Kamis, 31 Oktober 2013

Masyarakat Kita Memang Banyak Yang "Sakit"

|0 komentar
Dalam sebuah rapat Rt dikampung, seksi sosial ketika dimintai laporan pengeluaran kas untuk menjenguk tetangga yang sakit memberi pernyataan yang cukup mengejutkan. Dia mengatakan “Alhamdulillah secara fisik warga kita sehat-sehat saja, tapi secara fisik lho ya” ujar pria yang bekerja sebagai editor penerbit ini. Karuan statement ini menimbulkan senyum, tertawa kecil hingga ada yang menundukkan kepala warga yang hadir.

Bagi masyarakat Jawa, ungkapan kalimat diatas memang mengandung sindiran yang luar biasa halus namun mendalam. Kami sebenarnya tinggal diperumahan dan secara rutin ada iuran bulanan. Namun seringkali untuk memelihara lingkungan, peringatan hari besar, menjenguk tetangga yang sakit kadang harus ada biaya ekstra. Maka dari itu disepakati ada jimpitan yang besarannya terserah warga mulai Rp 100 hingga tak terhingga. Yang mengambil jimpitan juga digilir pada malam hari. Ini sebagai upaya pengawasan lingkungan, keakraban warga dan pemasukan kas tambahan.





Namun dalam prakteknya yang mengisi jimpitan hanya 60-70 persen saja dan petugas tiap malam yang aktif juga tidak sampai separo dari yang dijadualkan. Meski sudah diingatkan tetap saja tidak berubah. Beberapa individu sepertinya menganggap bahwa bertemu dan bercengkerama dengan tetangga lain cuma menghabiskan waktu saja. Padahal pos ronda diramaikan dengan pedagang HIK (warungan khas Solo) yang dijajakan tetangga sendiri buka hingga malam. Disitu tak ada miras, judi, atau kegiatan yang melanggar.


Sesekali kami mendapati cerita serupa di Rt lain yang meski kebanyakan berasal dari desa di seputaran Solo namun rasa guyub (merasa dekat seperti saudara) sudah mulai tercerabut.Perumahan kami juga bukan perumahan elit namun perumahan mewah (mepet sawah). Seorang tetangga bercerita bahwa partnernya jarang masuk kantor meski di gaji besar. Yang lain bertutur, lunturnya simpati dan empati. Buktinya ada teman yang melahirkan atau sakit juga tak berkunjung.

Atau cerita lain mengenai seseorang yang suka menjelek-jelekkan teman sekantornya ke pihak luar padahal si pencerita sendiri ke kantor juga seminggu sekali. Alasannya mendapat tugas lain dari kepala daerah yang jauh lebih penting. Ada pula tetangga kami yang punya mobil 3 (maklum memang penyedia jasa sewa mobil) kalau diajak nengok tetangganya sakit hampir lebih suka nunut mobil lain dibanding mengeluarkan mobil sendiri meski mobilnya lebih bagus dan ndongkrok dirumah.

Padahal manusia itu memiliki jiwa bawaan yakni jiwa sosial, namun bila sedikit demi sedikit jiwa a sosial dipupuk seakan-akan menjadi sanggup hidup tanpa tetangga sekeliling. Pun demikian dengan sumbangan atau bantuan pembangunan publik yang akan digunakan secara bersama-sama. Seringkali warga menilai bila menyetor dana maka dirinya langsung akan jatuh miskin meski hanya menyumbang Rp 10.000 hingga ratusan ribu. Dalam ajaran agama yang mayoritas dianut warga difahami bahwa sumbangan atau bahasa lain shodaqah sejatinya tidak pernah hilang.

Bantuan itu justru akan dilipatgandakan oleh Allah SWT baik didunia maupun di akhirat. Hanya kebanyakan masyarakat sudah menganggap apa yang berlaku didunia itu semua serba jual beli. Bila menyumbang sesuatu ya harus ada timbal balik yang langsung harus diterima. Padahal seringkali bantuan kita itu diganti dengan bentuk lain yang nilainya jauh diatas uang yang kita donasikan. Sebut saja nilai kesehatan yang kita miliki sebenarnya sudah ratusan miliar. Sayangnya banyak yang tidak menyadari. Entah sampai kapan masyarakat kita akan terus sakit begini.

Rabu, 30 Oktober 2013

Yang Muda Yang Korupsi

|0 komentar
Pemberitaan media massa dalam kurun 5 tahun terakhir seperti tak pernah sepi dari kasus korupsi baik ditingkat nasional maupun daerah. Walau KPK sudah berkali-kali melakukan operasi tangkap tangan (OTT), rupanya koruptor lain menganggap si pelaku sedang sial saja sehingga dia mencoba melakukannya sendiri. Bukti nyata yang terakhir adalah kasus OTT terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar yang ditangkap di rumah dinasnya. Seperti biasa pelaku korupsi lainnya, awal ditangkap selalu mengelak dengan beragam argumen.

KPK tak pernah meladeni sanggahan atau bantahan pelaku. Mereka tetap menjalankan proses penyidikan sesuai prosedur dan akhirnya masyarakat tahu sendiri betapa bejatnya Akil Muchtar. Apalagi ditambah dengan penemuan lintingan ganja diruang kerjanya. Pasca ditemukannya beberapa bukti pendukung, suara Akil Muchtar kini bak ditelan bumi, sunyi dan tak ada sedikitpun apalogi lagi. Demikian pula dengan penasehat hukumnya yang makin hari kerepotan menjawab tindakan KPK yang mampu menunjukkan berbagai bukti pendukung.

Sayangnya, saat ini banyak koruptor-koruptor yang usianya masih sangat belia dan sifat rakusnya sudah luar biasa. Entah mereka memiliki sifat korup dari siapa. Apakah sistem di institusi mereka yang lemah, rayuan pasangan, sifat sedari lahir yang serakah atau mereka hidup dilingkungan yang korup. Tentu para orang tua mereka bersedih melihat anak-anaknya yang usianya belum 40 tahun sifat korupnya sudah tinggi. Kalau soal tuntutan hidup, sepertinya tidak karena koruptor muda ini hidup diatas rata-rata masyarakat Indonesia. Apalagi mereka memiliki jabatan/profesi yang mentereng.

Kita lihat misalnya Gayus Tambunan, yang usianya baru 34 tahun dan memiliki pekerjaan sebagai PNS di Ditjen Pajak. Anak baru satu, istri PNS dilingkungan Pemprop Jakarta. Sulit menerka apa motivasi tindakanannya itu. Kemudian Angelina Sondaakh, 39 tahun anak sudah 3 namun berlatar belakang artis. Jabatan di Partai Demokrat sudah Wakil Sekjen alias sudah memiliki posisi penting. Dia utusan Fraksi Demokrat serta perwakilan Komisi X di Badan Anggaran DPR. Suaminya (saat itu) juga anggota DPR yakni Adjie Massaid.

Yang fenomenal yakni Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat yang berusia baru 35 tahun. Anak baru 1, telah memiliki berbagai usaha meski diduga usahanya berkaitan dengan proyek-proyek kementrian. Pekerjaan terakhir adalah anggota DPR. Sebelum tertangkap, Nazaruddin melarikan diri hingga ke kolumbia. Artinya stok uang melimpah dan dengan perusahaan yang masih beroperasi, memenuhi hidup dengan standart atau diatas rata-rata saja masih banyak uang yang tersisa.

Masih banyak koruptor muda lain yakni Dhana Widyatmika, 37 tahun (Ditjen Pajak), Tommy Hindratno (Ditjen Pajak), Wa Ode Nurhayati, 32 tahun (anggota DPR), Fahd A Rafiq, Dendy Prasetya serta koruptor yang berada di daerah-daerah. Lantas siapa yang sebenarnya harus bertanggungjawab atas maraknya para koruptor muda ini? Pemberantasan korupsi memang tanggungjawab KPK namun pencegahan korupsi adalah tanggungjawab kita bersama.

Dari sekian koruptor muda itu, yang tak pantas di contoh adalah Zulkarnain Djabar. Dia melakukan korupsi dengan melibatkan anaknya. Setidaknya para orang tua zaman sekarang penting menekankan pendidikan anti korupsi sejak dini. Nilai-nilai kejujuran harus ditanamkan secara nyata agar anak-anak yang tumbuh tidak terbiasa berkutat dengan korupsi termasuk korupsi waktu, korupsi nilai apalagi korupsi etika. Krisis keteladanan di Indonesia mesti segera ditangani. Media berperan penting mengkampanyekan anak-anak muda yang berprestasi.

Senin, 28 Oktober 2013

Penyelewengan PNPM Rp 3,3 M Di Bayat Klaten Sita Perhatian

|0 komentar
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Meski demikian masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa anggaran yang dialokasikan PNPM sebenarnya merupakan pinjaman Bank Dunia. Disisi lain, pola implementasinya menerapkan pola yang sama dengan birokrasi namun jalur berbeda. Penganggaran PNPM juga disyaratkan ada swadaya masyarakat serta kontribusi daerah bagi pelaksanaan program. Ditiap kabupaten/kota disediakan fasilitator-fasilitator yang membantu masyarakat menyusun rencana tahunan.

Sisi positif yang bisa diambil dari program ini adalah fokus pada pengentasan kemiskinan meski ditataran implementasi tidak jarang yang mengabaikan hal tersebut. Beberapa info yang didengar, perencanaan PNPM lebih cepat realisasinya dibandingkan masyarakat mengajukan penganggaran melalui APBD. Pelaksana juga melibatkan masyarakat setempat sehingga kualitas produk lebih terjamin. Pemda mestinya belajar bagaimana kualitas garapan PNPM bisa lebih tinggi dibanding proyek sejenis di desa.

PNPM mengucurkan program yang terpilah menjadi 3 yakni infrastruktur, pemukiman dan ekonomi atau ekolir. Meski demikian, pada kurun 2007 - 2013 tercatat jumlah penyelewengan terus meningkat. Kurun waktu tersebut tersalurkan dana Rp 56 triliun dan penyelewengan mencapai 0,4 persen. Meski dari prosentase terlihat kecil, idealnya tidak boleh diabaikan. Apalagi kasus terbaru ada dugaan penyelewengan di Kecamatan Bayat mencapai Rp 3,3 miliar. Jumlah yang cukup besar dan bisa terjadi bertahun-tahun tanpa terdeteksi.
Infrastruktur Desa Yang Masih Butuh Dibenahi

Artinya PNPM memiliki titik lemah yang harus segera diantisipasi supaya tidak merembet ke wilayah lain. Bagaimana bisa penyelewengan terjadi di 1 kecamatan bertahun-tahun hingga total dana yang diselewengkan mencapai Rp 3,3 miliar. Modus penyelewengan dilakukan dengan membentuk kelompok simpan pinjam perempuan namun fiktif. Munculnya kejadian ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana ditempat lain? Perlu kiranya pengelola/PNPM mengaudit secara acak diberbagai wilayah dengan mengambil sample guna melihat ada modus serupa tidak.

Secara subyektif, pengelolaan anggaran seperti PNPM sebenarnya relatif sulit diselewengkan karena melibatkan banyak masyarakat untuk mengelolanya. Pimpianan wilayah maupun daerah apalagi kepala SKPD yang berkaitan dengan PNPM harus mengerti kejadian ini. Setidaknya ada 37 Kabupaten se Indonesia yang melaksanakan PNPM berarti ada ratusan mungkin ribuan pengelola ditingkat kecamatan maupun desa.

Penting pula mengevaluasi implementasi serta kemanfaatan hasil dari anggaran yang sudah tersalurkan. Ditambah sebelumnya fasilitator PNPM di Jawa Tengah berdemo menuntut gaji yang belum terbayarkan. Jangan sampai mereka kemudian berbuat curang dengan menyelewengkan dana program di masyarakat. Sejauh ini belum ditemukan bagaimana implementasi dan kemanfaatan PNPM secara nasional yang dipublish sehingga masyarakat menjadi tahu. Yang sering terdengar hanya total anggaran yang sudah tersalur berapa dan berapa wilayah yang turut mengerjakan PNPM

Jumat, 25 Oktober 2013

Dinas Pendidikan Harus Dorong Wali Murid Berperan

|0 komentar
Dugaan Penyelewengan Dana BOS di SDN 01 Blimbing Dan SMKN 01 Sukoharjo

Harapan terwujudnya sekolah yang terjangkau di Indonesia ternyata masih berupa angan-angan. Program Bantuan Operasional Sekolah atau yang lebih dikenal dengan BOS,yang diluncurkan sejak 2005 belum mampu meringankan beban orang tua. Sekolah-sekolah masih saja asyik dengan pengajuan permohonan keuangan pada orang tua siswa. Sejak mulai pendaftaran sekolah hingga lulus, pungutan, permintaan bantuan, permintaan sumbangan dan nama lainnya masih diterima wali murid. Artinya harapan sekolah terjangkau belum tercapai.

Pada Tahun 2013, dialokasikan anggaran sebesar Rp 23,446 T dengan perincian untuk siswa SD sederajat senilai Rp 580.000 dan SMP sederajat Rp 710.000. Peruntukan alokasi BOS dituangkan dalam Juklak Juknis tiap tahunnya. Walaupun demikian ternyata banyak sekolah berupaya menyelewengkan dana tersebut. Pencairan BOS yang diurus sekolah terbagi dalam 4 termin tiap triwulan. Hal ini dimaksudkan terjadi tertib administrasi dan pengawasan. Dengan disertai turunnya tunjangan sertifikasi, maka alokasi BOS akan optimal didistribusikan sesuai regulasi.

Pengelolaan anggaran sekolah, termasuk BOS didalamnya harus transparan dan melibatkan walimurid yang direpresentasikan dalam Komite Sekolah. Dijelaskan dalam Permendikbud No 76 Tahun 2012 Tentang Juklak Juknis BOS Bab VIII mengatur unsur pengawasan masyarakat. Klausul ini seiring dengan nafas UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Meski demikian, di Sukoharjo untuk Tahun ini setidaknya muncul 2 dugaan penyelewengan dana BOS ditingkat SD dan SMKN.

Dugaan penyelewengan dana BOS muncul di SDN 01 Blimbing Gatak dan SMKN 01 Sukoharjo. Anggota Komisi IV DPRD Sukoharjo meminta klarifikasi dan bukti laporan pertanggungjawaban (LPj) penggunaan BOS di SDN Blimbing Gatak. Samrodin meminta transparansi penggunaan BOS yang telah dicairkan pada triwulan I senilai Rp46 juta, triwulan II Rp46 juta dan triwulan III Rp30 juta. Salah satu kejanggalan terletak di penggunaan BOS 2013. Pada salah satu bagian, ada tercantum nama 62 siswa untuk ujian praktik senilai Rp10.000/orang. Namun, dalam LPj tersebut terdapat tanda tangan yang nyaris sama. Jenis bolpoin dan tanda tangan seperti dilakukan oleh satu orang.

Sementara di SMKN 01 Sukoharjo terjadi dugaan penyelewengan sebesar Rp 100juta dan kasus ini sudah disidik aparat kepolisian. Munculnya 2 kasus dugaan penyelewengan dana BOS, harus mendorong Dinas Pendidikan di Sukoharjo melibatkan partisipasi penuh masyarakat dalam pengawasan terutama wali murid atau orang tua siswa. Secara sederhana bisa dibentuk paguyuban orang tua siswa tiap kelas dan memilih perwakilan paguyuban ditingkat sekolah. Libatkan mereka ketika ada pertemuan antara sekolah dengan komite sekolah.

Pelibatan tersebut dilakukan sejak perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Setiap rencana kegiatan maupun pelaporan bisa disebarkan melalui perwakilan paguyuban orang tua tersebut. Sementara secara keseluruhan, Dinas Pendidikan bisa mendorong Dewan Pendidikan Sukoharjo melakukan monitoring secara acak. Sebab berharap sekolah tertib atau instansi inspektorat yang mengawasi akan semakin berat. Bisa dibayangkan bila BOS cair dalam 4 termin dan jumlah sekolah SD-SMA ratusan. Tidak mungkin inspektorat mengevaluasi semua laporan.

Sumber : satu dan dua

Selasa, 22 Oktober 2013

Sragen Ujicoba Pendataan Warga Miskin Berbasis RT

|0 komentar
Kabupaten Sragen akan mencoba melakukan pendataan warga miskin dengan melibatkan langsung masyarakat dilingkungan setempat. Artinya mereka akan  mengkonfirmasi data yang dimiliki dengan kondisi senyatanya. Sehingga harapannya masyarakat yang masuk daftar adalah benar-benar miskin bukan pura-pura miskin. Selama ini pendataan warga lebih banyak dilakukan Badan Pusat Statistik dengan indikator nasional tanpa mempertimbangkan kondisi faktual. Selain itu ada juga yang tanpa konfirmasi pengurus Rt setempat.

Akibatnya berbagai bantuan yang disalurkan pemerintah pusat seringkali tak tepat sasaran alias diterima orang yang tidak berhak. Diberbagai wilayah muncul konflik dilevel warga. Bantuan semacam Jamkesmas, BOS, Raskin, BLSM menjadi ajang perseteruan antar masyarakat. Padahal banyak ketua Rt mengaku tak tahu menahu kapan pendataan dilakukan dan kenapa nama penerima tidak sesuai dengan fakta. Secara konsep, berbagai bantuan pemerintah pusat itu juga tidak tepat sebab yang mengerti masyarakat ya pemerintah daerah masing-masing.

Sensus penduduk yang dilakukan BPS hendaknya menjadi parameter saja bagaimana penentuan secara besaran ditingkat kabupaten/kota. Artinya hasil sensus dirumuskan untuk kemudian ditentukan nominalnya untuk disalurkan pada APBD kabupaten/kota bersangkutan. Biarlah pemerintah kabupaten/kota yang akan menentukan daftar nama penerima dan berbentuk seperti apa. Hal ini juga membantu Pemda memperbesar alokasi bantuan. Lihat saja banyak daerah tetap menyalurkan jaminan kesehatan karena kuota dari pemerintah tidak tepat.

Ilustrasi (Photo by Ardian)
Masih banyak masyarakat miskin yang selayaknya menerima malah terlewat. Pemerintah pusat hanya perlu mengeluarkan mekanisme pencairan ke daerah serta merumuskan bagaimana monitoring dan evaluasinya. Hal ini diperlukan agar anggaran bagi warga miskin tidak dialihkan untuk program non pengentasan kemiskinan. Bagaimana bisa pemerintah pusat mencatat by name by address diapa si miskin. Padahal bila dilakukan oleh pemerintah daerah, pusat tinggal meminta data dan melakukan cross cek lapangan. Benarkah penerima betul-betul warga miskin.

Disamping itu, kondisi kemiskinan ditiap wilayah pasti beragam dan tidak bisa dianggap sama. Parameter tiap wilayah juga harus diperbandingkan dengan pendapatan perkapita masyarakat sehingga rumusan yang diterapkan tidak bisa digeneralisir. Setiap pemerintah daerah memiliki kapasitas yang semestinya bisa dikerangkakan terutama dalam pengentasan kemiskinan. Apalagi ditiap daerah sudah ada TKPKD sehingga pembuatan parameter bisa diintegrasikan secara bersama dan difasilitasi mendalam.

Ujicoba yang dilakukan Kabupaten Sragen penting untuk diapresiasi dan harus didorong oleh pusat. Hilangkan kepentingan-kepentingan politik praktis sehingga penanggulangan kemiskinan bukan sekedar jargon semata. Pusat harus menghentikan intervensi pengentasan kemiskinan kepada daerah. Idealnya pusat malah mengupas pembelajaran, inovasi, terobosan yang dilakukan didaerah untuk kemudian dishare pada daerah lain. Setidaknya daerah lain bisa belajar bagaimana mendevelop pengentasan kemiskinan.

Kini bukan saatnya lagi program bersifat top down melainkan melibatkan masyarakat terutama dalam implementasi program yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi warga. Kementrian perlu mengurangi berbagai program penyaluran bantuan supaya diserahkan ke daerah. Indonesia memiliki kawasan, kondisi geografi, bahasa, budaya dan berbagai hal yang berbeda. Tak perlu semua diseragamkan melainkan biarkan beragam. Justru keberagaman akan menambah khasanah perkembangan ilmu yang akan bermanfaat bagi masa depan.

Minggu, 20 Oktober 2013

Kisruh Seleksi KPU Sragen Dan Karanganyar

|0 komentar
Seperti yang sudah pernah ditulis sebelumnya tentang rawannya hasil seleksi KPU Daerah periode 2013 – 2018, ternyata prediksi tersebut terbukti. Setidaknya dari 7 kabupaten/kota di Soloraya, 2 diantaranya menemui persoalan yakni Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen. Atas 2 masalah ini, rupanya hingga pelantikan KPU Daerah yang baru Rabu (24 Oktober 2013) masih menyisakan sedikit masalah. Di Sragen, salah satu anggota Timsel diduga memakai ijazah palsu S1 sedangkan di Karanganyar Timsel meloloskan kandidat yang tidak memenuhi syarat administratif.

Sampah Visual
Persoalan muncul pertama yakni di Karanganyar yang sebagian calon anggota KPU tak lolos 10 besar menyatakan dari 10 nama yang akan diseleksi KPU Propinsi, 1 orang diantaranya tidak melengkapi persyaratan administratif yakni tidak pernah menjalani pidana. Sebenarnya ada 2 orang yang tidak menyertakan surat dari lembaga yang berwenang namun 1 orang tidak lolos di tahap fit and proper test. Berdasarkan hal ini, Timsel KPU Karanganyar memutuskan membatalkan 1 nama dari 10 orang serta menyerahkan keputusan pada KPU Propinsi.

Sedangkan calon anggota yang gagal meminta dilakukan seleksi ulang sejak awal. Menurut penuturan Suci Handayani (Timsel KPU Sukoharjo) idealnya tidak dilakukan seleksi ulang melainkan memasukkan 1 nama dari urutan nilai berikutnya. Hal ini juga yang direkomendasikan oleh KPU Propinsi meski Bawaslu Jateng meminta dilakukan seleksi ulang untuk mencari 1 nama pengganti meski yang 9 orang tetap tidak bisa diganggu gugat.

Sementara di Sragen kejadiannya lebih fatal, anggota Timsel yang pegawai Depag setempat bergelar BA diduga mengaku S1 sebagai syarat menjadi Timsel. Hal ini malah dinyatakan anggota KPU incumbent yang ikut seleksi anggota KPU, Edi Suprapto. Kecolongan ini tidak boleh dianggap sepele sebab KPU merupakan institusi resmi dan kredibel untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Konsekuensinya adalah, KPU Jateng harus menggelar fit and proper test ulang sebab yang bermasalah ada penyeleksinya.

Perlu ada sanksi bagi anggota Timsel yang memalsukan ijazah dan penyeleksi Timsel Sragen setidaknya surat peringatan. Walaupun ini kesalahan administratif, hal ini tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Bila tidak diulang, bisa jadi penyelenggaraan Pemilu di Sragen menjadi ajang sasaran gugatan parpol. Anggota KPU Sragen yang terpilihpun terbebani secara moral dikarenakan diseleksi oleh pihak/individu yang kurang kapabel meskipun keputusan Timsel bersifat kolektif kolegial. Penyebab kisruhnya 2 kasus ini bermula dari pencarian Timsel yang tidak terbuka serta waktu mepet dan dilakukan dilibur lebaran.

Dari 7 Timsel kabupaten/kota memang bisa dilihat mereka mewakili atau representasi dari perguruan tinggi, ormas, media, tokoh dan LSM. Sebenarnya representasi itu sudah tepat hanya waktu dan penelitian terhadap kredibilitas atas representasi yang perlu dicermati. Selama ini masyarakat juga kurang mengerti atau banyak yang tidak tahu bagaimana proses seleksi anggota KPU Daerah. Pengumuman terlalu mepet dengan berbagai persyaratan yang rumit dan diperoleh tidak dalam waktu singkat.

Kedepan harus disediakan waktu yang cukup misalnya pengumuman pra pendaftaran atau semacam sosialisasi terlebih dahulu. KPU akan bekerja dalam kurun waktu 5 tahun sehingga dibutuhkan individu-individu yang kredibel, kapabel serta memiliki integritas yang memadai. Kebanyakan person yang memiliki 3 syarat itu sudah bekerja secara mapan. Artinya butuh penyebaran informasi yang masif sehingga siapapun yang akan mendaftar memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri dengan baik. Harapannya kejadian seperti di Sragen dan Karanganyar tidak akan terjadi kembali.

Senin, 07 Oktober 2013

Model-Model Korupsi Di Indonesia

|0 komentar
Pergerakan perubahan otonomi daerah secara besaran sebenarnya menunjukkan hal yang positif. Kita bisa lihat banyak bermunculan kepala daerah yang menginspirasi. Ada beberapa role model atau tipologi kepala daerah. Sebut saja Rismarini (Walikota Surabaya), Herry Zudianto (bekas Walikota Jogja), Jusuf SK (mantan Walikota Tarakan), Imdaad Hamid (mantan Walikota Balikpapan) dan tentu saja Gubernur DKI Joko Widodo (mantan Walikota Surakarta). Contoh baik itu tentu diharapkan mampu menggerakkan banyak pihak untuk berbuat hal yang sama.

Itu potret sisi baik otonomi daerah. Namun sisi buruknya sudah ratusan kepala daerah juga tersangkut korupsi baik tingkat kabupaten/kota maupun propinsi. Sayangnya hal ini juga merembet ke berbagai sektor pemerintahan seperti kepala dinas, kabid, kasie hingga DPR. Jauh lebih disayangkan adalah munculnya pemuda yang turut melakukan korupsi. Pada bulan Oktober 2013, bulan kepemudaan di Indonesia justru mencatat banyak pemuda yang tersangkut kasus korupsi. Meski banyak pula pemuda yang melahirkan semangat baru, harapan baru dan penuh optimisme.

Syaukani, terpidana korupsi yang dibebaskan karena stroke
Sistem pemerintahan, keuangan, pengawasan, monitoring sebenarnya sudah cukup ketat. Pengawasan berjenjang mulai internal kelembagaan hingga eksternal kelembagaan dan bertahap/termin anggaran turut diterapkan. Namun model dan cara korupsi rupanya makin berkembang dan variatif. Dulu, orang korupsi yang diterima sendiri, dimasukkan rekening sendiri dan dinikmati sendiri. Kemudian berkembang menjadi disimpan di rekening luar negeri, punya istri simpanan, disimpan di rekening anak atau melibatkan anak dalam melakukan korupsi.

Kini modelnya sudah makin sulit dilacak. Sebut saja kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan mantan Ka Korlantas Mabes Polri Irjen Djoko Susilo. Dia menikahi 2 perempuan dengan menggunakan nama samaran, meski masih mirip. Lantas uang hasil korupsi disimpankan ke 2 perempuan itu. Dibelikan rumah mewah (termasuk bisnis kecantikan) di berbagai wilayah salah satunya Solo. Atau kasus korupsi Al Qur'an yang melibatkan anggota DPR Zulkarnain Djabar, menyertakan anaknya Dendy Prasetya menggarap proyek.

Yang model terbaru, uang hasil korupsi dialihkan ke orang-orang terdekatnya seperti sopir para pejabat. Kita bisa melihat contoh kasus yang menyeret Lutfi Hasan Ishaq, Ali Imron yang digunakan namanya untuk pembelian mobil VW Caravelle atau Daryono sopir Akil Muchtar yang menjabat sebuah perusahaan diluar Jawa. Kasus ini sedang di dalami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Guna mengantisipasi pengalihan uang hasil korupsi ke pihak lain, negara lain atau model terbaru, KPK perlu didukung mengembangkan sistem lebih canggih lagi.

Negara harus memfasilitasi berbagai pelatihan bagaimana melacak uang-uang korupsi termasuk melibatkan PPATK yang selama ini menjadi penyedia data transaksi keuangan. Perlu ada sistem tersendiri di perbankkan supaya uang negara hasil korupsi tidak mudah dibawa keluar negeri. Pemberlakuan sistem transfer yang selama ini ada, harus dikaji. Agar orang tidak asal mendirikan perusahaan untuk kemudian memindahkan dananya keluar negeri.