Sabtu, 02 November 2002

Perempuan dalam Persfektif Pembangunan Kota Solo

|0 komentar


Perempuan sesungguhnya aset pembangunan yang sangat luar biasa besarnya dan pentingnya. Artinya keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam setiap proses perencanaan pembangunan layak dan harus diperhatikan. Lalu bagaimana pemerintah kota Solo bisa mengkerangkakan konsep pemberdayaan perempuan sehingga kelompok ini memang punya sumbangan yang berarti. Sejauh mana Dinas Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surakarta sudah memulai langkahnya. Dari beberapa Perda yang dihasilkan belum nampak adanya keseriusan pemerintah melakukan hal ini.

Konteks pemberdayaan ini juga tidak hanya terletak pada perempuannya sendiri untuk berdaya namun juga perspektif kaum laki-laki apakah juga sudah terbebaskan. Pertanyaan ini perlu dilontarkan karena kalau ada pertanyaan ‘buat apa perempuan harus terlibat dalam pengambilan keputusan’ akan menjadi bias. Artinya yang perlu dikerjakan bersama bagaimana seluruh komponen masyarakat punya gender perspektif tidak hanya gender balance dan gender sensitive. Dari mana kita akan mulai bangun ?. Tentu saja dari diri masing-masing, kemudian menginjak pada keluarga, lalu lingkungan kemudian wilayah yang lebih besar. Akhirnya wacana tentang gender perspektif akan berkembang dan bisa dikerangkakan serta mewarnai policy.

Semua ini akan berhasil apabila ada komitmen jelas di masyarakat bahwa keberdayaan perempuan penting. Di birokrat kemudian terjadi bagaimana agar konsep-konsep atau pembangunan yang dilakukan bisa meningkatkan kemampuan perempuan serta bagi dewan bisa menginisiasi kebijakan-kebijakan berperspektif perempuan. Rombak aturan-aturan yang meminimalisir apa yang membelenggu dan kemudian direvisi supaya tujuan bersama itu lebih cepat tercapai.

Mengikuti Focuse Group Discussion tentang strategi pembangunan kota untuk kalangan penggerak LSM & Akademisi yang diselenggarakan oleh City Development Strategy (CDS) beberapa waktu yang lalu di RM Ramayana , ada hal yang menarik yang selama ini menjadi perdebatan serius di kalangan komunitas LSM  tetapi sangat sulit untuk mencari strategi yang tepat dalam mencari penyelesaiaannya, yaitu isu tentang gender perspektif dalam pembangunan yang sangat minim porsinya. Isu ini sangat sensitif tetapi justru (celakanya) seakan tidak disadari oleh terutama kamu perempuan sendiri yang menjadi atau pelaku yang sesungguhnya. Perdebatan yang muncul sering bermuara budaya paternalistic, feudal dan menjebak pada pusaran apakah bisa perempuan berdaya

Bila kita tarik kebelakang, pada jaman regim orde baru banyak organisasi kewanitaan yang fungsinya lebih pada memperkuat legitimasi komunitas laki-laki. Lihat saja semacam PKK dan Dharma Wanita pasti akan mendorong agar nyonya-nyonya bisa berperan sebagai ‘wanito’ (wani ditoto/ berani diatur oleh suami mereka). Secara structural pasti jabatan ketua dipegang istri pejabat. Misalkan ditingkat kelurahan tentu Ketua PKKnya ya bu lurah, Di lingkungan birokrasi ketua dharma wanitanya ya istri pejabat itu. Bagaimana kalau pejabatnya ternyata perempuan, posisi itu akan dipegang istri pejabat dibawahnya tetapi masih dalam kendali pejabat perempuan tersebut.

Kebijakan-kebijakan itu bahkan diterjemahkan sampai ditingkat menteri dalam bentuk Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (Menneg UPW). Jadi bentuk lembaga itu hanya mengurusi bagaimana seorang perempuan hanya berperan. Kondisi ini memang dikerangkakan Soeharto, pria asal Jawa yang memahami betul bahwa perempuan salah satu factor yang bisa membelenggu laki-laki. Namun perubahan kearah yang lebih bagus dilakukan pada masa Abdurrahman Wahid yang membentuk departemen pemberdayaan perempuan. Tidak hanya mengurusi namun memberdayakan (bukan memperdayakan) perempuan. Sayangnya implementasi di birokrasi yang tingkatnya lebih rendah masih sulit. Sebab hal ini memang menyangkut soal budaya tadi.

Perempuan dan Budaya yang Melingkupinya
Masalah perempuan tidak pernah bisa lepas dari masalah ketidakadilan. Selama ini peran dan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat sedemikian sempitnya bahkan seolah-olah tidak diberikan peran secara serius. Perempuan  ‘cukup’ diberi tanggung jawab dalam lingkup domestik yaitu sebagai ibu rumah tangga yang bertanggungjawab pada keluarga, suami, anak dan urusan-urusan rumah tangga lain. Dan dalam kenyataannya hal demikina cukup untuk perempuan, bahkan perempuan merasa enjoy dan menikmati apa adanya posisi seperti ini.

Melihat kenyataan seperti ini tidak bisa disalahkan atau faktor kesalahan diberikan kepada perempuan. Sejenak dalam proses terbentuknya peran ini, kultur budaya yang sangat kental memposisikan perempuan pada posisi seperti ini. Laki-laki bisa sangat mendominasi sehingga menjadi pedoman turun temurun yang biasa juga disebut peran reproduksi yang bertanggungjawab atas sektor domestik.

Interprestasi pematokan peran tersebut menjadi salah satu bagian penting dalam pembentukan struktur masyarakat yang dibentuk, disosialisasikan dan diperkuat. Bahkan dikontruksikan secara sosial/kultural melalui negara bahkan melalui ajaran agama. Pembagian peran sebagai dasar distribusi tanggungjawab pria dan wanita yang ditetapkan secara sosial dan kultural. Bukanlah kodrat Tuhan melainkan suatu perbedaan yang dihasilkan dan disosialisasikan melalui sejarah yang sangat panjang dengan sarat muatan kepentingan tertentu.

Peran tersebut telah dimuati nilai-nilai budaya (kultur) serta ideologi tertentu yang kemudian menghiasi cara pandang masyarakat. Dalam masyarakat budaya yang ada mengajarkan bahwa perempuan didudukkan tidak setara dengan laki-laki. Dalam keyakinan berfikir dan bertindak seperti itu terletak pada doktrin teologis agama.Agama sebagai pedoman hidup yang paling mendasar, manfaat bagi manusia memiliki pengaruh fungsional terhadap struktur sebuah masyarakat, mempunyai peran penting. Yang oleh sebagian pengikutnya ajaran agama ditafsirkan sedemikan rupa sehingga berfungsi sebagai alat legitimasi terhadap struktur sosial yang menindas perempuan.

Perbedaan pembagian peran (gender) sebenarnya tidak menjadi persoalan ketika tidak menimbulkan ketidakadilan. tetapi sebaliknya yang terjadi gender justru menggiring dan melahirkan sikap dan praktek yang mendiskriditkan perempuan. Sikap dan praktik diskriminasi ini menyiratkan hubungan yang bersifat politis, hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan atau hubungan dominasi dan subordinasi. Dibutuhkan dekonstruksi pemikiran dan budaya dimasyarakat agar terwujud apa yang dinamakan kesetaraan dan keadilan gender.

Ketidakadilan terhadap perempuan tersebut terimplementasikan dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi ekonomi atau proses pemiskinan terhadap aset perempuan, subordinasi, maksudnya perempuan diposisikan pada posisi di bawah laki-laki, kekerasan (violence) yaitu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikoligis seseorang, stereotif yaitu pelabelan /penandaan terhadap kelompok tertentu misal perempuan makluk lemah dan penggoda, beban ganda yaitu perempuan bertanggungjawab pada kerja domestik (rumah tangga) dan kerja publik (produktif di luar rumah).

Banyak terjadi praktek diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara. Ketika masyarakat pun melakukan diskriminasi terhadap perempuan karena sesungguhnya negara tidak bersungguh sungguh mengubah budaya patriarki. Hal itu tercermin pada kebijakan-kebijakan yang dibuat negara dari tingkat pusat (nasional) sampai di tingkat daerah (lokal) . Penerapan kebijakan di internal pemerintahan sendiri juga tidak gender perspektif.

Kebijakan pemerintah itu antara lain tertuang pada UU seperti UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 31 Ayat 3 menyebutkan Suami adalah Kepala Keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. UU ini berimplementasi pada pembatasan peran perempuan dalam berbagai sektor . Dalam rumah tangga sendiri bapak atau suami menjadi penentu utama dan ibu atau perempuan hanyalah sebagai pelaksana dari kebijakan/keputusan-keputusan yang diambil bapak/suami/laki-laki. Dibidang pendidikan perempuan akan dinomorduakan, setelah anak laki-laki yang harus dan menjadi target utama menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Implikasi dari kebijakan rumhatangga ini pada ruang-rung publik di masyarkat perempuan sangat minim dan relatif hanya dipercaya pada hal-hal teknis yang tak lepas dari kebiasaan di sektor domestiknya (rumahtangga), tidak pada peran pengambil atau pemutus kebijakan penting di masyarakat.

Padahal kalau kita coba renungkan, sesunguhnya perempuan (ibu) adalah faktor terpenting dalam keluarga dan masyarakat. Peran yang diambil sangat besar dalam rumahtangga terutama untuk tangung jawab mendidik anak, merawat anak, yang tentunya ini seharusnya menjadi tangung jawab/beban bersama. Jika beban tanggung jawab itu dilakukan bersama maka akan bisa diukur sampai puluhan tahun yang akan datang generasi hasil didikan tentu lebih lengkap atau minimal punya perspektif kedepan.




Senin, 28 Oktober 2002

Budaya Militerisme Mahasiswa

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin*)

Belum hilang ingatan kita pada kasus kekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru yang menimpa Aditya (Mahasiswa Fakultas Teknik UNS) tahun lalu yang mengakibatkan dirinya harus menginap dirumah sakit, kini kasus kekerasan itu terjadi kembali. Cicilia Puji Rahayu, mahasiswi Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Undip harus kehilangan nyawanya (Solopos 27/8). Kemudian Agus juga melaporkan tindakan bentak-bentakan di Osmaru Fakultas Hukum UNS yang mengakibatkan seorang mahasiswi pingsan. Tidak hanya itu, aroma minum-minuman tercium dari mulut pembentak.

Kasus-kasus seperti ini 4 tahun terakhir mewarnai tahun ajaran baru penerimaan mahasiswa. Fenomena apakah yang terjadi sehingga warna-warna kekerasan fisik dan mental menjadi hal yang akrab ditulis media. Apakah betul mahasiswa senior mempunyai tujuan memplonco, tes mental atau memang punya tujuan ‘membunuh’ mental adik-adik kelasnya. Ataukah dia kehilangan jatidirinya, eksistensinya sebagai seorang mahasiswa, proses pencarian identitas diri atau cerminan budaya militer yang secara tidak sadar memang telah diajarkan oleh kakak kelasnya.

Aditya masih beruntung mau melawan dan mengakibatkan pelaku tindak kekerasan harus di meja hijaukan. Tapi Cicilia, apa yang bisa dilakukan oleh gadis yang masa depannya masih panjang. Kegiatan Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus (Pekik) Undip yang seharusnya menjadi orientasi pengenalan mahasiswa baru terhadap lingkungannya berubah. Anehnya jawaban kakak kelasnya yang bertanggung jawab atas kejadian itu justru terkesan cuci tangan. “Jadi kesimpulan kami sementara Cicilia meninggal bukan karena gojlokan” kata Koordinator Lapangan Pekik Sutopo (Solopos 28/8). Hanya seperti itukah pertanggungjawabannya ketika sebuah kegiatan mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

Banyak ditangkap kegiatan penerimaan mahasiswa baru (dulu namanya Orientasi Studi Pengenalan Kampus/Ospek) berbau militerisme. Sering terjadi hal-hal yang tidak boleh dilakukan lingkungan yang sangat akademis malah menjadi rutinitas. Bentak-bentakan, push up, lari lapangan, berteriak-teriak dan tugas-tugas yang tidak bisa diterima akal sehat. Padahal semestinya seorang mahasiswa baru butuh pengenalan mengenai apa sebetulnya kampus, bagaimana seorang mahasiswa itu harus berpikir, bagaimana dia harus bertindak. Wong mahasiswa itu katanya agent of change (agen perubahan).

Belenggu Budaya

Secara tidak sadar kegiatan penerimaan mahasiswa baru itu sudah menjadi semacam budaya dan bentuknya sangat militeristik. Kampus sebagai institusi yang merdeka selayaknya membuat suasana berkembang mengarah pada kehidupan demokratis, egaliter, menghargai dan nilai-nilai ideal lainnya. Nampaknya secara tidak sadar kita bersama telah membangun kehidupan yang sangat keras, kejam dan tega. Pelajaran dari kejadian penerimaan mahasiswa baru sebelumnya tidak menjadikan cerminan bagi panitia penerimaan mahasiswa baru. Terbukti kasus-kasus yang mengarah ke kriminal tetap mewarnai.

Pola militeristik yang berkembang sebenarnya berangkat dari pola kehidupan yang ada dikampus dan melembaga. Pada jaman regim orde baru budaya militerisme sebenarnya juga diajarkan meskipun tidak mengarah ke fisik tapi berbentuk indoktrinasi ideology. Dulu kita sangat mengenal adanya penataran P4 yang minimal harus kita ikuti 45 jam. Itulah sejarah dimulainya budaya militerisme dikelembagaan kampus. Indoktrinasi ideology yang dilakukan secara terus menerus menjadikan civitas akademika terbelenggu rutinitas yang sempit.

Adanya SK Bersama 3 menteri yang mengharuskan dibentuknya Resimen Mahasiswa (Menwa) di Perguruan Tinggi semakin memperkokoh intervensi budaya militer. Meskipun sudah banyak dikritik tapi lembaga yang tidak jelas maksud pembentukannya masih berdiri kokoh diantara sekretariat UKM dan senat mahasiswa. Atau distribusikan saja tenaga-tenaga Menwa yang gagah berani itu untuk menjaga keamanan kampus bekerja sama dengan Satpam agar kejadian kriminal di perguruan tinggi bisa diminimalisir.

Begitu orde baru runtuh, indoktrinasi ideology ditolak tapi tidak di sadari bahwa metode militerisme itu tetap dipakai. Mahasiswa lama memaksakan untuk tetap diadakannya kegiatan pengenalan kampus apapun bentuknya. Sayangnya dari sini pihak rektorat tidak menangkap budaya dasar yang memang telah memerangkap mereka semua. Karena bagi birokrat kampus memang kepentingannya jelas, tidak hanya adanya kegiatan namun juga berapa uang yang bisa ditarik dari kegiatan yang dilakukan. Lantas klop sudah kebutuhan akan kegiatan pengenalan kampus. Berulang kali kita baca dimedia juga sesudah kejadian memilukan hati terjadi. Kalangan kampus berjanji tidak akan mengijinkan kegiatan serupa. Semua bersuara sama dan itu bisa kita tarik dalam kasus Aditya. Tapi tahun ini di Fakultas Hukum UNS terjadi hal serupa meskipun akibatnya tidak sefatal tahun lalu (Solopos 28/8).

Ternyata kasus-kasus kekerasan tidak hanya terjadi dilingkungan internal kampus. Belum lama ini nyaris terjadi baku hantam antara aktivis HMI dan IMM di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Gara-garanya sederhana, hanya soal pamflet dan promosi organisasi itu supaya dapat banyak kader. Dalam kasus Ospek tidak sedikit pula dari mahasiswa yang lebih senior minum-minuman keras supaya lebih ‘berani’. Lengkap sudah bukti-bukti bahwa secara tidak sadar budaya kekerasan dan berpikir diluar hati nurani telah menguasai jagat pendidikan Indonesia. Lalu sebenarnya nilai-nilai apa yang selama ini dikembangkan oleh institusi perguruan tinggi.

Reorientasi Penerimaan Mahasiswa Baru

Berarti tugas apa yang harus kita kembangkan kedepan guna membongkar budaya menang-menangan, jagoan dan heroik. Seperti telah ditulis diatas, institusi perguruan tinggi seharusnya mengembangkan nilai-nilai demokratis, egaliter, menghargai, terbuka sehingga mampu membentuk seorang mahasiswa mengerti dalam hal teknis apa yang dipelajarinya dibangku kuliah dan non teknis memahami sebagai seorang sarjana apa yang harus dilakukannya kelak sesudah lulus untuk masyarakat. Kenapa saat penyelenggaraan orientasi tidak dibuka ruang untuk mempelajari tentang analisa social masyarakat, pemahaman demokrasi, HAM, kesetaraan genders dan sebagainya.

Setelah nilai dasar itu bisa dibentuk berikan kesempatan pada Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa mempromosikan kegiatannya, program Senat Mahasiswa, Pengenalan Organisasi Ekstra Kampus sehingga ada pemahaman dan kesadaran diri ketika mereka nanti beraktivitas ada pilihan. Kalau perlu ajari mahasiswa baru untuk berdemonstrasi dan mereka akan merasakan hal baru. Bukannya penggojlokan yang justru menimbulkan dendam-dendam yang pada gilirannya akan dibalaskan pada adik-adik kelas mereka.

Kampus selayaknya dengan segenap unsur didalamnya mampu mengembangkan wacana keilmuan dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang diajarkan mampu mengeliminir sifat-sifat yang bertentangan dengan hakekat manusia. Lantas apa yang selama ini diajarkan dan mereka terima. Kenapa kekerasan dan sifat tidak manusiawi masih juga muncul. Padahal mata kuliah agama juga ada. Berarti ada hal-hal yang memang perlu menjadi perhatian bersama.

Makna yang bisa dipetik dari uraian diatas adalah institusi penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru tetap perlu diselenggarakan tetapi yang harus dicermati tujuan dan strategi apa yang akan dicapai. Ini perlu difahami tidak hanya oleh panitia penyelenggara tapi juga pihak rektorat sehingga kerangka besarnya bisa dicapai dan dirasakan bersama. Selain itu juga mekanisme penyelenggaraannya bagaimana, hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan saat kegiatan itu berlangsung. Kalau kesepakatan ini bisa dicapai tidak perlu ada kekhawatiran adanya kekerasan yang akan terjadi kembali.

Sebaiknya keikutsertaan bagi mahasiswa dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru tidak perlu. Terkecuali orientasi dan tujuannya jelas. Toh tidak ada persyaratan yang mewajibkan dan kalau tujuannya tidak jelas perlu ditentang bersama. Siapa yang berani menjamin jika mengikuti kegiatan itu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Beranikah panitia bertanggungjawab (tidak sekedar lisan) secara moril atau materiil jika merugikan peserta penerimaan mahasiswa baru.

Ada 4 hal pokok yang perlu ditanamkan dalam pengenalan orientasi. Pertama, pemahaman sebagai mahasiswa. Mereka telah berubah dari bangku SMU dan apa yang akan dialami sebagai seorang mahasiswa berbeda dari komunitas mereka sebelumnya. Kedua, tanamkan nilai-nilai dasar mengenai jatidiri. Artinya bekali mahasiswa baru dengan wacana-wacana yang mencerahkan. Ketiga, arahkan mereka mempunyai aktivitas yang produktif. Jadilah aktivis dan bukan aktivisme. Keempat, baru pengenalan soal rutinitas pendidikan yang akan dijalani.

*) Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo.

Sabtu, 05 Oktober 2002

Urgensi Tim Monitoring dan Evaluasi Hasil Muskelbang

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin*)

“Saya telah menjadi ketua LKMD selama 15 tahun dan saya mengerti dan memahami keinginan warga” kata Suroto (Solopos 10 Juli 2002). Perkataan Ketua LKMD Kepatihan Kulon itu mencerminkan bahwa selama ini elit masyarakat ‘menganggap’ dirinya lebih tahu dan lebih faham apa yang terjadi dimasyarakat. Pertanyaan selanjutnya, ungkapan Suroto tadi dikatakan dalam kaitannya soal dana block grant yang diduga diselewengkan. Lalu sebenarnya bagaimana peranan masyarakat untuk memantau dan mengetahui aliran dana Muskelbang ?. Bagaimana pula mekanisme pertanggungjawabannya selama ini ?. Siapa saja yang mengelola. Apakah hanya elit masyarakat (yang sering tercermin dalam LKMD), Pemerintah Kelurahan, ataukah seluruh stakeholders (masyarakat yang berkepentingan) juga bisa terlibat.

Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang merupakan wujud implementasi dari UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digagas Walikota Surakarta merupakan sebuah langkah maju guna mewujudkan desentralisasi pembangunan yang berbasis perencanaan masyarakat. Hal itu termaktub dalam Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta tahun 2002. Artinya dibanding dengan pelaksanaan UU nomor 5 Tahun 74 tentang Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaannya (mulai Musbangkel, Rakorbang) jelas berlawanan. UU 5/74 lebih mengedepankan program dari pemerintah dan masyarakat tinggal menyetujui. Sebaliknya di UU 22 tahun 1999 atau melihat SK Walikota sangat membuka peluang atas peningkatan partisipasi masyarakat.

Yang lebih perlu jeli dilihat yakni sejauh mana mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Sejak digulirkannya mekanisme Perencanaan Pembangunan Partisipatif tahun 2001 tidak jarang terjadi kendala dalam hal penggunaan Dana Bantuan Pembangunan Kelurahan dari Pemerintah Kota (dulu disebut block grant). Pemkot Surakarta yang menangkap perubahan itu sebagai reposisi peran pemerintah menjadi public servant atau fasilitator bagi masyarakatnya berusaha menggulirkan Dana Bantuan Pembangunan Kelurahan yang secara kuantitatif meningkat. Tahun 2001 tiap kelurahan diberi rata Rp 50 juta. Namun sekarang bervariasi mulai dari Rp 112 juta hingga sekitar Rp 170-an juta tiap kelurahan. Turunnya dana itu berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah keluarga miskinnya.

Pencairan dana yang dibagi 3 termin (30 persen, 30 persen dan 40 persen) sangat membantu masyarakat meminimalisir penyelewengan dana. Teknis pelaksanaan program pembangunan tahun 2002 sangat beragam. Ada yang dibagi rata per Rw (yang  justru tidak menyelesaikan permasalahan), Ada yang berdasarkan hasil Muskelbang tahun 2001 tetapi tidak ada Tim Monevnya sehingga ketika dimintai pertanggungjawabannya sulit menjelaskan, ada pula yang memasang agenda pembangunan sesuai hasil Muskelbang 2001 di papan-papan pengumuman yang ada di tiap Rw. Yang terakhir ini salah satunya dilakukan oleh Kelurahan Kratonan yang juga diselipkan nama-nama tim monitoringnya.

Mekanisme pertanggungjawaban tahun 2002 yang dalam pelaksanaan program pembangunan belum semuanya melibatkan masyarakat. Contohnya yang terjadi dalam kasus Kelurahan Kepatihan Kulon masih ada tokoh elit kelurahan yang mencoba ‘bermain-main’ sehingga ketika masyarakat tahu akhirnya mau membongkar karena memang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Siapa yang patut dipersalahkan dengan munculnya kasus ini. Tentu bukan siapanya yang perlu dicermati tetapi apakah monitoring pelaksanaan dan mekanisme pertanggungjawaban panitia pelaksana telah direncanakan sebelumnya. Sangat wajar apabila itu semua tidak dibahas dan disepakati oleh masyarakat.

Monitoring dan Evaluasi Partisipatif

Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah butuh tindakan nyata guna memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program pembangunan. Maka wacana Monitoring dan Evaluasi secara Partisipatif yang dilakukan stakeholders kelurahan perlu dikembangkan. Dibutuhkan tim monitoring dan evaluasi secara partisipatif (selanjutnya disebut MEP) yang dilakukan stakeholders kelurahan. Robert Chamber dalam bukunya yang berjudul “Chalanging The Professional” (hal 76) mengatakan pelaksanaan proyek waktu dulu hanya didominasi kaum professional dan ekonom yang hanya memikirkan kegiatan teknis seperti infra struktur, jadual dan hal-hal kuantitatif. Saat ini ada paradigma baru dan pemahaman kaum professional bahwa memulai proyek itu dari orang bukan dari sesuatu, beradaptasi dengan proses bukan berdasar rencana kegiatan.

Ada beberapa keuntungan jika MEP dilakukan yakni (1) Masyarakat mempunyai inisiatif untuk merencanakan dan mengambil keputusan. Peluang ini sudah diberikan oleh birokrasi melalui Muskelbang dan tinggal mengoptimalkan pelaksanaannya. (2) Adanya keterbukaan. Apakah seluruh elemen masyarakat yang ada, datang dan secara bersama merencanakan program pembangunan. Keputusan yang diambil pun kemudian menjadi milik bersama bukan hanya dimiliki panitia atau lebih parah lagi ‘elit masyarakat setempat’. (3) Adanya pertanggungjawaban bersama. Dalam hal ini masyarakat bisa belajar mengenai sebetulnya aspek apa yang perlu direncanakan sehingga berdampak positif bagi mereka. Kajian hasil pembangunan perlu juga dilakukan sehingga tidak hanya semuanya bertanggung jawab tetapi juga berperan. (4) Adanya rasa handarbeni atau memiliki bagi program. Yang terjadi sebelum ini banyak proyek pembangunan dibangun pemerintah dan masyarakat tidak mempunyai kepedulian keberhasilan bahkan acuh tak acuh terhadap apa yang dikerjakan pemerintah. Hal ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang harganya lebih mahal daripada biaya pembangunan itu sendiri.

Perencanaan MEP itu sendiri secara sadar dikelola dan berakar pada pemahaman bahwa perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (bukan keinginan) dan prioritas dari kelompok sasaran yang telah teridentifikasi melalui tahapan Pra Muskelbang I, Pra Muskelbang II sampai pelaksanaan Muskelbang. Kemudian mengalokasikan panitia dan mengorganisasi mereka kedalam sebuah tim yang saling terkait dalam menjalankan kegiatan. Selain itu mengakomodir panitia dalam melaksanakan kegiatan secara langsung. Tak kalah pentingnya bagaimana tim itu bisa memonitor secara periodic dan mengevaluasi sesuai waktu atau agenda yang disepakati untuk mengetahui kemajuan dan masalah yang muncul pada proyek yang sedang dilakukan.

Siapa dan Apa Tugasnya

Dalam SK Walikota nomor 410/45-A/I/2002 pada point peserta Muskelbang disebutkan komposisi peserta Muskelbang meliputi perwakilan Rt, perwakilan Rw, wakil organisasi social, wakil kelompok social, wakil organisasi seni, karang taruna dan organisasi pemuda, sector privat, wakil perempuan serta tokoh masyarakat. Artinya ada peluang seluruh elemen masyarakat disebuah kelurahan terlibat dalam perencanaan pembangunan bagi wilayah mereka. Yang selanjutnya pada saat digelar Musyawarah Kelurahan Membangun semua stakeholders tahu, menyepakati, dan mengagendakan hal-hal yang perlu ditangani secara bersama. Kemudian diperlukan sebuah tim untuk melakukan monitoring dan evaluasi bagi pelaksanaan program pembangunan tahun mendatang.

Secara tegas dalam SK Walikota di point Muskotbang item m ditulis “Sidang Muskelbang menetapkan mekanisme dan susunan panitia untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan hasil-hasil Muskelbang. Susunan dan mekanisme kerja panitia tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Kelurahan”. Disini terbuka peluang siapapun bisa menjadi tim monitoring dan evaluasi. Siapapun yang jadi kelompok kepentingan kelurahan idealnya bisa masuk dalam tim ini dan tidak hanya berbasis kewilayahan seperti hanya perwakilan Rt/Rw saja. Padahal tidak tertutup kemungkinan proyek-proyek itu dikucurkan pada komunitas yang sering kali terpinggirkan.

Tugas tim monitoring dan evaluasi itu sendiri yakni pertama merumuskan mekanisme kerjanya. Apakah mereka akan bekerja sendiri atau akan melibatkan kalangan ahli diwilayah mereka untuk membantu. Kedua Membuat time schedule tentang kegiatan-kegiatan apa yang harus mereka kerjakan. Kapan akan melakukan pendataan kegiatan yang mendapat dana, kapan proyek A akan dibangun (untuk dimonitor), kapan akan melakukan evaluasi, dan seterusnya. Sehingga ketika ditemui kendala dilapangan, tim bisa bekerja dengan optimal guna memecah hambatan yang ada. Ketiga, melakukan koordinasi yang bersifat internal maupun eksternal institusi. Hal ini dilakukan untuk cross cek data ataupun klarifikasi proyek pembangunan. Keempat yang tidak boleh dilupakan yakni menentukan indicator keberhasilan proyek. Pembuatan indicator keberhasilan dilakukan saat merencanakan program pembangunan

Akhirnya pembentukan tim akan semakin meningkatkan keberdayaan warga masyarakat. Tokoh elit maupun kalangan tertentu sudah tidak bisa lagi mendominasi, memanipulasi, dan semakin membuat rakyat terbodohkan. Dengan sendirinya target pemberdayaan masyarakat akan berjalan sendiri dan dengan bertambahnya waktu mereka akan berkembang menjadi komunitas yang kritis, yang berpengatahuan, mempunyai skill dan keberanian, semoga.

*) Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

Kamis, 03 Oktober 2002

10 Nyawa Persembahan Ulang Tahun ke 57 TNI

|3 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin

Hari ini tepat 57 tahun Tentara Nasional Indonesia memperingati ulang tahunnya. Tapi kado yang diberikan mereka pada bangsa ini ternyata berupa nyawa 10 melayang sia-sia karena kekerdilan mereka berpikir. Kasus pertempuran Batalyon Lintas Udara (Linud) 100/ Putra Setia dengan aparat kepolisian dari pasukan Brigade Mobil (Brimob) Kompi A Kepolisian Daerah Sumatera Utara di Kota Binjai Sumut Minggu (29/09) lalu telah melukai hari ulang tahun mereka. Berita ini menghiasi media dan memberikan keprihatinan tersendiri bagi masyarakat luas.

Tiga hari setelah peristiwa itu 20 prajurit dipecat tidak hormat dan 6 perwira dicopot dari jabatannya. KSAD juga mengganti biaya 50 juta pada Polda Sumut guna memperbaiki Mapolres yang hancur. Ryamizard Ryacudu juga berjanji akan menyantuni warga sipil yang tewas akibat peristiwa itu. Cukupkah hukuman itu bagi mereka yang terkena dampaknya. Lalu siapa yang mengganti kerugian immaterial seperti rasa takut, jiwa tertekan, was-was pada masyarakat setempat jika bertemu militer ?. Padahal rasa nyaman dan aman itu tak ternilai harganya.

Tapi apa yang kita lihat setelah para pelaku ‘teror’ itu dihukum. Ternyata mereka tidak ada rasa penyesalan atau bahkan kesedihan. Yang terlihat justru kegembiraan. Setelah KSAD meninggalkan markas Kodam untuk selanjutnya bertolak ke Jakarta, ratusan anggota Batalyon Linud membopong dan mengelu-elukan komandan batalyonnya sampai naik ke atas kendaraan yang membawa mereka kembali ke batalyon. Mayor Madsuni tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang penuh haru, ditengah-tengah nyanyian penuh semangat para anggotanya (Kompas, 3/10).

Peristiwa penyerangan, baku tembak ala film Hollywood itu terjadi sampai 9 jam sejak hari Minggu malam sampai Senin pagi. Berapa peluru, granat dan peralatan perang yang digunakan sia-sia itu terbuang percuma. Padahal kesemuanya itu dibeli dengan uang rakyat dan rakyatlah yang seharusnya dilindungi supaya tetap merasa tentram hidupnya. Tetapi malah justru militer yang mengusik asyiknya tidur malam sehingga membuat masyarakat memblokade kota biar korban nyawa tidak ada yang jatuh. Upaya itu ternyata tidak berhasil. Paling tidak ada 3 nyawa warga sipil melayang percuma dari perang itu.

Sebenarnya apa yang terjadi. Sejak dibubarkannya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diganti dengan TNI dan menimbulkan konsekuensi pisahnya Polisi Republik Indonesia (Polri) dari TNI ada beberapa kasus besar pertempuran diantara keduanya. Sebut saja penyerangan pos polisi di Jalan Sumatera Madiun September tahun lalu yang mengakibatkan dua pemuda tewas. Bulan Agustus lalu beberapa anggota Brimob Resimen I Kedung Halang menyerang markas Unit Pembekalan dan Angkutan Kostrad di Bogor. Dalam kejadian itu satu orang tewas dan 3 orang Brimob luka. Serta beberapa kasus lain.

Penyebab

Nampaknya dari beberapa kasus yang terjadi itu tidak terlihat hal yang memicu persoalan sebenarnya bisa diungkap secara tuntas. Yang sering terjadi justru sanksi yang diberikan tidak disertai pernyataan resmi dari pejabat yang berwenang mengenai persoalan sesungguhnya. Hal ini bisa dilihat dari pertempuran sembilan jam di Binjai. Akar masalahnya kan aparat Polres berhasil menangkap pengedar ectasy. Lalu kenapa anggota Batalyon Linud ngotot melepaskan pelaku. Ini yang tidak coba dijelaskan pada masyarakat. Baiklah kalau sanksi memang harus diberikan itu merupakan konsekuensi sebuah tindakan. Tapi apakah cukup hanya itu. Tentu saja tidak.

Sudah menjadi rahasia umum kalau banyak anggota militer atau polisi menjadi beking perjudian, penjual obat-obatan, atau kejahatan lain. Nampaknya ini menjadi alasan karena penghasilan mereka sedikit. Padahal bisnis yang berhasil dibangun kalangan berseragam ini sangat luar biasa. Dikemanakan untungnya. Kenapa Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto beberapa waktu lalu juga ngotot tidak akan menutup bisnis militer sebelum prajurit mereka sejahtera. Ukuran sejahtera sebetulnya berapa. Padahal tugas mereka kan bela negara tidak mengurusi bisnis.

Idealnya dengan peringatan 57 tahun bagi TNI menjadi momentum penting. Banyak ranah yang mereka jarah tidak hanya bisnis. Mulai dari wacana atau kegiatan besar sampai pernik-pernik kecil. Lihat saja mereka masih menjadi wakil rakyat (meskipun tahun 2004 harus angkat kaki dari DPR/MPR), naik angkutan tidak mau bayar, keliling tempat hiburan menarik pajak tidak resmi dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian pertempuran semacam itu harus menjadi pembelajaran bersama tidak hanya bagi kalangan pimpinan TNI atau Polri semata tapi juga rakyat Indonesia bahwa aparat pertahanan kita belum punya jiwa besar dalam menghadapi persoalan ditingkat local. Bagaimana jika diajak bertempur ? jawabannya tentu susah ditemukan.

Kembali ke Barak

Dengan beberapa kejadian serta bertepatan dengan ulang tahun TNI ke 57 seharusnya menjadi momentum besar yang digunakan militer untuk menancapkan keseriusan mereka dalam hal pertahanan negara. Pejabat-pejabat yang berwenang harus memikirkan kembali tidak hanya agar antara TNI-Polri tidak terjadi masalah tetapi juga hal-hal lain yang melingkupinya.

Institusi Polri dengan TNI sudah secara jelas beda tugasnya. Kepolisian berwenang menangani keamanan dan ketertiban masyarakat sedangkan TNI dalam rangka pertahanan negara. Dari tugas itu jelas sudah bahwa TNI harus professional dan pernyataan ini sering digembar-gemborkan oleh pimpinan TNI (walaupun kenyataannya tak kunjung professional). Militer harus terus menerus mengasah otak dan ketrampilannya dalam hal bela negara dan bukan berperang melawan rakyatnya atau memusuhi Polri.

Yang tak kalah pentingnya perlu adanya wacana pendidikan dikalangan militer soal kehidupan bernegara yang benar. Artinya selama ini kenapa justru banyak anggota TNI berlaku sewenang-wenang di tengah-tengah masyarakat. Baju loreng seakan menjadi kebanggaan tersendiri sehingga dengan bebas naik turun angkutan tanpa membayar atau bahkan kalaupun membayar hanya separo. Kenapa harus beda padahal banyak orang miskin yang hidupnya terjepit masih mau mengerti akan kewajibannya terhadap sesama.

Lontaran yang juga perlu dipikirkan seperti dikatakan pengamat militer Salim Said dalam sebuah perbincangan di media elektronik mengenai penempatan markas-markas kesatuan yang harus digeser jika markas mereka berada di tengah pemukiman. Contohnya seperti Markas Kopassus di Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo atau juga Markas Komando Cadangan Strategis (Kostrad) yang berada di jalan Solo – Karanganyar. Alasannya karena pengaruh dan juga jika ada kejadian seperti pertempuran Binjai tidak mengakibatkan kerugian pada masyarakat luas.

Selain itu teliti kembali fungsi Komando Rayon Militer (Koramil) yang tidak jelas tugasnya dan keberadaan mereka ditingkat kecamatan. Tugas keamanan dan ketertiban kan sudah diambil polisi sehingga keberadaan mereka perlu dipikirkan ulang. Semoga pembelajaran kasus-kasus perang antara militer dan polri betul-betul dicermati sehingga mereka berfungsi sebagaimana mestinya. Selamat ulang tahun TNI ku yang ke 57 tahun dan pertahankan negara ini.

Penulis adalah pekerja social di IPGI Solo

Rabu, 25 September 2002

Muskotbang Sebagai Perwujudan UU 22/99

|0 komentar
Menjelang Pelaksanaan Muskotbang 27 – 28 September 2002

Oleh : Muhammad Histiraludin

Proses perjalanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif melalui tahapan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) dan Musyawarah Kecamatan Membangun (Muscambang) telah selesai dan akan menginjak proses yang paling penting dalam tahapan itu yakni Musyawarah Kota Membangun (Muskotbang). Perhelatan besar itu sendiri menurut rencana akan digelar di Aula Sekolah Tinggi Seni Surakarta (STSI) selama dua hari pada hari Jum’at – Sabtu tanggal 27 – 28 September 2002 mendatang. Kegiatan itu akan melibatkan seluruh stakeholders kota baik ormas, LSM, sector privat, kelompok perempuan hingga wakil rakyat.

Berdasarkan Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Tahun 2002 halaman 14 point A. Pendahuluan Muskotbang dijelaskan “Muskotbang sebagai forum musyawarah perencanaan pembangunan yang demokratis dalam perencanaan pembangunan ditingkat kota dilakukan secara terbuka dengan melibatkan seluruh stakeholders kota”. Kemudian tujuan Muskotbang yakni untuk menyusun Daftar Skala Prioritas pembangunan tingkat kota sebagai bahan penyusunan APBD.

Sementara organisasi pelaksananya didalam SK tersebut dikatakan Muskotbang diselenggarakan oleh panitia Ad Hoc yang pembentukannya difasilitasi oleh Bapeda Kota Surakarta dan dibantu oleh Stakeholders kota. Berdasarkan item-item diatas terlihat jelas bahwa penyelenggaraan Muskotbang sangat membuka partisipasi masyarakat tidak hanya teknis persiapan penyelenggaraan tetapi juga mulai dari perencanaan program sampai out putnya. Jelas sudah keluaran hasil forum tertinggi di kota akan dijadikan sebagai bahan penyusunan APBD Kota Surakarta. Kemudian kalau melihat komposisi peserta yang akan dilibatkan ada sekitar 14 elemen sehingga diharapkan tak ada satu elemen pun yang tertinggal dalam kegiatan tersebut.

Lalu apakah legislative mau memahami kerangka perencanaan yang dulu hanya berbasis perencanaan dari dinas dan sekarang mengalami perubahan. Kepala-kepala dinas apakah juga sudah legowo membuat program kerja berdasarkan identifikasi masalah yang dilakukan pada saat Muskelbang. Kemudian masalah-masalah diluar itu atau yang menyangkut kebijakan makro kota akan dibahas dimana. Adakah peluang untuk mencermati itu dalam agenda Muskotbang. Pertanyaan-pertanyaan itu coba kita lihat bersama.

Forum Sinkronisasi

Melihat kembali perhelatan Muskotbang tahun lalu (atau yang pertama kali diadakan), semua pihak masih terjebak dalam sekat-sekat egoisme, ke-aku-annya dan belum ada kesamaan visi misi. Sehingga Muskotbang berjalan tidak cukup efektif. Usulan dari Muskelbang dibahas di 4 komisi yang ada sedangkan soal makro kota dibahas di komisi tersendiri. Dalam 4 komisi yang perencanaannya berbasis Muskelbang pun tidak maksimal. Artinya utusan kelurahan yang membawa program untuk ditawarkan kepada dinas susah diterima. Karena ternyata dinas ngotot memakai program yang mereka bawa sendiri. Bahkan ada dinas yang tidak hadir atau mewakilkan pada bawahannya yang tidak bisa mengambil kebijakan. Tentu hal ini mengakibatkan aspirasi masyarakat yang sudah digodok ditingkat bawah menjadi sia-sia sebab tidak diakomodir dinas terkait.

Pada Komisi Umum yang membahas isu makro kota juga tidak ada prakondisi mengenai hal-hal yang perlu dibahas. Jadi waktu masuk sidang komisi baru mengidentivisir persoalan dan ada 8 masalah besar yakni visi misi, isu kota, pelayanan umum, tenaga kerja, pembenahan infra struktur fisik dan non fisik, PKL dan Lembaga Pengganti LKMD. Itupun pembahasan detilnya baru menuntaskan mengenai visi misi sedangkan 6 isu besar lainnya belum dibahas. Yang patut disayangkan lagi ternyata hasil visi misi yang disepakati tidak terpakai karena DPRD membentuk tim sendiri dan membuat visi misi kota yang baru. Yang perlu dipikirkan sekarang yakni bagaimana agar seluruh program hasil Muskelbang dan isu kota bisa terakomodir dan menjadi basis kebijakan kota yang dipakai eksekutif maupun legislative.

Dalam perjalanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif Muskelbang dan Muscambang ada beberapa kasus yang itu menjadi titik perhatian warga kota. Lihat saja adanya dugaan korupsi di Kelurahan Kepatihan Kulon, Pembangunan Jalan di Kadipiro yang sempat ditulis seorang warga di Harian Solopos, dan juga pembongkaran paving blok oleh masyarakat di Kelurahan Sudiroprajan karena dianggap tidak ada sosialisasi sebelumnya dari dinas terkait. Berarti ada hal-hal yang terputus ditengah jalan atau ada media komunikasi yang ternyata tidak jalan. Tentu kalau dibiarkan akan mengakibatkan Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang digagas Walikota Surakarta yang sangat partisipatif bisa mati ditengah jalan.

Idealnya Hasil-hasil Muskelbang yang dibawa ke Muscambang perlu disinkronisasikan dengan Rencana Strategis (Renstra) Dinas. Artinya bagaimana memadukan antara apa yang dikerangkakan dinas itu bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kemudian hasil sinkronisasi itu akan dibuat besaran program oleh dinas terkait sehingga basis program kerja yang dihasilkan betul-betul sesuai aspirasi masyarakat. Dinas-dinas itu sudah melakukan sinkronisasi Muscambang di 5 Kecamatan yang digelar pada pertengahan sampai akhir bulan Agustus kemarin. Waktu jeda antara awal September hingga penyelenggaraan Muskotbang digunakan dinas untuk memadukan usulan tersebut dengan hasil Renstra.

Pada saat digelar Muskotbang giliran dinas terkait memaparkan hasil itu didepan utusan kelurahan. Kalau pada saat paparan bisa juga dilakukan validasi atau (istilah Drs Totok Sarsito/PR III UNS) bargaining masyarakat dengan dinas terkait. Pertanyaan selanjutnya akan diletakkan dimana isu makro kota yang menyangkut soal kebijakan. Sampai saat ini sudah ada semacam institusi yang dinamakan City Development Strategy (CDS). CDS telah membentuk gugus tugas yang bernama Tim Kerja Stakeholders/TKS yang memang menjemput bola ke basis-basis masyarakat soal isu-isu kota. Mereka terdiri dari berbagai kelompok seperti akademisi, kelompok sektoral masyarakat, ormas, NGO dan lainnya. TKS yang diinisiasikan sejak awal tahun ini sudah menyelenggarakan puluhan kali focused group discussion dalam kelompok masyarakat yang diidentifikasi termarginal, rentan akan kebijakan, baik dari kalangan seniman, budayawan, isu perempuan, eksessibilitas dan lainnya.

Yang jelas ada 3 besaran isu yang digarap TKS yakni Kemiskinan, Tata Ruang serta isu Konflik dan Kamtibmas. Tiga hal inilah yang dianggap memang menjadi focus perhatian bagi pelaksanaan kebijakan-kebijakan kota. Isu yang tertangkap akan dikerangkakan menjadi besaran-besaran isu yang akan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh birokrasi. Garapan TKS CDS ini nanti juga merupakan bagian dalam agenda Muskotbang dan nantinya tetap difloorkan kembali dalam bentuk rekomendasi bukan bentuk program. Inilah yang membedakan di arena Muskotbang mana perencanaan yang berbasis wilayah (melalui tahapan Mukelbang, Muscambang) dan perencanaan yang berbasis sector atau kelompok strategis lainnya.

Peran Dewan

Tinggal sekarang kita coba melihat kontribusi dan peran apa yang bisa dilakukan oleh wakil rakyat. Pengalaman tahun lalu, sejak tahapan paling bawah yakni Muskelbang keterlibatan wakil rakyat sangat minim. Bahkan di Muskotbang justru mereka nampak seperti tamu agung. Datang lalu duduk didepan, mendengarkan upacara pembukaan, memberikan sambutan lantas setelah acara pembukaan selesai meninggalkan tempat. Padahal jelas acara itu mestinya sangat penting bagi anggota dewan karena penyusunan APBD berbasis usulan program dari masyarakat melalui Perencanaan Pembangunan Partisipatif tersebut.

Harapannya sekarang, setelah beberapa acara di Muskelbang juga diikuti aktif oleh anggota dewan, nanti di Muskotbang mereka mau membuka telinga lebar-lebar, membawa bolpen dan mencatat hal-hal yang betul-betul dibutuhkan masyarakat sehingga dalam Tim Panitia Anggaran tidak ada penghapusan usulan tersebut. Memang ada beberapa kasus yang patut disayangkan dalam proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif tersebut. Satu contoh kecil ketika di arena Muskelbang (yang nota bene merupakan forum musyawarah tertinggi untuk membuat program) tidak mencuat usulan perpindahan kantor kelurahan, justru diarena Muscambang usulan itu muncul. Ironisnya lagi yang melontarkan justru anggota dewan. Isu ini bahkan sempat keluar beberapa hari dimedia massa.

Baiklah, hal itu coba kita singkirkan terlebih dulu. Sekarang sampai sejauh mana tahapan-tahapan, peran, kontribusi masing-masing pihak bisa seoptimal mungkin dalam arena Muskotbang. Kalau hal itu bisa terjadi tidak mengherankan Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang diinisiasi Walikota menjadi hal yang produktif, berbasis perencanaan serta kebutuhan masyarakat, transparan, partisipatif serta demokratis. Out put Muskotbang akan menjadi dasar perumusan program pembangunan atau RAPBD tahun mendatang yang akan diajukan ke legislative. Di DPRD nantinya masyarakat menginginkan ada klarifikasi terhadap program yang dibahas atau sering dikenal dengan istilah public hearing.

Public hearing yang dilakukan Panitia Anggaran untuk mencross chek kembali kebutuhan masyarakat. Sehingga keluaran APBD 2003 mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kota. Selain itu rekomendasi yang dihasilkan oleh CDS bisa dipakai Walikota dan atau wakil rakyat sebagai dasar pengambilan kebijakan ditingkat kota. Akhirnya pelaksanaan UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah di kota Surakarta bukan hanya bualan atau omong kosong belaka tetapi betul-betul bisa diimplementasikan secara nyata. Selamat menjalankan Muskotbang 2002.

Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

Rabu, 14 Agustus 2002

Antara Forum Warga, Forum Kota dan Pelembagaan PPP

|0 komentar
Perubahan paradigma pembangunan yang dimulai sejak hancurnya rezim orde baru terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Perkembangan semangat otonomi daerah yang mengacu pada UU 22 tahun 1999 tetapi belum  mempunyai konsepsi yang sama  mengakibatkan tangkapan tiap daerah menjadi ‘bubrah’. Pemerintah Daerah memahami beralihnya kekuasaan dari pusat ke daerah banyak dimanfaatkan untuk semakin memperkaya sendiri. Sementara itu kalangan legislative beranggapan saat ini merekalah yang paling punya hak atas daerah. Diluar itu masyarakat tetap tersibukkan bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup dan memenuhi kewajiban membayar pajak.

Padahal bila dicermati, UU 22 tahun 99 tentang Pemerintahan Daerah membuka peluang bagaimana membangun sebuah tatanan kemasyarakatan yang adil, sejajar, demokratis dan transparan. Pada bagian menimbang disebutkan penyelenggaraan otonomi daerah ‘dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah’. Jadi bagaimana pemerintah mengatur dan mengurus rumah tangganya bersama-sama dengan warganya dan bukan mengatasnamakan masyarakat. Kalangan DPRD pun tidak mengambil alih peran yang memang seharusnya dilakukan masyarakat.

Pasal 92 ayat 2 secara jelas menyatakan ‘pengikutsertaan masyarakat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan’. Hal itu dipertegas di penjelasan pasal tersebut yang berbunyi ‘pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan’. Artinya setiap tahapan perencanaan pembangunan kota merupakan keharusan serta menjadi bagian utama kepentingan masyarakat. Undang-undang ini telah membuka ruang atas prakarsa masyarakat yang didasari nilai-nilai dan mekanisme yang demokratis.

Permasalahannya adalah belum ada persepsi yang sama baik dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat bagaimana mengimplementasikan perubahan paradigma pembangunan tersebut. Bagaimana mengkreasikan budaya local, mengangkat keunggulan-keunggulan daerah, potensi ekonomi dan sebagainya untuk dipadukan menjadi kekuatan riil daerah. Kita bisa lihat hal ini dalam Visi Misi Kota, Propeda, Repetada dan Renstra daerah yang dilakukan birokrasi. Sehingga yang patut diperhatikan adalah  niat pemerintah untuk melibatkan warga yang diwakili oleh stakeholder tingkat kota untuk bersama-sama merancang strategi pembangunan kota yang berfokus pada kebutuhan masyarakat.

Peluang-peluang untuk itu juga tercermin di UU nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada penjelasan Bab III Pasal 3 yang dimaksud asas kepentingan umum adalah mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif serta selektif. Kemudian dalam Keppres nomor 49 tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain di Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa lembaga kemasyarakatan tersebut dimaknai sebagai wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Kelurahan dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibidang pembangunan, jadi lembaga kemasyarakatan tersebut bukan merupakan kepanjangan tangan dan dapat dimanfaatkan oleh pihak kelurahan.

Selama penguasaan orde baru proses perencanaan pembangunan dilakukan searah dari atas (top down) yang aplikasinya hanya melibatkan tokoh masyarakat untuk menyetujuinya. Bukan melibatkan seluruh masyarakat apalagi mengikutsertakan stakeholders kelurahan. Dalam UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Di Daerah tahapan perencanaan dimulai dari tingkat kelurahan yang dinamakan Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang). Dalam penyelenggaraannya masyarakat (elit kelurahan) tinggal membahas yang ditawarkan pemerintah.

Forum Warga

Lalu forum atau institusi ideal seperti apa yang bisa dicoba dalam mengaplikasikan UU nomor 22 tahun 1999. Yang sering dilontarkan banyak pengamat yakni perlu dibentuk forum warga atau forum kota. Bagaimana rumusan pola pembentukannya, mekanisme kerjanya, siapa saja yang berhak terlibat didalamnya dan langkah-langkah atau kegiatan apa yang harus dilakukan. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dikritisi dan direnungkan. Sayangnya dari banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah, masih minim petunjuk pelaksanaannya sehingga tidak semua daerah siap menangkap apalagi mengimplementasikannya.

Forum-forum yang selama ini ada pun diinisiasi kalangan Non Government Organization (NGO). Padahal semestinya pemerintah daerah yang memfasilitasi. Tapi jika benar pemerintah daerah dapat memfasilitasi terbentuknya forum tersebut, pertanyaan yang muncul adalah  apakah bisa menjamin tingkat efektifitasnya menjadi mitra kerja dan bukan malah menjadi kepanjangan tangan pemerintah sendiri. Dalam buku Forum Warga, Meretas Jalan Menuju Partisipasi (Ahsanul Minan dkk, hal 12) dijelaskan makna forum warga yakni merupakan sebuah kumpulan dari beberapa kelompok strategis masyarakat sipil (diluar komponen pemerintah dan legislative) yang memiliki kesamaan misi untuk berpartisipasi dan seterusnya.

Di beberapa wilayah di Surakarta pun telah banyak dibentuk forum seperti itu. Sebut saja Formas (Sragen), Forwas (Sukoharjo), Forabi (Boyolali), Sompis (Solo), FKRK (Karanganyar) dan sebagainya. Nampaknya banyak institusi itu justru menjadi lembaga pressure bagi pemerintahan. Sebenarnya dimana letak partisipasi mereka seperti disebutkan dalam undang-undang. Atau memang birokrasi setempat tidak mewadahi atau bahkan menolak melibatkan mereka dalam system perencanaan pembangunan kota.

Kebanyakan forum yang dibentuk terdiri dari komunitas yang mempunyai perhatian, kepedulian dan keseriusan untuk membangun wilayahnya supaya partisipatif. Sayangnya platform yang dibangun lebih mengarah menjadi institusi yang ‘konfrontatif’ daripada mengembangkan semangat kemitraan. Di sisi lain kelompok ini sering dipandang eksekutif dan legislative menjadi penganggu bukan kawan yang patut diajak duduk bersama untuk merumuskan strategi pembangunan wilayah dimasa depan.

Inilah kendala yang kerap dijumpai banyak institusi hasil inisiasi warga. Sudah selayaknya birokrasi mau membuka diri, transparan, adil dan demokratis. Dalam buku 10 Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik yang menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintah dijabarkan penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsive atau tanggap, kesetaraan, berwawasan strategis, efektif dan efisien, profesionalisme, pertanggunjawaban serta pengawasan.

Kesepuluh prinsip itu adalah hasil pertemuan bulan Mei 2001 dari hasil rumusan Asosiasi Pemerintah Kota (Apeksi) dan disepakati Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) serta Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi). Hal ini mestinya menjadi pijakan pelaksanaan pembangunan. Tapi tampaknya sudah menjadi tradisi bahwa ketetapan adalah hitam diatas putih dan tidak ada satupun yang mau atau berkehendak menerapkannya.

Pelembagaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Di Surakarta sejak tahun 2000 sudah diinisiasikan model perencanaan pembangunan yang partisipatif. Model itu secara terus menerus dipantau, dikaji dan diperbaiki hingga saat ini sudah mulai menampakkan hasilnya. Di beberapa wilayah masyarakat sudah merasakan bagaimana perencanaan yang mereka lakukan direspon pemerintah kota. Birokrasi sendiri tidak hanya diam berpangku tangan. Sekretaris Daerah Kota, Drs Qomarudin dalam berbagai kesempatan memaparkan perubahan paradigma pembangunan itu.

Lebih bijak lagi Slamet Suryanto, orang nomor satu di kota ini sering bilang kebijakan birokrasi harus berprinsip nguwongke uwong (memanusiakan manusia). Tanpa prinsip itu segala perencanaan pembangunan tidak akan pernah dirasakan masyarakat kota. Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif sendiri secara rinci diatur dalam Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002. Tahapan perencanaan itu juga dimulai dari tingkatan  terbawah Rt hingga tingkat kota. Selain mewakili kewilayahan, stakeholders lain juga dilibatkan.

Kalangan NGO juga tidak ketinggalan untuk terlibat secara aktif mengembangkan dan mendampingi masyarakat.  Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain adalah menggelar seminar dan diskusi yang berkaitan dengan peningkatan Perencanaan Pembangunan Partisipatif dengan  mengundang masyarakat, legislative dan eksekutif. Kegiatan ini dilakukan antara lain sebagai wadah persamaan persepsi di antara ketiga pihak tersebut dalam melaksanakan Perencanaan Pembangunan Partisipatif.

Tinggal bagaimana mengelola forum atau tahapan Perencanaan Pembangunan Partisipatif menjadi sebuah institusi yang secara rutin dilakukan seluruh masyarakat kota. Sehingga rumusan perencanaan pembangunan yang dikerjakan masyarakat bawah bisa tidak hanya terakomodir namun juga terlaksana. Perencanaan Pembangunan Partisipatif pada dasarnya tidak hanya memecahkan problem masyarakat namun lebih pada mewujudkan kohesivitas antar masyarakat, antar elemen, antar stakeholders.

Bukan mimpi rasanya apabila SK yang mengatur tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta Tahun 2002 bisa ‘naik pangkat’ menjadi Peraturan Daerah. Inilah yang menjadi pekerjaan bersama seluruh masyarakat, eksekutif maupun legislative guna merancang pada hal yang lebih aplikatif bagaimana menterjemahkan UU 22 Tahun 99 betul-betul menjadi wahana pemberdayaan masyarakat. Tidak heran apabila akhir bulan Agustus atau awal bulan September kita semua akan melihat perhelatan besar yang bernama Kongres Rakyat Surakarta

Penulis adalah pekerja social di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo