Sabtu, 12 Juni 2010

ANALISA KRITIS RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTRIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

|0 komentar
Mekanisme perencanaan dan penganggaran di Indonesia sudah ditetapkan dalam berbagai regulasi yang sudah baku. Proses ini memadukan antara proses top down dengan bottom up serta proses teknokrasi sehingga pelaksanaan pembangunan tidak hanya menyelesaikan masalah namun juga menjawab kebutuhan masyarakat. Selama pra reformasi, pemerintah menempatkan diri pada posisi lebih faham, lebih mengerti dan lebih tahu kebutuhan, masalah dan problem masyarakat. Sekarang, paradigm itu telah digeser bahwa problem yang dimiliki sangat lekat di masyarakat sehingga merekalah yang mengetahui bagaimana menyelesaikan problem-problem tersebut.

Beberapa regulasi yang mengamanatkan tentang pentingnya perencanaan telah menegaskan bahwa perencanaan memiliki peran penting. Sebuah program tidak bisa dilaksanakan sekonyong-konyong begitu saja. Setidaknya ada peraturan yang harus di imani bagi sebuah kementrian untuk pelaksanaan programnya yakni :
1.    UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara terutama pasal 17 – 20.
2.    UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terutama pasal 21 – 27.
3.    UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama pasal 150 – 154 dan pasal 179 – 199.
4.    UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pemerintah Daerah terutama pasal 66 – 86.
5.    UU No 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
6.    Inpres No 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014
7.    Permenbudpar No PM.17//PR.001/MKP/2010 Tentang Renstra Kembudpar 2010-2014

Nampaknya konsistensi perencanaan kementrian perlu di evaluasi secara penuh karena tingkat konsistensi tata urutan RPJPN, RPJMN, Renstra K/L, RKP hingga RKA tidak mencerminkan hal itu. Dalam RKA K/L Kemenbudpar Tahun 2011 yang diajukan ke DPR ada 5 hal yang patut dipertanyakan. Kelima hal tersebut yakni :
1.    Penyusunan RKA
Setiap kementrian tentu menyusun anggaran tidak sekedar mengajukan, menjumlahkan atau menaikkan berapa persen dari anggaran tahun sebelumnya. Namun tentu lebih banyak memegang landasan sistematis dan rasional. Dua hal yang patut dipertanyakan dalam penyusunan RKA K/L Tahun 2011 Kemenbudpar adalah :
a.    Dimanakah dampak evaluasi LHP oleh BPK dalam penyusunan RKA K/L Kemenbudpar? Faktor utama apakah yang menghambat dan bagaimana antisipasi pelaksanaan Tahun 2011? Pengajuan anggaran kementrian yang tahun lalu mendapat penilaian BPK dengan kategori WDP masih sangat normative. Hal ini ditunjukkan klausul anggaran hampir rata-rata meningkat. Penjelasan landasan hasil evaluasi BPK tidak muncul dalam penjelasan awal.
b.    Indikator utama untuk penyusunan RKA K/K di Kemenbudpar juga tidak dipaparkan sehingga asumsi-asumsi kenaikan anggaran maupun target capaian sulit dinilai. Idealnya mereka mengajukan indicator tersebut.

2.    Konsistensi Visi dengan implementasi
Dalam Renstra Kemenbudpar Tahun 2010-2014 yakni Terwujudnya Bangsa Indonesia yang mampu memperkuat jati diri dan karakter bangsa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan misi di 4 isu utama yakni (a) Nilai, ragam dan kekayaan budaya; (b) Industri pariwisata; (c) SDM budaya dan pariwisata; serta (d) Pemerintahan responsive, transparan dan akuntabel. Dengan penetapan kementrian yang bernama kebudayaan dan pariwisata tentunya kebudayaan menjadi prioritas. Visi dan misi yang dituliskan memfokuskan pada budaya dengan menaikkan nilai pada budaya tersebut sehingga mampu meningkatkan wisatawan yang akhirnya menopang kesejahteraan masyarakat.

Namun dilihat anggaran program (dalam RKA K/L yang diajukan) terlihat ketimpangan antara program kebudayaan dengan kepariwisataan (hal 3). Anggaran kebudayaan tercermin dalam program no 6 dan 7 sedangkan kepariwisataan pada program no 8 dan 9. Bahkan untuk proyeksi 5 tahun mendatang untuk program kebudayaan tahun 2013 dan 14 lebih besar sedikit. Bila dijumlahkan kita lihat untuk anggaran kebudayaan Tahun 2010-2014 sebesar Rp 445 M, Rp 727 M, Rp 764 M, Rp 797 M dan Rp 797 M. Sedangkan anggaran kepariwisataan sebesar Rp 586 M, Rp 805 M, Rp 855 M, Rp 797 M dan Rp 772 M.

Berdasarkan uraian tersebut, yang memunculkan pertanyaan kenapa anggaran kebudayaan 2013 dan 2014 besarannya sama. Apa alasannya? Berdasar data proyeksi tersebut, antara visi, misi dan implementasi anggaran tidak match. Kenapa anggaran kepariwisatan justru lebih besar? Ada inkonsistensi dalam implementasi visi misi. Seharusnya Kementrian mengevaluasi perencanaan program yang diajukan. Kebudayaan menjadi nilai penting bagi sebuah bangsa. Tidak bisa diajukan alasan bahwa yang menghasilkan devisa atau pemasukan pariwisata sehingga harus disupport anggaran besar. Nilai-nilai budaya bila dikelola dengan baik juga akan menghasilkan pemasukan yang besar pula.


3.    Proporsi Alokasi Anggaran 2010-2014
Kemenbudpar merupakan kementrian yang memiliki berbagai kantor wilayah di daerah. Selain itu secara rutin membantu berbagai museum, candi dan beragam asset budaya yang bernilai tinggi. Maka dari itu ada anggaran yang dialokasikan ke berbagai pengelola benda-benda cagar budaya di banyak daerah. Daerah-daerah tersebut tersebut dalam hal 6-15 (untuk anggaran 2010-2014). Namun bila dikaji setidaknya ada berbagai hal yang perlu diklarifikasi yaitu :

Alokasi anggaran Tahun 2012 – 2014 untuk kabupaten/kota kosong namun anggaran di tingkat pusat bisa dirumuskan. Berdasar apa anggaran tersebut disusun? Menbudpar harusnya teliti dalam mengawasi bawahannya supaya hal ini tidak terulang. Bagaimana anggaran bisa dirumuskan bila besaran untuk kegiatan tidak bisa bisa dikalkulasi. Ada juga anggaran (tahun 2012 – 2014) yang alokasinya hanya untuk propinsi saja. Apakah itu tidak dialokasikan untuk anggaran-anggaran di kabupaten/kota? Atas dasar apa anggaran kabupaten/kota ditetapkan secara merata pada Tahun 2011 sebesar Rp 100 M? Bukankah secara riil kebutuhan daerah itu berbeda? Cagar budaya ditiap daerah ragam dan kebutuhannya juga berbeda namun kenapa alokasi anggaran dipukul rata?

4.    Program Pengembangan Nilai Budaya, Seni dan Film (Hal 47 – 57)
Dalam program ini ada 9 kegiatan yang direncanakan untuk dilaksanakan.  Namun salah satu kegiatan yakni Pengembangan Masyarakat Adat justru dialokasikan di pusat bukan di daerah.  Bukankah lebih baik anggaran tersebut di distribusikan ke daerah karena mereka yang mengetahui penanganan dan menjaga kelestarian masyarakat adat. Lantas apa fungsinya pembagian kewenangan pusat dan daerah bila anggaran masih di desentralisasi. Pantas saja bila kebudayaan di daerah terancam punah. Apakah pelaksanaan kegiatan tersebut berkoordinasi dengan pemerintah daerah? Apakah berkoordinasi dengan Dinas ditingkat propinsi atau kabupaten?

Bila dicermati lebih jauh anggaran Kegiatan Pengembangan Masyarakat Adat pada Tahun 2010 dan 2011 sangat minim. Pun bila dijumlahkan dengan Kegiatan Pelestarian dan Pengembangan Nilai-Nilai Tradisi (Tahun 2010 Rp 4,5 M dan Rp 3,4 M sementara Tahun 2011 Rp 7 M dan Rp 5,4 M) masih kalah jauh dengan Kegiatan Peningkatan Sensor Film (Tahun 2010 senilai Rp 20,7 M dan Tahun 2011 Rp 27 M)? Seharusnya kegiatan pengembangan masyarakat adat bisa lebih diperhatikan sebab tanpa intervensi tentu kebudayaan adat yang mereka miliki akan punah. Sebut saja telinga panjang di Kaltim sudah hampir punah karena ada anggapan jika telinga berlobang itu sudah ketinggalan jaman. Yang perlu dipertanyakan lagi apa beda Kegiatan Pelestarian dan Pengembangan Nilai-Nilai Tradisi (hal 47) dengan Kegiatan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (Hal 57)? Karena rawan duplikasi, mestinya harus dihilangkan salah satunya.

5.    Program Kesejarahan, Kepurbakalaan dan Permuseuman (hal 80 – 82)
Program ini merencanakan 8 kegiatan, namun yang dialokasikan ke daerah hanya pada Kegiatan Pengelolaan Permuseuman. Apakah Kegiatan Pengembangan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air tidak dikerjasamakan dengan daerah atau dengan TNI AL dan Polairud? Berdasarkan beberapa sumber, disebutkan ada ribuan jenis peninggalan bawah air yang rawan dicuri oleh pihak lain. Maka dari itu perlu kerjasama adanya pengawasan peninggalan bawah air dan bekerjasama dengan TNI AL maupun Polairud. Bagaimana penggantian benda peninggalan bawah air yang dipelihara oleh swasta dan telah dijanjikan oleh pemerintah namun tidak kunjung terealisasi? Kerugian pihak swasta cukup besar dan hendaknya segera dilakukan pelelangan. Kemenbudpar harus segera menangani hal ini sebab merupakan asset negara.

Pemerintah memiliki rencana membangun Museum Peninggalan Bawah Air di dekat Candi Borobudur Magelang Jawa Tengah? Bukankah Magelang jauh dari laut dan tidak memiliki relevansi dengan peninggalan bawah laut. Yang juga penting kejelasan gagalnya lelang 271.381 benda berharga bawah laut (10.000 jenis) yang umurnya lebih dari 1.000 Tahun dengan model penjualan sekaligus? Apalagi nilai jaminannya juga sangat tinggi (Rp 147 M) dengan perkiraan harga minimal Rp 720 M. Yang juga aneh adalah kenapa pelelangan dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan bukan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Bagaimana membangun permuseuman di luar jawa? Sebab banyak benda-benda bersejarah yang terlantar diluar jawa akibat minimnya anggaran ini. Misalnya di Kutai Kartanegara, hampir sulit menemukan benda peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara yang sulit lagi dilihat.