Jumat, 24 Desember 2004

"Itu Termasuk Duplikasi Anggaran"

|0 komentar
KARANGASEM - Kemungkinan anggaran beberapa komponen tunjangan perumahan, seperti bantuan telepon, bantuan listrik, bantuan PDAM, masuk ke dalam belanja barang dan jasa, dinilai Koordinator Forum Partisipasi Kebijakan (FPK) M Nino Histiraludin sebagai bentuk akal-akalan legislatif agar jumlahnya bertambah besar.

"Karena dalam pembahasan sebelumnya tidak lolos, hal itu lalu coba dimasukkan ke raperda. Ini hanya akal-akalan karena jumlah yang sudah ditentukan pimpinan dan tim standardisasi eksekutif waktu itu dinilai terlalu kecil," kata dia.

Sekadar diketahui, beberapa waktu lalu pimpinan DPRD bersama Tim Standardisasi Eksekutif Pemkot Surakarta telah menentukan besar tunjangan perumahan berupa uang sewa, sebab belum ada rumah dinas Rp 1,431 juta/bulan/anggota.

"Seluruh komponen selain uang sewa rumah akan dihilangkan. Jadi, nanti anggota Dewan hanya menerima uang sewa rumah sesuai dengan yang ditentukan dalam pasal 20 PP 24/2004. Perlu diketahui, tunjangan itu bukan untuk saya selaku ketua, tapi untuk anggota nonpimpinan DPRD," kata Farid Badres, Ketua DPRD seusai rapat sinkronisasi, Senin (8/11) lalu.

Alif Basuki, koordinator Forum Peduli Anggaran Kota Surakarta (FPAKS) berpendapat, tunjangan kesejahteraan pimpinan dan anggota meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, dan belanja modal seperti yang termaktub dalam ayat 3 pasal 25 PP 24/2004 diperuntukkan bagi DPRD secara kelembagaan.

Pemborosan

Bila itu diartikan sebagai hak tiap-tiap anggota, kata dia, berarti telah ada indikasi duplikasi anggaran. "Kalau dalam pasal 20 sudah diatur tentang tunjangan perumahan, kenapa harus dimunculkan kembali dalam pasal 25. Lagi pula dalam pasal 10 sudah diatur tentang penghasilan pimpinan dan anggota. Ini bisa dikategorikan telah terjadi duplikasi anggaran alias pemborosan."

Menurut pendapat Nino, masyarakat tentu tidak akan keberatan bila para wakil rakyat tersebut telah menunjukkan kinerja yang optimal. Terlebih, bila kepentingan masyarakat bisa terakomodasi sepenuhnya.

"Namun kalau kepentingan masyarakat belum terpikirkan, sedangkan DPRD sudah mendapatkan fasilitas yang berlebihan, ini jelas kebangeten."

Saat ini panitia khusus DPRD tengah membahas draf rancangan peraturan daerah tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD. Menurut Supriyanto, komponen lain yang semula dihapus dalam tunjangan perumahan seperti bantuan telepon, bantuan listrik, bantuan air dan gas akan dimasukkan dalam belanja barang dan jasa. Hal ini sesuai dengan ayat 3 pasal 25 PP 24/2004.

"Dalam pasal itu jelas disebutkan pimpinan dan anggota berhak atas sejumlah tunjangan yang disebutkan itu. Jadi tiap-tiap anggota akan menerima bantuan listrik, telepon, dan asuransi. Masa yang menerima asuransi lembaga, kan logikanya tidak seperti itu," ujarnya.

Karena itu, jelas dia, kemungkinan besar beberapa komponen yang dulu sudah dihilangkan dari tunjangan perumahan akan dimunculkan kembali. "Namun itu masih akan dikoordinasikan dalam rapat pansus, termasuk bagaimana pandangan fraksi nanti. Yang jelas, dalam penentuan besaran itu tetap harus mempertimbangkan asas kepatutan, kewajaran, keadilan, dan kemampuan anggaran daerah." (G13-17i)

Source : http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/24/slo02.htm

Senin, 01 November 2004

Tunjangan Perumahan DPRD Langgar PP; Draf Tatib sedang Disusun

|0 komentar
Tunjangan Perumahan DPRD Langgar PP; Draf Tatib sedang Disusun

Lantaran nilainya dianggap terlalu besar, DPRD Surakarta semestinya mempertimbangkan kembali besarnya tunjangan perumahan yang bakal diusulkan tim eksekutif, yakni sebesar Rp 2,325 juta/bulan.Salah seorang pegiat Forum untuk Partisipasi Kebijakan (FPK), M Nino Histiraludin menegaskan, anggota DPRD harus tahu diri dan memiliki kepekaan atas kondisi sebagian masyarakat Solo.

Memang besaran itu yang mengajukan eksekutif, tapi bukan berarti legislatif langsung menerima tanpa ada pengkritisan sama sekali. Jangan hanya berdalih bahwa ada payung hukum yang menaungi sekaligus membenarkan nilai itu, tapi tolong jaga perasaan masyarakat. Nilai itu sungguh di luar asas kepatutan, kata dia.

Seperti diwartakan, besar tunjangan perumahan yang diusulkan tim eksekutif Pemkot Surakarta bagi anggota DPRD mencapai Rp 2.325.000/bulan. Jumlah tersebut meliputi uang sewa rumah Rp 1.450.000, bantuan telefon Rp 350.000, bantuan listrik Rp 300.000, bantuan air Rp 150.000, dan bantuan gas Rp 75.000. Berarti, dalam setahun jumlah yang bakal diterima mencapai Rp 27,9 juta per anggota (SM, Sabtu 27/10).

Sejumlah komponen yang dimasukkan dalam tunjangan, jelas dia, tidak sesuai dengan PP 24/2004. Sebab, dalam PP yang mengatur Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD tersebut dinyatakan, bila pemerintah belum bisa menyediakan rumah dinas bagi anggota DPRD, tunjangan perumahan adalah berupa uang sewa rumah. Adapun besarnya, disesuaikan dengan standar harga setempat yang berlaku dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

Draf Tatib
Sementara itu, dalam draft tata tertib (tatib) yang kini sedang dibahas Tim Penyusun Tatib DPRD pun tidak disebutkan adanya komponen penunjang lainnya, selain hanya uang sewa rumah.

Dalam Pasal 134 ayat 1 dinyatakan, bila Pemkot belum dapat menyediakan rumah jabatan pimpinan atau rumah dinas anggota DPRD, kepada yang bersangkutan diberikan tunjangan perumahan.

Dalam ayat 2 disebutkan, tunjangan perumahan berupa uang sewa rumah, besarnya disesuaikan dengan standar harga setempat yang berlaku, yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

Terpisah, salah seorang pegiat Pattiro (Pusat Telaah dan Informasi Publik) Alif Basuki menjelaskan, besaran yang diusulkan tersebut sudah berlebihan. Besar yang diusulkan itu merupakan ujian moral bagi anggota DPRD, ketika mendapatkan fasilitas dari uang rakyat. Kalau para wakil rakyat itu menerima dengan senang hati, berarti terbukti tidak memiliki sense of crisis.

Dia berpendapat, besarnya tunjangan perumahan per bulannya tidak lebih dari Rp 1 juta. Yang namanya tunjangan, kan hanya sekadar bantuan (G13-17a)

Sumber: Suara Merdeka, 1 November 2004

Kamis, 05 Agustus 2004

Buku Pengalaman Musrenbang Kota Solo

|3 komentar
Buku ini merupakan tulisan tentang pendampingan lapangan oleh penulisnya terutama yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan partisipatif. Seperti banyak diketahui, inisiasi proses perencanaan partisipatif salah satunya beranjak dari Kota Surakarta. Penulis yang awalnya bekerja menangani hal teknis kemudian menjadi community organizer dan mendampingi beberapa kelurahan.

Disini banyak dijabarkan bagaimana proses pendampingan dirancang, didiskusikan hingga diimplementasikan. Selain itu penyusunan regulasi juga menjadi bagian penting dari suksesnya proses perencanaan di Kota Solo. Sementara kelurahan yang ditulis dalam buku ini ada 5 yakni Kelurahan Baluwarti, Kampung Baru dan Kedunglumbu yang berada di Kecamatan Pasar Kliwon serta Danukusuman dan Kratonan (Kecamatan Serengan).

Buku ini juga membedah perspektif tantangan mengembangkan proses Musrenbang dilapangan baik dinamisasi masyarakat, budaya, fasilitator kelurahan serta sikap birokrasi. Sebagai kajian dalam proses perencanaan, buku ini menarik dibaca.

Judul            : Bergumul Bersama Masyarakat (berbagi cerita proses perencanaan partisipatif di Kota Solo)
Penulis         : Muhammad Histiraludin
Terbit          : 2004
Hal              : 164 hal (+ x hal)

Bila pembaca tertarik memiliki buku ini, bisa hubungi penulis di alamat email

Sabtu, 01 Mei 2004

PENCERMATAN ATAS RAPBD KOTA SOLO TAHUN 2005

|0 komentar
HARUSKAH RAKYAT (KEMBALI) DIKORBANKAN?

Oleh Muhammad Histiraludin

Mencermati pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBD) Kota Surakarta tahun 2005 cukup menarik. Perdebatan panjang selama sebulan ini belum lagi ditambah dengan publik hearing DPRD atas RAPBD cukup menyita perhatian. Terbukti dari porsi pemberitaan di media massa terus bergulir. Tidak hanya itu, muncul juga beberapa artikel dari masyarakat yang ikut menyoroti hal tersebut. Seperti Pemkot Solo Berjalan Tanpa Arah (Espos 20/4) dan RAPBD dan Masukan Untuk DPRD Kota Solo (Espos 9/4). Namun nampaknya masyarakat memang harus mengalami kekecewaan kembali karena apa yang disuarakan Suharno dan Suci Handayani dalam artikel diatas dianggap angin lalu saja oleh pihak eksekutif maupun legislative.

Beban gaji dan beban hutang Pemerintah Kota Solo menjadikan anggaran yang dialokasikan untuk masyarakat kembali dikorbankan. Awalnya rakyat cukup lega dengan statement wakil rakyat mengenai penetapan anggaran berimbang (defisit 0%). Tetapi ditengah perjalanan, pernyataan itu kembali hanya menjadi ‘bunga tidur’ masyarakat Solo sebab Kepala Kantor Keuangan Kota Solo tidak berani menjanjikan sedangkan DPRD menyatakan tidak mungkin melakukan defisit 0 % (Espos 26 dan 27 April). Eksekutif yang awalnya mengajukan RAPBD defisit Rp 29 M, berhasil ditekan Rp 19 M dan hingga sekarang belum ada kejelasan berapa pinjaman yang akan dilakukan Pemkot Solo untuk menjalankan roda pemerintahannya.

Meskipun daerah dapat melakukan pinjaman/hutang, ada beberapa catatan menyertainya. Hal itu dapat dilihat di UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada pasal 17 ayat (1) UU 17/2000 disebutkan “APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah”. Penjelasan pasal ini berbunyi dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran. Artinya pengeluaran diusahakan diminimalisir agar tidak malah membebani APBD terutama jika menyangkut kepentingan masyarakat umum.

Kemudian pada pasal 192 ayat (3) UU 32/2004 disebutkan “Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD”. Konteks pasal ini dapat dimaknai eksekutif dan legislative hendaknya tidak memaksakan anggaran-anggaran kegiatan yang tidak berdampak baik langsung ataupun tidak langsung untuk penduduk Kota Solo. Hal lebih tegas lagi diatur di pasal 167 ayat (1) UU 32/2004 yang berbunyi “Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22”. Sementara ayat (2) lebih jelas penjabarannya yakni “Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan system jaminan sosial”.

Tentunya dengan aturan seperti itu, birokrasi tidak boleh ngotot  menganggarkan dana bagi kegiatan yang tidak menyentuh kesejahteraan masyarakat. Penegasan ketersediaan dana dapat dilihat di pasal 9 PP 105/2000, “Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup”. Klausul ini lebih menghendaki kepastian ketersediaan dana bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Anggaran Bombastis

Bila dicermati aturan-aturan diatas dan membuka RAPBD ataupun hasil pembahasan komisi di DPRD dengan eksekutif, masih banyak anggaran atau kegiatan yang “menabrak” aturan yang berlaku. Sebenarnya, pembahasan APBD tidak boleh terjebak antara pemaknaan anggaran defisit atau surplus. Dapat difahami bila 5 tahun yang lalu hutang Pemkot cukup banyak dikarenakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik seperti Balaikota, Gedung DPRD, Pasar Singosaren, Pasar Gede dan lain sebagainya. Nah kalau sekarang mau menghutang lagi, haruskah rakyat yang sudah tercekik akibat kenaikan BBM juga harus menanggung akibatnya?.

Dalam RAPBD, Pemkot Solo mengajukan pengeluaran sebesar Rp 370.172.087.442 sementara pendapatannya hanya sebesar Rp 350.299.669.849. Ketika muncul wacana defisit 0%, pembahasan hanya terfokus pada pengurangan proyek dan kegiatan. sementara pengkritisan pengeluaran Belanja Administrasi Umum untuk item non gaji, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas serta belanja pemeliharaan tidak disentuh sama sekali. Padahal di kelompok ini ada anggaran yang bombastis seperti biaya foto copy, biaya telpon, biaya penggandaan/cetak, uang lembur, honor panitia bila ada kegiatan (total Rp 3,6M/232 kegiatan). Di pos belanja wajib dan rutin ada pos yang susah dimengerti masyarakat namun tetap melenggang saja. Lihat di Bagian Umum Pemkot terdapat pos jamuan tamu Pemda (Rp 450 juta), Pengadaan inventaris kendaraan dinas (Rp 1,3 M) meski akhirnya dicoret, Pengadaan/pembelian pakaian dinas pegawai (Rp 1,7 M), Di BKD terdapat biaya bantuan bulanan pejabat structural (Rp 1,1M), di DKP ada pembangunan Taman Mapam Manahan (Rp 202 juta), DPU ada pembangunan garasi Pemadam Kebakaran di Kota barat (Rp 285 juta) dan masih banyak lagi.

Kalau proyek/kegiatan ini menyangkut kepentingan masyarakat maka kita akan mahfum. Namun kegiatan seperti bantuan kredit bergulir untuk koperasi dan UKM di Dinas Koperasi dihapuskan, padahal semula dianggarkan Rp 413.500.000. Selain itu muncul kegiatan yang memakan dana besar dibiarkan saja seperti Lomba Tertib Lalu Lintas, pengecatan marka jalan (DLLAJ) masing-masing sebesar Rp 100 juta, penyusunan buku statistik kepariwisataan (Diparsenbud) Rp 40 juta, belanja perjalanan dinas (Bapeda) yang semula Rp 70 juta menjadi Rp 129.677.500, Misi dagang ke luar negeri (Dinkop dan UKM) Rp 300 juta dan lain sebagainya.

Political Will
Jika kondisinya seperti ini, kepada siapakah kita (rakyat) berharap mendapat perhatian? Tidak mudah menjawab hal ini karena eksekutif dan legislative pasti punya argumen sendiri-sendiri yang pada intinya menguatkan penjelasan kenapa Pemkot mesti berhutang. Perlu diingat, akibat hutang-hutang terdahulu, APBD 2005 yang digunakan membayar hutang plus bunganya Rp 33 M atau separo lebih PAD Kota Solo. Akankah kejadian ini diualang kembali meskipun kebijakan pemerintah sudah jelas memberi rambu-rambu.

Solusi yang ditawarkan adalah, Pertama, DPRD harus punya political will berupa dua keberanian. Satu, keberanian tetap konsisten menerapkan APBD berimbang (defisit 0%) dan keberanian kedua memangkas anggaran-anggaran bombastis. Meloloskan dana-dana yang dipergunakan selain untuk kemakmuran rakyat berarti menyalahi UU dan itu telah ditegaskan sejak awal. Kedua, buka ruang-ruang publik dengan masyarakat dan jelaskan kenapa anggaran yang diperuntukkan bagi masyarakat masih terbatas. Misalkan saja soal dana pendidikan, dana kesehatan, kesejahteraan masyarakat dan lainnya. Jangan menjadikan publik hearing menjadi legitimasi dan pembohongan jargon keterlibatan masyarakat di era otonomi daerah. Penjelasan yang dilakukan DPRD itu untuk memenuhi transparansi serta bentuk akuntabilitas legislative.

Ketiga, Penyusunan APBD 2005 jadikan pembelajaran ditahun-tahun mendatang supaya perdebatan anggaran defisit, surplus atau berimbang dapat ditetapkan jauh-jauh hari sehingga legislative tidak dituduh “mencla-mencle” bersikap. Sebagai pejabat publik mestinya konsisten memegang apa yang dikatakan pada masyarakatnya. Masyarakat tentunya berharap bahwa program yang akan dijalankan betul-betul bermanfaat bagi mereka dan rakyat tidak harus menanggung hutang dimasa mendatang. Atau public hearing benar-benar dimaknai rakyat yang yang mendengarkan, betulkah begitu wakil rakyat?


Penulis menjadi Koordinator Forum Untuk Partisipasi Kebijakan, Pekerja Sosial di IPGI Solo dan alumnus 39th PDM Course Asian Institute Management Philipina

Sabtu, 20 Maret 2004

BLOCKGRANT DAN IMPLEMENTASI

|0 komentar
Proses perencanaan pembangunan di Kota Surakarta telah mengalami perubahan besar dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini. Itu disebabkan adanya perubahan paradigma pembangunan dari top down menjadi bottom up planning. Perubahan itu dilakukan pemerintah kota sebagai wujud mandat UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pada aspek pemberdayaan daerah. Lalu pemkot dengan leading sectornya Bapeda melihat peluang bahwa perencanaan harus melibatkan seluruh stakeholders kota. Kemudian perencanaan yang mempunyai semangat nguwongke uwong ini menjadi sebuah tradisi baru dengan tahapan yang dikenal Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang. Selama 3 tahun ini sudah banyak hal yang dicapai dalam pembangunan kota yang meletakkan masyarakat sebagai subyek pembangunan.hp| AK:3 edisetujui banyak yang terpotong. Maka maklum saja ketika total dana blockgrant hanya sebesar Rp 7 miliar dan usulan yang ditampung didinas hanya sebesar Rp 4 miliar (2003). Padahal kita tahu ada proyek yang muncul tiba-tiba pada saat pembahasan dan itu disetujui wakil rakyat mengenai penerangan yang memakan dana hingga rp 22,5 miliar. Kita juga belum lupa adanya problem anggaran non budgeter sebesar Rp 10 M dan Anggaran biaya Tambahan (ABT) Rp 6,9 M. Kejadian semacam ini harusnya mampu dijelaskan secara gamblang baik oleh birokrasi maupun oleh wakil rakyat

Di sisi lain perencanaan yang sudah dilakukan masyarakat dimulai ditingkat paling bawah yakni Rt hingga ke Muskotbang telah menempatkan posisi warga yang sedemikian rupa sehingga masyarakat betul-betul menjadi perencana program. Kebijakan pelaksanaan perencanaan selama 3 tahun ini didasarkan SK Walikota yang hingga saat ini memang terus diperbaiki dalam rangka memantapkan dan menyempurnakan aturan main. Sebagai konsekuensi adanya bottom up planning maka Pemkot menurunkan dana bantuan pembangunan kelurahan atau yang dikenal dengan nama blockgrant. Selama 3 tahun ini besar dana blockgrant terus meningkat jumlahnya. Bila pada tahun pertama (2001) setiap kelurahan mendapatkan rata sebesar Rp 50 juta namun pada tahun kedua sudah berkisar Rp 112.676.000 sampai Rp 225.352.000. Pada tahun ketiga dana yang didapat tiap kelurahan sebesar Rp 115.195.912 hingga Rp 250.958.216. Seiring dengan naiknya dana bantuan kelurahan, dana swadaya yang berhasil dikumpulkan oleh masyarakat juga terus naik.

Pada tahun I pencairan dana blockgrant yang rata-rata Rp 50 juta, pemerintah mengeluarkan aturan pelaksanaan atau petunjuk teknis yang dikeluarkan bulan Juli 2001. Pada tahun 2001 tersebut ada 5 batasan kegiatan yang bisa ditangani yakni (1) pembangunan lingkungan, (2) kegiatan peningkatan pelayanan masyarakat, (3) kegiatan peningkatan sumber daya manusia, (4) pemberian stimulan pada organisasi masyarakat dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dan (5) kegiatan yang mengakomodasi usulan dalam forasta. Dana ini hanya terbagi dalam 2 termin. Dalam penyalurannya, disetiap kelurahan dibentuk organisasi bagian proyek yang terdiri atas pimpinan bagian proyek (pimbagpro) dan bendahara pemegang uang muka cabang (PUMC). Keduanya harus dari unsur PNS. Pimbagpro harus mempertanggungjawabkan pada walikota dan membuat SPJ. Dibidang pengawasan dan pemeriksaan ditugaskan bagian fungsional yang langsung diawasi oleh Inspektorat Wilayah Kota/Itwilkot (sekarang Badan pengawas daerah/Bawasda). Pada tahun II dan ketiga ada beberapa perubahan signifikan. Misalnya soal panitia pelaksana, termin dana, pengawasan dan lain sebagainya.


Implementasi

Penggunaan dana bantuan pembangunan kelurahan apabila dicermati mengalami pergeseran yang mengarah pada perbaikan. Kita lihat saja pada tahun penerapan program ini. Penggunaan dana Rp 50 juta lebih diarahkan ke fisik kalau tidak mau dikatakan sebagian besar. Itupun pembangunan yang bersifat gagah-gagahan. Misalkan seperti membangun kantor kelurahan, rehab aula, membangun rumah dinas yang sebetulnya masih layak pakai, pos kamling atau bahkan pembangunan gapura. Belum lagi ada wilayah yang kemudian membagi rata dana itu berdasar jumlah Rt atau Rw sehingga dana yang sampai ke masyarakat akhirnya tidak bisa digunakan kecuali hanya untuk jamuan pertemuan. Tahun 2001, sebesar Rp 5 juta dipotong untuk pengadaan komputer. Di Kelurahan Kratonan, pengadaan ini ditentang oleh masyarakat sehingga semua dana dipergunakan untuk pembangunan wilayah. Pada saat pelaporan mengalami kendala karena memang alokasi anggaran salah satunya harus untuk pengadaan komputer.

Menginjak tahun kedua alokasi penggunaan blockgrant dapat dilihat sudah ada perubahan yakni sebagian besar untuk penerangan jalan, perbaikan jalan dan pengerukan walet. Sedangkan proporsi untuk non fisik meningkat. Meski demikian masih ada juga kasus tokoh masyarakat yang mencoba merancang pembangunan sendiri dan memaksakan pada masyarakatnya. Contohnya yang dialami Kelurahan Kepatihan Kulon yang sempat beberapa kali muncul di media massa. Hal ini kemudian menjadi warning bagi wilayah lain untuk tidak melakukan hal yang sama. Pada tahun ketiga orientasi pembangunan betul-betul bergeser. Artinya masyarakat melihat bahwa proyek-proyek yang bisa swadaya sudah tidak banyak meminta pada alokasi blockgrant. Dana-dana itu lebih banyak digunakan untuk peningkatan kesejahteraan atau bantuan bagi kelompok ekonomi lemah. Misalkan di Kelurahan pasar Kliwon yang mengalokasikan dana Rp 5,6 juta untuk pengadaan 8 becak bagi warganya. Tentunya ini sangat membantu bagi tukang becak yang selama ini becaknya sewa. Kemudian dibanyak kelurahan ada pemberian bea siswa misalnya di Kampung Baru, Kedung Lumbu, Sangkrah, Pajang dan lain sebagainya.

Belum lagi kalau dihitung juga untuk bantuan modal koperasi, bantuan pada pengusaha kecil, atau bantuan dana untuk peningkatan kesehatan. Pelaksanaan bantuan ini sangat tidak berarti bila tidak ada tim yang melakukan monitoring. Untungnya Bapeda kemudian menangkap hal ini dan memasukkan dalam salah satu prasyarat penurunan dana blockgrant sehingga dana-dana yang diturunkan bisa diawasi. Tidak hanya dana yang dikelola oleh masyarakat namun juga berdampak di sisi yang lain misalkan tingkat keberanian masyarakat meningkat. Maksudnya keberanian masyarakat melakukan pengawasan tidak hanya sebatas proyek blockgrant namun juga proyek yang dikerjakan Dinas atau unit kerja. Tahun 2002 Di Sudiroprajan pernah terjadi pembongkaran paksa paving blok yang sudah terpasang sebagian oleh warga. Gara-garanya karena rencana penggarapan proyek tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Kualitas bahan yang digunakan tidak sesuai spesifikasi yang diharapkan masyarakat. Terjadilah proses bongkar pasang dan mengakibatkan pemborong merugi. Lalu di Banyuanyar dan Sriwedari soal pembangunan jalan yang tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan.

Di Kelurahan Timuran juga sempat muncul adanya tuduhan penyimpangan blockgrant untuk KSU Timuran. Pada RAB tertulis penerima mendapat dana Rp 2 juta tapi riil uang yang diterimakan hanya separo saja. Alasan yang dikemukakan untuk pelatihan koperasi. Anehnya penyelenggaraan pelatihan bukan KSU Timuran namun panitia pelaksana dengan LPMK. Dari pengalaman penyelenggaraan pelatihan dengan Dekopinda, pelatihan membutuhkan waktu 2 hari dari pagi hingga sore. Namun pelaksanaan pelatihan koperasi dari LPMK hanya 2 jam. Kualitas pelatihan itulah yang dipertanyakan. Lantas persoalan inipun merembet ke persoalan lain seperti adanya Pimbagpro yang masuk dalam Panitia Pelaksana serta rangkap jabatan seseorang yang duduk sebagai panitia juga sebagai pengawas.

Kelemahan

Bila disorot lebih jauh ada beberapa kelemahan atau kendala yang perlu segera diperbaiki bersama baik oleh pemkot, masyarakat atau sektor lain. Pertama, orientasi proyek blockgrant lebih pada penanganan jangka pendek. Banyak kegiatan-kegiatan sifatnya penanganan sementara. Padahal ada program yang lebih berdampak jangka panjang misal soal pengadaan sumur resapan, pembekalan ketrampilan, pelatihan menegemen dibandingkan kegiatan seperti pembelian seragam, pengecatan gapuro atau pos kamling, keduk walet dan sebagainya. Kedua, sektor informal yang belum banyak tertangani. Pertanyaan apakah selama ini proyek itu lebih banyak berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang selama ini terpinggirkan, pada tahun ke empat pelaksanaan blockgrant nampaknya sudah mulai banyak yang memperhatikan. Program mercusuar sudah lebih banyak dikurangi dan masyarakat sadar bahwa dana berapapun kalau diperuntukkan pada fisik akan tetap habis.

Ketiga, kinerja tim monitoring dan evaluasi belum efektif. Pada dasarnya pembentukan tim ini didasari semangat partisipatif. Artinya mereka hanya sebagai fasilitator penyelenggaraan monev partisipatif yang melibatkan semua unsur dalam sebuah proyek. Sayangnya pandangan masyarakat selama ini melihat jika tim monev bekerja hanya datang, mengawasi, memotret, mencatat lalu melapor pada atasan. Pengawasan alokasi dana blockgrant juga belum dilakukan secara optimal oleh birokrasi. Salah satu contoh kondisi riil adalah ketika saya ditanya apa dana blockgrant itu oleh salah satu ketua Rt di Kelurahan Nusukan tahun 2003 kemarin. Ini menandakan perencanaan pembangunan belum semua wilayah melibatkan warga. Kelemahan lain dari tim ini memang tidak dibekali kemampuan memfasilitasi, alat untuk monitoring dan juga dana. Akhirnya selama setahun belakangan ini tim monev lebih banyak bekerja dalam seleksi proposal dan melihat proyek secara langsung.  Tidak ada dialog dengan masyarakat penerima atau pengguna proyek untuk sekedar menanyakan manfaat dari program.

Keempat, usulan yang dibawa masyarakat masih bersifat proyek dan tidak ada satupun usulan berupa masukan mengenai kebijakan. Padahal peluang partisipasi telah tercipta tinggal bisa dimanfaatkan secara optimal atau tidak. Toh masyarakat juga mencermati perkembangan kota misalkan soal pedagang kaki lima, becak, pengamen dan sektor lain. Ruang publik untuk pembicaraan selama ini memang relatif terbatas sehingga ajang Muskelbang idealnya dapat dimanfaatkan secara optimal. Kelima, panitia pelaksana blockgrant diakui atau tidak masih terjebak pada ego sektoral. Di beberapa kelurahan misalnya muncul perdebatan (saat panitia pelaksana harus membuat DSP) menggolkan usulan Rw hanya karena sang pengusul berasal dari wilayah tersebut. Mestinya usulan dikerangkakan demi kepentingan bersama. Kalau dicermati tentu bisa kita dapatkan hal ini pada saat Muskelbang, muscambang bahkan Muskotbang. Mestinya kerangka pemikiran tim pelaksana demi kepentingan bersama.

Sementara itu dampak yang bisa diperoleh ada dua segi yakni fisik dan non fisik. Yang fisik, masyarakat dapat melihat banyak fasilitas umum di kelurahan bisa dinikmati bersama seperti jalan halus, ketika hujan tidak banjir, jembatan yang memadai dan lain sebagainya. Dari aspek non fisik yang bisa dilihat tingkat pendidikan bisa diharapkan lebih baik karena ada bantuan bea siswa, peningkatan usaha ekonomi, tumbuhnya kepercayaan antar warga, terjalinnya komunikasi yang cukup efektif. Tinggal bagaimana menjaga hal ini secara berkesinambungan dan tidak terputus atau rusak ditengah jalan. Dua dampak ini akan menjadi modal yang sangat berharga bagi Kota Solo.

Masukan

Lantas masukan apa yang bisa didesakkan pada birokrasi agar pelaksanaan pengelolaan dana blockgrant bisa lebih baik dari sebelumnya. Pertama mengenai tim monev itu sendiri. Aturan main harus jelas sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Mekanisme monitoring dan pelaporan perlu diatur lebih detil. Batasan inipun tidak menutup ruang kreatifitas tim pada saat menjalankan tugasnya dan diharapkan outputnya sesuai dengan apa yang melandasinya. Semangat tim tetap melibatkan seluruh warga dan yang paling penting adalah bahwa tim ini bukan dalam rangka mengadili tim pelaksana tapi membantu masyarakat mengawasi penggunaan dana baik dari blockgrant ataupun swadaya yang berhasil dihimpun. Kemudian dana monitoring juga perlu dianggarkan secara khusus agar tidak mengurangi dana-dana yang memang untuk kegiatan pembangunan.

Kedua, peranan pemerintah kelurahan dipertegas dengan tanggung jawab menjadi media keterlibatan warga. Tentunya dalam keterlibatannya nanti akan memunculkan kohesivitas baik antar individu, antar individu dengan lembaga maupun antar lembaga yang ada ditingkat kelurahan. Peranan kasi-kasi yang ada bisa optimal dilakukan dan membantu wadah yang memang ada dimasyarakat. Komunikasi perlu dibangun sehingga ruang bertemu warga menjadi lebih banyak dan tidak menimbulkan persoalan sendiri. Banyak kejadian yang timbul dikarenakan ruang dialog publik memang tidak tersedia yang akhirnya muncul secara ekstrem. Mestinya masalah yang ada bisa diselesaikan (bila ruang komunikasi tersedia) malah menjadi problem yang berlarut-larut.

Ketiga, ketersediaan media atau informasi. Selama ini tidak ada pemanfaatan yang maksimal dari ruang publik yang sudah ada. Misalnya rapat Rt, Rw, pengajian, papan pengumuman. Mestinya tempat-tempat tersebut bisa dimanfaatkan untuk penyebaran informasi baik dalam konteks perencanaan, pelaksanaan, penggunaan dana blockgrant ataupun hasil monitoring. Ada ruang yang lebih besar lagi yang cukup efektif yakni media massa dan media elektronik seperti radio. Namun 2 media ini lebih banyak digunakan ketika muncul sebuah problem atau masalah. Hal ini yang perlu difahami semua pihak termasuk Pemkot untuk menjalankan tugasnya. Pemberian informasi yang terus menerus berarti juga menjalankan prinsip transparansi yang meminimalisir adanya kecurigaan atau bahkan tuduhan negatif. Tinggal bagaimana memanfaatkan ruang-ruang yang ada itu secara penuh.

Sebagai penutup, kiranya beberapa gambaran diatas mampu memberikan banyak sumbangan pemikiran sebagai masukan atau input perubahan kedepan bagi semua pihak. Kedepan proses perencanaan pembangunan akan lebih baik bila semua pihak membuka diri, menerima kritikan dan masukan sebagai upaya mencari model perencanaan lebih baik. Perubahan sikap juga diperlukan tidak hanya perubahan sikap birokrasi tapi juga masyarakat ataupun wakil rakyat supaya perencanaan pembangunan partisipatif yang banyak memberi dampak positif ini bisa terus dijaga. Kita semua tentunya tidak mau perencanaan akan dikembalikan seperti pada saat orde baru yang hanya ditentukan oleh elit masyarakat, kelompok tertentu atau kelompok kepentingan. Semoga!

Rabu, 17 Maret 2004

MENANTI KIPRAH LEGISLATIF PEREMPUAN

|0 komentar
Usai sudah pesta demokrasi melalui pemilihan umum tahun 2004 ini. Meskipun masih menyisakan pemilihan presiden namun tidak ada kejadian berarti selama masa kampanye hingga hari pemungutan suara. Memang disana sini banyak keluhan dan protes tetapi makna demokrasi dapat kita rasakan. Bahkan pemantau pemilu sekelas Uni Eropa pun memuji atas keberhasilan pelaksanaan pemilu. Soal riak-riak dalam pelaksanaan, biarlah dituntaskan oleh yang pihak-pihak yang bertanggungjawab seperti Panwaslu, Polri dan Pengadilan. Bagi masyarakat, harapan yang dititipkan calon anggota legislative terpilih tidak macam-macam. Yakni agar mereka mau mendengar suara rakyat, memperjuangkan aspirasi, membuat masyarakat dapat bekerja dengan tenang. “Vox dei vox populi” suara rakyat suara tuhan. Begitulah. Ada secercah asa yang tersirat dari rakyat agar itu semua dapat terwujud. Wong mereka juga sudah menggunakan hak pilihnya.

Peringatan Hari Kartini baru saja berlalu beberapa hari. Titik titik perjuangan emansipasi wanita yang dibawanya hingga kini masih terasa bahkan kesempatan bekerja, bersekolah, mendapatkan pelayanan, kesetaraan kian terbuka luas. Diberbagai sektor, perempuan telah menunjukkan kemampuan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Lantas masihkah kita menganggap perempuan sebelah mata dan hanya meletakkan sebagai “konco wingking” semata?. Dalam bidang politik, saat pembahasan UU  No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu tentunya masih melekat diingatan kita banyak elemen seperti Ormas, OKP, LSM dan elemen lainnya yang peduli pada persoalan perempuan gencar melakukan kampanye kuota perempuan sebesar 30 %. Perjuangan itu akhirnya ‘agak’ berhasil dengan dimasukkannya usulan tersebut. Pada pasal 65 ayat 1 tertulis “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Memang sebagian kalangan menganggap ditampungnya pasal itu hanya akal-akalan atau kompromi elit karena terdapat kata ‘Dapat’. Sebagian yang lain menyatakan masuknya pasal ini merupakan tindakan affirmative.

Terlepas dari masalah itu, kemudian ramai-ramailah partai peserta pemilu menyodorkan perempuan untuk memenuhi kuota 30 % tersebut. Masyarakat kembali kecewa sebab dari banyak partai yang mengajukan calonnya hanya untuk memenuhi persyaratan undang-undang. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya caleg perempuan yang diletakkan pada urutan bawah. Selain itu, caleg perempuan banyak juga masih ada hubungan dengan pejabat teras partai bersangkutan. Banyak kritikan yang diajukan pada caleg-caleg itu meskipun akhirnya mereka tetap maju ke medan pertempuran. Sementara partai membelanya dengan mengatakan caleg (perempuan) itu memang kader partai dan siap bersaing dengan caleg laki-laki.

Memang disayangkan, pemaknaan pasal itu yang melenceng dari komitmen awal. Artinya para aktivis berharap partai bersedia membuka diri, mencari, menggodok bahkan bernegosiasi dengan perempuan yang memang kapabel untuk itu. Aktivis partai malah mengelak dengan tidak mau mencari perempuan yang sudah jelas komitmennya untuk memperjuangkan perempuan. Apalagi menaruhnya diurutan atas. Sudah pasti protes dari sana sini mengalir deras. Kita semua mendapati bahwa partai tidak melakukan regenerasi secara seimbang antara laki-laki dan perempuan. Bahkan berdasarkan sebuah penelitian disebutkan dari 6 partai di Solo, perempuan yang masuk dikepengurusan hanya 5,26 % (Siti Supeni, Peran Politik Perempuan 2004).

Analisis
Baiklah kita tinggalkan problem-problem diatas dan coba kita lihat hasil pemilu di 19 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah. Berdasarkan perkiraan caleg perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten/Kota di 19 wilayah Jawa Tengah tidak ada yang melebihi 16 persen (data didapat dari berbagai media massa di jawa Tengah). Justru yang mampu meloloskan calegnya mencapai 16 persen untuk jadi wakil rakyat periode 2004 – 2009 yakni 6 partai dari berbagai daerah pemilihan yang ada untuk menjadi anggota di DPRD I Jawa Tengah. Peningkatannya sangat tajam karena periode sebelumnya hanya terdapat 4 anggota legislative perempuan. Untuk kabupaten/kota hanya ada 10 partai yang meloloskan caleg perempuannya untuk jadi wakil rakyat (Lihat Tabel). Sementara Kabupaten/Kota yang mampu menembus 15 % keterwakilan perempuan (7 orang) hanya ada 2 yakni Kabupaten Pekalongan dan Purbalingga.

Dibawahnya Kota Tegal (6 orang/13,3 %), disusul Banjarnegara, Purworejo, Batang, Pemalang dan Kabupaten Tegal berjumlah 5 orang (11,1 %). Sisanya 11 wilayah yang tidak mendudukkan caleg perempuannya melebihi 10 persen. Dua wilayah yang caleg perempuannya minim yakni Kabupaten Temanggung 2 orang (4,4 %) dan Kota Solo hanya 5 persen (2 orang dari 40 anggota). Khusus Kota Solo (berdasar news letter Grha Perempuan edisi 09 Maret 2004) terdapat 12 partai yang mengajukan caleg lebih dari ketentuan undang-undang. Partai tersebut adalah PNI Marhaenisme (35 %), PBB (39 %), PPP (37 %), Partai PIB (60 %), PNBK (30 %), PKPI (30 %), PPDI (46 %), PKPB (30 %), PKB (39 %), PKS (40 %), PDS (52 %), P Golkar (32 %), P Patriot (33 %) dan PPD sebesar 37 %. Dari 12 partai itu yang meloloskan caleg perempuannya PDS dan PDIP (yang kuotanya hanya 21 %).

Dari kesepuluh partai, yang penyebaran caleg perempuan yang dipastikan jadi, hampir merata di 19 wilayah tentu saja PDI Perjuangan. Hanya ada 6 daerah yang caleg perempuannya diperkirakan tidak mewarnai dewan yaitu di Solo, Karanganyar, Pemalang, Pati, Kab Semarang dan Temanggung. Kemudian Partai Golkar (8 daerah), PKB dan Partai Demokrat  (10). Sedangkan 3 partai hanya mampu mendudukkan 1 wakil perempuan di legislative yakni PKPB (Pemalang), PDS (Solo) dan PBB (Boyolali). Yang disayangkan adalah Partai Keadilan Sejahtera. Dari 17 Kabupaten/Kota yang mampu meloloskan kadernya menjadi dewan, ternyata hanya terdapat dua kader perempuan yang duduk menjadi anggota legislative. Padahal, Jawa Tengah mampu meloloskan Ny Hj Nafisal Sahal menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan meraup suara terbanyak 1,7 juta lebih. Berdasarkan data sementara KPU Pusat, dari 32 propinsi di Indonesia hanya ada 9 propinsi yang tidak berhasil ‘meloloskan” calon perempuannya sebagai DPD.

Harapan
Setelah kita semua tahu seperti itu, apa yang kita tunggu dari kiprah mereka selama 5 tahun kedepan. Tidak mudah memantau kinerja mereka apalagi anggota legislative akan diikat norma-norma kedewanan ditambah aturan partai yang sangat membelenggu. Sebelum pemilu digelar, dibanyak wilayah ada gerakan yang cukup menarik simpati masyarakat yakni soal political contract atau kontrak politik. Memang dibeberapa tempat hanya kader Partai Keadilan Sejahtera yang berani membuat perjanjian didepan notaris. Lalu di Solo ada sebuah LSM yang kemudian bersepakat bersama-sama membuat kontrak politik dengan caleg perempuan. Tujuannya agar caleg yang kemudian berhasil menjadi anggota dewan tidak mudah berubah haluan. Selain itu juga untuk memantau kinerja selama 5 tahun kedepan apakah dia akan bekerja untuk kelompoknya atau untuk meningkatkan dan mensejahterakan perempuan.

Diluar itu, tidak berlebihan bila kita mempunyai harapan supaya wakil rakyat perempuan ini terus berjalan on the track. Ada beberapa point yang mungkin harus tetap dijaga oleh mereka yakni pertama, dengan duduknya mereka menjadi anggota dewan telah membuktikan adanya partisipasi perempuan. Hal ini harus diperluas lagi dengan aktifnya mereka dalam pengambilan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Bagaimana memformat agar APBD lebih banyak memberi roh dan mampu meningkatkan kepedulian pada perempuan. Bagaimana anggaran pendidikan dapat memberi peluang pada anak didik perempuan menjadi setara dalam hal kesempatan untuk mencari ilmu. Dibidang kesehatan misalnya, program kesehatan reproduksi dan kesejahteraan perempuan perlu menjadi prioritas utama

Yang tak kalah pentingnya yakni menciptakan aturan agar kekerasan terhadap perempuan (apapun bentuknya) pelakunya harus mendapat hukum setimpal. Kedua, peneguhan komitmen bahwa duduknya mereka di legislative betul-betul memberi manfaat dan bukan hanya pelengkap penderita. Kreatifitas dalam melakukan fungsi legislasi harus terlihat sehingga makna hadirnya wakil perempuan di parlemen menjadi kenyataan. Tidak banyak berkutat dengan kelompoknya sendiri namun membangun jaringan lebih besar sehingga dukungan datang tidak hanya dari konstituen saja. Ini lebih efektif dalam mendesakkan kebijakan yang peduli perempuan daripada mengandalkan partai semata.

Ketiga, pengabdian itu bukan pada kekuasaan, bukan pada partai namun pada kelompok-kelompok perempuan, marginal, lemah yang selama ini mereka hidup dalam tekanan. Prioritas bidang kerja bukan berorientasi pada bagaimana mengembalikan modal kampanye atau memperkaya diri sendiri. Tiga hal inilah yang menjadi kunci untuk menjawab layakkah perempuan menjadi wakil rakyat. Akhirnya, marilah kita semua berdoa agar mereka yang pada 1 Oktober nanti dilantik tetap peduli pada masyarakat dan tidak lupa diri, semoga.

Jumat, 20 Februari 2004

SAATNYALAH KITA YANG MENENTUKAN

|0 komentar
Dua puluh dua hari mendatang (11 Maret – 1 April) mata dan telinga kita akan dipenuhi kampanye partai politik peserta pemilihan umum 2004 ataupun calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Baik dijalanan, pos ronda, televisi, surat kabar, radio bahkan (mungkin juga) e-mail kita akan dipenuhi rayuan agar memilih. Harap dimaklumi karena pada tanggal itulah kesempatan parpol, caleg maupun calon DPD ‘menjajakan dagangannya’ agar laku. Bagi beberapa orang mungkin akan mengusik kenyamanan dan ketenangan. Pemilu 2004 (yang kata KPU BEDA!) disambut suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia. Bisa kita saksikan di televisi, bisa kita dengarkan di radio dan bisa kita baca dimedia massa maraknya pesta Pemilu ini.

Pemilu 2004 ini diakui atau tidak sedikit ada perbedaan. Salah satu diantaranya yakni kita dapat langsung memilih orang supaya duduk menjadi wakil rakyat. Kata teman saya, kalau dulu milih kucing dalam karung tetapi sekarang karungnya sudah transparan sehingga kucingnya kelihatan apakah kucing kurap atau bukan. Partai berebutan mengajukan calon yang akan dipertarungkan dalam pemilihan nanti. Bahkan diperkirakan ratusan artis papan atas akan ikut memeriahkan kampanye 24 partai yang ada.

Terlepas dari beberapa masalah yang melingkupi pemilu seperti masalah honor KPPS yang minta naik, kekhawatiran terlambatnya kartu suara, ribut-ribut pejabat parpol mencari-cari pasangan capres-wapres hingga sampai ada yang meragukan pemilu dapat terselenggara tepat waktu maka selama 22 hari rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi yang kesekian kalinya. Banyak masyarakat yang berharap ajang pemilu ini dapat merubah nasib bangsa. Ada pula yang berharap asalkan terselenggara dengan damai dan inilah yang menjadi tumpuan selain hasilnya nanti akan menghasilkan pemerintahan yang jujur, adil, demokratis dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Lalu bagi kita yang rakyat biasa ini, apa yang akan diperbuat menghadapi pesta itu? Pertanyaan yang sebetulnya sangat sederhana namun susah mencari jawaban yang pas. Ikut kampanyekah ? ada yang berpendapat asalkan diberi honor dan kaos. Ada juga yang hobinya mempreteli knalpot sambil berjoget diatas motor atau yang hobi nonton goyang ngebor akan datang ke lapangan karena ada suguhan artis dangdut nasional yang diundang atau dirumah saja menonton televisi?. Sebenarnya disinilah letak kepentingan masyarakat untuk memilih partai dan calegnya. Bagi sebagian aktivis partai, tidak bakal ada keraguan untuk memilih sebuah partai dan seorang calon yang memang diandalkan. Bagi sebagian orang tidak akan kesulitan menentukan pilihan namun bagi yang lain mungkin akan berbeda.

Masa Kampanye

Diakui atau tidak pendidikan politik yang seharusnya dilakukan partai politik tidak pernah dijalankan. “Kapan partai berinteraksi dengan konstituennya, memberikan pendidikan politik pada rakyat?” ungkap Hasyim Asy’ari, anggota KPU Jateng pada sebuah seminar di Solo tanggal 8 Pebruari kemarin. Kalau selama ini pendidikan politik dilakukan niscaya rakyat tidak akan bingung memilih partai atau orang yang dicalonkan untuk duduk di legislative. Nah jika demikian kondisinya maka tak pelak masyarakat harus betul-betul memantau, mengikuti, mendengarkan atau menyimak kampanye seorang caleg.

Kampanye merupakan janji yang harus ditepati meskipun implementasinya sangat susah karena memang tidak ada yang merekam/memantau kemudian menagih dikemudian hari. Paling tidak wacana mengikat caleg sudah dilakukan beberapa lembaga. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, dibeberapa wilayah sudah banyak melakukan kontrak politik didepan notaris. Lalu kalau di Solo ada Solidaritas Perempuan untuk Keadilan dan HAM (SpekHAM) melakukan kontrak sosial dengan caleg perempuan. Menurut saya, inilah sebuah pembelajaran bagi kita semua bahwa menjadi anggota legislatif itu tidak mudah karena memikul tanggung jawab sosial yang memang harus bisa dipertanggungjawabkan minimal kepada pemilih/konstituen.

Akhir-akhir ini media justru banyak memberikan berita bahwa wakil rakyat yang segera paripurna minta pesangon. Bungkusnya macam-macam. Ada dana asuransi, ada pesangon, tali asih dan ada dana paripurna yang besarnya puluhan juta. Belum lagi ada gerakan baru soal tolak politisi busuk yang sangat membantu masyarakat menentukan pilihannya. Gerakan ditingkat nasional yang digalakkan baik oleh Ormas, OKP maupun LSM ini telah sampai ke wilayah-wilayah. Lalu dibeberapa daerah ada kampanye pilih caleg nomor bawah.

Bagi yang menandatangani kontrak politik bersedia diganti apabila melanggar. Banyak hal yang tertulis dalam kontrak itu seperti tidak akan melakukan korupsi, kolusi, akan memperjuangkan perempuan dan lain sebagainya. Sayangnya secara global hingga saat ini jarang terdengar sebuah partai politik menerangkan soal platform paradigma atau bahkan program politik untuk mengatasi krisis yang melanda bangsa Indonesia. Bahkan partai yang berkuasapun tidak jelas visi misinya karena toh bangsa ini masih tetap begini. Tidak pernah didapati sebuah partai/caleg muncul dilayar kaca atau iklan di media cetak menyatakan apabila terpilih akan melakukan ini itu. Justru yang muncul adalah pilihlah partai ini dan nomor urut sekian.

Dalam sebuah jajak pendapat terungkap hal yang sangat mengkhawatirkan. Dari 1.018 responden terungkap 62,5 persen (Jawa) responden belum pernah mendengar program. Sementara luar Jawa tercakup 63,4 persen. Padahal dalam pertanyaan selanjutnya tentang perlu atau tidak partai politik menyosialisasikan program, sekitar 80,7 persen responden yang berada di Jawa menjawab perlu dan 79,6 persen menjawab tidak. Yang bertambah parah yakni dari 75,3 persen responden di Jawa dan 70,8 persen responden diluar Jawa menjawab tidak yakin atas janji partai politik dalam kampanye akan dilaksanakan.

Pahami Platform
Lalu sebagai pemilih, apa yang dapat dilakukan? Ada beberapa hal yang mungkin dapat memandu kita menentukan siapa orang yang akan kita serahi mandat untuk memperjuangkan kepentingan kita. Pertama lihatlah visi misi, platform, paradigma ataupun program-program partai peserta pemilu 2004. Data-data ini bisa didapatkan dari web site (kalau ada), baca brosur partai, mendengarkan dialog yang diselenggarakan media elektronik, mendatangi seminar atau diskusi, mendatangi kampanye atau bahkan bisa juga mendatangi secretariat partai bersangkutan untuk menanyakan hal-hal yang menjadi kebutuhan.

Kedua, bagaimana perjalanan partai tersebut selama ini. Hal itu bisa kita pantau dari media yang ada. Apakah paprtai tersebut suka mengeluarkan kebijakan yang menggusur PKL, melegalkan judi, menyetujui anggaran pendidikan yang minim. Tentu data ini tidak bisa didapat dengan mendatangi partai bersangkutan. Bisa juga kita mendatangi media massa dan mencari informasi itu, mendatangi Ormas, OKP, LSM atau pihak lain yang memang sering memantau atau berkompeten untuk melihat sepak terjang mereka.

Ketiga, lihat track record calon legislative yang ada di partai tersebut. Data ini mungkin bisa digali dari dimana dia tinggal. Lewat tetangganya bisa ditanyakan perilaku sehari-harinya. Dimanakah tempat kerjanya (sebelum menjadi anggota dewan) tanyakan pada bawahan atau pesuruhnya apakah perilakunya terpuji. Bisa juga tanyakan pada orang yang sering berinteraksi dengan caleg tersebut. Dari hal-hal itu kita akan dapatkan realitas yang obyektif terhadap perilaku seseorang. Jangan sampai kita memilih calon yang justru suka korupsi dikantornya, suka memukul atau menyiksa pembantunya atau bahkan diundang rapat Rt saja tidak mau. Orang-orang seperti ini akan berlindung dibalik kesibukannya sebagai wakil rakyat untuk tidak mau bergaul dengan masyarakat.

Seandainya kita datang pada saat kampanye, tentu tiap partai dan caleg akan mengutarakan janji-janji yang manis sehingga membuai kita dalam mimpi. Kita tidak lagi akan memilih partai yang platform ataupun visi misinya tidak jelas. Dan kita tidak akan mencoblos caleg yang jelas2 korup, memakan uang rakyat dengan dalih dana paripurna, anti demokrasi, pelanggar ham, pelaku kekerasan dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Saatnyalah kita menentukan masa depan bagi Indonesia yang lebih baik.