Rabu, 12 Oktober 2005

PKL, Kelompok Borju atau Marginal?

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin

Kalau kita mencermati kring solopos setiap harinya, terlihat banyak pembaca solopos yang mendukung pemindahan Pedagang Kaki Lima (PKL). Apalagi sudah ada statement dari Wakil Walikota yang akan segera memindahkan mereka terutama yang berada di kawasan monumen pahlawan 45 (Banjarsari) sebelum 17 Agustus tahun depan. Dukungan kepada birokrasi dari berbagai pihak terus mengalir seperti masyarakat Stabelan, pejuang veteran, pengguna jalan termasuk para pengemudi yang melewati Pasar Semanggi. Kawasan Semanggipun kini terus dikampanyekan siap menerima tampungan PKL terutama dari kawasan klithikan sembari dilakukan perbaikan dengan dukungan APBD. Sejalan dengan pertumbuhan kota maka jumlah PKL pun tumbuh cepat bak jamur dimusim hujan. Ragam PKL pun bisa bermacam-macam, ada yang jual makanan, peralatan elektronik, pakaian, kebutuhan rumah tangga dan masih banyak lagi.

Lantas kemudian banyak juga yang menyangsikan mereka betul-betul kaum papa karena yang dijual onderdil motor, barang elektronik, aksessoris mobil dan barang-barang mahal lainnya. Apakah betul kemudian mereka masih dinamai PKL juga? Belum lagi barang pribadi yang dimilikipun cukup mentereng. Tidak hanya sebatas HP, tapi juga motor keluaran terbaru bahkan memiliki mobil. Pantas pada 2 minggu belakangan ini muncul sentimen terhadap PKL (terutama yang berada di Banjarsari). Kringer (pengguna kring solopos) menuding mereka kebanyakan bukan warga Solo sehingga tidak perlu diber ruang berusaha. Ada dua pertanyaan mendasar, pertama bagaimana merelokasi mereka dan kedua adalah cara yang bisa digunakan.

Pengertian PKL, sesuai Perda No ___________________________________ Berdasarkan data BPS (2003) tercatat pada tahun 2000 ada 1038 pedagang kaki lima, dan tumbuh berturut-turut 1.115 PKL (2001), 3.390 PKL (2002), 3.834 PKL (2003) dan tahun 2004 masih tetap sama. Sementara menurut berita yang dimuat Solopos sampai akhir bulan kemarin (30/9) mencapai 4.522 (termasuk hunian liar/solopos 30/9). Tak menutup kemungkinan jumlah ini akan bertambah banyak dikarenakan kenaikan BBM yang mendorong harga-harga barang ikut terdongkrak. Pemerintah Kota sendiri berencana melakukan bedol desa dari kawasan Banjarsari pada tahun 2006 mendatang setelah lokasi yang terletak di Kecamatan Pasar Kliwon telah siap. Namun nampaknya akan terjadi kesulitan bagi Pemkot. Hal ini disebabkan PKL menawarkan 6 opsi bila ingin memindah mereka.

Untuk terlihat lebih serius lagi, Walikota membentuk tim yang akan melakukan penertiban PKL yang diisi oleh dinas-dinas terkait. Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya unsur perwakilan PKL itu sendiri sehingga dikhawatirkan perdebatan-perdebatan yang muncul dalam tim tersebut tidak merepresentasikan subyek sesungguhnya. Kita semua patut bersyukur, selama ini penertiban PKL masih menggunakan nurani tidak seperti yang terjadi dibanyak kota besar lainnya seperti Jakarta. Tapi hal ini tidak menandakan tidak ada keseriusan. Dalam bincang-bincang penulis dengan beberapa warga Solo, menyatakan aksistensi PKL murni kesalahan Pemkot dan instansinya. Pertama mengenai peluang berusaha yang sampai saat ini tidak mudah dilakukan. Bekerja pada sector formal tentu membutuhkan keahlian sedangkan sector-sektor yang menyerap tenaga kerja sangat minim. Kalau toh pun ada, gajinya sangat jauh dibawah UMR.

Kedua, banyak yang menyatakan menjadi PKL bukan pilihan sebab tidak ada hari libur bagi mereka. Pada hari minggu atau libur nasional justru banyak pembeli datang sehingga mereka lebih suka membuka kios daripada berlibur. Pada saat mendirikan tempat berusaha, tidak pernah ada pengawasan bahkan yang terjadi justru sehari dipasang, hari itu pula ditarik retribusi dari petugas. Selang beberapa hari, listrik diuruspun bisa terpasang. Disini terlihat tidak ada mekanisme koordinasi yang efektif dari Pemkot, PLN ataupun pihak yang berkepentingan. Kalautoh pun harus pindah ke tempat-tempat resmi seringkali biaya untuk membeli kios sangat mahal sehingga pedagang akan kesulitan mencicilnya. Sementara di tempat mereka mendirikan kios hanya modal bahan bangunan, didirikan sendiri dan resmilah mereka berdagang.

Solo sebagai Kota Budaya yang tercermin dalam Visi Kotanya (Perda 10 Tahun 2001) selayaknya memperlakukan seluruh warganya dengan nilai-nilai yang mengandung makna dalam. Prinsip Nguwongke Uwong (yang pernah jadi jargon Slamet Suryanto untuk proses perencanaan) selayaknyalah selalu dipelihara untuk menjalani kehidupan yang menjadi serba sulit ini. Duduk bersama, mendiskusikan dan mencari solusi bersama setiap permasalahan sengan pelaku akan lebih afdhol dan bermanfaat besar. Dalam gambaran penulis, untuk merelokasi mereka dibutuhkan cara yang sangat manusiawi. Memperhatikan bahwa mereka punya hak berusaha, hak mencari nafkah, hak menghidupi keluarganya dan sebagainya. Ini bukan persoalan antara apakah PKL itu asli Solo atau bukan. Apakah kalau bukan maka tidak boleh berusaha? Pikiran yang sangat picik karena kita semua tidak pernah memberikan solusi.

Penanganan

Untuk menjawab bagaimana dan caranya maka ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Pertama, dudukkan mereka dalam tim penertiban PKL, libatkan mereka disetiap perumusan masalah maupun mengambil solusinya. Dengan cara ini, maka langkah yang akan dilakukan sudah otomatis diketahui pedagang dan mereka akan mensosialisasikannya sendiri. Kedua, PKL tetap harus dipilahkan bukan berdasarkan asli atau bukannya tidak dari Solo. Tapi telitilah kemampuan finansialnya. Jikalau mereka betul-betul mampu, minta mereka pindah ke ruko yang bisa disewa atau ke toko atau ketempat yang memang sesuai tanpa dibantu sedikitpun. Melihat kemampuan finansialnya tidak selalu dari tampilan fisik tempat yang mereka gunakan untuk berdagang. Tetapi lihat kondisi rumah mereka. Hal ini sekaligus untuk merumuskan langkah apa yang akan diambil oleh tim. Bila ditemukan kondisi keluarga PKL memprihatinkan (betul-betul butuh dukungan) tidak ada salahnya beri keringanan-keringanan. Bentuk keringanan misalnya pada saat pindah ke lokasi baru disediakan alat angkutan, pemotongan harga kios, subsidi, pembebasan retribusi 2-3 bulan serta kemudahan-kemudahan lainnya.

Ketiga, pengadaan fasilitas umum seperti masjid, tempat parkir yang memadai, wc umum yang terawat dan lainnya. Fasilitas pendukung itu sangat membantu daya tarik bagi konsumen dan membantu pedagang yang baru pindah. Pada saat awal pindah, pasar tidak otomatis menjadi ramai. Oleh karena itu kepedulian pemerintah sangat dibutuhkan. Misalnya bagi pedagang yang mempunyai anak seusia sekolah dasar, tidak ada salahnya ada bantuan bea siswa. Minggu-minggu awal berdagang pasti merupakan awalan yang cukup sulit. Ketiga, guna mengkondisikan keramaian maka mewajibkan angkot melewati pasar klithikan yang baru. Hal ini sebagai kampanye proses kemudahan transportasi bagi konsumen yang akan berbelanja. Tidak ada salahnya ada dukungan finansial misalnya untuk bulan-bulan awal diadakan undian yang penyediaan hadiahnya tidak harus dari Pemkot, bisa juga dari sponsor.

Yang terpenting dalam melakukan penataan PKL dan menyelesaikan problem kota, ada keterlibatan tidak hanya stakeholders berkaitan namun juga shareholders. Kedepan, bila prinsip-prinsip menghargai rakyat, partisipatif, transparan, akuntabel menjadi komitmen Walikota, otomatis dukungan bagi terlaksananya pemerintahan akan semakin besar. Beberapa kegiatan kota tidak ada salahnya dselenggarakan ditempat baru (pasar Semanggi) sehingga pedagang akan banyak terbantu serta lokasi-lokasi yang dianggap pemerintah dilarang akan menjadi sepi. Tidak harus digusur, tidak harus dirobohkan tetapi bagaimana duduk bersama mereka untuk mencari solusi. PKL menurut penulis juga manusia.


Muhammad Histiraludin, Pekerja Sosial di IPGI Solo, menulis buku Bergumul Bersama Masyarakat, , Alumnus 39th PDM Course Asian Institute Management (AIM) Philipina

Solo, 12 Oktober 2005
Hormat Kami,

Muhammad Histiraludin