Senin, 17 Oktober 2011

Moratorium PNS Bukan Solusi Efisiensi Anggaran

|0 komentar
Membengkaknya jumlah Pegawai Negeri Sipil memberi konsekuensi pada penyediaan anggaran yang cukup besar secara rutin. Kondisi ini nampaknya tidak hanya dialami oleh pemerintah pusat namun juga daerah. Belum lagi kritikan kinerja birokrasi masih menghiasi media massa baik lokal maupun media nasional. Problem lainnya adalah tingkat korupsi yang dilakukan pejabat secara kuantitas pelaku memang tidak seberapa namun kualitas atau nominalnya cukup besar. Lihat saja kasus yang membelit Sesmenpora ataupun yang terjadi di Kemenakertrans.

Padahal jumlah penduduk miskin yang harus dientaskan jumlahnya mencapai jutaan. Selain jumlah pegawai yang tiap tahun pertambahannya lebih banyak dibanding yang pensiun juga dipengaruhi faktor perbaikan kesejahteraan yang mengakibatkan anggaran negara lebih banyak teralokasikan untuk birokrasi (baca Beban gaji pegawai). Maka dari itu, setelah berbagai media, pemerhati serta berbagai macam organisasi masyarakat menyuarakan keprihatinan ini, pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan moratorium penerimaan pegawai baru.

Aktivitas PNS jelang perayaan 17 Agustus
 Moratorium ini tidak berlaku bagi pengadaan tenaga kependidikan, tenaga kesehatan ataupun tenaga teknis lainnya yang memang dibutuhkan sebuah daerah. Sayangnya pengambilan kebijakan moratorium ini tidak disertai sebuah argumentasi atau studi kuantitatif kenapa kebijakan ini diambil. Persoalan pembengkakan anggaran sebenarnya tidak hanya karena jumlah namun hal-hal lain yang memang selama ini tidak berlaku efektif serta efisien. Tidak ada daerah yang melakukan kajian secara mendalam berapa sebenarnya pegawai yang dibutuhkan disebuah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Di beberapa kabupaten/kota eks karesidenan Surakarta, sejak Tahun 2010 anggaran Dana Alokasi Umum bahkan sudah tidak mencukupi untuk Belanja Pegawai sehingga harus mengambil dari alokasi lainnya untuk menutupi kekurangan (Lihat Gaji pegawai kuras DAU). Akibatnya alokasi Belanja Modal serta Belanja Barang dan Jasa secara prosentase terus menurun atau mengecil. Imbasnya masyarakat kian tak bisa menikmati hasil pajak atau retribusi yang mereka bayarkan pada negara. Hal ini sungguh sangat tragis sebab tarif pajak dan retribusi juga ikutan naik sementara dampaknya tidak mereka rasakan.

Ada dua hal utama bagi pemerintah untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan kinerja birokrasi. Pertama pengaturan untuk mengurangi beban anggaran yang dialokasikan pada gaji pegawai dan kedua adalah optimalisasi kinerja birokrasi. Dua hal utama ini penting dilakukan supaya pengetatan anggaran tidak mengganggu kinerja birokrasi dan optimalisasi kinerja birokrasi tidak membengkakkan anggaran. Kajian mendalam atas dua hal ini diperlukan dengan tujuan masyarakat tidak dirugikan dengan berbagai pajak atau retribusi yang dikenakan pada mereka.

Salah satu cara untuk mengurangi beban anggaran yakni dengan memutus rantai belanja pensiun. Terapkan saja pola pesangon seperti di BUMN sehingga anggaran negara tidak terus menerus membayar pegawai yang sudah tidak mengabdi lagi. Beban pembayaran pensiun ini cukup besar apalagi jika masa usia hidup pegawai ataupun pasangannya masih lama. Belum lagi penyesuaian atas kenaikan gaji pensiunan. Keputusan ini tentu akan menimbulkan penolakan keras karena akan banyak pegawai tidak setuju atas kebijakan ini. Pemerintah harus berani mengambil konsekuensinya.

Masih efektifkah rapat koordinasi diikuti ratusan peserta?
Sedangkan untuk optimalisasi kinerja birokrasi perlu diambil 4 langkah yakni analisa beban kerja, analisa tupoksi, analisa beban SKPD dan pemberian reward and punishment bagi daerah. Untuk langkah analisa beban kerja, yaitu dimana seorang pegawai sebelum diangkat menduduki jabatan atau hanya staff disebuah SKPD dibedah kemampuannya. Seberapa besar dia bisa mendukung kinerja atasannya. Bila memang hanya dibutuhkan 1 orang ya tidak perlu diangkat lagi staff yang lain. Mestinya bisa dicari formula atau rumusan yang jelas menganalisis kapasitas seseorang.

Langkah analisis tupoksi yaitu sebuah analisa untuk beberapa staff yang tergabung dalam satu sub bidang atau sub seksi untuk menjalankan beban kerja. Jika memang mumpuni dengan hanya 3 orang, tak perlu lagi menambah staff lain. Analisa Tupoksi diberlakukan untuk mengkaji kapasitas tim dalam sebuah SKPD untuk menjalankan Renstra. Dan analisa beban kerja adalah analisa dari beban SKPD untuk menyelesaikan tugas sesuai diamanatkan sebuah Perda. Maka berbagai analisa tadi sangat berhubungan dan Pemda tidak lagi asal-asalan mengajukan formasi kebutuhan pegawai namun juga menyertakan analisa beban kerja, analisa tupoksi dan analisa beban SKPD.

Sementara reward dan punishment merupakan "hadiah" atau "hukuman" bagi daerah bersangkutan yang bisa berupa penghargaan penambahan DAU, DAK atau bentuk lainnya. Menerapkan pola ini memang tidak mudah karena birokrasi kita tidak terbiasa melakukan analisis. Komitmen tinggi kepala daerah juga memegang peranan penting untuk membiasakan para bawahannya untuk melakukan kajian. Jaman sudah semodern sekarang namun masih banyak birokrasi yang bekerja seenaknya meski gaji dan fasilitas sudah terpenuhi.

Selasa, 11 Oktober 2011

Anggaran Belanja Langsung Kabupaten Karanganyar Mengecil

|0 komentar
Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya bahwa belanja pegawai (baca : gaji PNS) memperberat APBD memang benar adanya. Ini bisa dibuktikan bila kita mengakses website milik Kementrian Keuangan yang mencantumkan APBD kabupaten/kota seluruh Indonesia. Mayoritas anggaran daerah dibelanjakan untuk gaji birokrasi. Bahkan 2 tahun terakhir DAU kabupaten/kota se eks karesidenan Surakarta sudah tak cukup untuk membayar gaji pegawai Gaji PNS Kuras DAU.

Kita coba lihat beberapa alokasi belanja di salah satu daerah yakni Kabupaten Karanganyar. APBD Kabupaten Karanganyar sendiri sebenarnya tidak cukup besar karena hingga tahun 2011 ini hanya Rp 901 M atau naik Rp 100 M lebih saja (lihat tabel). Dibandingkan dengan 6 kabupaten/kota, jumlah ini merupakan jumlah paling kecil karena lainnya sudah lebih dari Rp 1 T. Meski paling kecil tetapi penggunaan untuk alokasi belanjanya sama seperti daerah lain yang mayoritas habis untuk membayar gaji PNS.

 Dari APBD 2007, alokasi belanja tidak langsung prosentasenya terus meningkat sedangkan belanja langsungnya justru mengecil. Tentu kondisi ini memprihatinkan. Pada Tahun 2007, dari APBD Rp 632 M, sebesar Rp 405 M (64 persen) dibelanjakan untuk belanja tidak langsung. Naik menjadi 70 persen dari APBD Rp 796 M pada tahun 2008. Berikutnya naik kembali jadi 72 persen dari APBD Rp 799 M dan meningkat jadi 80 persen dari Rp 794 M ditahun 2010. Tahun ini menurun 0,92 persen atau menjadi 79 persen dari APBD  Rp 901 M.

Bandingkan dengan belanja langsung tahun 2007 hanya kebagian 35 persen, 2008 turun jadi 29 persen, tertekan tinggal 27 persen pada tahun 2009 dan kembali turun menjadi 19 persen tahun 2010 serta tahun ini cuma 20 persen saja untuk alokasi belanja langsung. Akibatnya belanja barang dan jasa serta belanja modal kebagian prosentase puluhan saja bahkan tahun ini tinggal mendapat satuan persen yaitu 8,97 persen untuk Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal tinggal 7,87 persen. Dengan cakupan wilayah serta kondisi geografis yang ada, sulit melihat pembangunan yang nyata.

Rina Iriani sebagai kepala daerah harus mampu mengelola keuangan daerah agar optimal. Bila memang banyak alokasi untuk belanja pegawai, dia harus benar-benar mengoptimalkan kinerja birokrasinya agar bisa dirasakan masyarakat. Mengandalkan anggaran untuk pembangunan agar terlihat, sepertinya sulit sehingga pelayanan publik tidak sekedar lips service namun benar-benar dapat dirasakan manfaatnya. Karena birokrasi di Karanganyar banyak menyedot anggaran daerah.

Lihat saja belanja pegawai disana yang mencapai Rp 329 M tahun 2007 atau 52 persen dari APBD. Tahun 2008 menjadi Rp 451 M atau 56 persen, Tahun 2009 naik hingga Rp 482 M atau 60 persen, kemudian Tahun 2010 mencapai Rp 534 M (67 persen) dan kini 2011 mencapai angka Rp 650 M atau 72 persen APBD. Meski Belanja Tidak Langsung jumlahnya besar, anggaran Bagi Hasil kepada Pemerintah Desa tidak tumbuh seiring.

Padahal idealnya droping anggaran ini yang bisa digunakan untuk mengatasi kesenjangan pembangunan yang dilakukan SKPD dengan pembangunan yang dilakukan masyarakat. Anggaran ini berupa Alokasi Dana Desa dan bisa dianggap stimulan. Sayangnya selama kurun 2007 - 2011 jumlahnya sangat kecil. Meski sempat mencapai Rp 3,170 M namun 3 tahun terakhir hanya mendapat alokasi Rp 2 M tidak lebih dan tidak kurang. Kondisi ini mengakibatkan desa tak mampu merangsang masyarakat berpartisipasi membenahi desanya atau menyelesaikan problem mereka.

Minggu, 09 Oktober 2011

Pak Sari Menuai Sikap Warga

|0 komentar
Pak Muhammad tahu ibu bu Sari sakit di rumah sakit dari istrinya sesaat setelah pulang dari arisan. Istrinya menanyakan apakah bapak-bapak akan segera nengok. Namun pak Muhammad justru diam saja dan asyik dengan perbincangan dengan dirinya sendiri dalam hati. "berat rasanya mau berangkat kalau dia juga seenaknya begitu" tutur hati kecil pak Muhammad. Selang beberapa hari, ibu-ibu di komplek itupun berangkat menjenguk ibu bu Sari dan istri pak Muhammad tak turut serta.

"Masih ngeloni anak tuh bu" jawab pak Muhammad saat bu Kiky nyamperin bu Muhammad. "Ditinggal saja bu" lanjutnya dan ibu-ibu kampung ganjil pun berangkat. Saat malam tiba, di wedangan pak Untung, pak Muhammad ditanya pak Untung kapan akan jenguk ibunda bu Sari. Seperti tak berselera, dia menjawab sekenanya saja. Rupanya sebelum pak Muhammad datang, pak Untung sudah menanyakan pada beberapa orang warga yang jajan disitu.

Jawabannya hampir seragam, tak berniat menjenguk. Padahal pak Sari adalah Ketua RT diwilayah itu dan sudah hampir 2 tahun menjabat. Rupanya sikap pak Sari yang mengakibatkan hal itu. Bulan sebelumnya saat takziah ke rumah pak Klewer (karena ibu bu Klewer wafat) pak Sari sudah ditanya pak Untung. "Malam ini ndak bisa dan besok belum tahu, nanti saya kabari yah" jawab pak Sari sekenanya pada pak Untung waktu diajak takziah malam itu. Karuan jawaban itu membuat sewot beberapa orang warga.

Sebagai orang yang ditokohkan, mestinya pak Sari memberi contoh yang baik. Mau aktif keluar, menyapa warga, mandegani beberapa kegiatan bukan seperti pejabat negara yang tinggal memerintah dan merasa ingin dihormati. Inilah yang menyebabkan kekecewaan warga RT dikampung ganjil. Sikapnya yang seperti pejabat membuat muak warga. Bila diingat, sejarah terpilihnya pak Sari sebagai Ketua RT tidak seperti ketua RT sebelumnya yang selalu menolak ketika dicalonkan.

Dia justru langsung menjawab bersedia ketika ada yang mengusulkannya. Padahal waktu itu yang usul hanya 1 orang dan diiyakan 1 orang lainnya. Dulu saat ada voting pemilihan RT, jumlah suara dia kalah dengan pak Muhammad karena cuma 1 suara yang didapat. Namun memang suara terbanyak diperoleh pak Sri sehingga otomatis pak Sri yang menjadi ketua RT. Dari kejadian ini, seharusnya pak Sari belajar banyak bagaimana harus menghargai warga.

Kamis, 06 Oktober 2011

Kajian Pendapatan Daerah Boyolali 2007 - 2011

|0 komentar
Boyolali dikenal sebagai Kota Susu yang memang dijadikan andalan bagi peternak sapi untuk menghidupi keluarganya. Tidak hanya susu namun juga sektor pertanian seperti padi, tembakau, sayuran juga dengan mudah kita akses disana. Meski demikian, ternyata dalam kurun waktu 5 tahun pendapatan daerah (APBD) Boyolali antara Tahun 2007 hingga 2011 justru mengalami penurunan drastis. Memang kadang mengalami kenaikan tetapi tidak cukup signifikan bagi pemasukan daerah.

Dari tiga item pendapatan yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan serta Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah tentu andalan terbesar di pendapatan Dana Perimbangan. Dana ini didapat dari pemerintah pusat sesuai aturan dan rumusan yang disebut dalam UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah beserta turunannya. Kondisi ini tidak hanya dialami Kabupaten Boyolali namun juga mayoritas pemerintah daerah di Indonesia.

Pada Pendapatan Asli Daerah pemasukan terbesar dari Retribusi Daerah yakni 63,24 persen (tahun 2007) atau senilai Rp 27 M namun kemudian berangsur menurun pada Tahun 2011 tinggal 21,11 persen saja (Rp 17 M). Meski secara nominal setoran PAD kepada Pendapatan Daerah naik tetapi prosentase pada tahun 2011 lebih rendah dari tahun 2010. Turunnya prosentase dipengaruhi terus meningkatnya pendapatan dari Dana Perimbangan yang dihitung dari (salah satunya) kenaikan gaji pegawai.


Dana Perimbangan Boyolali pada Tahun 2007 sebesar Rp 585 M (89,77 persen Pendapatan), naik menjadi Rp 653 M (87,64 persen) pada Tahun 2008, meningkat menjadi Rp 687 M (83 persen/2009), turun hingga tinggal Rp 682 M (74.76 persen/2010) dan tahun ini (2011) mencapai Rp 751 M (72,31 persen). Dalam tabel bisa kita lihat, mayoritas diberi oleh Dana Alokasi Umum yang bila diprosentase selama kurun waktu tersebut selalu diatas 85 persen. Bahkan Tahun 2007, kontribusi DAU tingginya 90,31 persen.

Setoran yang konsisten naik yaitu pada Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah meski prosentase pada total pendapatan hingga 2011 tak lebih dari 20 persen. Pada Tahun 2007, tercatat hanya Rp 23 M (3,60 persen dari pendapatan). Naik menjadi 5,14 persen atau Rp 38 M di Tahun 2008, kemudian menyentuh angka Rp 68 M (8,29 persen) Tahun 2009. Tahun 2010 terjadi lonjakan tajam baik secara nominal (Rp 150 M) maupun prosentase (16,47 persen). Tahun ini menembus jumlah Rp 206 M atau 19,85 persen.

Melihat kondisi diatas, mestinya Bupati Boyolali Seno Samudro harus mengambil langkah strategis agar tingkat ketergantungan keuangan daerah pada Dana Perimbangan bisa dikurangi. Tentunya dengan berbagai potensi yang dimiliki, Boyolali mampu mewujudkan hal itu. Apalagi jika melihat turunnya pemasukan dari retribusi daerah. Berarti ada yang salah dalam kebijakan atau pelaksanaannya. Dalam mengkaji permasalahan pendapatan jangan terburu-buru membuat kebijakan menaikkan atau menambah jenis retribusi.

Menaikkan atau menambah jenis retribusi/pajak memang jalan pintas yang mudah dilakukan dibanding jalan lain yang sebenarnya lebih strategis. Misalnya intensifikasi pendapatan daerah sebagai Salah Satu Cara Menaikkan Pendapatan Daerah. Seringkali intensifikasi ini difahami keliru yaitu menaikkan tarif yang akan menambah beban berat masyarakat. Padahal tidak selalu intensifikasi berupa menaikkan tarif namun juga pola pengelolaan pendapatan daerah.

Rabu, 05 Oktober 2011

Kritik Kecil Bagi Sistem Pendidikan Di Indonesia

|0 komentar
Sejak diberlakukannya sertifikasi bagi guru, biaya yang dikeluarkan negara untuk memenuhi kewajiban bertambah besar. Apalagi setiap tahun makin bertambah guru yang lolos uji sertifikasi. Hal ini untuk mencapai tujuan besar meningkatkan daya saing pendidikan kita yang (dianggap) tertinggal oleh negara lain. Padahal untuk membiayai operasional sekolah, infrastruktur, menejemen sekolah, menejemen pendidik juga sudah membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Menurut data Kemdikbud (sebelumnya bernama Kemendiknas, hingga tahun 2009 sudah ada 550ribu guru yang lolos sertifikasi dan menerima SK. Padahal jumlah guru yang berada dalam binaan Kemdikbud sebanyak 2.607.311 pada tahun 2010. Jika dibandingkan dengan saat ini tentu jumlahnya sudah bertambah lebih banyak. Apalagi pemberian sertifikasi tidak hanya pada guru negeri tetapi juga guru swasta dengan beberapa ketentuan atau syarat yang telah diatur.

Dengan adanya sistem sertifikasi tersebut setidaknya guru menerima tambahan dari sertifikasi sebesar 1 bulan gaji.Penerimaan itu tidak otomatis disebut besar atau kecil namun tergantung tempat tingga guru bersangkutan. Untuk guru yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Banten dan Jawa Barat, gaji guru saat ini sangat besar. Namun bagi pengajar yang tinggal di Sulawesi, Kalimantan apalagi pedalaman Papua pasti tidak sama. Sebab faktor-faktor lain turut mempengaruhi harga barang sehingga para guru yang tinggal dipedalaman memang masih berhak menerima tunjangan daerah terpencil.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun 2010 menganggarkan Rp 14 Trilyun guna membayar gaji guru dari jenjang TK hingga SMA plus sertifikasinya. Diperkirakan jumlah itu akan terus meningkat seiring peningkatan gaji pegawai yang rutin dinaikkan tiap tahun. Tahun depan (2012) diprediksikan butuh anggaran lebih dari dua kali lipat tahun 2010 atau Rp 33,9 T. Anggaran yang luar biasa besar dan fantastis bila dibandingkan dengan program-program lainnya.

Tetapi apakah dengan sertifikasi guru, kualitas pendidikan kita bertambah baik? Apa indikator yang bisa diterapkan untuk menilai hal ini? Tentunya bukan dari jumlah medali pada setiap lomba olimpiade tingkat nasional, jumlah siswa lulus UN apalagi jumlah siswa yang melanjutkan sekolah. Seperti banyak diketahui, meski sudah ada PP yang mengatur tentang Standar Pendidikan Nasional, kenyataanya di berbagai pelosok tanah air masih banyak ditemukan ruang kelas rusak, anak usia sekolah tapi tidak bersekolah, guru mencari obyekan dan lain sebagainya.

Mendiskusikan pendidikan di Indonesia memang seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, tak pernah menemukan sumber masalah pokok untuk dipecahkan. Sistem mengajarpun masih model satu arah dan kurang menghargai pendapat siswa didik. Jangankan di tingkat dasar atau menengah, di perguruan tinggi yang sistem kebebasan berpendapat jauh lebih maju saja sulit kita temukan diskusi-diskusi menarik baik di dalam kelas ataupun lingkungan kampus.

Harus ada perubahan fundamental dalam sistem belajar mengajar di Indonesia. Bila masih menggunakan komunikasi satu arah, anak tak akan terbiasa mengemukakan argumentasi, berpikir logis dan rasiobal, mendengarkan pendapat orang lain atau mengakui kebenaran pendapat orang. Negara sampai saat ini abai dalam mendorong atau membangun sekolah yang dialogis. Maka dari itu jangan heran bila ada lulusan dari perguruan tinggi tidak bisa berdebat, ngeyel, tidak menghargai pendapat orang atau bahkan lebih sering menggunakan kata "Pokoke".

Senin, 03 Oktober 2011

Menakar Kemampuan Bupati Sragen Atasi Masalah Daerah

|0 komentar
Pasangan Bupati - Wakil Bupati Sragen yaitu Agus Faturrahman dan Daryanto untuk periode 2011 hingga 2016 memang belum lama (4 Mei 2011). Namun jelang akhir tahun 2011 tak terlihat gebrakan yang memadai. Justru yang banyak muncul yakni masalah-masalah baik masalah birokrasi maupun masalah tentang kepemimpinan periode lalu. Perlu diketahui, Agus Faturrahman merupakan Wakil Bupati saat Untung Wiyono menjabat Bupati Sragen Periode 2001 - 2006 dan 2006 - 2011.

Kini Untung Wiyono sedang menjalani pemeriksaan terkait dengan dugaan korupsi APBD Sragen dan dugaan ijazah palsu. Pemeriksaan mantan bupati itu, mau tidak mau akan mengganggu jalannya pemerintahan Agus Faturrahman. Disisi lain, Agus juga harus mendongkrak pembangunan daerah yang hingga kini tidak banyak terlihat kemajuannya. Memang pada jaman Untung Wiyono banyak yang belajar tentang Pelayanan Satu Atap di Sragen. Kenyataannya saat ini, unggulan Sragen itu seperti lenyap.

Belum lagi menghadapi problem kemiskinan yang masih terhitung tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sragen, Tahun 2011 masih ada 64.678 KK miskin atau sebanyak 178.660 jiwa. Jumlah yang tidak sedikit dan harus benar-benar dibenahi, Pada tahun 2010 kemiskinan di kabupaten itu mencapai 17,49 persen atau turun dari tahun sebelumnya yang masih 19,70 persen. Dilihat dari prosentasenya tentu jumlah yang masih lumayan tinggi.

Ilustrasi

Bagaimana dengan kemampuan keuangan daerah sebagai tonggak utama pemda mengatasi kemiskinan? Bupati harus realistis dengan keadaan yang ada. Seperti yang terungkap dalam data kemenkeu.go.id, APBD Sragen 2011 minus atau defisit Rp 57,4 milyar. Daerah harus benar-benar memetakan mana problem pokok yang harus dientaskan dan mana yang bisa ditunda. APBD 2011 sendiri mencapai Rp 1 trilyun lebih namun sayangnya 66 persen lebih digunakan untuk belanja pegawai.

Sedangkan belanja barang dan jasa hanya 7,33 persen serta belanja modal 10,57 persen. Agak sanksi juga bila jargon kampanye mbela wong licik dapat diimplementasikan. Saat kampanye, Agus Faturrahman dan Daryanto mengusung 4 program prorakyat yakni (1) Aksi penanggulangan kemiskinan, (2) Aksi swasembada pangan berkelanjutan, (3) Aksi pengembangan ekonomi kerakyatan, dan (4) Aksi percepatan investasi. Sebagai mantan wabup mestinya Agus faham benar kondisi APBD Sragen.

Memang hingga saat ini pemerintahan belum mencapai 1 tahun tetapi dengan kondisi yang ada mestinya program kampanye harus realistis. Lihat saja sekarang ini, bagaimana mau berkonsentrasi membangun bila pemda direcoki kasus yang membelit mantan bupatinya. Dalam pemberitaan tidak ada hal yang spesial menjadi trademark. Maka dari itu, Agus harus segera menata dan menyusun RPJMD lebih realistis dan masuk akal serta tidak hanya berangan-angan saja.

Bahkan disaat didera minimnya dana, Pemkab justru mengajukan anggaran pengadaan mobil dinas. Belum lagi tunggakan masalah pegawai kontrak dibeberapa instansi atau disebut job training. Agus harus membenahi dulu birokrasinya, memetakan problem kemudian mengatasi masalah substansi. Jangan terlalu fokus pada pencitraan kalau tidak ingin masalah yang ada berlarut-larut. Masalah yang dihadapi Agus hampir sama dengan kepala daerah di eks karesidenan Surakarta yaitu keuangan daerah