, apalagi mampu merealisasikannya. Sudah berates anggota DPR, pejabat, eselon, bahkan menteri berganti namun mereka bekerja hanya sebatas apa yang ditugaskan saja. Pancasila jelas menjadi falsafah bangsa dan oleh karenanya harus diwujudkan serta diterima rakyat sebagai hak. Bagi kalangan pejabat, tentu hal itu menjadi kewajiban.

Menjadi miris karenanya bila orang macam Amien Rais, Alfian Tanjung, Suryo Prabowo, Tengku Zulkarnain, Mardani Ali Sera, Fachri Hamzah dan lainnya justru lebih suka membuat riuh negara ini. Jangankan berempati, untuk sekedar berbagi kritik yang membangun saja sudah sulit diharapkan. Lihat saja berbagai kata, kalimat, ujaran yang mereka sampaikan baik ke wartawan, diatas mimbar, di depan umat bukan menentramkan malah membakar emosi.

Jokowi sebagai Presiden terus berupaya kembali memperkokoh Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya untuk melawan para penghasut, pendengki, pengadu domba namun demi mempertahankan NKRI. Nawa cita yang diusung menjadi roh pemerintahannya benar-benar diterapkan secara nyata.

Dalam menjalankan tugas selama 3,5 tahun ini kita sebagai rakyat Indonesia merasakan benar berbagai upaya Jokowi baik memimpin pemerintahan maupun mengelola negara menjalankan Pancasila. Representasi dari Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas tergambar dalam berbagai kunjungan Presiden ke pesantren, menghadiri acara ormas keagamaan, perayaan hari besar agama, membangun pondok pesantren, memberi sertifikat gratis pada tanah wakaf, menetapkan hari santri dan lain sebagainya.

Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, terepresentasikan dalam berbagai layanan dasar terutama bagi masyarakat tidak mampu. Kita tahu ada KIS untuk layanan kesehatan, KIP untuk layanan pendidikan, bantuan subsidi pupuk bagi petani petani, bantuan layanan bagi nelayan, pengucuran kredit bagi usaha rakyat, membangun jembatan penghubung antar daerah, membuka isolasi daerah terpencil, menenggelamkan kapal illegal, penyediaan listrik bagi masyarakat pedalaman dan berbagai program lainnya.

Untuk penerapan Sila Ketiga, Persatuan Indonesia jelas tergambar dalam kebijakannya membentuk BPIP, membubarkan HTI, memberantas terorisme, memerangi intoleransi, menetapkan 1 Juni sebagai hari libur Pancasila, membentuk Bekraf, memberi kuis dengan pertanyaan seputar kekayaan budaya, membuka berbagai perhelatan olahraga, serta banyak berinteraksi dengan kalangan remaja maupun pemuda dalam berbagai bidang. Kita tahu beliau pernah potong rambut disebuah barbershop, menggelar festival kopi di istana, membeli motor chooper modifikasi pemuda Indonesia, hingga mengkonsumsi kuliner diberbagai daerah.

Sementara Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan tergambar dalam hubungan Presiden dengan berbagai lembaga Negara termasuk partai politik. Lihatlah, beliau tidak pernah melakukan intervensi, tidak melakukan permufakatan jahat. Jika ada hal yang menciderai nurani rakyat, meski telah disetujui DPR Presiden Jokowi pun menolaknya. Contoh sederhana persetujuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri tetapi Presiden tidak melantiknya. Pun dengan UU Ormas, saat diperkirakan bakal dijegal di DPR maka presiden mengeluarkan Perppu. Namun jika sesuai dengan harapan masyarakat maka berdialog bersama tetap ditempuh. Lihat saat Presiden mengajukan Tito Karnavian sebagai Kapolri, mengajukan Marsekal Hadi Tjahjono sebagai Panglima TNI, menetapkan UU Anti Terorisme semua dilakukan dengan prosedural.

Sedangkan menerapkan Sila Kelima yakni Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bisa dilihat bagaimana infrastruktur mulai bandara, jalan tol, pelabuhan, trans dibangun diberbagai kepulauan di Indonesia. Mendistribusikan sertifikat tanah bagi masyarakat, membuat tol laut, membagi sebagian lahan perhutani untuk masyarakat, menetapkan BBM 1 harga, dan berbagai program lain.

Yang jelas membenahi dan menata kembali Indonesia telah dimulai. Menuju kearah lebih baik jelas sudah terlihat karena banyak pemimpin negara lain menghormati dan mengapresiasi Jokowi. Beliau masih memiliki kesempatan 1 periode lagi yaitu 2019 – 2024. Bila kita ingin melihat Indonesia makin maju dan mencapai titik optimisme tinggi, kepemimpinan beliau harus tetap dipertahankan. Hingga saat ini hampir tidak ditemukan pemimpin visioner yang mampu merangkul dan menyatukan seluruh elemen untuk berada dalam kepentingan yang sama.

Rabu, 30 Mei 2018

Jokowi Terapkan Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

|0 komentar

Kebijakan kepala Negara dapat mencerminkan apa yang menjadi visi misinya. Tentu dia harus mampu menjalankan amanat terutama mewujudkan sila yang ada dalam Pancasila. Dalam perjalanan kebangsaan ada banyak representasi kebijakan yang dilihat sebagai ejawantah dari Pancasila tetapi khusus sila ke 3 Persatuan Indonesia dan sila ke 5 Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia belum banyak yang merealisasikannya.

Terpilihnya Presiden Joko Widodo sebagai presiden dari kalangan bukan siapa-siapa setidaknya menunjukkan harapan besar. Dia bukan pengusaha besar nasional, dia bukan keturunan birokrat besar, dia bukan pejabat teras partai namun dedikasi dan kiprahnya mampu membawa aspirasi rakyat. Sehingga sejak menjabat Walikota Surakarta, Gubernur DKI hingga Presiden selalu disambut gegap gempita.

Pria pengusaha meubeul itu bukan sekedar melaksanakan tupoksi sebagai kepala pemerintahan namun juga sebagai kepala negara. Salah satu hal yang meresahkannya yakni Indonesia ini negara besar, negara kaya, namun ketimpangan antar wilayah masih saja terjadi. Maka dia mengupayakan bagaimana pemerataan itu terjadi.

Hal yang pertama dilakukannya adalah menerapkan BBM 1 harga di mayoritas wilayah di Indonesia. “Ketika tahu harga BBM di Wamena Rp 60.000 nurani saya terusik” ungkap pria yang hobi berkemeja putih dengan dilipat lengan panjangnya. Kini, harga BBM dibeberapa wilayah (tidak hanya papua) sudah sama dengan Jawa.

Kedua, penutupan PT Petral, broker pengadaan minyak bagi Pertamina. Setidaknya dana yang dibayarkan bagi pengadaan BBM yang tadinya diterima Petral, kini menjadi keuntungan bagi Pertamina dan bisa digunakan untuk tambahan distribusi BBM di daerah atau wilayah pedalaman/sulit. Sayang, harapannya agar KPK bisa menindaklanjuti dugaan korupsi di Petral tidak berlanjut.

Ketiga, pembangunan infrastruktur baik berupa bandara, jembatan, PPBL, Waduk, Jalan Trans hingga jalan tol diberbagai pulau semakin membuktikan bahwa rakyat Indonesia berhak merasakan dampak pembangunan. Meningkat tajamnya pembangunan berefek ke berbagai bidang. Misalnya distribusi barang makin lancar, mobilisasi tidak terkendala, deflasi harga, distribusi ekonomi merata, sector pendidikan, kebudayaan, social juga ikut tergerak. “Jadi percepatan infrastruktur itu demi pemerataan, wujud penerapan sila ke 5” tegasnya di hadapan kami para pendukungnya.

 Keempat, dalam 1 hari ada 7.000 kapal illegal baik dari dalam negeri maupun luar negeri merampok ikan kita dengan peralatan canggih. Akibatnya nelayan tradisional kita hampir tidak mendapatkan sisa ikan dan cerita jaring hampa sudah menjadi cerita usang. Penunjukan Susi Pudjiastuti dan pemberangusan kapal illegal ditegakkan dengan hukuman tegas, penenggelaman kapal.

Nelayan-nelayan kita kita sudah kembali berpengharapan. Mereka sudah lagi mendapatkan ikan-ikan yang dulu hampir tidak lagi mereka dapatkan. Kapal-kapal asing atau illegal tak lagi sembarangan mengambil ikan di wilayah kita. Jika ketahuan, siap-siap resiko saja.

Dan semua yang dilakukan Presiden Joko Widodo itu dalam rangka mewujudkan sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Selasa, 29 Mei 2018

Memberangus Perusak Islam

|0 komentar

Diakui atau tidak, Islam sebagai agama mayoritas tumbuh dan berkembang dengan luar biasa. Bukan hanya dalam hal pemahaman namun juga aliran atau ormasnya. Bahkan tatkala ada ormas yang membuat citra Islam terpuruk, masih banyak yang belum tersadarkan. Bahkan sekelompok kecil ormas Islam yang mengklaim paling Islami justru berusaha meruntuhkan bangunan NKRI.

Ya, itulah Hizbut Tahrir Indonesia. Sebuah ormas Islam yang dibiarkan tumbuh dan berkembang saat rezim SBY sejak 2015 mulai mengusik Indonesia. Mereka mulai menunjukkan taringnya dengan mendirikan organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan Gema Pembebasan. Jargon yang mereka bawa adalah menolak demokrasi sebagai sistem negara dan menolak Pancasila sebagai ideologi organisasi. Mereka membawa doktrin khilafah islamiyah sebagai system kepemimpinan.

Dan puncaknya saat diselenggarakan Muktamar HTI di Istora Senayan Tahun 2015 yang bahkan disiarkan langsung oleh TVRI. Mereka meneriakkan kata Khilafah bersama-sama dan berulang kali. Kemudian tahun 2016 ada pertemuan antar lembaga dakwah kampus seluruh Indonesia dan mereka memproklamirkan kesetiaannya untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah.

Padahal Pancasila sebagai sebuah dasar negara merupakan hasil final yang juga dirumuskan termasuk para alim ulama. Menafikkan Pancasila termasuk menafikkan kemampuan Ulama-ulama besar jaman dahulu yang keilmuan agamanya sangat bisa dipertanggungjawabkan.

Melandaskan keyakinan bahwa HTI jelas telah melanggar konstitusi, Presiden Joko Widodo langsung mengeluarkan Perpres tentang Organisasi Masyarakat yang kemudian berubah menjadi UU Ormas. Meski HTI melakukan banding namun pengadilan telah menetapkan bahwa HTI termasuk organisasi yang terlarang. “Bukan hanya kita yang melarang HTI. Ada 15 negara Islam juga melarang HTI termasuk Arab Saudi, Malaysia, Mesir, Turkey, Iran dan lain sebagainya” ungkap Presiden Joko Widodo akhir pekan lalu.

“Banyak yang menyampaikan ke saya untuk tidak membubarkan HTI dengan argument akan menurunnya dukungan politik. Tapi saya juga mempertimbangkan masukan tokoh-tokoh Islam lain yang juga kredibel serta fakta yang ada. Buktinya dari survey terakhir terbukti tokoh yang pro dengan Islam adalah saya. Melaju jauh diatas tokoh-tokoh lain dengan prosentase mencapai 70%” tambah kakek Jan Ethes Srinarendra di Istana Bogor.

Dengan dibekukannya HTI, gerakan-gerakan melawan pemerintah dan mengklaim ada upaya penistaan agama menyusut drastis. Apabila diperhatikan, sebagian kecil kelompok sering membawa atau mengaku representasi Islam. Padahal jumlah mereka sangat kecil bahkan sangat tidak signifikan sebagai representasi umat. Lihat saja HTI, FPI, hingga alumni 212 sering mengaku-aku mewakili Islam. Hal yang sama tidak dilakukan oleh Muhammadiyah atau NU walaupun jumlah jamaahnya puluhan juta.

Pembubaran HTI sangat tepat bahkan jika dilanjutkan pada ormas-ormas yang merusak citra Islam. Mereka tak lagi layak mengaku mewakili Islam karena representasi Islam yang sesungguhnya ada pada akhlak/perilaku bukan pada organisasi.


Senin, 28 Mei 2018

Optimisme Indonesia

|0 komentar

“Assalamu’alaikum” sapanya saat memasuki ruang pertemuan disalah satu sudut Istana Bogor akhir pekan kemarin.

“Wa’alaikumsalam” kami hampir menjawab serentak

Presiden yang mengenakan baju putih, celana hitam dan sepatu kets merah menyalami kami satu persatu disertai senyum ramahnya. Meski terlihat letih, sorot matanya menyinarkan optimisme, memancarkan keyakinan dan menunjukkan beliau memang orang yang pantas memikul beban ini. 

Ya, beliau menyelami kami dengan bergeser langkah bukan kami yang bergantian bersalaman.
Sore itu kami berbincang santai tentang banyak hal, tentang banyak tema, tentang beragam topik namun ujungnya satu demi NKRI. Presiden Joko Widodo menegaskan berbagai kebijakan yang diambil menunjukkan bahwa masih ada sila-sila di Pancasila yang belum terimplementasikan dengan baik. Salah satunya selisih harga BBM di kawasan Indonesia Timur.

“Berapa harga BBM disini (Wamena)?” cerita Presiden saat mengunjungi Wamena dalam sebuah kesempatan.

“Rp 60.000 pak” jawab masyarakat

“Bagi saya kalau Rp 10,000 masih dimaklumi karena selisih biaya transportasi. Kata mereka Rp 60.000 itu dalam keadaan normal, jika sedang laut pasang bisa sampai Rp 100.000. Hati nurani saya terusik, bagaimana bisa kita satu Negara dan yang di Jawa sudah menikmati BBM harga paling mahal Rp 7.000 – Rp 8.000 mereka harus bayar sampai Rp 100.000. Maka dari itu saya perintahkan pertamina untuk menyamakan harga, entah bagaimana caranya” urai Presiden,

Saat menjelaskan nampak sekali penekanan kata, intonasi maupun helaan nafas pada kalimat yang menandakan keprihatinan, kepedihan sekaligus kegusarannya. Beliau seakan-akan ingin mengungkapkan :

Kita ini satu bangsa tapi berlaku tidak adil

Kita ini satu bahasa tapi tidak memberikan hak yang sama pada warga Indonesia timur

Kita ini satu negara  tapi membeda-bedakan dalam membangun

Kini, berbagai wilayah Indonesia Timur sudah menerapkan BBM 1 harga. Bayangkan, mereka harus merasakan BBM 1 harga harus menunggu 73 tahun merdeka. Mereka menikmati harga sama perlu pergantian 7 presiden. Mereka menikmati harga-harga turun dipengaruhi biaya BBM karena Jokowi tersentuh empatinya.

Bila rakyat Papua yang 73 tahun terabaikan juga diperhatikan, bagaimana dengan Indonesia?

Optimis Jokowi

Optimis Indonesia

Minggu, 27 Mei 2018

Presiden Pancasilais

|0 komentar

Entah apa yang dipikirkan para pembenci Presiden Joko Widodo, mereka hampir tak berhenti selama 3,5 tahun menghasut. Sudah berbagai isu dilontarkan namun berhasil di klarifikasi. Keributan itu sebenarnya hanya terjadi di media sosial karena bersumber dari akun-akun yang ga jelas dan penebar fitnah.

Tidakkah mereka selayaknya mengerti, tahu, dan faham bahwa telah banyak yang dilakukan oleh Jokowi? “Freeport itu memberi kita keuntungan hanya 19,5 % lebih dari 40 tahun, tidak ada yang ribut. Kita renegosiasi sudah 3 tahun belum putus untuk dapat 51 % saham. Kalau mereka tidak mau ya kita kelola sendiri” jelas Presiden Joko Widodo di Istana Bogor.

Jangan pernah pikir menaikkan prosentase saham itu semudah mengucapkan dibibir. Mengapa? Sebelum keputusan diambil banyak bisik-bisik sampai di telinga orang nomor 1 Indonesia itu akan ada konsekuensi yang diterima. Ada cukup banyak pihak merasa terancam dengan keberlangsungan mayoritas saham Freeport yang dimiliki mayoritas oleh Mc Moran.

Ancaman-ancaman itu juga sampai ke telinga presiden kembali saat beliau memutuskan membubarkan Petral. Sebuah perusahaan broker dibidang pengadaan/impor minyak meski kita sudah memiliki pertamina. Bahkan sang menteri saat itu sampai 3 kali mengkonfirmasi kepastian keputusan presiden.

“Yakin pak mau bubarkan Petral?”

“Iya, emang kenapa?”

Lontaran pertanyaan Presiden tak terjawab bahkan saat PT Petral sudah bubar sejak 17 Mei 2015 atau sudah 3 tahun lalu. Pun sampai saat ini ketersediaan minyak, pasokan BBM, kebutuhan BBM hingga ke pelosok tanah air aman-aman saja.

Jika kita tahu, 2 raksasa besar itu dimiliki oleh orang-orang yang diakui atau tidak berkelindan diseputar kekuasaan. Soal Freeport kita jadi tahu istilah Papa Minta Saham yang melibatkan Setya Novanto dan Riza Chalid. Bahkan Riza sendiri kabur tak diketahui rimbanya hingga saat ini. Yang kedua soal Petral, bisa di cek keuntungan Pertamina meningkat drastis. Kini Pertamina sedang berinvestasi pada membangun kilang minyak sendiri yang jauh lebih representative.

Semua yang dilakukan oleh Presiden adalah demi Indonesia. Sudah tiga setengah tahun beliau menjabat dan ketegasan serta komitmennya tidak diragukan lagi. Kami menemuinya pada Sabtu lalu. Nampak kantung matanya menggelayut tebal. Beliau terlihat lelah namun sepanjang pertemuan sama sekali tak mengeluh. Seperti ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya memang demi rakyat, demi NKRI atau demi kita semua.

Dan beliau memang Presiden Pancasilais


Selasa, 13 Maret 2018

Islam Kita

|0 komentar

Mengapa Islam begitu banyak pengikutnya? Ini bukan soal apa yang sudah digariskan sang Pencipta namun karena para penebar agama kedamaian ini menebarkan nilai-nilai Islam dengan cara Islami. Cara-cara yang memang mencerminkan Islam itu sendiri.
1.    Rasulullah
Sebagai pembawa agama Illahi, beliau tidak bisa dibandingkan dengan siapapun. Semua mengakui bahwa Muhammad Rasulullah telah menerapkan dan mengajarkan sebuah agama yang menjadi kebutuhan semua manusia. Semua yang disampaikan benar-benar secara akal, naluri hingga jiwa mencerminkan kebutuhan kita sebagai manusia. Beliau tidak hanya dihormati oleh para sahabat atau umatnya namun juga oleh musuh-musuhnya. Banyak cerita yang kita dengar bagaimana Nabi Muhammad menyikapi atau memperlakukan sesuatu.

Beliau tidak sekedar menyampaikan wahyu ilahi, menyebarkan agama Islam tapi berjuang menegakkan kebenaran. Yang didoakan beliau bukan hanya keluarganya, sahabatnya bahkan dalam sebuah hadits beliau menyebut umatnya. Beliau mengkhawatirkan umatnya. Tak heran, akhlak serta cara beliau menebarkan Islam menjadikan agama Allah ini masih tetap banyak pengikutnya meski beliau telah wafat ribuan tahun lalu.

2.    Walisongo
Di Indonesia dikenal walisongo yang menyebarkan Islam dan hingga kini telah menjadi 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Islam berkembang sangat pesat waktu itu meski saat Walisongo datang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Mengapa mereka beralih agama? Secara umum Walisongo “merayu” atau berdakwahnya sesuai dengan apa yang dilakukan masyarakatnya. Silahkan cari rujukan dimanapun, tidak pernah ada tulisan yang menjelaskan bahwa cara menebar Islam dengan cara tidak Islami. Bandingkan dengan di benua atau Negara lain, Islam tumbuh tidak seperti di Indonesia.

Walisongo datang bukan tanpa sebab namun karena “petunjuk” Allah. Cara berdakwah juga seperti yang dilakukan Rasul, dengan santun, menjunjung adab dan yang pasti Islami. Prosesnya tentu panjang dan tidak serta merta. Penuh liku dan laku. Oleh sebab itu, Islam Indonesia secara aqidah jelas sama dengan Islam dibenua manapun namun cita rasanya jelas berbeda. Ibarat makanan, bahan dan cara mengolahnya sama namun ketika kokinya beda maka kelezatan yang dirasakan lidah pasti berbeda. Bahkan hingga medio 80an, bagi masyarakat yang sudah berusia setidaknya 7 tahun merasakan betul damainya Islam Indonesia.

Dibandingkan tampilan fisiknya, Islam 2000an terlihat lebih Islami. Bagaimana tidak kalau mulai polisi, PNS, anak-anak, sekolahan Islam, sopir dan hampir sebagian besar muslimah pakai jilbab bahkan dengan beragam tatanan. Bagi generasi lama dulu jangankan melihat orang berhijab, ketemu bu Nyai pondok saja cuma pakai kerudung yang ditaruh dikepalanya. Tetapi tingkat adabnya dengan sekarang tidak ada apa-apanya. Jelas dampak dakwah walisongo terasa hingga era 80an. Perkataan keras saja kepada yang non muslim saja kita tabu bahkan merasa malu.


3.    Nahdlatul Ulama
NU hanya salah satu firqah (golongan) para pengikut ahlussunnah waljamaah yang setidaknya sekarang beranggotakan lebih dari 90 juta. Padahal golongan dalam Islam sendiri jumlahnya banyak. Hal ini menandakan NU sebagai organisasi atau pengikut sunah nabi mampu menarik orang Islam itu sendiri. Mengapa kemudian NU menjadi besar walaupun hingga sekarang secara organisasi tidak modern? Bila kita mengenal NU, kadang terbersit sangat ndeso, ketinggalan jaman, tidak asyik dan lain sebagainya. Lihat saja sukanya pakai sarung, peci hitam dengan warna hampir memudar, suka jalan kaki atau pakai onthel, nentengnya kitab, gemar lesehan ketika ngaji dan sebagainya.

Pada sebelum 80an, orang lebih nyaman berada di jamiyyah NU. Entah ikut pengajian tiap jum’at, tahlilan tiap kamis, ratiban tiap senin, barzanjain, manakiban atau kegiatan lainnya. Sekarang orang-orang perkotaan lebih jarang beraktifitas begini hanya karena katanya bid’ah. Sebuah kesimpulan konyol dan tak mendasar. Jika adu kitab pun, para penolak bidah jelas kalah referensi. NU mendasarkan pada banyak kitab sebagai rujukan sedangkan para penentang potong kompas hanya ke Al Qur’an dan Hadits. Faktanya memahami Islam caranya jelas tidak hanya butuh pengetahuan yang luas, ketenangan batin, juga beribadah secara tekun seperti para ulama khos NU.

Para ahlul bidah (NU) sering menganjurkan para pengikutnya untuk mengikuti saja apa yang disampaikan oleh kyai-kyai mereka. Ibaratnya kita butuh santan ya beli yang sudah jadi. Tidak perlu menanam kelapa sendiri, merawat pohonnya, menunggu tahunan, memetik buahnya dengan memanjat tinggi, menjatuhkan buahnya, mengupas kulitnya dan proses lain yang butuh energy besar. Bagi awam berat melakukan hal ini. Biar kyai-kyai NU yang bukan sekedar memiliki ilmu, kesabaran, keluasan jiwa serta ketekunan “meminta” petunjuk Allah sehingga umat tinggal menjalankan.

Secara organisasi dibandingkan Muhammadiyah atau bahkan yang lainnya terkesan NU kurang menarik. Padahal kapasitas keilmuan generasi muda NU jauh lebih menjanjikan dibandingkan Muhammadiyah. Ada beragam sosok aktivis sosmed atau bahkan web milik NU yang sendirian bertarung melawan kelompok wahabi. Silahkan sebut penulis-penulis muda kelas sosmed, mayoritas dikuasai anak-anak muda NU. Belum lagi cendekiawan2 yang ada di universitas, lagi-lagi NU. Muhammadiyah? Ada yang bisa disebut?

Setidaknya di 3 wilayah itulah Islam menjadi sangat menarik dan menjawab tantangan kehidupan umat manusia. Oleh karenanya jumlah pengikutnya makin bertambah banyak dan bukan sebaliknya. Prihatin dengan apa yang terjadi sekarang. Tidak ada satupun ajaran nabi yang menyalah-nyalahkan orang lain. Jangankan satu agama, berbeda agama saja nabi tidak pernah menyebut si A, si B atau si C sebagai kafir. Yang selalu dipesankan kepada umatnya adalah jangan sampai ciri-ciri orang yang disebut kafir, munafik, murtad, fasiq dan lainnya itu tercermin di diri kita. Tidak percaya? Kapan Rasulullah menyebut pamannya Abu Lahab sebagai kafir? Tunjukkan riwayatnya.

Oleh karena itu ber Islamlah seperti ajaran Rasulullah

Jumat, 09 Februari 2018

Lagi, Ustadz Abdul Somad "Terperosok" Dalam keteledoran

|0 komentar
Dai yang sudah hamper setahun ini naik rupanya terus menimbulkan polemic. Bukan soal apa yang tidak dikuasainya tetapi justru dia mengulangi hal yang selayaknya tidak menjadi ranahnya. Entah apa yang dibenak Abdul Somad ketika menyampaikan soal suap syariah, suap yang diperbolehkan. Bagaimana bisa perilaku haram diperbolehkan. Ini menandakan bahwa siapapun harus menghindari kesombongan terutama dalam diri sendiri. Jika secara mentalitas tidak siap, akan mudah terpeleset. Hal-hal yang sangat dijaga oleh ulama-ulama NU. Sangat jarang para dai dari Nahdliyin terpeleset lidah sebab mereka memiliki pengendalian diri cukup matang.

Secara materi dan metodologi sebetulnya Ustadz Abdul Somad bagus. Dia yang berpaham ahlussunnah wal jamaah menyampaikan beberapa khilafiyah dengan cara bagus sehingga cukup banyak digemari. Ceramah pun disampaikan dalam bahasa sederhana diselingi dengan candaan-candaan ala Indonesia, rakyat awam sehingga mudah ditangkap. Meski lulusan luar negeri, beliau tidak cukup banyak berkutat soal halal haram, baik buruk, benar salah namun menjelaskannya juga runtut. Sayangnya paska “diseret-seret” pada kepentingan politik, sepertinya beliau lupa. Harusnya ada yang mengingatkan bahwa ada kepentingan besar yang ingin memanfaatkan ketenarannya untuk berada di kelompok tertentu.

Bahkan yang pantas disayangkan adalah ketika beliau bertemu pimpinan FPI Rizieq Shihab di Arab Saudi, makin jelas siapa yang menyeret beliau dalam pusaran. Ada 3 (tiga) momentum kepleset lidahnya UAS ketika berceramah dan semuanya terekam bahkan dibagikan secara massif di youtube. Pertama, statemen beliau mengomentari lepas jilbabnya Rina Nose. Semua penjelasannya clear dan ala ahlussunnah wal jamaah, hanya sayangnya ada 2 kata yang menurut saya tidak pantas diucapkan tokoh agama. Dua kata itu jelek dan pesek. Soal jelek jelas, ini sangat subyektif dan mengandung nafsu untuk merendahkan orang lain. Kedua, pesek yang menandakan bentuk hidung seseorang atas pemberian Allah SWT. Bukankah Allah SWT menurunkan kita di bumi dalam kondisi terbaik?

Kedua, penjelasan beliau soal penjelasan haramnya main catur dengan alasan tidak mengingat waktu. Pak Ustadz, bukankah jelas dalam Islam dalam hal apapun bahkan ibadah yang berlebihan itu tidak diperbolehkan? Pun sholat seharian penuh hanya istirahat makan atau ke kamar mandi juga tidak dianjurkan? Manusia itu makhluk social yang butuh orang lain untuk berinteraksi, saling bantu, bekerjasama dan lain sebagainya. Kalau toh pun catur hanya sebagai contoh mengapa tidak mencontohkan berbagai kegiatan? Bukan hanya satu hal.

Dan yang terakhir soal materi tentang suap alias menyogok syariah. Bukankah hal-hal yang diharamkan memang tetap tidak diperbolehkan? Jangan dibandingkan dengan makan atau minum haram kecuali hanya pilihan itu satu-satunya jika tidak akan mati. Kenapa? Karena jika kita tidak menyuap ala syariahpun kita tidak akan mati. Selayaknya pilihlah penyampaian materi ceramah yang tepat atau tidak mencampur adukkan logika atau pemahaman. Hal ini akan banyak mengandung salah faham bahkan penyesatan yang luar biasa. Memberi contoh dengan yang dilakukan masyarakat sehari-hari tentu dianjurkan supaya masyarakat tahu bedanya hanya saja harus tepat.


Inilah mengapa penting para dai, ulama, tokoh agama, kyai ketika menyampaikan tausiah perlu kehati-hatian. Ingat, ini bukan berarti kita membenci seseorang atau individu. Fokus yang dikupas dalam tulisan ini lebih ke kalimat yang digunakan, atau materi yang disampaikan. Seperti di awal tulisan disebutkan, Ustadz Abdul Somad adalah dai yang bagus dalam menyampaikan materi maupun ceramah. Tetapi tetap jika ada kesalahan patut kita ingatkan agar ke depan beliau makin bagus berkualitas. Bisa jadi keteledoran-keteledoran begini yang membuat beliau kemudian Hongkong memblacklist. Mari kita sama-sama benahi dengan cara tetap berpikir kritis dan konstruktif. 

Rabu, 07 Februari 2018

COO Kompasiana Yang Naif

|0 komentar
Saya tidak mengenalnya secara personal dengan Chief Operating Officer Kompasiana yang saat ini, Iskandar Zulkarnain. Hanya berteman via FB saja dan sudah lupa siapa yang duluan add. Dia menggantikan Kang Pepih Nugraha yang saat ini sudah mengoperasikan web sendiri yang lebih keren PepNews setelah sebelumnya ikut melahirkan Selasar. Setahu saya Iskandar pernah mampir solo ngajak bertemu beberapa Komposono (penulis Kompasiana) dari Solo. Kebetulan saat itu saya ada acara sehingga tidak sempat ketemu.

Dulu, Kompasiana cukup beken sebelum muncul berbagai media online yang menyita perhatian. Banyak penulis keren betah di Kompasiana serta ga yakin mandiri. Sebut saja Alifurrahman (Seword), Yusran Darmawan (Locita), Palti Hutabarat (Indovoice), Gunawan (Kabarkan) serta nama lain yang jadi andalan Kompasiana. Secara personal saya melihat Kang Pepih sanggup momong dan mengelola Kompasiana dengan baik.

Paska Kang Pepih out, diikuti berbagai penulis keren mendirikan website sendiri suara Kompasiana makin tidak terdengar. Jika dulu di WA atau FB sebuah tulisan sering di share, sudah lebih 6 bulan saya tidak menemukan orang share tulisan dari Kompasiana. Jangankan orang lain, si COO ini juga tidak mesti seminggu sekali share tulisan Kompasiana. Setidaknya hal ini mengindikasikan 2 hal yakni tidak ada tulisan keren yang  bisa dibagikan atau dia sendiri tidak memiliki kebanggaan dengan media itu.

Sebagai seorang pimpinan media online, seharusnya dia membangun interaksi dengan berbagai pihak dengan normal, wajar dan nyinyir. Tapi sepertinya hal itu entah disadari atau tidak, malah ditabraknya. Ada beberapa orang mutual friend kami namun hampir tidak pernah ada interaksi. Tidak usah dengan Kang Pepih yang  memang jauh lebih senior namun dengan penulis-penulis beken juga tidak terbangun. Status facebooknya lebih banyak nyinyir dibanding kritis dan secara pribadi saya menilai tragis seorang COO media online besar tidak mampu mengelola emosinya di ranah publik. Bagi kita para penulis yang sudah menghasilkan banyak tulisan, sangat jelas beda kritik dengan nyinyir.

Misalnya status FB soal Permendagri Pengajuan Surat Keterangan Penelitian (SKP), bukan hanya mengutip pemberitaan Tirto.id namun juga menyertakan kata Represif. “Jelang #pilpres2019, Presiden Jokowi menampilkan wajah pemerintahannya yg represif.” (status FB 7 februari 2018). Bagaimana bisa dirinya menggeneralisir sebagai represif? Saya setuju bahwa prosedur perijinan itu harus dicabut tapi menganggap itu tindakan represif sangat tidak masuk akal. Isjet (panggilan akrabnya) sangat faham bahwa kebijakan itu baru saja muncul. Kritik dan protes akan saya dukung karena saya juga tidak setuju kebijakan ini. Tapi menyebutnya represif terlalu mengada-ada.

Yang kedua, status “Esemka adalah Pilpres” 31 Januari lalu. Arah status ini dapat dimaknai sebagai tendensi ketidaksukaan pada presiden. Saya juga berkomentar disitu dengan menantangnya untuk jualan isu calon dia tapi dia menjawab tidak punya isu. Kemudian status-status yang lain terutama terkait dengan politik maka yang akan dimunculkan keburukan-keburukan dari partai yang tidak disukainya. Sedang kasus-kasus menyangkut politisi PAN, PKS atau Gerindra sangat minim. Termasuk polemik berbagai kebijakan Gubernur Jakarta seperti penataan PKL Tanah Abang, menggusur rumah bantaran sungai, DP 0 persen, pengoperasian kembali becak dan terakhir soal banjir. Pemberitaan banjir Jakarta sudah muncul sejak Selasa, 6 Februari 2018 sore namun selang sehari kemudian tidak ada status apapun soal banjir. Apalagi soal kaburnya Rizieq Shihab, statemen jelek dan pesek Abdul Somad ke Rina Nose, Caci makinya Sugi Nur Raharja, anti pancasilanya HTI dan lain sebagainya.

Sebagai pimpinan media online yang mengandalkan publik, seharusnya dia mampu membuat status-status yang menarik penulis-penulis pemula untuk nimbrung disana. Padahal secara materi saat ini Kompasiana jauh lebih banyak diiming-imingi uang. Itu kata teman saya yang masih aktif menulis. Jika secara pribadi mengelola keberpihakan diri saja belum bisa bagaimana media yang sudah terlanjur besar dikelola dengan kemampuan itu? Sejak Kang Pepih keluar saya sih tidak menemukan terobosan berarti atau inovasi dari Kompasiana. Tapi barangkali kita tunggu dimasa mendatang. 10 tahun lagi barangkali akan kelihatan perubahannya…….


Kamis, 04 Januari 2018

Penolakan Yenni Wahid, Signal Prabowo Tak Layak Capres

|0 komentar
Penolakan Zannuba Ariffah Chafsoh atau lebih dikenal Yenni Wahid pada Gerindra untuk maju sebagai Cagub Jatim semakin menguatkan asumsi bahwa Prabowo tak layak menjadi Calon Presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Bukan hanya karena dari berbagai hasil survey lembaga independen menunjukkan hal itu namun faktor internal juga menambah beban Gerindra untuk bertarung di perebutan RI 1 mendatang.

Padahal disisi lain, sanga petahana elektabilitasnya terus naik, kinerjanya diapresiasi positif, program infrastruktur juga makin dirasakan rakyat. Meski masih ada kekurangan disana sini tetapi tidak cukup signifikan dibandingkan hasil yang diperoleh. Jajaran kabinet juga terlihat moncer diberbagai bidang. Yang merasakan bukan hanya masyarakat Jawa namun Papua mendapat perhatian serius.

Keberhasilan petahana ini sulit ditutupi sebab masyarakat merasakan langsung. Presiden juga terlihat tidak berhenti menyapa rakyat dan bersilaturrahmi dengan ulama diberbagai wilayah. Apa yang dilakukan Gerindra? Kesalahan utama mereka ya hanya fokus nyinyirin pemerintah tapi tidak memanfaatkan posisi di DPR. Coba kupas siapa sih wakil rakyat yang dikenal publik di DPR RI dai Gerindra selain Fadly Zon? Atau tanya ke rakyat, apa yang pernah diperjuangkan Gerindra di DPR yang itu benar-benar bakal bermanfaat bagi rakyat? Mereka akan kesulitan menjawabnya.

Gerindra terlihat kedodoran membangun kekuatan untuk bertarung di Pilpres 2019. Bahkan di Pilkada serentak 2017 dan 2018 saja tidak tampak bahwa mereka sungguh siap apalagi di 2019? Ada 5 indikator untuk mengurai mengapa Gerindra kedodoran di 2 tahun Pilkada itu. Pertama, kader terbatas. Proses pencalonan dari internal Gerindra sebagai kandidat kepala daerah baik untuk bupati/walikota atau gubernur hampir tidak terdengar. Di DKI Jakarta mereka mencalonkan Anies yang kita semua tahu kalah di penjaringan Capres Golkar 2009, dipecat sebagai Menteri Pendidikan dan tidak disimbolkan dengan partai tertentu. Pun di Pilkada serentak 2018. Kabarnya di Jatim mau mengajukan La Nyalla Mataliti atau Moreno yang nota bene memang orang internal partai. Yang ke blow up malah menawari Yenni Wahid.

Kedua, Gerindra suka memungut orang yang tidak dipakai lagi oleh Presiden Joko Widodo. Strategi ini seperti ingin mengulang kesuksesan SBY tahun 2004 mampu menang Pilpres paska dipecat sebagai menteri Megawati. Melihat terpilihnya Anies kelihatannya sukses tapi benarkah target yang dipatok itu? Apa bukan dipasang untuk kalah supaya ada amunisi untuk terus menerus goyang Ahok hingga 2019? Bukankah target Gerindra Pilpres 2019? Begitu Anies menang, lihat saja bahan untuk menjatuhkan Presiden sudah hilang. Lantas di Jawa Tengah diisukan bakal menaruhkan Sudirman Said, mantan Menteri ESDM. Tidakkah ada orang lain atau kader internal Gerindra di Jawa Tengah yang mumpuni?

Ketiga, Salah pilih di Jakarta. Paska terpilihnya Anies – Sandi di Jakarta bukannya menguntungkan malah merugikan partai. Lihat saja sejak dilantik sampai saat ini polemik terus menerus terjadi. Mulai dari hal sepele administrative hingga hal-hal yang substansial yang jelas-jelas nir keadilan. Kita tahu soal salah kostum, penghapusan video rapat gubernur, kantor gubernur ditutup tirai, pengalihan pengaduan dari gubernur ke tingkat kelurahan. Lalu yang substansial seperti penggunaan jalan raya sebagai tempat jualan PKL, jumlah TUGPP mencapai 73 orang, menyela misa natal dan masih banyak yang lain tindakan atau keputusan yang janggal.

Bukan hanya itu, Taufik yang juga Gerindra DKI menyorot kebijakan Anies Sandi tentang berbagai hal. Bagaimana jika polemik terus tercipta hingga 2019? Bukankah menjadi beban berat partai yang mengusungnya? Keempat, meski paska Pilpres 2014 Gerindra nampak rukun dengan PAN serta PKS, yang jadi pertanyaan cukup pelik yakni calon yang diajukan pada Pilkada mengapa tidak mengusung dari kader teman koalisi? Ada cukup banyak kader PAN atau PKS seperti Anies Matta, Fachri Hamzah, Eko Patrio, Primus, Nasir Jamil, Abu Bakar Al Habsyi dan lain sebagainya. Di Pilkada 2018 serentak untuk Cagub malah mengajukan dari militer (Jabar dan Sumut), Mantan bupati Kutai Timur/PKPI (Isran Noor), serta Mantan Menteri ESDM (Sudirman Said).

Kemenangan pertarungan Pilpres 2019 menjadi pertaruhan terakhir Prabowo untuk kursi Presiden. Jika para kepala daerah yang diusung bukan dari kadernya sendiri bagaimana mereka mau bersusah payah berjuang di 2019? Dan kelima, penolakan Yenni Wahid atas tawaran untuk bertarung di Pilkada Jawa Timur makin menegaskan bahwa langkah-langkah Gerindra tidak turut menjaga bangsa serta memecah NU (Jawa Timur-pen). Simak pernyataan Yenni "Tawaran tersebut saya pertimbangkan dengan matang, tetapi kami keluarga Gus Dur meyakini punya tugas sejarah untuk menjaga bangsa ini dan memastikan keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tidak pecah,". 

Kita tidak akan bilang“saya sibuk mengatur lalu lintas” kepada seorang polisi, “saya tidak ada waktu karena sibuk mengambil sampah” kepada petugas sampah. Parpol salah satu tugasnya menjaga bangsa tetap utuh dan ketika disampaikan mbak Yennti jelas menandakan bahwa Gerindra tidak melakukannya, setidaknya berdasar Pilkada Jakarta yang penuh akrobat politik kotor.


Kalimat selanjutnya mbak Yenni adalah “Memastikan keluarga (NU) tidak pecah”, dimaksudkan bahwa sudah ada 2 cagub berlatar belakang NU di Jatim, mengapa masih mengusung orang NU lagi? Kalau bukan untuk memecah suara NU, lantas untuk apa? Untaian kalimat mbak Yenni semakin menguatkan dan menjadi landasan kita berpikir, jika tugas besar menjaga bangsa sudah tidak diusung Gerindra buat apa kita dukung? Jika tidak menjaga NU tetap utuh sebagai asset bangsa apakah masih layak didukung? Kita tunggu Agustus 2018 mendatang saat pendaftaran Calon Presiden, jika memang Prabowo Subianto masih berniat maju tentu kita tahu harus bagaimana.

Pesan Gus Dur dalam Pernyataan Yenni Saat Tolak Pinangan Gerindra

|1 komentar
Zannuba Ariffah Chafsoh atau lebih dikenal dengan nama Yenni Wahid, putri sulung Presiden Indonesia ke 4 kemarin (3/1) menolak pinangan Prabowo untuk dicalonkan sebagai Calon Gubernur Jatim. Sebelum mengajukan Yenni, Gerindra menggadang-gadang 2 kadernya yakni La Nyalla Mattaliti serta Moreno Suprapto. Namun nampaknya ada survey ditingkat internal yang mempengaruhi batalnya 2 kader untuk ditarungkan di Pilkada 2018.

"Tawaran tersebut saya pertimbangkan dengan matang, tetapi kami keluarga Gus Dur meyakini punya tugas sejarah untuk menjaga bangsa ini dan memastikan keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tidak pecah," kata Yenny di rumah Prabowo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (3/1/2018).

Ingat, mbak Yenni bukan ditawari jadi pengurus partai, membuat ormas, direktur perusahaan atau bupati. Gerindra jelas menawarkan kursi kalau tidak Gubernur ya Wakil Gubernur. Posisi yang dibidik banyak orang bukan hanya politisi. Wong Letjen Edy Rahmayadi yang Pangkostrad saja bersedia ber jas PKS meski belum resmi pensiun. Atau mesranya Deddy Mizwar dengan Golkar, pun lompat-lompat kelinci Ridwan Kamil yang masih belum menemukan partai besar.

Kalimat mbak Yenni sungguh bukan hanya istimewa, santun, filosofis namun juga sarat makna. Kata-kata yang mencerminkan ketinggian akhlak yang luar biasa. Mengandung maksud yang dalam dan jika dikupas lebih jauh, pernyataan mbak Yenni jelas “memukul” telak Prabowo termasuk Gerindra and the gank. Mengapa begitu? Coba kita kaji perlahan. “Pertimbangkan dengan matang”, seakan-akan perempuan yang juga Direktur Wahid Institute ini ingin menyampaikan bahwa menawarkan sesuatu ke dirinya dipikir dulu apa tidak? Sudah ada 2 kader NU yang akan bertarung di Pilkada Jatim, masak iya mau nambah 1. Itu bukan mau bertarung mensejahterakan rakyat melainkan mengobrak-abrik NU Jatim.

Lalu pilihan kata “punya tugas sejarah menjaga bangsa”, dapat diinterpretasikan sebagai tugas penting nan mulia. Bukankah Prabowo pernah jadi Danjen Kopassus? Bukankah dia Capres 3 kali? Bukankah sejak Gerindra berdiri, dia menjadi pengambil kebijakan penting di Partai berlambang kepala burung Garuda?  Berbicara tentang tugas menjaga bangsa kan mestinya tugas kita bersama, apalagi bagi Prabowo. Sebagai mantan tentara tentu tak perlu diajari bagaimana “menjaga bangsa”.

Pun dengan kalimat “memastikan keluarga NU tidak pecah”. Lho, kan yang menawari Gerindra, apakah tidak dimaknai tawaran ini sebagai memecah keluarga NU? Ini bukan penolakan yang biasa tapi kader-kader Gerindra, rekan-rekan koalisi Gerindra seperti dari PAN dan PKS harusnya introspeksi. Tugas partai politik bukan hanya merebut kekuasaan semata tapi melihat nilai-nilai kesatuan tetap harus dijaga. Tenun Kebangsaan yang dibilang Anies saat menjadi Tim Sukses presiden Joko Widodo kini benar-benar dipertaruhkan. Bekerja mencapai tujuan tetap harus berlandaskan langkah-langkah yang baik.

Meski Mbak Yenni masih sangat muda dan pola pikir serta rasa tanggung jawabnya patut dibanggakan.

Makanya, seorang aktivis Sosmed Damar Wicaksono menyebut 5-10 tahun lagi layak diberi tanggung jawab. Entah sebagai kepala daerah atau menggantikan bu Khofifah sebagai Menteri Sosial. Ya, dan saya setuju itu. Harusnya pernyataan Yenni Wahid menjadi otokritik terutama bagi para pendukung Anies Sandi di Pilkada Jakarta. Semua jelas menyimak bahkan kini melihat apa yang terjadi. Banyak sudah hati masyarakat terkoyak dan kecewa atas keributan jelang hingga berlangsungnya Pilkada. Ahok kalah dan dipenjara, itu bukan hal yang penting jika memang dia harus kalah dengan cara benar dan masuk tahanan karena betul-betul melanggar peraturan.

Kita lihat hasil Pilkada Jakarta yang belum 3 bulan ini, ada Tim Ahli Gubernur berjumlah 73 orang, KJP nominal dan jumlah penerima dikurangi, Warga sudah tidak bisa lagi mengadu ke gubernur, SPJ Hibah RT RW dihilangkan, Jalan raya digunakan untuk berdagang dan banyak lagi kebijakan yang bukan hanya irrasional, melanggar regulasi juga tidak berkeadilan. Jadilah warga bangsa yang cerdas, yang jeli menangkap “pesan” yang ingin disampaikan oleh orang-orang bijak. Siapa yang meragukan kearifan cucu pendiri NU itu?


Saya koq melihatnya Gus Dur yang menyampaikan pesan pada kita semua melalui mbak Yenni. Apapun, kita semua layak berterima kasih pada keluarga besar KH Abdurrahman Wahid dan NU.