Kamis, 18 Desember 2014

Menelisik Sengkarut Data Orang Miskin (PSKS)

|0 komentar
Meributkan Data Orang Miskin (1)

Pengurangan subsidi BBM yang dialihkan ke berbagai sektor harapannya mampu meningkatkan produktifitas masyarakat. Pemerintah menengarai bahwa subsidi BBM lebih banyak digunakan untuk hal-hal konsumtif dibandingkan dengan hal produktif. Sejak 18 November, subsidi BBM dikurangi dan dialokasikan untuk infrastruktur, pertanian, nelayan maupun program peningkatan daya beli masyarakat.

Tahun 2014 subsidi BBM dihitung Rp 246,5 T dan listrik Rp 103,8 T. Salah satu program pemerintah dalam pengalihan subsidi ini yakni PSKS (Program Simpanan Keluarga Sejahtera). Meski pada awal Desember program ini diluncurkan banyak polemik (terkait sumber dana cetak kartu) namun pemerintah tetap jalan.

Wajar saja sebab BBM sendiri telah dinaikkan untuk premium bertambah Rp 2.000. Dilapangan, masyarakat miskin mendapatkan PSKS senilai Rp 400.000/2 bulan. Ternyata dilapangan banyak masalah. Berdasar pantauan saya dimedia lokal, rata-rata disemua kecamatan yang ada di eks Karesidenan Surakarta terjadi sengkarut.

Mulai dari nama yang tidak ditemukan, warga sudah meninggal, sudah pindah, sudah mampu, tidak mendapat meski sangat miskin dan lain sebagainya. Bahkan ada yang masyarakat setempat bersepakat penerima PSKS menyisihkan sebagian dana yang diterima untuk dibagikan warga miskin lain yang tidak mendapat PSKS.

Sumber Data

Problem pertama timbul dari data PSKS yang ternyata tidak update. Saya menduga data yang dijadikan rujukan oleh pemerintah berdasarkan PPLS 2011 yang dilakukan BPS tahun 2010. Bila sekarang tahun 2014 akhir, bisa dibayangkan fakta dilapangan seperti apa. Untuk memudahkan menjabarkan, saya mencoba dalam gambar dibawah ini :

Kegiatan PPLS 2011 dikoordinasikan oleh Badan Pusat Statistik tiap Kabupaten/kota. Mereka merekrut masyarakat untuk dilatih melakukan sensus, tentu dengan persyaratan cukup ketat. Setelah lolos mereka ikut pelatihan 3-4 hari disertai praktek. Sensus 2010 itu menggunakan 14 indikator secara nasional, artinya dari Sabang sampai Merauke alat ukurnya sama.

Kesamaan indikator inilah yang menjadi problem PSKS yang kedua. Sebut saja soal luasan lahan, dinding harus tembok, lantai plester tanah dan masih banyak yang lain. Banyak ditemukan juga pendataan yang tidak valid. Hal ini disebabkan pendata bukan orang setempat, data sementara tidak disahkan/disetujui Rt, data mengarang, informasi bohong dan lainnya.

Nah pasca terkumpul ditingkat entah kecamatan atau kab/kota, tidak diverifikasi atau paling tidak dilakukan spot cek untuk uji validitas data. Uji ini penting sebagai penilaian kerja pendata. Apabila ditemukan 1 saja data tidak valid, harus dilakukan pendataan ulang.

Data ini kemudian diolah ditingkat nasional dan dipilah menjadi 4 level/kategori yaitu sangat miskin, miskin, hampir miskin serta rentan miskin. Keluarlah jumlah tiap level tersebut untuk kabupaten/kota. Data ini kemudian dikirimkan ke Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang bekerja dibawah koordinasi Kemenko Kesra.

Berhubung dana yang terbatas, maka pemerintah membedah data di kategori sangat miskin. Merekalah yang akan menerima Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Raskin (Beras Miskin) maupun mendapatkan bantuan uang tunai bagi pemegang PKH (Program Keluarga Harapan). Untuk 3 program ini pada 2013 pemerintah menghabiskan anggaran Rp 30,6 T yang terbagi dari Rp 10,1 T (Jamkesmas), Rp 17,1 T (Raskin) dan PKH sebesar Rp 3,4 T.

Cuma sayangnya tidak 100 persen masyarakat yang masuk Kategori Sangat Miskin itu mendapat bantuan. Hal ini terlihat dimasyarakat yang kadang ada masyarakat yang sangat miskin tidak mendapat bantuan namun tetangganya yang ekonominya “sedikit” lebih baik mendapat. Atau janda masuk data PKH sedang lansia sebatang kara malah terlewatkan dan beragam kasus lain.

Problem ketiga inilah yang kemudian menimbulkan polemik, pertanyaan, hingga tidak sedikit masyarakat yang mendemo kepala desa atau Rt nya. Mereka sih menjawabnya enak karena saat pendataan 2010 lalu, mereka tidak terlibat/dilibatkan sehingga tidak turut bertanggungjawab.

Bisa juga sewaktu di kantor pos ada antrean pengambilan PKH, pihak pos berkelit mereka hanya bagian menyalurkan. Pun ketika kita datangi BPS, mereka kadang menjawab kami memang memilahnya menjadi 4 level kemiskinan namun terkait nama yang mendapatkan, itu ada pada TNP2K.

Nah, bagaimana sebaiknya? Sudah lelah nih, besok lagi dilanjut yah…