Minggu, 21 Desember 2003

JAJAK PENDAPAT DAN HARAPAN RAKYAT

|0 komentar
JAJAK PENDAPAT DAN HARAPAN RAKYAT
Oleh: Muhammad Histiraludin

Untuk mengetahui siapa Presiden RI ke VI memang masih 11 bulan lagi. Prosesnya pun masih melewati jalan berliku mulai dari pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II tanggal 5 April 2004, pemilihan presiden tahap I tanggal 5 Juli 2004 dan baru tanggal 20 September  2004 kita akan tahu siapa dia. Masyarakat sendiri lebih banyak diam dan melihat apa yang akan terjadi daripada ribut-ribut soal capres mendatang. Atau karena mereka (rakyat) tidak tahu bahwa system pemilu sudah diubah. Yang jelas sejak beberapa bulan lalu tidak sedikit lembaga yang menyelenggarakan pooling/jajak pendapat mengenai siapa kandidat presiden mendatang. Setidaknya penulis mencatat ada 5 kali jajak pendapat yang dimuat di media massa. Penyelenggaranyapun kebanyakan lembaga-lembaga penelitian atau lembaga independent

Melihat 5 penyelenggaraan memang belum bisa diprediksikan bahwa yang diunggulkan pasti akan menjadi presiden. Apalagi yang mendulang suara terbanyakpun berbeda-beda. Pooling itu diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan & Penerangan Ekonomi & Sosial (LP3ES), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), International Foundation For Election System (IFES), John Caine Center (JCC), Lembaga Studi & Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia) dengan waktu berbeda. Tidak semua nama juga masuk nominasi. Misalnya Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur hanya masuk dalam penelitian LSPEU Indonesia, Aburizal Bakrie juga hanya masuk dalam poolingnya JCC. Meski tidak ada satu namapun yang masuk 5 jajak pendapat itu, ada juga nama di yang mendapat suara di 4 lembaga seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara Amin Rais dan Megawati masuk dalam nominasi 3 lembaga. Selain itu dalam pengumuman tiap lembaga, tidak semua nama dicantumkan karena pertimbangan perolehan suaranya tidak cukup signifikan. Bahkan IFES Cuma mencantumkan Capres 3 besar saja. Ditilik dari perolehan suara ternyata jumlah prosentase terbesar didapat Wiranto di JCC yang memang respondennya hanya berasal dari DPD Partai Golkar 7 kota. Hasil ini memang klop dengan hasil konvensi terakhir ditingkat DPD I yang memperoleh 23 suara. Penjaringan nama calon presiden terbanyak didapat JCC (10 nama), LP3ES (7) dan SSS lima nama. Untuk jumlah responden, SSS cukup besar yakni mencapai 10.000 orang, diikuti LP3ES dan IFES (3.000), lalu LSPEU Indonesia 2.995 dan JCC ‘Cuma’ 258. Untuk pemerataan wilayah kabupaten atau kota, SSS mensurvei 33 propinsi, disusul IFES 32 Propinsi, LP3ES 13 Propinsi, lalu JCC 7 kota dan LSPEU Indonesia 6 kota.

Calon Independen

Dari nama yang keluar itu hanya terdapat satu nama yang tidak berasal dari partai politik yakni Nurcholis Madjid. Meskipun sempat mengikuti konvensi Partai Golkar, perolehan suara dalam pooling ini tidak cukup berarti. Artinya memang (seakan-akan) hanya partailah yang berhak mendapat kursi presiden sementara pihak independent peluangnya menjadi minim. Pilihan kandidat bagi masyarakatpun menjadi terbatas. Mereka tidak bisa melihat atau memilih tokoh-tokoh yang independent yang komitmentnya lebih netral dibanding ketua-ketua partai. Kondisi ini bisa berpengaruh dalam kerangka pendidikan politik yang dibangun. Padahal dalam pemilihan Gubernur DKI, ada tokoh masyarakat dari komunitas becak berani mencalonkan diri. Demikian pula ketika terjadi pemilihan Bupati Boyolali, Jaswadi salah satu tokoh Kedungombo juga berani maju (meskipun akhirnya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan).

Yang perlu dicermati juga adalah banyaknya prosentase responden yang menjawab tidak tahu atas pertanyaan siapa presiden yang layak dan akan dipiliih 2004 mendatang. Memang pemilihan itu menjadi hak seseorang tetapi dalam sebuah pooling setidaknya rakyat tidak ragu lagi menentukan siapa yang akan dipilih atau layak menjadi presiden. Dalam jajak pendapat LP3ES ditanyakan siapakah yang layak menjadi presiden 2004, ternyata 46 persen responden (dari 3.000) menjawab tidak tahu. Kemudian dari LSPEU Indonesia 45 persen juga menjawab tidak tahu siapa yang akan dipilih dalam pemilihan presiden mendatang. Meski prosentase ini perlu diteliti lagi apakah betul demikian, ada pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa sepak terjang calon-calon presiden itu masih belum meyakinkan masyarakat untuk segera menentukan pilihannya.

Pengumpulan suara-suara dalam pooling itu memang tidak serta merta menggambarkan apa yang akan terjadi pada 20 September mendatang. Ada beberapa factor yang berpengaruh dalam metode jajak pendapat. Pertama, siapa yang menyelenggarakan kegiatan ini. Kadang ada pula lembaga menerima pesanan dari pribadi karena motif tertentu. Sang pemesanpun akan memberikan nomor telepon yang akan dijadikan sampling sehingga suara calonpun menjadi besar. Kenapa order ini dikehendaki? Ya karena calon ingin membentuk image melalui media massa bahwa dia mendapat dukungan secara signifikan. Tanpa melalui kampanye, opini publik sudah otomatis terbangun dari media yang memuat hasil jajak pendapat. Belum lagi ditambah komentar pakar tentang dukungan suara. Kedua, pemilihan kota untuk jajak pendapat juga ikut berpengaruh. Misalkan untuk daerah Eks Karesidenan Solo dibanding Kabupaten Magelang akan berbeda. Di Solo yang akan unggul pasti Megawati atau Amin Rais sementara di Pati nama Gus Dur akan mendapat perolehan suara banyak.

Ketiga, kondisi psikologis responden ikut menjadi factor yang berpengaruh. Seperti usia, tingkat pendidikan, pengalaman pribadi, aktivitas atau pergaulan dan lainnya. Tentu seseorang yang banyak bergelut dibidang usaha akan memilih calon yang banyak melindungi usahanya. Sementara seorang birokrat akan memilih calon presiden yang sering manaikkan gaji pegawai negeri. Kondisi-kondisi inilah yang berpengaruh pada pilihan seseorang. Sehingga apapun hasilnya harus tetap diletakkan sekedar alat untuk membaca kecenderungan dan bukan “memastikan” kecenderungan (survei/polling bukan bukti empirik) apalagi realitas politik itu sendiri (Moh Samsul Arifin/Kompas 16/10).

Harapan

Lantas, bagaimana kita membaca, menelaah dan meresapi banyaknya jajak pendapat itu. Semakin mendekati hari H pemilihan presiden tidak tertutup kemungkinan akan lebih banyak pihak menyelenggarakan kegiatan yang sama. Kegunaan jajak pendapat bagi setiap pihak akan berbeda. Kita sebagai rakyat biasa hanya akan menganggap itu sebagai gambaran munculnya kandidat calon presiden. Masih banyak kandidat yang belum masuk seperti Eros Jarot (PNBK), Sukmawati (Partai Pelopor), KH Zainuddin MZ (PBR) dan lainnya. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2003, penetapan calon baru akan dilakukan Bulan Desember 2003 mendatang. Bagi aktivis partai politik, polling ini merupakan masukan yang tentu menjadi rujukan. Kenapa si A bisa unggul, si B bisa kalah dan calonnya malah tidak masuk sama sekali.

Meskipun jajak pendapat bukan merupakan penilaian akhir, setidaknya hal itu menjadi gambaran bersama. Bila perlu mari kita jadikan pelajaran untuk melihat ketika seorang dicalonkan atau diunggulkan apakah ada perubahan sikap. Bagaimana sikap partai asal calon tersebut, masih maukah mereka memperjuangkan kehidupan rakyat kecil yang banyak didera kelaparan, kemiskinan dan bencana kekeringan. Jauh lebih prinsip adalah bagaimana semua stakeholders pemilu menjalankan proses ini dengan jujur, adil dan tanpa ada kekerasan yang terjadi yang malah menyengsarakan rakyat kecil. Harapan kita semua pada saat pemilu terjadi tetap pada keinginan bersama yakni berjalan damai!. Semoga.

Penulis adalah pekerja social di lembaga Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

Sabtu, 20 Desember 2003

EMBEL – EMBEL NAMA SUAMI

|1 komentar
(Tanggapan Untuk Ike Janita Dewi dan Reko Alum)
Oleh: Muhammad Histiraludin

Mencemati tulisan-tulisan di rubrik Swara sangat menarik. Banyak kupasan yang dibedah untuk mengkritisi soal perempuan. Diantara yang menarik bagi saya adalah tulisan 2 ibu rumah tangga yakni artikel berjudul Istri Yang Kehilangan Nama (Ike Janita Dewi, Kompas 15 Desember 2003) dan Namaku Adalah … (Reko Alum, Kompas 23 Maret 2004). Kenapa begitu? Karena keduanya mengupas soal eksistensi perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin bagi sebagian orang lain tidak menarik. “Memang begitu kenyataannya” komentar istri saya waktu dimintai komentar soal dua tulisan tersebut. Nampaknya ada kepasrahan total dari komentar itu namun tidak dari Ike ataupun Reko.

Gugatan yang diajukan oleh Ike lebih dikarenakan posisi atau bargaining seorang perempuan yang berpendidikan tinggi. Sayangnya Reko tak menjelaskan latar belakang pendidikannya sehingga agak susah memotret ‘pemberontakan’ tersebut. Tapi setidaknya, dari tulisan itu ditangkap ada kecerdasan yang bisa dimaknai pembaca bahwa para perempuan itu butuh pengakuan. Posisi Ike jauh lebih sulit karena beliau tinggal di Jogjakarta yang nuansa primordialnya lebih kental. Belum lagi pergaulan lingkungan lebih sering terjadi dibanding Reko yang tinggal (paling tidak) di pinggiran kota besar.

Terlepas itu semua, saya sepakat bahwa penggunaan nama pribadi jauh lebih penting ketimbang menggunakan nama suami. Tidak hanya sebatas penghargaan atas pemberian nama seseorang tetapi manfaat penggunaan nama sendiri yang jauh lebih besar. Sayangnya tradisi yang entah siapa yang memulainya nama seorang perempuan akan berganti menjadi Ibu ini, Ibu itu dengan menggunakan nama suaminya. Kadang saya ingin protes namun pada siapa protes itu saya lontarkan. Toh Presiden kita tetap menyandang Ibu Megawati Soekarnoputri bukannya Ibu Taufik Kiemas. Ibu-ibu pejabat kita juga tetap digunakan meski nama suaminya tetap menempel misalnya Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ny Nina Akbar, Ny Tien Suharto dan lain sebagainya.

Nampaknya ketika nama suami diikutkan akan berpengaruh, namun bagi kita (para suami) apa sih dampaknya. Saya sendiri yang berposisi sebagai suami sama sekali merasa tak nyaman nama saya diembelkan dibelakang nama istri saya. Toh kalau dia berhasil bukan karena saya namun karena prestasinya sendiri. Kebetulan saya dan istri sebagai pekerja sosial di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar tetap manggilnya ya Ibu Iral (panggilan saya-pen). Saya pernah mencoba berdiskusi dengan istri saya untuk merubah itu. Awalnya yang saya tawarkan sederhana. Kebetulan saya Sekretaris Rt di kampung dan ada ibu-ibu yang suaminya sudah meninggal dan ada yang tidak dirumah. Hak mereka untuk ikut rapat Rt menjadi hilang (asumsi umum) makanya saya menawari istri saya sekali waktu untuk menggantikan pas rapat Rt. Eh dia menjawab tidak mau karena dipandang aneh. “Lho kan belum mencoba” bujuk saya. Dia tetap menolak. Maksud saya biar ibu-ibu yang tidak ada bapaknya itu mau hadir.

Ada beberapa kesulitan sebagai pengurus Rt bila ibu-ibu itu tidak memakai namanya sendiri. Misalkan soal kartu pemilih untuk pemilu ini yang dibagikan. Karena kita tidak pernah tahu nama ibu-ibu itu maka pas saat pembagian terpaksa kita menanyakan langsung dan itu perlu waktu berulang kali. Ada pula pembantu rumah tangga mereka tidak tahu siapa nama majikan perempuannya. Lalu ada orang mencari rumahnya siapa, ada tagihan rumah (karena kami tinggal diperumahan), surat dan saya selaku pengurus Rt juga dibuat bingung. Sebab memang tidak tahu siapa sebenarnya yang bernama ibu Tuti, Ibu Nurul dan seterusnya. Bahkan nama Istri Ketua Rtpun saya tidak tahu!.

Pada saat pembagian kartu pemilih ada beberapa orang yang ikut membagikan. Orang-orang itu ikut ya karena penasaran nama ibu-ibu di Rt kami. Ada yang nama orang kota dan ada nama ndeso kata orang yang ikut membagikan. Ada pula ibu yang meskipun sudah ditinggal meninggal suaminya masih menyandang nama suami. Sampai kapan akan disandangnya? Apakah itu tidak akan menganggu eksistensinya sebagai warga negara?.

Bila dilihat pada proses, sebetulnya dimanakah letak pergantian nama seorang perempuan atau penempelan nama suami? Sedari kecil seorang anak perempuan hingga selesai kuliah bahkan bekerja masih akan menyandang namanya. Namun begitu menikah dan masuk dalam lingkungan masyarakat (otomatis menjadi anggota PKK) secara otomatis namanya berubah. Ada nuansa ketidakmampuan (atau dipaksa) oleh masyarakat. Bila kita simak tulisan Ike, ketika berbelanja didepan rumah ditanya siapa namanya, beliau dipaksa menjawab Ibu anu (nama suaminya). Bisakah kita secara perlahan merombak itu semua?. Paling tidak dari diri kita sendiri. Saya sangat heran sewaktu memulai hidup berumah tangga. Pada saat acara perkenalan, kebetulan ada acara 17 Agustusan saya sudah memperkenalkan nama istri. Eh yang diingat dan menjadi panggilan koq nama saya.

Saya sedang memikirkan minimal untuk lingkungan saya supaya pertemuan-pertemuan dikampung tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tapi usaha itu tidak mudah. Ada beragam jawaban sewaktu diusulkan pertemuan Rt dan PKK dijadikan satu. Ada yang menjawab karena sudah dari dulu begitu, ada yang bilang siapa yang momong anak, ada yang bilang bapak-bapak pertemuannya malam. Kenapa kalau dirubah pertemuannya dijadikan satu. Lebih efektif, dan anak kan bisa diajak ikut pertemuan karena yang selama ini terjadi rapat PKK selalu riuh rendah celoteh anak. Kalau soal malam hari, rapat Rt itu paling malam kan tidak larut sekali hingga pukul 23.00. Namun begitulah kenyataan protes yang terlontar.

Ada persoalan yang sudah mendarah daging sehingga ‘pemberontakan’ perempuan di masyarakat tidak berhasil. Pertama soal budaya patriarkhi. Merubah budaya ini tidak semudah membalik telapak tangan. Disatu sisi saya berhasil mengatasnamakan STNK sepeda motor dengan nama istri namun gagal menempel papan nama atas nama dia. Ada kesedihan mendalam dalam diri saya sewaktu memesan papan nama tersebut. Kedua, Laki-laki adalah kepala rumah tangga. Hal itu jelas termaktub dalam UU Perkawinan. Konsekuensinya istri harus menjadi second position. Banyak perempuan menganggap hal ini sebagai wahyu sehingga mereka tidak pernah mau memprotesnya. Ketiga, ketidaksiapan perempuan. Memang tidak semuanya tetapi diakui atau tidak asumsi umum mengatakan demikian. Seringkali perempuan ketika mengalami kegagalan, baginya itu merupakan sebuah bencana besar. Tetangga saya bahkan melahirkan anak keduanya sambil menangis. “Anak satu saja mendidiknya sulit apalagi anak dua” katanya.

Terakhir persoalan kepasrahan total istri dalam mengelola rumah tangganya. Ini tidak diartikan menang-menangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak perempuan keluar dari kerja hanya karena mereka menikah atau punya anak padahal karir kedepan lebih bagus. Kedepan semua ini perlu kita rubah sehingga antara laki-laki perempuan harus berposisi sejajar dan bermitra. Ada kohesivitas positif yang menguntungkan kedua belah pihak dan kerjasam untuk membangun rumah tangga yang lebih baik. Saya hanya ingin mengucapkan iri dengan Ibu Ike dan Ibu Reko karena mereka bisa menuliskan Ibu Rumah Tangga, apakah akan saya tulis Bapak Rumah Tangga? Salam buat suami anda.



Muhammad Histiraludin
Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

Rabu, 11 Juni 2003

LPMK VERSUS PARTISIPASI RAKYAT

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin

Keseriusan Pemerintah Kota Surakarta dalam menghadapi era otonomi daerah nampaknya patut diacungi jempol. Pemkot tidak hanya menginisiasi proses perencanaan yang partisipatif melalui Perencanaan Pembangunan Partisipatif namun juga mengganti LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) yang sejak dulu identik dengan Partai Golongan Karya. Pengganti LKMD adalah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK). Hal ini merupakan tindak lanjut dari turunnya Keputusan Presiden  Nomor 49 tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain.

Pembuatan lembaga pengganti LKMD telah diinisiasi oleh masyarakat, akademisi dan LSM sekitar setahun lalu. Mereka kemudian dirangkul Bagian Tata Pemerintahan Pemkot dan dibentuklah Tim 21 guna menindaklanjuti. Hasil penggodokan itu disetujui dewan dan disahkan menjadi Perda no 7 tahun 2002 tentang LPMK. Otomatis keberadaan LKMD menjadi hilang ditambah keluarnya Surat Keputusan Walikota Nomor 4 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Tata Tertib Pemilihan Pengurus LPMK.

Di jalur yang lain, proses pembangunan yang selama ini dilaksanakan LKMD sudah berbeda. Sejak 3 tahun lalu Pemkot menyelenggarakan proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang lebih demokratis. Artinya dalam forum Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang, LKMD berkedudukan sebagai peserta dan sama dengan stakeholders yang lain. Sebagai konsekuensinya Pemot menurunkan dana pembangunan melalui block grant. Berarti proses penurunan block grant tahun ini akan dilewatkan ke LPMK untuk dikerjakan bersama-sama.

Proses penurunan dana block grant melalui 3 tahapan dan pada bulan ini turun tahap pertama sebesar 30 persen dari dana yang disetujui. Sehingga supaya pelaksanaan pembangunan segera berjalan maka pembentukan LPMK lebih dipercepat dan bahkan harus selesai terbentuk ditiap kelurahan pada tanggal 28 April ini. Padahal dari tahap yang harus dilalui ada 3 dan itu membutuhkan waktu. Pertama, tahap pemilihan bakal calon anggota ditingkat RT. Kedua, pemilihan calon ditingkat RW dan ketiga, pemilihan pengurus ditingkat kelurahan.

Benturan
Keluarnya Perda No 7 tahun 2002 ini sebetulnya tidak tepat dan perlu dikaji ulang terhadap beberapa pasalnya. Pertama, keluarnya Perda LPMK hanya berjarak 12 bulan dari pemilihan umum jelas kurang tepat. Lembaga ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik dalam menggalang suara. Memang persoalan ini sudah diperkirakan Pemkot. Di pasal 5 ayat 3 tentang Persyaratan disebutkan “…….Pengurus LPMK yang berasal dari partai politik tidak mewakili Partai Politik”.

Pasal itu hanya menyatakan orang partai tidak mewakili partainya dan tidak ada batasan yang jelas kapan dia sebagai pengurus LPMK dan kapan dia bertindak sebagai aktivis partai (jika memang berasal dari partai). Kedua, kaidah yang tertulis baik dalam Perda maupun SK tidak memenuhi prasyarat perundang-undangan maupun hirarki hukum, tumpang tindih dan ada yang sudah diatur di Perda tapi disebutkan sama persis di SK. Artinya ada hal-hal teknis yang diatur di Perda (Pasal 6 tentang pemilihan anggota) dan ada hal besar yang diatur di Surat Keputusan dan ini sudah diatur di Perda.

Misalnya Pasal 5 tentang Persyaratan. Dalam Perda LPMK terdapat 6 persyaratan untuk menjadi anggota namun di SK disebutkan 8 persyaratan. Lalu Pasal 13 tentang Tugas dan Pasal 14 tentang Fungsi ternyata ditulis ulang dalam pasal 4 dan 5 di SK Walikota. Ketiga, banyak pasal (terutama di SK) yang bertentangan dengan semangat demokrasi, transparansi, akuntabilitas, berprespektif gender dan plural. Beberapa pasal bisa menimbulkan efek penolakan dari masyarakat. Pasal-pasal dalam Perda yang bisa dipersoalkan yakni Pasal 6 ayat a dan c point 4 dan pasal 11. Pasal 6 ayat a sangat tidak mengakomodir gender. Disebutkan pemilihan ditingkat Rt diikuti oleh Kepala Keluarga. Berarti perempuan tidak bisa masuk dan bertarung untuk menjadi bakal calon.

Di Pasal 6 ayat c point 4, kewenangan ketua Rw bisa menghilangkan nuansa demokratis. Dia berhak menunjuk calon anggota ditingkat Rw untuk menjadi anggota LPMK bila saat pemilihan dengan voting jumlah suara yang didapat calon tetap sama. Bisa diasumsikan bila Ketua Rw punya kandidat dan diperkirakan akan kalah maka dia akan buat pemilihan menjadi dead lock sehingga bisa saja dia menunjuk untuk diusulkan ke kelurahan. Di pasal 11 ayat 1 soal pertanggungjawaban, tidak diatur mekanismenya secara detil. Hanya disebutkan “Pengurus LPMK  pada akhir masa bhakti memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat”.

Lebih parah lagi dalam Surat Keputusan Walikota nomor 4 tahun 2003 mengenai juklak pemilihan pengurusnya. Pada bagian Tugas dan Fungsi pengurus, Pasal 10 ayat 2 soal fungsi seksi telah menggugurkan Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang selama ini dilakukan masyarakat melalui Muskelbang. Jelas terbaca ketua seksi mempunyai wewenang lengkap mulai dari perencana pembangunan, penyelenggara pembangunan, koordinasi dengan seksi lain, mengawasi kegiatan, evaluasi kegiatan, membuat laporan. Pola ini mengandung peluang besar terjadinya korupsi, manipulasi dan sangat merugikan masyarakat.

Bagian lima mengenai hubungan kerja pasal 15 ayat 1 juga tersirat bahwa mekanisme Muskelbang bisa hanya menjadi sejarah yang indah bagi masyarakat. Disebutkan “LPMK menyusun rencana pelaksanaan pembangunan melalui mekanisme perencanaan pembangunan partisipatif bersama-sama dengan Rt, Rw dan pemerintah kelurahan”. Berarti mekanisme Muskelbang yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan bukan hanya mewakili teritorial ternegasikan. Paguyuban HIK, becak, kesenian, koperasi tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendapat perhatian Pemerintah Kota.

Kedua peraturan itu juga tidak memberi kesempatan bagi stakeholder lain untuk ikut berperan bila mereka tidak mewakili territorial atau wilayah. Lalu bagaimana masyarakat miskin bisa meningkatkan kesejahteraan mereka bila tidak ada representasi dari mereka di kepengurusan. Belum lagi soal kelurahan yang mempunyai Rw sangat banyak seperti Kelurahan Jebres dan Mojosongo. Padahal semua calon anggota LPMK akan menjadi pengurus. Berarti di Kelurahan Jebres akan ada 68 orang pengurus (dari 34 Rw) dan Kelurahan Semanggi ada 62 orang pengurus.
Keempat, ada beberapa pasal yang multi persepsi sehingga dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan pertentangan dan kebingungan masyarakat. Persoalan ini perlu diantisipasi oleh birokrasi agar masalah yang diperkirakan timbul bisa diantisipasi.

Perspektif Kedepan
Dari uraian diatas tadi sangat jelas tergambarkan kedua peraturan itu tidak layak diteruskan. Resiko yang akan terjadi bila diteruskan akan memakan banyak biaya social dan juga masyarakat kembali akan jadi korban. Ada beberapa alternatif yang perlu dilakukan Pemkot ataupun DPRD. Pertama, aturan itu dibatalkan dan dibuat ulang, Kedua ditinjau untuk direvisi beberapa pasal yang diperkirakan menimbulkan masalah dan ketiga tetap dilaksanakan dengan masa kepengurusan hanya 1 tahun untuk menyiasati penerimaan block grant. Selama 1 tahun itu hak dan wewenang pengurus juga dibatasi. Tetapi pasal-pasal krusial harus tetap diperbaiki. Tiga langkah itu tetap dalam bingkai (jika direvisi) pelibatan seluruh stakeholder masyarakat.

Pada wilayah lain, minggu ini memasuki sosialisasi dari Perda, SK sekaligus musyawarah Rt untuk menentukan calon. Ada waktu bagi masyarakat semestinya sebelum langsung musyawarah sebaiknya mengkritisi pasal-pasal baik yang ada di Perda maupun Surat Keputusan Walikota itu. Atau guna mensiasati terjadinya blunder, alangkah bijaknya tiap kelurahan membuat tata tertib yang lebih jelas agar pemaknaan makna di Perda dan SK bisa tertangani.

Peluncuran Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan menjadi momentum penting dan bagus guna mewujudkan masyarakat yang demokratis. Sayangnya ada kelemahan tekstual sehingga perlu dibenahi. Seandainya ditunda untuk segera diperbaiki (terutama pasal yang bermasalah) maka akan terwujud Kota Surakarta yang patut dijadikan contoh wilayah lain pada bidang kepemerintahan seperti mekanisme Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang banyak membuat tertarik Pemda/Pemkot di wilayah lain.

Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

Senin, 28 April 2003

PUBLIC HEARING; KEWAJIBAN DEWAN ATAU HAK MASYARAKAT

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin
Pernyataan Bambang Mudiarto selaku Ketua DPRD Kota Surakarta mengenai tidak memungkinkan lagi DPRD menggelar hearing (dengar pendapat) dengan masyarakat menarik dicermati (espos25/2). Lontaran itu menjawab tuntutan sebagian masyarakat dan juga LSM di Solo yang menghendaki wakil rakyat masih mau membuka dialog dalam rangka pembahasan APBD 2003. Hampir tiap tahun isu public hearing 4 tahun belakangan memang marak.

Yang memang patut dipertanyakan sebenarnya public hearing itu apakah menjadi kewajiban dewan atau hak masyarakat untuk mengetahui. Dalam penjelasan lanjutannya Bambang menegaskan tidak perlu hearing lagi karena APBD sudah menampung aspirasi rakyat sebab penyusunannya sudah melalui mekanisme Perencanaan Pembangunan yang Partisipatif. Dengan adanya Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang), Musyawarah Kecamatan Membangun (Muscambang) dan Musyawarah Kota Membangun (Muskotbang) dianggap masyarakat telah berperan.

Hasil Muskotbang disusun oleh Bapeda sebagai leading sector perencanaan pembangunan dan diajukan ke dewan dalam bentuk RAPBD. Penyusunannya sendiri juga melibatkan perwakilan dinas/instansi dengan menampung usulan masyarakat yang diajukan melalui Muskelbang, Muscambang maupun Muskotbang.
Sesuai Edaran Meneg Otonomi Daerah tentang Kebijakan Penyusunan APBD disebutkan waktu penyusunannya selama 6 bulan, pengesahan 3 bulan, pelaksanaan 12 bulan dan pertanggungjawaban 3 bulan. Kalau dikalkulasi saat ini memasuki tahap pengesahan yang secara ideal dilakukan secara terbuka. Dalam tahap pengesahan ini termasuk pula tahap negosiasi atau pembahasan antara Tim Anggaran (yang diketuai Sekda) dengan Panitia Anggaran dari DPRD.

Hingga saat ini jadual perencanaan pembangunan memang belum terjadual secara pasti dalam arti bulan berjalan. Hal ini mengakibatkan proses pelibatan masyarakat lebih terkonsentrasi pada tahap pengesahan. Seringkali pula dewan melakukan pembahasan secara diam-diam dan juga tertutup. Dampaknya banyak masyarakat yang ingin memonitoring proses pengesahan menjadi kesulitan.

TAHAPAN

RAPBD Kota Surakarta memang disusun mulai tahap Muskelbang (pertengahan Juli – Agustus), Muscambang (Agustus) dan Muskotbang (27-28 September 2002) yang dalam pelaksanaannya melibatkan seluruh stakeholders kota. Muskotbang sendiri melibatkan peserta tidak kurang dari 800 orang baik dari eksekutif, legislative, akademisi, budayawan, kalangan profesi, komunitas masyarakat pinggiran, NGO dan lain sebagainya.

Dalam panduan penyelenggaraan Muskotbang disebutkan hasil yang ingin dicapai yakni tersusunnya perencanaan pembangunan kota yang terpadu dan sinergis. Artinya seluruh tahapan tersebut memang merupakan kesatuan yang saling mengikat. Proses ini lebih maju dibanding daerah lain yang masih menggunakan pendekatan lama yakni melalui Musbangdes, UDKP dan Rakorbang.

Proses tawar menawar pengajuan RAPBD dari Tim Anggaran juga menyertakan dinas dan instansi terkait yang telah membuat anggaran pelaksanaannya. Artinya dinas atau instansi terkait tersebut dengan mendengar dan menerima masukan dari hasil Muskotbang akan berusaha mempertahankan apa yang diusulkan oleh masyarakat. Peran wakil rakyat sendiri (dalam tahap pembahasan) melihat porsi belanja rutin dengan belanja pembangunan harus jeli.

Di Panitia Anggaran sendiri yang merupakan representasi dari wakil fraksi akan melakukan pembahasan baik ditingkat fraksi maupun komisi. Hal-hal yang belum jelas pada saat pembahasan (baik di komisi maupun fraksi), mereka berhak mengundang dinas/instansi yang mengajukan untuk klarifikasi. Hingga akhirnya seluruh fraksi akan mengajukan pandangan akhir atau sikap politiknya terhadap APBD. Apakah menolak, menerima atau menerima dengan catatan. Jika RAPBD yang diajukan eksekutif ditolak maka sesuai UU yang berlaku eksekutif harus menggunakan APBD tahun sebelumnya.

HAK DAN KEWAJIBAN

Kalau proses penyusunan APBD sudah partisipatif (melalui Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang) tidak berarti pintu pelibatan masyarakat menjadi sudah tertutup. Apalagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah produk Peraturan Daerah yang nota bene bersifat terbuka. Siapa kemudian yang berani menjamin bahwa usulan rakyat ditingkat paling bawah yang menjadi kebutuhan mereka benar-benar terakomodir dan disetujui untuk menjadi prioritas.

Dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002 (Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Bagian Keempat mengenai Penetapan APBD ayat 4 disebutkan “Sebelum Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibahas, DPRD mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapat masukan”.

Hal ini didukung dengan hasil rumusan 10 Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik yang dibuat oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) serta Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI). Rumusan ini dibuat setelah melakukan seminar nasional otonomi Indonesia tahun 2001 di Jakarta.

Kesepuluh prinsip itu yakni (1) Partisipasi, (2) Penegakan Hukum, (3) Transparansi, (4) Responsif, (5) Kesetaraan, (6) Berwawasan Strategis, (7) Efektif dan Efisien, (8) Profesionalisme, (9) Akuntabilitas dan (10) Pengawasan. Paling tidak berkaitan dengan tuntutan masyarakat atas public hearing dan jawaban Ketua Dewan, sudah mencerminkan pengingkaran atas 2 prinsip yakni Transparansi dan responsive.

Lalu jika dilakukan dengar pendapat apakah ada pihak yang dirugikan. Diperlukan kesamaan berpikir mengenai kerangka pembangunan Kota Surakarta oleh seluruh elemen. Tentunya dengan mengacu pada visi misi Kota yang telah ditetapkan dalam Perda, maka seluruh program pembangunan mengarah kesana. Kerugian yang ditimbulkan dengan adanya hearing hanya soal waktu pengesahan yang molor dan beberapa perubahan teknis. Namun dampak yang ditimbulkan akan jauh lebih besar.

Masyarakat dan seluruh elemen sudah merasa berperan dalam APBD sehingga dalam pelaksanaannya akan betul-betul mendukung program pembangunan kota. Birokrasi yang melaksanakan tidak merasa terbebani sebab program yang dilakukan disetujui masyarakat. Disisi lain, legislative tinggal melihat, mengawasi dan meminta pertanggungjawaban pada eksekutif.

Seluruh proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang telah dilakukan di Kota Solo sudah mencerminkan proses yang partisipatif. Tinggal bagaimana semua pihak mau menempatkan diri pada posisinya masing-masing dan mengetahui pada tingkatan apa peran mereka. Masyarakat terlibat sejak Muskelbang dengan mengusulkan program apa yang mereka butuhkan. Lalu dalam pelaksanaannya mengawasi.

Birokrasi atau pemerintahan menjadi fasilitator yang memberi ruang, tempat dan pengelolaan program agar kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi. Kemudian wakil rakyat mengkonfirmasi antara kebutuhan rakyat dengan yang tertuang dalam APBD serta melihat pertanggungjawaban Walikota atas pelaksanaan program pembangunan.

Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo