Kamis, 22 Desember 2005

Analisa RAPBD 2006

|0 komentar
ANALISIS
RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)
 KOTA SOLO TAHUN 2006

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut APBD merupakan keterpaduan dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebuah daerah untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan. Perpaduan perencanaan dan pembangunan yang terwujud di APBD harus merupakan perencanaan bottom up planning masyarakat dan strategic planning tiap unit (Satuan Kerja Pemerintah Daerah/SKPD) serta jabaran visi misi Walikota terpilih yang tercantum dalam Perda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD (yang hingga sekarang belum ditetapkan). Sebagai landasan pembangunan sebelum RPJMD ditetapkan maka diaculah Arah Kebijakan Umum/AKU anggaran daerah serta Perda No 10 Tahun 2001 tentang Visi Misi Kota Solo.

Berdasarkan mandat UU No 32 Tahun 2004 Pasal 167 ayat (1) disebutkan bahwa “Belanja Daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagimana dimaksud dalam pasal 22.” Sementara dalam pasal 22 yang termasuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yakni mewujudkan keadilan dan pemerataan, meningkatkan pelayanan dasar pendidikan, menyediakan fasiltas pelayanan kesehatan, menyediakan fasilitas social dan fasilitas umum yang layak, mengembangkan system jaminan social, menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, melestarikan lingkungan hidup serta  melestarikan nilai ssial budaya (abjad d-k dan abjad m). Tentunya masyarakat Solo berharap klausul melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat tersebut terjamin betul.

Mencerati pola birokrasi dalam menyusun anggaran selama ini masih terdapat polemik antara penetapan unsur pendapatan dan belanja. Menjadi pemahaman umum yang sering kali digunakan alat bagi SKPD adalah proses pendataan pendapatan cenderung susah dinaikkan (mark down) dan belanja lebih banyak dikeluarkan (mark up). Hal inilah yang perlu menjadi titik kritis bersama bagi masyarakat, komunitas, akademisi, pemerhati anggaran, pengusaha serta stakeholders terkait lainnya. Seandainya Pemerintah Kota Solo berniat membangun kota yang menjadi milik bersama tentu bersedia membuka diri bagi penyusunan APBD yang lebih partisipatif. Participatory budgeting yang juga menjadi keinginan Walikota harusnya mampu diterjemahkan secara detil dan jelas oleh aparat dibawahnya sehingga kepentingan masyarakat terutama marginal sector benar-benar terlindungi.

Sebenarnya membaca APBD tidak selalu berkutat pada defisit dan surplusnya namun lebih kepada kejujuran untuk mengelola anggaran seperti dimaksud dalam UU 32/2004 diatas tadi. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dan masukan pun dilindungi aturan mulai UU 32/2004, Kepmendari No 29 Tahun 2002 ataupun Perda No 5 Tahun 2004. Ketiganya pada intinya memberikan hak pada masyarakat untuk memberi masukan dan wajib dilampirkan dalam Perda tentang APBD. Selama ini penyusunan APBD tidak  banyak dikritisi masyarakat dikarenakan 4 hal. Pertama, APBD yang begitu tebal tidak familier dan tidak mudah dimengerti bagi masyarakat awam; Kedua, sulitnya mengakses APBD baik dari eksekutif ataupun legislative ; Ketiga, tidak adanya sosialisasi RAPBD yang dilakukan oleh eksekutif dan legislative serta dalam pembahasan dikomisi atau fraksi jarang melibatkan masyarakat atau paling tidak stakeholders bersangkutan. Misalnya pembahasan tentang pendidikan di Komisi maka idealnya pihak komisi mengundang selain Dinas Dikpora juga melibatkan DPKS, Tokoh Masyarakat, Komite Sekolah, PGRI, Forum Guru dan pemerhati pendidikan lainnya.

Kedepan diperlukan terobosan yang cukup berani dari Walikota bila ingin mewujudkan participatory budgeting sehingga tidak hanya berhenti pada tataran jargon, ide, wacana namun pada implementasinya. Pemerintah perlu didorong dan diberi motivasi serta penyadaran bahwa keterlibatan masyarakat lebih ke arah output yang ingin dicapai bersama dan bukannya ngrusuhi pengelolaan dan administrasi pemerintahan. Keterlibatan masyarakat tetap ada batasnya misalnya soal gaji yang sudah ada aturannya, program pemerintah pusat, serta baya operasional yang tidak mungkin dibahas secara rigit dan jlimet. Masyarakat tahu bahwa keterlibatan secara penuh justru akan menghambat proses administrasi yang memang sudah ada aturannya. Keterlibatan masyarakat dalam participatory budgeting lebih kearah bagaimana mengkreasikan program, menganggarkan program, melaksanakan program, memonitoring serta mengevaluasi program.
Meskipun DPRD diakui sebagai perwakilan masyarakat namun selama ini focus arahnya lebih ke program besaran dan benefit riil dimasyarakat akan lebih dimengerti oleh masyarakat bersangkutan. Tidak ada salahnya dan tidak ada larangan pelibatan masyarakat dalam setiap pembahasan dikomisi. Baru beberapa pihak yang selama ini mencermati, mengamati dan peduli pada anggaran untuk pelaksanaan program yang tertuang di dokumen RAPBD. Meski demikian, IPGI Solo sebagai salah satu stakeholders Kota Solo mempunyai komitmen kepedulian tinggi terhadap participatoy planning and budgeting merasa perlu mengeluarkan hasil analisis RAPBD Tahun 2006.

1.    Proses Perencanaan Sampai RAPBD
Kota Solo dikenal sebagai salah satu kota pioneer perencanaan dan hal itu diwujudkan secara nyata dengan proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Identifikasi program-program pemerintah ditangkap dari masyarakat dan dituangkan dalam dokumen perencanaan untuk disalurkan ke RAPBD. Dalam prakteknya sebenarnya usulan masyarakat sangat banyak dan masih terlihat adanya keinginan dan masih minimnya kebutuhan yang lebih riil diperlukan. Kedepan dibutuhkan pemahaman pada masyarakat untuk lebih mengajukan program mendasar yang benar-benar mengatasi problem-problem yang mereka hadapi tidak sekedar memenuhi keinginannya semata.

Berdasarkan perbandingan yang pernah dilakukan, pada tahun 2005 total usulan mencapai 535 usulan dan terserap di RAPBD 32 persennya atau 117 usulan. Sedangkan sisanya merupakan usulan dari dinas yang tidak berbasis usulan masyarakat. Pada tahun 2006 terjadi kenaikan cukup signifikan yakni dari 868 usulan yang dibahas di Musrenbangkot, sebanyak 249 usulan (78 persen) merupakan usulan yang berbasis perencanaan dan dibahas bersama (lihat lampiran 1). Adapun 21 persen atau 54 kegiatan adalah usulan yang tidak pernah dilontarkan di masyarakat. Kebanyakan dari usulan ini adalah program rutin unit kerja atau program dari pemerintah propinsi atau pusat.

Bila melihat nominal total usulan yang diajukan mencapai Rp 791 M meskipun beberapa unit kerja belum memasukkan jumlah anggaran yang dibutuhkan. Dari jumlah tersebut sebanyak Rp 461 M dibantu anggaran propinsi maupun pusat sehingga sisanya (Rp 330 M) dipenuhi APBD. Tetapi nampaknya nominal tersebut tidak semuanya diakomodasi di RAPBD sehingga jumlahnya berkurang. Yang patut disayangkan adalah ketika hasil Musrenbangkot belum dikeluarkan oleh Bapeda, RAPBD sudah terkirim dan disampaikan ke Walikota. Tentunya hal ini mengundang pertanyaan. Kalau Pemerintah Kota betul-betul menghargai aspirasi masyarakat tentunya hasil Musrenbangkot sudah tersosialisasikan terlebih dahulu sebab dasar penyusunan program di RAPBD berdasarkan output proses perencanaan tersebut.



2.    Pendapatan Daerah
Secara umum pendapatan daerah berdasarkan perolehan dari 3 hal yakni Pendapatan Asli Daerah, Bagian Dana Perimbangan dan Bagian Lain-Lain Penerimaan yang sah. Patut disyukuri bahwa pada tahun 2006 terjadi peningkatan luar biasa atas pendapatan yang diperoleh Kota Solo. Kenaikan itu bahkan mencapai 38,33 persen. Tetapi hal ini tidak dapat dianggap hal yang selalu positif sebab kenaikan terbesar didapat dari Dana Perimbangan 48,87 persen sementara prosentase kenaikan PAD hanya 18,74 persen. Lalu bila dilihat dari tingkat ketergantungan pendapatan maka akan terjadi penurunan. Pada tahun 2006, pendapatan kota ini 84,9 disumbangkan oleh Dana Perimbangan dan PAD hanya 15 persen. Artinya bahwa ketergantungan dana pemerintah sangat tinggi. Padahal tahun sebelumnya kontribusi Dana Perimbangan 78,89 persen. Kontribusi daerah yang menurun ini patut diwaspadai sebab birokrasi yang menjalankan kegiatan untuk memperoleh pendapatan meski sudah bekerja secara optimal namun ternyata banyak kegiatan yang bergantung dari dana pusat (lihat lampiran 2).

a.    Pendapatan Asli Daerah
Dari jumlah PAD sebesar Rp 74,6 M kontribusi terbesar disumbangkan oleh Pajak Daerah dan selanjutnya retribusi daerah. Sementara pos bagian laba usaha daerah malah terjadi penurunan dari tahun 2005 sebesar Rp 4,9 M tahun ini merosot Rp 3,1 M. Bahkan dimedia massa local tanggal 20/12 memunculkan berita kredit macet di Bank Pasar mencapai Rp 1,3 M. Sedangkan pengelola hanya mengakui Rp 200 juta macet dan Rp 1,1 M tidak lancar (?). Padahal investasi yang ditanamkan Pemkot tidak sedikit. Berarti investasi yang ditanamkan masyarakat Solo tidak cukup mampu menghasilkan laba optimal.

Dari penelusuran lebih detil lagi, didapat data kontribusi pendapatan yang dipungut kepada masyarakat banyak meningkat sementara pungutan kepada masyarakat tertentu kenaikannya tidak tinggi. Misalnya pajak parkir, pajak penerangan jalan, retribusi pasar, retribusi sampah terus menunjukkan kenaikan. Sedangkan retribusi ijin usaha perdagangan, retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olah raga mengalami penurunan (lihat lampiran 3). Bahkan untuk pajak reklame sampai ada tunggakan Rp 123 juta. Kalau selama ini memakai system lelang mestinya semuanya dibayar dimuka bukan dibayar dibelakang.

b.    Dana Perimbangan
Dari besaran yang ada, meskipun patut disyukuri namun dana ini tidak luwes digunakan untuk hal lain sebab memang dana ini dipergunakan bagi pembiayaan PNS dan seputar kebutuhan menjalankan pemerintahan. Selain itu ada hal-hal yang mengganjal untuk memperoleh dana ini. Misalnya Pemkot (Kantor Keuangan Daerah) harus mengeluarkan sebesar Rp 280 juta untuk honor tim. Siapakah yang menjadi timnya ? dan apakah hal-hal ini memang terbiasa di pemerintahan. Tentu untuk mengurangi syakwasangka, sebaiknya legislative mendorong pemerintah kota menjelaskan kegunaannya pada masyarakat. Lalu masih ada Rp 100 juta untuk biaya perjalanan dinas luar daerah. Sungguh sangat fantastis manakala biaya hidup dan kebutuhan masyarakat marginal tinggi namun birokrasi masih menganggarkan hal-hal yang tidak jelas ini.

c.    Bagian Lain-lain Penerimaan Yang Sah
Pendapatan sector ini lebih kearah regional atau juga hanya sampai propinsi. Pada tahun 2006 terjadi penurunan signifikan yakni hilangnya pendapatan dari propinsi sebesar Rp 12,5 M. Padahal pendapatan propinsi didapatkan salah satunya dari pungutan PNKB (Pajak kendaraan bermotor). Baik pemerintah kota atau legislative mestinya aktif melobi dan menanyakan kenapa pendapatan sebesar itu bisa hilang. Kalau tahun 2006 saja dapat DAK Rp 16 M tapi kehilangan Rp 12,5 M berarti tahun 2006 hanya mampu mendapat tambahan Rp 3,5 M. Mestinya hal ini tidak didiamkan apalagi setiap partai memiliki hirarki kepengurusan partai.

3.    Belanja Daerah
Belanja daerah pasca reformasi birokrasi yang ditandai dengan perubahan penyusunan APBD berbasis kinerja mestinya mampu meningkatkan citra pemerintahan daerah. Tetapi lagi-lagi kelemahan anggaran berbasis kinerja adalah sulitnya melihat sesungguhnya berapa dana yang digunakan untuk program dan pendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Biaya gaji PNS dapat saja masuk menjadi dana public dan hal inilah yang kemudian menyulitkan masyarakat sebenarnya untuk belanja program ada berapa. Oleh karena itu focus analisa di belanja daerah akan mencoba memperbandingkan antara belanja aparatur, belanja public (lampiran 4) dan belanja 5 program prioritas walikota. Sebesar apakah komitmen walikota. Apakah kebijakannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di 5 sektor itu mampu mengangkat atau paling tidak memberi gambaran keseriusan pemerintah.

Kelima program itu adalah (1) Kesehatan Murah (2) Pendidikan yang terjangkau (3) Peningkatan Ekonomi Masyarakat Miskin, Koperasi, UKM (4) Penanganan PKL dan (5) Penanganan hunian liar. Analisa ini juga mengaitkan program-program diluar dinas yang tetap berkaitan dengan 5 program diatas dan sebaliknya menafikkan program dinas terkait tetapi sesungguhnya tidak mendukung secara langsung 5 program tersebut (lihat lampiran 5). Meskipun untuk program peningkatan ekonomi dan penanganan PKL nampaknya prosentase lebih besar namun beberapa programnya ditangani Bapeda atau PU dan untuk belanja publiknya tidak dihitung sehingga prosentase programnya terlihat lebih besar. Yang sangat memprihatinkan adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Meskipun keduanya merupakan hak dasar warga, komitmen walikota dan banyak mendapat bantuan seperti BOS, PKPS BBM namun tidak cukup banyak membantu masyarakat secara luas. Tentunya impian kesehatan dan pendidikan gratis menjadi jauh panggang dari api.

4.    Penggunaan Anggaran
Secara garis besar meskipun penggunaan anggaran dapat dibaca dalam APBD namun bila dikaitkan dengan efisiensi dan kemanfaatan penggunaan anggaran masih sangat jauh. Misalkankan saja honor panitia baik dibelanja aparatur ataupun public totalnya mencapai Rp 6,9 M untuk 404 kegiatan (hampir Rp 7 M) tentu sangat fantastis (lihat lampiran 6). Sementara perjalanan dinas mendekati Rp 4 M dan sebesar Rp 2,4 M digunakan DPRD (60 %). Pelaksanaannya pun untuk yang tahun anggaran 2005 terkesan dimepetkan menjelang berakhirnya tahun. Tentunya perlu dievaluasi kebutuhan dan pentingnya kunjungan. Dari RAPBD terlihat 2 kunjungan kerja untuk menimba ilmu tentang pembentukan Badan Kehormatan dan Badan Legislasi. Kenapa tidak melakukan kunjungan kerja ke DPRD Propinsi saja sehingga dananya bisa diirit untuk program yang lain. Sementara ada 40 item kegiatan/penggunaan anggaran di 20 unit tercatat perlu dijelaskan pada masyarakat sebab menyangkut dana sebesar Rp 15,9 M (lihat lampiran 7).

Apalagi dinyatakan Walikota (dalam diskusi di sebuah media massa 17/12) dan Hariadi Saptono (Anggota DPRD di televisi local 20/12) bahwa kenaikan pendapatan membuat birokrasi bingung untuk merancang kegiatan yang betul-betul dibutuhkan masyarakat. Hal ini merupakan warning tidak hanya bagi birokrasi dan legislative namun juga bagi masyarakat luas untuk terus mengawasi pelaksanaan APBD. Setidak-tidaknya seperti diprolog analisis ini bahwa dana digunakan jelas bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bagi masyarakat sendiri ketika mereka merasa sejahtera maka penghargaan yang akan diberikan pada birokrasi sebagai public service tentu lebih tinggi. Masyarakat tentu akan banyak belajar dan sudah semakin kritis sehingga kedepan harapannya tidak hanya perencanaan pembangunan saja yang partisipatif namun juga penganggaran dapat partisipatif.


Sebagai penutup hasil analisis ini, menjadi harapan semua pihak bahwa good governance tidak hanya jargon. Dibutuhkan kearifan local baik oleh eksekutif, legislative dan masyarakat agar semua pihak menyadari tugas dan fungsi masing-masing. Meski demikian kita semua tidak kemudian menutup diri atas kritik yang disampaikan. Kepedulian adalah salah satu bentuk kasih sayang dan perhatian. Oleh karena itu marilah kita sama-sama membangun Kota Solo lebih maju, lebih manusiawi, lebih mensejahterakan warganya.







Solo, 22 Desember 2005



M. Histiraludin
IPGI Solo