Senin, 28 Oktober 2002

Budaya Militerisme Mahasiswa

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin*)

Belum hilang ingatan kita pada kasus kekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru yang menimpa Aditya (Mahasiswa Fakultas Teknik UNS) tahun lalu yang mengakibatkan dirinya harus menginap dirumah sakit, kini kasus kekerasan itu terjadi kembali. Cicilia Puji Rahayu, mahasiswi Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Undip harus kehilangan nyawanya (Solopos 27/8). Kemudian Agus juga melaporkan tindakan bentak-bentakan di Osmaru Fakultas Hukum UNS yang mengakibatkan seorang mahasiswi pingsan. Tidak hanya itu, aroma minum-minuman tercium dari mulut pembentak.

Kasus-kasus seperti ini 4 tahun terakhir mewarnai tahun ajaran baru penerimaan mahasiswa. Fenomena apakah yang terjadi sehingga warna-warna kekerasan fisik dan mental menjadi hal yang akrab ditulis media. Apakah betul mahasiswa senior mempunyai tujuan memplonco, tes mental atau memang punya tujuan ‘membunuh’ mental adik-adik kelasnya. Ataukah dia kehilangan jatidirinya, eksistensinya sebagai seorang mahasiswa, proses pencarian identitas diri atau cerminan budaya militer yang secara tidak sadar memang telah diajarkan oleh kakak kelasnya.

Aditya masih beruntung mau melawan dan mengakibatkan pelaku tindak kekerasan harus di meja hijaukan. Tapi Cicilia, apa yang bisa dilakukan oleh gadis yang masa depannya masih panjang. Kegiatan Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus (Pekik) Undip yang seharusnya menjadi orientasi pengenalan mahasiswa baru terhadap lingkungannya berubah. Anehnya jawaban kakak kelasnya yang bertanggung jawab atas kejadian itu justru terkesan cuci tangan. “Jadi kesimpulan kami sementara Cicilia meninggal bukan karena gojlokan” kata Koordinator Lapangan Pekik Sutopo (Solopos 28/8). Hanya seperti itukah pertanggungjawabannya ketika sebuah kegiatan mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

Banyak ditangkap kegiatan penerimaan mahasiswa baru (dulu namanya Orientasi Studi Pengenalan Kampus/Ospek) berbau militerisme. Sering terjadi hal-hal yang tidak boleh dilakukan lingkungan yang sangat akademis malah menjadi rutinitas. Bentak-bentakan, push up, lari lapangan, berteriak-teriak dan tugas-tugas yang tidak bisa diterima akal sehat. Padahal semestinya seorang mahasiswa baru butuh pengenalan mengenai apa sebetulnya kampus, bagaimana seorang mahasiswa itu harus berpikir, bagaimana dia harus bertindak. Wong mahasiswa itu katanya agent of change (agen perubahan).

Belenggu Budaya

Secara tidak sadar kegiatan penerimaan mahasiswa baru itu sudah menjadi semacam budaya dan bentuknya sangat militeristik. Kampus sebagai institusi yang merdeka selayaknya membuat suasana berkembang mengarah pada kehidupan demokratis, egaliter, menghargai dan nilai-nilai ideal lainnya. Nampaknya secara tidak sadar kita bersama telah membangun kehidupan yang sangat keras, kejam dan tega. Pelajaran dari kejadian penerimaan mahasiswa baru sebelumnya tidak menjadikan cerminan bagi panitia penerimaan mahasiswa baru. Terbukti kasus-kasus yang mengarah ke kriminal tetap mewarnai.

Pola militeristik yang berkembang sebenarnya berangkat dari pola kehidupan yang ada dikampus dan melembaga. Pada jaman regim orde baru budaya militerisme sebenarnya juga diajarkan meskipun tidak mengarah ke fisik tapi berbentuk indoktrinasi ideology. Dulu kita sangat mengenal adanya penataran P4 yang minimal harus kita ikuti 45 jam. Itulah sejarah dimulainya budaya militerisme dikelembagaan kampus. Indoktrinasi ideology yang dilakukan secara terus menerus menjadikan civitas akademika terbelenggu rutinitas yang sempit.

Adanya SK Bersama 3 menteri yang mengharuskan dibentuknya Resimen Mahasiswa (Menwa) di Perguruan Tinggi semakin memperkokoh intervensi budaya militer. Meskipun sudah banyak dikritik tapi lembaga yang tidak jelas maksud pembentukannya masih berdiri kokoh diantara sekretariat UKM dan senat mahasiswa. Atau distribusikan saja tenaga-tenaga Menwa yang gagah berani itu untuk menjaga keamanan kampus bekerja sama dengan Satpam agar kejadian kriminal di perguruan tinggi bisa diminimalisir.

Begitu orde baru runtuh, indoktrinasi ideology ditolak tapi tidak di sadari bahwa metode militerisme itu tetap dipakai. Mahasiswa lama memaksakan untuk tetap diadakannya kegiatan pengenalan kampus apapun bentuknya. Sayangnya dari sini pihak rektorat tidak menangkap budaya dasar yang memang telah memerangkap mereka semua. Karena bagi birokrat kampus memang kepentingannya jelas, tidak hanya adanya kegiatan namun juga berapa uang yang bisa ditarik dari kegiatan yang dilakukan. Lantas klop sudah kebutuhan akan kegiatan pengenalan kampus. Berulang kali kita baca dimedia juga sesudah kejadian memilukan hati terjadi. Kalangan kampus berjanji tidak akan mengijinkan kegiatan serupa. Semua bersuara sama dan itu bisa kita tarik dalam kasus Aditya. Tapi tahun ini di Fakultas Hukum UNS terjadi hal serupa meskipun akibatnya tidak sefatal tahun lalu (Solopos 28/8).

Ternyata kasus-kasus kekerasan tidak hanya terjadi dilingkungan internal kampus. Belum lama ini nyaris terjadi baku hantam antara aktivis HMI dan IMM di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Gara-garanya sederhana, hanya soal pamflet dan promosi organisasi itu supaya dapat banyak kader. Dalam kasus Ospek tidak sedikit pula dari mahasiswa yang lebih senior minum-minuman keras supaya lebih ‘berani’. Lengkap sudah bukti-bukti bahwa secara tidak sadar budaya kekerasan dan berpikir diluar hati nurani telah menguasai jagat pendidikan Indonesia. Lalu sebenarnya nilai-nilai apa yang selama ini dikembangkan oleh institusi perguruan tinggi.

Reorientasi Penerimaan Mahasiswa Baru

Berarti tugas apa yang harus kita kembangkan kedepan guna membongkar budaya menang-menangan, jagoan dan heroik. Seperti telah ditulis diatas, institusi perguruan tinggi seharusnya mengembangkan nilai-nilai demokratis, egaliter, menghargai, terbuka sehingga mampu membentuk seorang mahasiswa mengerti dalam hal teknis apa yang dipelajarinya dibangku kuliah dan non teknis memahami sebagai seorang sarjana apa yang harus dilakukannya kelak sesudah lulus untuk masyarakat. Kenapa saat penyelenggaraan orientasi tidak dibuka ruang untuk mempelajari tentang analisa social masyarakat, pemahaman demokrasi, HAM, kesetaraan genders dan sebagainya.

Setelah nilai dasar itu bisa dibentuk berikan kesempatan pada Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa mempromosikan kegiatannya, program Senat Mahasiswa, Pengenalan Organisasi Ekstra Kampus sehingga ada pemahaman dan kesadaran diri ketika mereka nanti beraktivitas ada pilihan. Kalau perlu ajari mahasiswa baru untuk berdemonstrasi dan mereka akan merasakan hal baru. Bukannya penggojlokan yang justru menimbulkan dendam-dendam yang pada gilirannya akan dibalaskan pada adik-adik kelas mereka.

Kampus selayaknya dengan segenap unsur didalamnya mampu mengembangkan wacana keilmuan dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang diajarkan mampu mengeliminir sifat-sifat yang bertentangan dengan hakekat manusia. Lantas apa yang selama ini diajarkan dan mereka terima. Kenapa kekerasan dan sifat tidak manusiawi masih juga muncul. Padahal mata kuliah agama juga ada. Berarti ada hal-hal yang memang perlu menjadi perhatian bersama.

Makna yang bisa dipetik dari uraian diatas adalah institusi penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru tetap perlu diselenggarakan tetapi yang harus dicermati tujuan dan strategi apa yang akan dicapai. Ini perlu difahami tidak hanya oleh panitia penyelenggara tapi juga pihak rektorat sehingga kerangka besarnya bisa dicapai dan dirasakan bersama. Selain itu juga mekanisme penyelenggaraannya bagaimana, hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan saat kegiatan itu berlangsung. Kalau kesepakatan ini bisa dicapai tidak perlu ada kekhawatiran adanya kekerasan yang akan terjadi kembali.

Sebaiknya keikutsertaan bagi mahasiswa dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru tidak perlu. Terkecuali orientasi dan tujuannya jelas. Toh tidak ada persyaratan yang mewajibkan dan kalau tujuannya tidak jelas perlu ditentang bersama. Siapa yang berani menjamin jika mengikuti kegiatan itu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Beranikah panitia bertanggungjawab (tidak sekedar lisan) secara moril atau materiil jika merugikan peserta penerimaan mahasiswa baru.

Ada 4 hal pokok yang perlu ditanamkan dalam pengenalan orientasi. Pertama, pemahaman sebagai mahasiswa. Mereka telah berubah dari bangku SMU dan apa yang akan dialami sebagai seorang mahasiswa berbeda dari komunitas mereka sebelumnya. Kedua, tanamkan nilai-nilai dasar mengenai jatidiri. Artinya bekali mahasiswa baru dengan wacana-wacana yang mencerahkan. Ketiga, arahkan mereka mempunyai aktivitas yang produktif. Jadilah aktivis dan bukan aktivisme. Keempat, baru pengenalan soal rutinitas pendidikan yang akan dijalani.

*) Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo.

Sabtu, 05 Oktober 2002

Urgensi Tim Monitoring dan Evaluasi Hasil Muskelbang

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin*)

“Saya telah menjadi ketua LKMD selama 15 tahun dan saya mengerti dan memahami keinginan warga” kata Suroto (Solopos 10 Juli 2002). Perkataan Ketua LKMD Kepatihan Kulon itu mencerminkan bahwa selama ini elit masyarakat ‘menganggap’ dirinya lebih tahu dan lebih faham apa yang terjadi dimasyarakat. Pertanyaan selanjutnya, ungkapan Suroto tadi dikatakan dalam kaitannya soal dana block grant yang diduga diselewengkan. Lalu sebenarnya bagaimana peranan masyarakat untuk memantau dan mengetahui aliran dana Muskelbang ?. Bagaimana pula mekanisme pertanggungjawabannya selama ini ?. Siapa saja yang mengelola. Apakah hanya elit masyarakat (yang sering tercermin dalam LKMD), Pemerintah Kelurahan, ataukah seluruh stakeholders (masyarakat yang berkepentingan) juga bisa terlibat.

Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang merupakan wujud implementasi dari UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digagas Walikota Surakarta merupakan sebuah langkah maju guna mewujudkan desentralisasi pembangunan yang berbasis perencanaan masyarakat. Hal itu termaktub dalam Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta tahun 2002. Artinya dibanding dengan pelaksanaan UU nomor 5 Tahun 74 tentang Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaannya (mulai Musbangkel, Rakorbang) jelas berlawanan. UU 5/74 lebih mengedepankan program dari pemerintah dan masyarakat tinggal menyetujui. Sebaliknya di UU 22 tahun 1999 atau melihat SK Walikota sangat membuka peluang atas peningkatan partisipasi masyarakat.

Yang lebih perlu jeli dilihat yakni sejauh mana mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Sejak digulirkannya mekanisme Perencanaan Pembangunan Partisipatif tahun 2001 tidak jarang terjadi kendala dalam hal penggunaan Dana Bantuan Pembangunan Kelurahan dari Pemerintah Kota (dulu disebut block grant). Pemkot Surakarta yang menangkap perubahan itu sebagai reposisi peran pemerintah menjadi public servant atau fasilitator bagi masyarakatnya berusaha menggulirkan Dana Bantuan Pembangunan Kelurahan yang secara kuantitatif meningkat. Tahun 2001 tiap kelurahan diberi rata Rp 50 juta. Namun sekarang bervariasi mulai dari Rp 112 juta hingga sekitar Rp 170-an juta tiap kelurahan. Turunnya dana itu berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah keluarga miskinnya.

Pencairan dana yang dibagi 3 termin (30 persen, 30 persen dan 40 persen) sangat membantu masyarakat meminimalisir penyelewengan dana. Teknis pelaksanaan program pembangunan tahun 2002 sangat beragam. Ada yang dibagi rata per Rw (yang  justru tidak menyelesaikan permasalahan), Ada yang berdasarkan hasil Muskelbang tahun 2001 tetapi tidak ada Tim Monevnya sehingga ketika dimintai pertanggungjawabannya sulit menjelaskan, ada pula yang memasang agenda pembangunan sesuai hasil Muskelbang 2001 di papan-papan pengumuman yang ada di tiap Rw. Yang terakhir ini salah satunya dilakukan oleh Kelurahan Kratonan yang juga diselipkan nama-nama tim monitoringnya.

Mekanisme pertanggungjawaban tahun 2002 yang dalam pelaksanaan program pembangunan belum semuanya melibatkan masyarakat. Contohnya yang terjadi dalam kasus Kelurahan Kepatihan Kulon masih ada tokoh elit kelurahan yang mencoba ‘bermain-main’ sehingga ketika masyarakat tahu akhirnya mau membongkar karena memang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Siapa yang patut dipersalahkan dengan munculnya kasus ini. Tentu bukan siapanya yang perlu dicermati tetapi apakah monitoring pelaksanaan dan mekanisme pertanggungjawaban panitia pelaksana telah direncanakan sebelumnya. Sangat wajar apabila itu semua tidak dibahas dan disepakati oleh masyarakat.

Monitoring dan Evaluasi Partisipatif

Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah butuh tindakan nyata guna memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program pembangunan. Maka wacana Monitoring dan Evaluasi secara Partisipatif yang dilakukan stakeholders kelurahan perlu dikembangkan. Dibutuhkan tim monitoring dan evaluasi secara partisipatif (selanjutnya disebut MEP) yang dilakukan stakeholders kelurahan. Robert Chamber dalam bukunya yang berjudul “Chalanging The Professional” (hal 76) mengatakan pelaksanaan proyek waktu dulu hanya didominasi kaum professional dan ekonom yang hanya memikirkan kegiatan teknis seperti infra struktur, jadual dan hal-hal kuantitatif. Saat ini ada paradigma baru dan pemahaman kaum professional bahwa memulai proyek itu dari orang bukan dari sesuatu, beradaptasi dengan proses bukan berdasar rencana kegiatan.

Ada beberapa keuntungan jika MEP dilakukan yakni (1) Masyarakat mempunyai inisiatif untuk merencanakan dan mengambil keputusan. Peluang ini sudah diberikan oleh birokrasi melalui Muskelbang dan tinggal mengoptimalkan pelaksanaannya. (2) Adanya keterbukaan. Apakah seluruh elemen masyarakat yang ada, datang dan secara bersama merencanakan program pembangunan. Keputusan yang diambil pun kemudian menjadi milik bersama bukan hanya dimiliki panitia atau lebih parah lagi ‘elit masyarakat setempat’. (3) Adanya pertanggungjawaban bersama. Dalam hal ini masyarakat bisa belajar mengenai sebetulnya aspek apa yang perlu direncanakan sehingga berdampak positif bagi mereka. Kajian hasil pembangunan perlu juga dilakukan sehingga tidak hanya semuanya bertanggung jawab tetapi juga berperan. (4) Adanya rasa handarbeni atau memiliki bagi program. Yang terjadi sebelum ini banyak proyek pembangunan dibangun pemerintah dan masyarakat tidak mempunyai kepedulian keberhasilan bahkan acuh tak acuh terhadap apa yang dikerjakan pemerintah. Hal ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang harganya lebih mahal daripada biaya pembangunan itu sendiri.

Perencanaan MEP itu sendiri secara sadar dikelola dan berakar pada pemahaman bahwa perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (bukan keinginan) dan prioritas dari kelompok sasaran yang telah teridentifikasi melalui tahapan Pra Muskelbang I, Pra Muskelbang II sampai pelaksanaan Muskelbang. Kemudian mengalokasikan panitia dan mengorganisasi mereka kedalam sebuah tim yang saling terkait dalam menjalankan kegiatan. Selain itu mengakomodir panitia dalam melaksanakan kegiatan secara langsung. Tak kalah pentingnya bagaimana tim itu bisa memonitor secara periodic dan mengevaluasi sesuai waktu atau agenda yang disepakati untuk mengetahui kemajuan dan masalah yang muncul pada proyek yang sedang dilakukan.

Siapa dan Apa Tugasnya

Dalam SK Walikota nomor 410/45-A/I/2002 pada point peserta Muskelbang disebutkan komposisi peserta Muskelbang meliputi perwakilan Rt, perwakilan Rw, wakil organisasi social, wakil kelompok social, wakil organisasi seni, karang taruna dan organisasi pemuda, sector privat, wakil perempuan serta tokoh masyarakat. Artinya ada peluang seluruh elemen masyarakat disebuah kelurahan terlibat dalam perencanaan pembangunan bagi wilayah mereka. Yang selanjutnya pada saat digelar Musyawarah Kelurahan Membangun semua stakeholders tahu, menyepakati, dan mengagendakan hal-hal yang perlu ditangani secara bersama. Kemudian diperlukan sebuah tim untuk melakukan monitoring dan evaluasi bagi pelaksanaan program pembangunan tahun mendatang.

Secara tegas dalam SK Walikota di point Muskotbang item m ditulis “Sidang Muskelbang menetapkan mekanisme dan susunan panitia untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan hasil-hasil Muskelbang. Susunan dan mekanisme kerja panitia tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Kelurahan”. Disini terbuka peluang siapapun bisa menjadi tim monitoring dan evaluasi. Siapapun yang jadi kelompok kepentingan kelurahan idealnya bisa masuk dalam tim ini dan tidak hanya berbasis kewilayahan seperti hanya perwakilan Rt/Rw saja. Padahal tidak tertutup kemungkinan proyek-proyek itu dikucurkan pada komunitas yang sering kali terpinggirkan.

Tugas tim monitoring dan evaluasi itu sendiri yakni pertama merumuskan mekanisme kerjanya. Apakah mereka akan bekerja sendiri atau akan melibatkan kalangan ahli diwilayah mereka untuk membantu. Kedua Membuat time schedule tentang kegiatan-kegiatan apa yang harus mereka kerjakan. Kapan akan melakukan pendataan kegiatan yang mendapat dana, kapan proyek A akan dibangun (untuk dimonitor), kapan akan melakukan evaluasi, dan seterusnya. Sehingga ketika ditemui kendala dilapangan, tim bisa bekerja dengan optimal guna memecah hambatan yang ada. Ketiga, melakukan koordinasi yang bersifat internal maupun eksternal institusi. Hal ini dilakukan untuk cross cek data ataupun klarifikasi proyek pembangunan. Keempat yang tidak boleh dilupakan yakni menentukan indicator keberhasilan proyek. Pembuatan indicator keberhasilan dilakukan saat merencanakan program pembangunan

Akhirnya pembentukan tim akan semakin meningkatkan keberdayaan warga masyarakat. Tokoh elit maupun kalangan tertentu sudah tidak bisa lagi mendominasi, memanipulasi, dan semakin membuat rakyat terbodohkan. Dengan sendirinya target pemberdayaan masyarakat akan berjalan sendiri dan dengan bertambahnya waktu mereka akan berkembang menjadi komunitas yang kritis, yang berpengatahuan, mempunyai skill dan keberanian, semoga.

*) Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

Kamis, 03 Oktober 2002

10 Nyawa Persembahan Ulang Tahun ke 57 TNI

|3 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin

Hari ini tepat 57 tahun Tentara Nasional Indonesia memperingati ulang tahunnya. Tapi kado yang diberikan mereka pada bangsa ini ternyata berupa nyawa 10 melayang sia-sia karena kekerdilan mereka berpikir. Kasus pertempuran Batalyon Lintas Udara (Linud) 100/ Putra Setia dengan aparat kepolisian dari pasukan Brigade Mobil (Brimob) Kompi A Kepolisian Daerah Sumatera Utara di Kota Binjai Sumut Minggu (29/09) lalu telah melukai hari ulang tahun mereka. Berita ini menghiasi media dan memberikan keprihatinan tersendiri bagi masyarakat luas.

Tiga hari setelah peristiwa itu 20 prajurit dipecat tidak hormat dan 6 perwira dicopot dari jabatannya. KSAD juga mengganti biaya 50 juta pada Polda Sumut guna memperbaiki Mapolres yang hancur. Ryamizard Ryacudu juga berjanji akan menyantuni warga sipil yang tewas akibat peristiwa itu. Cukupkah hukuman itu bagi mereka yang terkena dampaknya. Lalu siapa yang mengganti kerugian immaterial seperti rasa takut, jiwa tertekan, was-was pada masyarakat setempat jika bertemu militer ?. Padahal rasa nyaman dan aman itu tak ternilai harganya.

Tapi apa yang kita lihat setelah para pelaku ‘teror’ itu dihukum. Ternyata mereka tidak ada rasa penyesalan atau bahkan kesedihan. Yang terlihat justru kegembiraan. Setelah KSAD meninggalkan markas Kodam untuk selanjutnya bertolak ke Jakarta, ratusan anggota Batalyon Linud membopong dan mengelu-elukan komandan batalyonnya sampai naik ke atas kendaraan yang membawa mereka kembali ke batalyon. Mayor Madsuni tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang penuh haru, ditengah-tengah nyanyian penuh semangat para anggotanya (Kompas, 3/10).

Peristiwa penyerangan, baku tembak ala film Hollywood itu terjadi sampai 9 jam sejak hari Minggu malam sampai Senin pagi. Berapa peluru, granat dan peralatan perang yang digunakan sia-sia itu terbuang percuma. Padahal kesemuanya itu dibeli dengan uang rakyat dan rakyatlah yang seharusnya dilindungi supaya tetap merasa tentram hidupnya. Tetapi malah justru militer yang mengusik asyiknya tidur malam sehingga membuat masyarakat memblokade kota biar korban nyawa tidak ada yang jatuh. Upaya itu ternyata tidak berhasil. Paling tidak ada 3 nyawa warga sipil melayang percuma dari perang itu.

Sebenarnya apa yang terjadi. Sejak dibubarkannya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diganti dengan TNI dan menimbulkan konsekuensi pisahnya Polisi Republik Indonesia (Polri) dari TNI ada beberapa kasus besar pertempuran diantara keduanya. Sebut saja penyerangan pos polisi di Jalan Sumatera Madiun September tahun lalu yang mengakibatkan dua pemuda tewas. Bulan Agustus lalu beberapa anggota Brimob Resimen I Kedung Halang menyerang markas Unit Pembekalan dan Angkutan Kostrad di Bogor. Dalam kejadian itu satu orang tewas dan 3 orang Brimob luka. Serta beberapa kasus lain.

Penyebab

Nampaknya dari beberapa kasus yang terjadi itu tidak terlihat hal yang memicu persoalan sebenarnya bisa diungkap secara tuntas. Yang sering terjadi justru sanksi yang diberikan tidak disertai pernyataan resmi dari pejabat yang berwenang mengenai persoalan sesungguhnya. Hal ini bisa dilihat dari pertempuran sembilan jam di Binjai. Akar masalahnya kan aparat Polres berhasil menangkap pengedar ectasy. Lalu kenapa anggota Batalyon Linud ngotot melepaskan pelaku. Ini yang tidak coba dijelaskan pada masyarakat. Baiklah kalau sanksi memang harus diberikan itu merupakan konsekuensi sebuah tindakan. Tapi apakah cukup hanya itu. Tentu saja tidak.

Sudah menjadi rahasia umum kalau banyak anggota militer atau polisi menjadi beking perjudian, penjual obat-obatan, atau kejahatan lain. Nampaknya ini menjadi alasan karena penghasilan mereka sedikit. Padahal bisnis yang berhasil dibangun kalangan berseragam ini sangat luar biasa. Dikemanakan untungnya. Kenapa Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto beberapa waktu lalu juga ngotot tidak akan menutup bisnis militer sebelum prajurit mereka sejahtera. Ukuran sejahtera sebetulnya berapa. Padahal tugas mereka kan bela negara tidak mengurusi bisnis.

Idealnya dengan peringatan 57 tahun bagi TNI menjadi momentum penting. Banyak ranah yang mereka jarah tidak hanya bisnis. Mulai dari wacana atau kegiatan besar sampai pernik-pernik kecil. Lihat saja mereka masih menjadi wakil rakyat (meskipun tahun 2004 harus angkat kaki dari DPR/MPR), naik angkutan tidak mau bayar, keliling tempat hiburan menarik pajak tidak resmi dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian pertempuran semacam itu harus menjadi pembelajaran bersama tidak hanya bagi kalangan pimpinan TNI atau Polri semata tapi juga rakyat Indonesia bahwa aparat pertahanan kita belum punya jiwa besar dalam menghadapi persoalan ditingkat local. Bagaimana jika diajak bertempur ? jawabannya tentu susah ditemukan.

Kembali ke Barak

Dengan beberapa kejadian serta bertepatan dengan ulang tahun TNI ke 57 seharusnya menjadi momentum besar yang digunakan militer untuk menancapkan keseriusan mereka dalam hal pertahanan negara. Pejabat-pejabat yang berwenang harus memikirkan kembali tidak hanya agar antara TNI-Polri tidak terjadi masalah tetapi juga hal-hal lain yang melingkupinya.

Institusi Polri dengan TNI sudah secara jelas beda tugasnya. Kepolisian berwenang menangani keamanan dan ketertiban masyarakat sedangkan TNI dalam rangka pertahanan negara. Dari tugas itu jelas sudah bahwa TNI harus professional dan pernyataan ini sering digembar-gemborkan oleh pimpinan TNI (walaupun kenyataannya tak kunjung professional). Militer harus terus menerus mengasah otak dan ketrampilannya dalam hal bela negara dan bukan berperang melawan rakyatnya atau memusuhi Polri.

Yang tak kalah pentingnya perlu adanya wacana pendidikan dikalangan militer soal kehidupan bernegara yang benar. Artinya selama ini kenapa justru banyak anggota TNI berlaku sewenang-wenang di tengah-tengah masyarakat. Baju loreng seakan menjadi kebanggaan tersendiri sehingga dengan bebas naik turun angkutan tanpa membayar atau bahkan kalaupun membayar hanya separo. Kenapa harus beda padahal banyak orang miskin yang hidupnya terjepit masih mau mengerti akan kewajibannya terhadap sesama.

Lontaran yang juga perlu dipikirkan seperti dikatakan pengamat militer Salim Said dalam sebuah perbincangan di media elektronik mengenai penempatan markas-markas kesatuan yang harus digeser jika markas mereka berada di tengah pemukiman. Contohnya seperti Markas Kopassus di Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo atau juga Markas Komando Cadangan Strategis (Kostrad) yang berada di jalan Solo – Karanganyar. Alasannya karena pengaruh dan juga jika ada kejadian seperti pertempuran Binjai tidak mengakibatkan kerugian pada masyarakat luas.

Selain itu teliti kembali fungsi Komando Rayon Militer (Koramil) yang tidak jelas tugasnya dan keberadaan mereka ditingkat kecamatan. Tugas keamanan dan ketertiban kan sudah diambil polisi sehingga keberadaan mereka perlu dipikirkan ulang. Semoga pembelajaran kasus-kasus perang antara militer dan polri betul-betul dicermati sehingga mereka berfungsi sebagaimana mestinya. Selamat ulang tahun TNI ku yang ke 57 tahun dan pertahankan negara ini.

Penulis adalah pekerja social di IPGI Solo