Minggu, 04 Juni 2017

Awas, Wanita dan Anak-anak Jadi Sasaran Persekusi Kaum Intoleran

|0 komentar
Persekusi dalam 1 bulan ini berulang kali disebut diberbagai media baik televise, radio, media cetak hingga media elektronik. Dan silahkan amati, hampir semua korban persekusi adalah perempuan maupun anak-anak. Mengapa? Karena kelompok intoleran yang melakukan persekusi hanya berani pada wanita dan anak-anak. Mereka sama sekali tidak menyentuh selain anak-anak dan perempuan.
Berdasar data yang dikutip dari SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), dalam kurun 4 bulan atau sejak awal tahun sudah ada 59 korban. Dan pada bulan Mei eskalasinya makin tinggi serta mengkhawatirkan. Sasaran perempuan itu meski berpendidikan juga tidak ambil pusing, maklum cara mereka keroyokan dan model intimidasi. Persekusi sendiri menurut KBBI yakni bermakna pada pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga dengan disakiti, dipersusah atau ditumpas.

Pelaku persekusi mayoritas adalah kelompok intoleran yang sama sekali tidak bisa diajak dialog atau mau mendengar. Mereka cenderung mau menang sendiri dan tidak melandaskan argumentasi yang jelas baik berdasar undang-undang maupun agama. Jika jeli kita melihatnya persekusi dilakukan oleh 2 kelompok yakni kelompok intoleran serta kelompok bhineka. Mengapa kelompok bhineka ikut melakukan persekusi dan siapa korbannya? Mereka ini murni masyarakat yang hatinya tersakiti oleh tokoh atau orang yang terus menerus menebarkan kebencian. Kedua korbannya yakni Fachri Hamzah dan Jonriah Ukur Ginting alias Jonru Ginting.

Seperti kita tahu, Fachri Hamzah adalah Wakil Ketua DPR yang tidak mewakili partai apapun (PKS sendiri tidak mengakui FH sebagai anggota fraksi karena sudah dipecat) yang sering menebar permusuhan dalam setiap statemennya. Selalu memojokkan pemerintah, membela kelompok yang melakukan terror termasuk beberapa kali mempertanyakan terorisme, tidak mengayomi sebagai wakil rakyat dan sebagainya. Sementara Jonru salah satu medsos selebritas yang hampir mayoritas postingannya menyudutkan pemerintah. Bisa diibaratkan Jonru merasa tinggal di negara yang tepat. Bukan hanya itu, selalu mendiskreditkan NU, Ansor maupun gerakan masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman.

Maka ketika Fachri turun di Bandara Sam Ratulangi pada 14 Mei 2017 seluruh sudut bandara dipenuhi masyarakat dan memaksa wakil rakyat itu kembali ke Jakarta. Sementara Jonru diusir dari Pelabuhan Lorens Says pulau Pemana Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur 26 Mei 2017. Kelompok Bhinneka ini mengusir orang-orang yang memang menjadi symbol atau motor dari kelompok intoleran. Lihat saja status-status permusuhan yang diucapkan Fachri Hamzah di media massa maupun Jonru di Fanspage miliknya menimbulkan permusuhan. Jangankan dengan pihak lain, Fachri dengan PKS saja sudah tidak dianggap. Pun dengan Jonru yang menjelek-jelekkan sang mentor menulisnya sendiri. Coba bandingkan persekusi yang dilakukan oleh kelompok intoleran, korbannya wanita bahkan anak-anak dengan model keroyokan bahkan intimidasi. Jangankan tokoh, mereka orang biasa yang mungkin friendlistnya di sosmed hanya ratusan saja.

Sebut saja ibu Indri Sorraya Zulkarnain, mereka tidak sekedar memaksa si ibu ini untuk menandatangani surat pernyataan tapi massa yang berada dilingkungan rumahnya mencapai 60 orang. Bukan hanya itu, perempuan bertempat tinggal di Tangerang ini mendapat berbagai ancaman melalui akun medsosnya. Padahal Sorraya hanya mengkritik pimpinan FPI Rizieq Shihab yang sikapnya tidak bertanggungjawab atas kasus yang membelitnya. Contoh lain, Nurul Indra yang warga Batam melakukan aksi menyalakan seorang diri. Dia dibully habis-habisan, diancam, dituduh bernama Deborah, dituduh non muslim bahkan mereka siap menggruduk ke rumahnya. Namun Nurul tak bergeming, tetap pada pendiriannya.

Yang paling parah tentu saja yang menimpa dokter Fiera Lovita dan Putra Mario Alfian. Dokter Fiera meski sudah menandatangani surat pernyataan, intimidasi diseputar rumahnya Solok Sumatera Barat hingga dini hari. Sang Gubernur, Irwan Prayitno yang merupakan kader PKS membantah adanya intimidasi dan masalah sudah selesai. Faktanya, dokter Fiera harus diungsikan keluar Sumbar hingga diamankan di Jakarta. Padahal dokter Fiera memiliki 2 anak kecil serta Muslim dan pelaku intimidasi juga beragama yang sama. Kasus ini sedang dikembangkan dan Mabes Polri bersikap tegas, mencopot Kapolres Solok karena tidak mampu melindungi warga dari tindakan sewenang-wenang.

Untuk kasus Putra Mario Alfian perlakuan kekerasan jelas terjadi dan bisa disaksikan dalam video yang menyebar kemana-mana. Dua pelaku penganiayaan terhadap bocah berusia 15 tahun itu sudah ditangkap polisi. Mereka melakukan persekusi berawal dari status Mario yang memojokkan pimpinan FPI. Padahal status Mario itu karena menjawab diskusi dengan temannya dan status itu si screenshoot lalu disebarkan. Dikepung lebih dari 40 orang, Mario diminta keluar rumah kemudian dipukul. Dibawa ke sebuah tempat dan diintimidasi serta diminta membuat surat pernyataan. Bukan hanya itu, ibunda Mario, janda beranak 6 dipecat dari tempatnya bekerja. Mario sendiri diberhentikan dari sekolahnya. Di duga toko dan tempat sekolah itu takut jadi korban gerudukan kelompok intoleran.

Dengan demikian jelas, bahwa kelompok intoleran merupakan kelompok yang hobinya keroyokan, tidak memakai ajaran Islam, suka memaksa, mau menang sendiri, tidak memakai dialog dan lain sebagainya. Yang mereka lakukan berbeda dengan yang dicontohkan oleh Barisan Ansor Serbaguna alias Banser. Beberapa penghina ulama NU, diajak tabayyun ke kyai yang bersangkutan untuk meminta maaf secara langsung. Berdialog, ngobrol, makan-makan dan dinasehati. Lihat saja beberapa video yang dilakukan Ansor. Tidak ada teriak-teriak, memaki, mengancam apalagi melakukan tindak kekerasan. Ansor melakukan tabayun sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah karena memang tauladan mereka. Lantas kelompok intoleran itu melakukan model tabayyun dengan mencaci maki, menggertak, menghina hingga melakukan kekerasan itu adakah contoh yang dianut dalam Islam?


Tabayyun ajaran mana yang kau anut wahai kaum Intoleran?

Sabtu, 03 Juni 2017

Mendikbud, Menristek Dikti dan Menag, Minta Maha/Siswa Serahkan Akun Medsos

|0 komentar
Menurut saya melihat kondisi sosmed begini yang makin mengkhawatirkan bagi generasi muda, Mendikbud, Menristekdikti, Menag buat SK Bersama tentang pendaftaran akun sosmed maha/siswa ke sekolah negeri dan perguruan tinggi negeri.

Mengapa? karena fasilitas itu dibangun negara, dioperasikan aparat negara sehingga siswa atau mahasiswa yang sekolah dan kuliah itu bukan yang merongrong negara. Ingat, kritis ke negara tetap silahkan saja tapi koridornya jelas. Di Purwakarta sudah diberlakukan kebijakan ini. Bagi Dedi Mulyadi, memantau akun medsos sama pentingnya membangun kesehatan jiwa rakyatnya.

Fahami, kritik jelas berbeda dengan hasutan, hatespeech, fitnah dan ujaran kebencian. Bagi siswa/mahasiswa yang mau kritik pintu dibuka lebar. Bukan membangun kebencian, meruntuhkan kebinekaan atau mengganti ideologi negara bahkan memfitnah pejabat negara. Mengkritisi kebijakan its fine, memprotes kenaikan harga silahkan, meminta vonis berat pejabat korup monggo. Menuntut pejabat melakukan tindakan kriminal utk diproses hukum tidak dilarang.

Sudah banyak perusahaan ketika membuka lowongan, pelamar diminta menyertakan akun sosmed. Tentu si perusahaan tak ingin karyawannya merugikan perusahaan dengan merongrongnya.

Pun bisa jadi dengan MenPAN RB, mewajibkan seluruh ASN mengirimkan akun sosmed. Sekali lagi ini penting untuk memantau aktivitas ASN agar tidak malah melakukan "pembusukan" pemerintah dari dalam. Tugas mereka mewujudkan kesejahteraan masyarakat berdasar mandat bukan meruntuhkan legitimasi pemerintah.

Bagaimana bisa sebuah kementerian kecolongan ASN nya malah menjadi aktivis HTI yang merongrong NKRI? Bagaimana bisa salah seorang guru SDN melakukan intimidasi bahkan kekerasan verbal dan fisik ke anak usia 15 tahun beserta rombongannya? Diketahui pula si guru mengoleksi link situs pornografi di akun sosmed. Pemerintah tidak bisa membiarkan hal ini terus berulang. Ini momentum tepat menata banyak hal.

Termasuk didalamnya para pegawai BUMN yang juga perlu dipantau aktivitasnya. Tugas mereka itu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya agar pendapatan negara terus naik. Harapannya pembangunan bisa digenjot dengan optimal. Tapi jika pegawai BUMN malah menebar kebencian, harus diambil tindakan tegas. Pembiaran hal itu mengakibatkan bukan hanya kinerjanya tidak optimal namun mengganggu produktifitas kantor.

Dalam link yang saya lampirkan, kebijakan baru bagi pemohon visa ke US melampirkan akun sosmed. Bisa dibayangkan sejauh apa pentingnya akun sosmed dengan kunjungan yang bisa jadi hanya beberapa saat? Artinya ini bisa jadi jurisprudensi bagi Mendikbud, Menristek Dikti, Menag, MenPAN RB, Menneg BUMN mengeluarkan kebijakan sejenis. Negara ini milik rakyat Indonesia, pemerintah punya mandat agar negara ini tetap utuh dan tidak tercerai berai untuk diwariskan pada anak cucu.