Minggu, 31 Agustus 2014

Menanyakan Kiprah Bupati Boyolali Yang Pensiun Pada Periode Pertama

|0 komentar
Bila tidak ada aral melintang, Seno Samudra sebagai Bupati Boyolali tahun 2015 akan berakhir. Berdasarkan desas desus yang beredar Seno tak akan mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Namun ini pernyataan yang cukup mengejutkan mengingat kiprah Seno yang cukup menyedot perhatian masyarakat. Satu kebijakan yang disorot banyak masyarakat adalah pemindahan kantor bupati ke Mojosongo dan menyedot anggaran lumayan besar.

Padahal hingga saat ini tantangan Boyolali masih lumayan besar menyangkut beberapa sektor. Sebut di Pertanian, krisis air dimusim kemarau, bencana alam maupun anggaran pembangunan yang terbatas. Padahal wilayah Boyolali sangat luas dan relatif besar sehingga butuh manajemen yang baik agar terjadi pemerataan pembangunan. Waktu itu bupati menjanjikan tidak akan menggunakan APBD namun kenyataannya justru sebaliknya. Nah kini masuk di tahun keempat pemerintahannya, selain belum terlihat terobosan spesifik tantangan lainnya tetap perimbangan anggaran.

Solopos cetak 28 Agustus 2014
Dibeberapa wilayah, Pemkab memang memiliki program RTLH alias perbaikan rumah tidak layak huni. Jumlah anggaran di tahun 2012 sebesar Rp 2,5 M, 2013 dan 2014 besarannya sama yakni Rp 3 M untuk 1000 rumah. Sayangnya masyarakat tidak banyak tahu dan media massa tidak memblow up fakta dilapangan. Dengan jumlah rumah yang dire nov mencapai 1.000, semestinya Pemkab menjabarkan dititik mana rumah-rumah tersebut yang dilakukan perbaikan.

Sedangkan membuka APBD, untuk surplus/(defisit) dibandingkan dengan 6 kab/kota lainnya relatif kecil. Perhitungan SILPA juga tidak melebihi Rp 70 M. Bandingkan dengan pemda lainnya yang sering melebihi angka Rp 100 M bahkan Kota Surakarta Tahun 2012 berdasar perhitungan akhir APBD diatas Rp 200 M, sebuah angka yang fantastis. Untuk PAD, tercatat terus meningkat setidaknya sejak 7 tahun lalu dan 3 tahun terakhir menembus Rp 108 M (2012), Rp 142 M (2013) dan Rp 181 M (2014.

Sementara belanja pegawai Rp 767 M lalu menjadi Rp 831 M dan tahun ini menjadi Rp 922 M. Cukup penting mencari tahu, dengan bukti hitam diatas putih tersebut dan ketidakinginan bupati melanjutkan periode kedua cukup menimbulkan pertanyaan. Namun apabila memang dilandasi niat yang baik, tentu kita pantas memberikan apresiasi yang tinggi. Seharusnya hal seperti inilah yang layak dijadikan contoh, terkecuali memang masyarakat masih menghendaki.

Kondisi politik di Boyolali sendiri kini lebih kondusif dibandingkan sebelumnya. Dalam pemberitaan banyak disinyalir bupati mengkonsolidasikan aparatnya hingga paling bawah. Upaya itu untuk mendukung kepemimpinannya dan apabila tidak membantu dilapangan, ya akan di geser ke daerah pedalaman yang cukup jauh. Hal ini menyebabkan keresahan dikalangan birokrasi. Isu ini menguap begitu saja karena tidak ada yang berani membuka.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Guru Di Wonogiri Siap Dengan Pengajaran Kurikulum 2013

|0 komentar
Sudah banyak pihak yang mengkritisi segala hal yang berkaitan dengan sistem pendidikan kita. Kementrian Pendidikan perasaan juga sudah membuat berbagai terobosan dibidang pendidikan. Namun menanti pendidikan untuk semua, pendidikan yang mencerahkan, pendidikan yang ramah koq rasanya masih jauh kita gapai. Tahun 2014 ini, lebih dari Rp 200 T dialokasikan untuk anggaran pendidikan namun di media massa selalu saja ada kisruh soal pendidikan.

Mulai dari pungutan, mengeluh soal sulitnya dapat sekolah, kurikulum, kekerasan di sekolah dan ragam persoalan lainnya. Mengerucutkan masalah pendidikan dalam beberapa kelompok, tidak gampang saya rasa. Sebut saja problemnya infrastruktur, SDM dan Kurikulum? Infrastruktur sendiri bila dibedah secara kasat mata sudah bisa dipecah atas kondisi sekolah, kondisi MCK, kondisi geografi, akses dan ragam lain. Kondisi sekolah masih dibagi ruang kelas, ruang guru, ruang perpus, rumah penjaga sekolah dan hal lain.

Solopos Cetak 7 Agustus 2014

Sejak tahun ini pemerintah menekankan implementasi Kurikulum 2013 (K-13) yang diluncurkan Mendikbud Muhammad Nuh. Walau demikian, ternyata problem SDM masih cukup rumit untuk diurai. Jangankan berharap mereka menerapkan K-13 seperti jauh panggang dari api. Berdasar hasil uji kompetensi melalui UKG, hasilnya tak ada 35 persen dari guru yang sudah mendapat sertifikasi nilainya diatas 50. Ini sengkarut di internal pendidikan belum menyangkut stakeholders mereka yakni siswa.

Maka dari itu, terpilihnya Joko Widodo yang ketua tim suksesnya dijabat Anies Baswedan memunculkan optimisme perubahan mendasar. Walaupun begitu, sebenarnya tidak mudah merubah format pendidikan di Indonesia yang tidak membebani anak didik. Lihat saja mereka, makin hari pendidikan bukannya mencerahkan tetapi menghambat perkembangan anak. Bukan saja otak namun tinggi badan mereka sulit tumbuh dengan buku-buku yang bejibun.

Di Wonogiri, perubahan kurikulum dari KTSP 2006 ke 2013 rupanya belum diikuti semua guru. Yang terbanyak malah guru SMP dan SMA masih belum mengikuti diklat. Sementara guru SD sebagian telah mengikuti dan guru SMK sudah tuntas.Dari 4.257 guru SD baru 3.620 sudah mengikuti diklat, untuk SMP dari 2.025 guru sudah ikut pelatihan 1.468 guru, untuk SMA dari 457 baru 73 orang yang sudah. Sementara semua guru SMK telah mengikuti diklat kurikulum 2013 padahal tahun anggaran telah berakhir.

Pemerintah Daerah jarang mengambil inisiatif meningkatkan kapasitas guru. Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan kebanyakan atas inisiatif pusat. Harusnya pemerintah daerah mendorong peningkatan kapasitas guru misalnya mengadakan pelatihan mendongeng, menulis, pengajaran kreatif, teknik menyusun soal, pembelajaran internet dan ragam tema lainnya. Meningkatnya gaji guru hampir tak sejalan dengan motivasi mereka dalam menyelenggarakan pendidikan.

Jumat, 29 Agustus 2014

Sistem Zonasi Sekolah Di Surakarta Klop Dengan Kurikulum 2013

|0 komentar
Ada gagasan yang menarik perdebatan pasca penerimaan siswa baru Tahun Ajaran 2013/2014 di Kota Surakarta. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta ingin mengembangkan zonasi sekolah berdasarkan teritori atau wilayah. Sepertinya belum ada model pengelolaan seperti ini. Penerapan zonasi ini memang tidak mudah diimplementasikan karena ada beberapa faktor. Sebelumnya Kota Surakarta menerapkan kebebasan memilih sekolah. Namun siswa yang diterima hanya berdasar quota dalam kota dan luar kota berdasar alamat tinggal.

Disamping itu, ada beberapa sekolah dengan sistem plus atau bagi warga miskin sekolah tidak sekedar bebas biaya namun peralatan sekolah seperti tas, buku, seragam, sepatu bisa dibantu. Hanya kemudian perspektif masyarakat menjadi negatif pada sekolah plus. Guru-guru disekolah itu juga kesannya direndahkan. Bisa jadi akan mempengaruhi minat guru mengajar sebab siswa benar-benar dibantu keuangannya oleh Pemerintah kota. Terobosan zonasi sekolah kini coba diterapkan untuk Tahun Ajaran 2014/2015.

Gagasan ini menarik dan perlu diterapkan di Indonesia. Apa makna zonasi sekolah? Yaitu membatasi siswa bersekolah dengan memilih sekolah semaunya alias dia harus bersekolah ditempat yang sudah ditunjuk berdasar dimana dia tinggal. Pada jaman dahulu, kita memang bersekolah yang dekat sehingga bisa jalan kaki. Seiring kemajuan zaman, orang tua siswa menyekolahkan ditempat sekolah favourite dan kadang biayanya bisa lebih mahal dibanding sekolah negeri yang lain. Guru-guru dikabarkan juga banyak mengincar sekolah ini karena tunjangannya berbeda.

Keuntungan zonasi sekolah cukup banyak sebut misalnya tidak ada lagi sekolah unggulan. Sistem zonasi mewajibkan siswa mendaftar di sekolah yang terdekat tempat tinggalnya. Maka siswa yang bertempat tinggal di dekat SMP 1, SMP 2, SMP 3, SMP 9 dan beberapa SMP favourite cukup diuntungkan. Pun dengan model kurikulum 2013, sistem zonasi lebih tepat karena pembelajaran fokus pada siswa dan proses belajar. Disisi lain, siswa yang cerdas akan terbagi secara acak ditiap sekolah. Siswa juga diharapkan lebih bisa tepat masuk jam sekolah karena jarak sudah dekat.

Pun demikian bila siswa mengalami hambatan, ada masalah di sekolah, siswa sakit maka sekolah bisa secara mudah dan cepat memberitahukan pada orang tua. Disdikpora Kota Surakarta sendiri dalam mengucurkan anggaran ke sekolah lebih mudah karena share siswa tiap sekolah setidaknya akan berimbang. Beban tiap sekolah bisa jadi sama. Tetapi tantangan atau kerugian juga menjadi hal yang harus dicarikan jalan keluarnya supaya siswa tidak dirugikan. Persiapan pembuatan zonasi sekolah harus matang. Database siswa sejak dini betul-betul siap sehingga ketika pendaftaran bisa sesuai.

Lebih bagus lagi jika sudah disiapkan sistem online. Siswa tak perlu bawa banyak berkas karena dokumen siswa dari jenjang sebelumnya sudah tercatat disekolah yang akan dituju. Jadi pendaftaran hanya memastikan bahwa siswa resmi mendaftar. Bagi orang tua, tidak akan lagi bisa memilih sekolah terutama bila sekolah yang terdekat selama ini dianggap "kurang" atau keluarannya tidak bagus. Guru sendiri perlu meningkatkan kapasitas bila siswa didiknya kebetulan hasilnya pas-pasan namun keluaran sekolah selama ini bagus.

Sistem zonasi ini tepat digunakan untuk jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Sementara untuk SMA tidak pas terutama bagi siswa yang akan menempuh pendidikan kejuruan (SMK). Keberadaan SMK tidak merata dan tidak selalu SMK yang menjadi incarannya tidak berada di zona dimana siswa tersebut tinggal. SMK sendiri terbagi ada beberapa yakni yang teknik, ketrampilan maupun seni. Bila seorang siswa berminat pada seni namun SMK yang terdekatnya adalah SMK teknik maka potensi yang dimilikinya tidak tergali optimal.

Nah sekarang tinggal kita tunggu penerapan zonasi sekolah di Kota Surakarta. Inilah terobosan yang brilian dan muncul dari Kota Surakarta. Sistem ini harus menjadi patokan secara nasional sehingga pemerataan pendidikan benar-benar dapat tercapai. Jadi sekolah yang baik itu yang mampu mengeluarkan output pendidikan dari input apapun. Selama ini sekolah favourite sering menghasilkan output yang baik karena inputnya sendiri sudah bagus.

Kamis, 28 Agustus 2014

Mengantisipasi Pernikahan Dini Di Boyolali

|0 komentar
Pernikahan merupakan kehidupan yang dilakukan oleh 2 orang dengan usia maupun sikap yang matang. Tanpa itu, pernikahan yang salah satu tujuannya melahirkan generasi penerus berkualitas tentu tidak akan tercapai. Sesuai UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 menegaskan salah satu syarat yang cukup penting yakni usia kedua mempelai. Disebutkan untuk perempuan minimal berusia 20 tahun dan laki-laki setidaknya berusia 25 tahun.

Berdasarkan kajian, usia ini dianggap usia matang seorang perempuan dan laki-laki mampu mengarungi bahtera rumah tangga. Seiring perkembangan jaman, sudah selayaknya perlu dikaji, apakah benar hanya usia saja yang mempengaruhi kualitas keturunan mereka? Bukankah konsumsi makanan, pengetahuan, kedewasaan juga faktor penting yang harus turut menjadi pertimbangan selain faktor kesehatan? Sudah selayaknya ada semacam lembaga yang memberikan pembekalan pra nikah bagi pasangan yang hendak menikah.

Solopos Cetak 2 Agustus 2014
Hal ini penting agar dalam menjalani kehidupan rumah tangga, sepasang suami dan istri hidup tidak atau bukan untuk menyalahkan. Pembekalan pra nikah semacam ini tentu bukan dengan model ceramah semata. Tawarkan saja bagi mereka yang mau menikah mau melakukan pembekalan dengan model seperti apa? Ada yang dengan permainan, sharing, melihat video dan berdiskusi, ceramah, kunjungan atau campuran dari berbagai metode.

Biarkan mereka yang menentukan dan tarif yang dikenakan bisa berbeda-beda. Harapannya pembekalan dapat memberi pemahaman bahwa kehidupan yang bakal mereka jalani bukan kehidupan egois seperti layaknya masih sendiri. Mereka sudah terikat dalam perkawinan sehingga harus tahu apa hak dan kewajiban sebagai suami istri. Begitu juga dengan munculnya problem dalam rumah tangga yang bentuknya bisa dalam berbagai hal tidak melulu soal pendapatan keluarga.

Sayangnya pembekalan ini tidak pernah ada di Indonesia. Bahkan di Boyolali, usia pernikahan dibawah umur lumayan tinggi. Artinya usia pasangan baik laki-laki maupun perempuan kurang memenuhi syarat. Mereka berusia dibawah 19 tahun (laki-laki) dan 16 tahun (perempuan). Usia dibawah umur untuk laki-laki terdapat di 10 kecamatan dengan jumlah terbanyak di Kecamatan Musuk (4 orang). Sementara perempuan terkonsentrasi hanya di 5 kecamatan meliputi Ampel (8 orang), Karanggede (5), Musuk (2), Ngemplak (1) serta paling banyak di Boyolali Kota (19 perempuan).

Kantor Urusan Agama (KUA) harus bekerjasama dengan SKPD terkait di Boyolali terutama Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan,  Disnaker, Bapermas KB untuk melakukan pencerahan bahwa menikah usia dini penuh resiko. Tanpa upaya dan kerja sama yang baik, jumlah pernikahan dini dari tahun ke tahun akan terus meningkat. Bila sudah begitu, sumber daya manusia di Boyolali akan menurun pun begitu dengan kualitas kesehatan keluarga.

Jumat, 22 Agustus 2014

Benahi Pemberian Tunjangan Bagi Lansia Di Klaten

|0 komentar
Klaten merupakan salah satu kabupaten yang memperhatikan kehidupan para Lanjut Usia (Lansia). Pemerintah benar-benar berupaya menjaga kesehatan dan kesejahteraan mereka. Bupati Sunarna menerapkan program tunjangan bagi para Lansia terutama yang memenuhi persyaratan. Hanya saja bantuan yang diberikan memang belum cukup banyak. Mereka mendapatkan bantuan bulanan sebesar Rp 50.000 yang biasanya diterimakan di akhir tahun.

Hal ini sebagai upaya menghargai dan sedikit banyak membantu Lansia terutama yang kehidupannya masih kekurangan. Tujuan lain mendorong masyarakat mempedulikan sesepuh mereka karena kadang banyak yang melupakan jasa lansia meski para lansia tersebut adalah pendahulunya. Disisi lain, dengan membaiknya tingkat kesehatan menjadikan usia harapan hidup bertambah. Otomatis jumlah lansia pun terus meningkat signifikan.
Solopos cetak 12 Agustus 2014

Bila dilihat dari data Pendataan Program Perlindungan Sosial (2011) untuk Kabupaten Klaten jumlah total Lansia di Klaten mencapai 148.424 jiwa dari 1,3 juta jiwa tersebar di 26 kecamatan. Dari jumlah tersebut ada 34.295 lansia dengan status miskin. Adapun yang posisinya janda sangat miskin tercatat 2.228 jiwa. Untuk jumlah lansia cacat mencapai 2.500 jiwa serta lansia berpenyakit kronis ada 5.669 jiwa. Berdasar ketersediaan anggaran, Pemkab tahun 2013 hanya mampu membantu 2.500 lansia saja.

Ke depan, pemerintah daerah harus memikirkan upaya yang efektif bagi keluarga dengan lansia yang memang harus diperhatikan. Memberi bantuan sebesar Rp 50.000/bulan/jiwa tetap bermanfaat hanya kurang efektif dan berkelanjutan. Pemkab melalui SKPD perlu memepelajari latar belakang para lansia tersebut. Bagi lansia yang memang sendirian, tidak ada keluarga sama sekali jalan keluarnya ya diberi bantuan. Mereka tidak boleh dikaryakan/dipekerjakan.

Sedangkan bagi lansia yang masih memiliki keluarga, dikaji dimana mereka tinggal. Bila di pedesaan relatif mudah. Misalnya keluarganya memiliki sawah, bantuan Pemkab bisa disalurkan dalam bentuk pupuk. Atau memiliki kebun yang cukup luas, bisa diberi bantuan hewan ternak. Bisa jadi minta Dinas Koperasi menyalurkan bantuan modal lunak agar keluarga lansia bisa menambah jenis usaha demi meningkatkan penghasilan.

Pemkab harus mengurangi program karitatif (bantuan dana cash) agar tidak membuat malas warga. Terkecuali memang lansia tersebut tidak memiliki keluarga. Dan apabila memang kondisinya sangat memprihatinkan sebaiknya dipelihara oleh dinas terkait. Dengan demikian kehidupan mereka akan jauh lebih terjamin.

Kamis, 21 Agustus 2014

Produksi Padi Dan Jumlah Warga Miskin Di Wonogiri

|0 komentar
Seringkali keberhasilan pembangunan disalah satu sektor, tidak diikuti oleh sektor lain. Hal ini menandakan pertumbuhan ekonomi bagi suatu daerah tidak dilakukan by design alias jalan dengan sendirinya. Pertumbuhan yang terjadi karena upaya masyarakatnya sendiri sehingga kontribusi pada peningkatan kesejahteraan tidak terwujud. Hal ini bisa kita lihat indikatornya hampir di semua kabupaten/kota. Pertumbuhan pendapatan perkapita naik tetapi jumlah warga miskin tetap bahkan bertambah. Atau produksi tertentu meningkat namun warga miskin meningkat.

Solopos cetak 22 Februari 2014
Sekarang kita lihat di Kabupaten Wonogiri. Melihat pertumbuhan luasan lahan pertanian maupun hasil padi meningkat pesat lima tahun terakhir, faktanya 2 tahun terakhir jumlah warga miskin meningkat. Tahun 2008 ada seluas 43.600 ha lahan tanaman padi yang menghasilkan 2,4 juta kwintal padi. Setahun berikutnya menjadi 47.970 ha dengan hasil 2,8 juta kwintal padi. Kemudian di 2010 menjadi 49.876 ha hasilnya bertambah menjadi 2,9 juta kwintal. Di Tahun 2011 hasil terus bertambah menjadi 3 juta kwintal dari lahan 54.185 ha. Dan 2012 dengan 55.168 ha menghasilkan padi 3,2 juta.

Bila dikalkulasi selama 5 tahun luas lahan bertambah sekitar 12.000 ha dengan peningkatan hasil 800 ribu kwintal lebih. Bukankah penambahan luas maupun hasil akan meningkatkan jumlah petani atau penggarap sawah? Inilah peran pentingnya Dinas Pertanian atau yang terkait untuk melakukan pemetaan, pemerataan pertumbuhan, pendistribusian kebutuhan maupun tindaklanjut dari hasil panen sendiri. Otomatis bertambahnya barang akan meningkatkan keterlibatan pihak lain. Dinas Pertanian Wonogiri harus mencermati perkembangan positif ini.

Anehnya berdasar data Kantor Ketahanan Pangan penurunan warga penerima raskin hampir separuhnya. Di 2013 tercatat ada 127.885 keluarga penerima raskin. Namun setahun berikutnya hanya tersisa 70.569 keluarga saja. Apakah mungkin dalam 1 tahun jumlah warga miskin berkurang hingga 50.000 keluarga? Analisa ini harus dilakukan dengan baik dan benar supaya tiap pergantian pemerintahan jumlah warga miskin membesar dan menjelang akhir selalu beringsut turun. Danar Rahmanto sebagau bupati tidak terdengar kiprah spesifiknya dalam pemberantasan kemiskinan.
Solopos cetak 5 Februari 2014

Peningkatan APBD 3 tahun terakhir dari Rp 1,3 T ke Rp 1,5 T dan tahun ini menembus Rp 1,623 T tentu pantas disyukuri. Sayangnya dari sebesar anggaran tersebut, sebanyak Rp 1 T berasal dari pusat yakni Dana Alokasi Umum. Tak heran bila anggaran sebesar itu ya habis semua untuk membiayai gaji pegawai. Sedangkan belanja barang modal dan jasa sangat minim. Di Tahun 2012 tercatat belanja barang dan jasa serta modal hanya Rp 333 miliar, 2013 naik menjadi sekitar Rp 375 miliar dan tahun ini ada Rp 431 M.

Terpilihnya Jokowi sebagai presiden harusnya mampu memacu semangat bagi bupati untuk melayani masyarakat semakin baik. Wonogiri dulu dikenal dengan kegersangannya namun kini sudah mulai berkurang dan inilah potensi besar yang bisa dikembangkan. Ada banyak modal yang sudah ada untuk membangun wilayah, tinggal kemauannya ada atau tidak. Tanpa kepemimpinan yang baik, Wonogiri akan tertinggal dari kabupaten lain disekitarnya.

Rabu, 13 Agustus 2014

Tingkat Buta Aksara Di Boyolali Masih Tinggi

|0 komentar


Meski tingkat pertumbuhan APBD Kabupaten Boyolali sejak 2010 diatas 10 persen tetapi faktanya tingkat pertumbuhan tersebut kurang merata penanganan masalah di semua bidang. Salah satunya yakni pemberantasan buta aksara yang hingga kini masih ada 3.248 orang mengalaminya. Dari data ini serta perkembangan sektor pendidikan bisa dianalisis wilayah yang kemungkinan buta aksaranya cukup tinggi. Sebenarnya tingkat akses transportasi di Boyolali hampir semua sudah terhubung baik yang ada di dekat Merapi hingga di pinggiran Waduk Kedungombo.

Cuma masih terbatas akses serta kemampuan masyarakat di 2 wilayah tersebut. Masyarakat dibawah lereng Merapi cenderung relatif bisa hidup lebih tertata. Tanah mereka subur, akses mudah, dilalui jalur tembus Magelang – Boyolali yang lumayan ramai, air mudah dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan pinggiran Boyolali yang berbatasan dengan Kabupaten Grobogan tentu berbeda. Disana akses mudah hanya transportasi umum lumayan sulit dan hanya pada jam tertentu. Tanah di musim kemarau akan terlihat tandus, waduk surut airnya serta tidak cocok untuk pertanian.

Solopos cetak 13 Agustus 2013
Oleh karena ini, tingginya tingkat buta aksara (no 2 di Jawa Tengah) harus segera diatasi oleh Bupati. Kalau dianggap 2-3 tahun awal kepemerintahannya alokasi anggaran banyak dihabiskan untuk memindahkan kantor kabupaten, inilah saatnya Seno memperhatikan layanan dasar. Memang bisa jadi angka kemiskinan sebanyak itu tidak semua usia sekolah. Penting kiranya melacak dari jumlah tersebut berapa yang berkategori usia sekolah. Harusnya tidak ada lagi usia sekolah yang masih buta aksara.

Dinas Pendidikan perlu menjabarkan data yang diperoleh dari harian solopos edisi cetak ini. Data yang didapatkan kemudian dianalisa titik mana yang memang mayoritas mengalami buta aksara. Bandingkan dengan fasilitas pendidikan yang ada saat ini serta kemudahan atau akses bagi mereka ke pendidikan. Dengan adanya BOS, Kartu Indonesia Pintar maupun BOSDA, seharusnya tidak ada lagi hambatan anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Bentuk satuan tugas untuk menyapu kalau memang ditemukan masih ada anak usia sekolah tak bersekolah.

Tentu keberadaan mereka bukan di Kecamatan Boyolali Kota, Mojosongo atau Ampel namun bisa di kecamatan pinggiran. Kumpulkan stakeholders yang memahami pendidikan, lakukan eksplorasi bersama bagaimana mengatasi hal ini. Bupati juga perlu menggali terutama di 2 sektor yakni pendidikan dan kesehatan tentang apakah 2 layanan dasar masyarakat ini sudah memiliki Grand Design? Apakah yang akan dinas pendidikan lakukan pasca pelimpahan pendidikan menengah (SLTA/SMU) ke propinsi?

Maka dari itu peningkatan APBD semestinya juga meningkatkan pelayanan. Adapun perkembangan APBD dari 2011 yaitu Rp 1,103 T kemudian menjadi Rp 1,232 T di 2012, naik ke angka Rp 1,442 T (2013) hingga di tahun ini menembus Rp 1,642 T. Dari APBD sebesar itu, rata-rata pembelanjaan untuk barang, jasa maupun modal sekitar 30 persen. Bupati perlu mendorong agar alokasi pembelanjaan bisa lebih ditingkatkan secara optimal sehingga tingkat kemanfaatan bagi masyarakat akan lebih terasa.

Senin, 04 Agustus 2014

Peluang Investasi Di Boyolali Tetap Terbuka

|0 komentar


Perkembangan APBD kadang tidak selalu beriringan dengan iklim investasi daerah. Faktor yang jelas saling mempengaruhi yakni kebijakan. Pemerintah daerah tidak memiliki beban dalam memberi fasilitas investasi terutama pelayanan perijinan. Tetapi tidak banyak yang diharap kepala daerah memiliki terobosan penting. Selain perijinan, yang dipastikan oleh investor adalah iklim investasi, perkembangan pasar, biaya tenaga kerja, kepastian usaha dan beragam lain. Lokasi investasi belum tentu menjadi faktor penting.

Hingga sekarang tidak banyak pemerintah kabupaten yang memiliki penataan seperti Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang jelas. Mana wilayah untuk investasi, mana pemukiman, mana pertanian, mana perkantoran atau pertokoan dan lain sebagainya. Pembagian kawasan ini cukup penting supaya pengelolaan kota menjadi lebih ringan. Baik sistem drainase, manajemen angkutan jalan raya, pengaturan perhubungan, pembukaan ruang hijau dan faktor lain. Ada beberapa lokasi yang idealnya hanya untuk kawasan tertentu.

Solopos cetak 13 Juni 2013
Sebut saja kawasan pertanian yang tidak mudah digantikan wilayah lain karena bisa jadi wilayah baru itu tandus. Yang sering mencaplok kawasan pertanian pada akhir-akhir ini yaitu permukiman. Jumlah penduduk yang berkembang pesat menyebabkan permukiman tumbuh subur. Di pinggiran Solo Raya mudah kita temui perumahan baru seperti Kecamatan Colomadu, Palur dan Gondang Rejo (Karanganyar), Kecamatan Kartasura, Baki dan Grogol (Sukoharjo), Kecamatan Pengging dan Ngempak (Boyolali), Kecamatan Wonosari dan Delanggu (Klaten).

Boyolali sebagai salah satu kabupaten di Solo Raya yang membuka ruang investasi. Dalam 2 tahun sepertinya tumbuh dengan baik. Di Kabupaten Susu ini masih banyak wilayah yang bisa dikembangkan dengan investasi selain kawasan Mojosongo yakni Juwangi, Wonosegoro maupun Klego. Mengembangkan ruang investasi di Mojosongo maupun Ampel terkendala mahalnya harga tanah, akses lalu lintas terlalu padat maupun tanah yang dikandungnya lebih cocok dimanfaatkan pertanian.

Sebaiknya Seno Samudro sebagai bupati menghentikan peluang investasi disini. Alihkan peluang investasi bagi Juwangi, Wonosegoro dan Klego yang merupakan kawasan yang selama ini terkesan diabaikan. Padahal akses jalan saat ini lumayan bagus, lahan tersedia cukup luas dan pertanian tidak berkembang cukup baik. Sediakan insentif bagi investor yang mau berinvestasi kesana sehingga daerah sisi timur ini akan berkembang optimal. Awal tahun 1990an, waduk Kedungombo cukup menarik bagi wisatawan.

Namun sekarang seperti tak terdengar kabarnya lagi. Hal ini patut disayangkan dan cukup banyak tempat wisata di Boyolali kiprahnya tidak terdengar. Selain Kedungombo ada Pengging, Waduk Cengklik, Pemancingan Tlatar dan lain sebagainya. Masih banyak potensi lain yang bisa digali secara optimal dan menjadikan Boyolali sebagai salah satu alternatif kunjungan. Mengoptimalkan potensi akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan menciptakan atau membuat lokasi wisata baru.