Diakuinya, Raperda Pendidikan
rencananya memang dibahas terlebih dahulu namun paska pengesahan UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang salah satunya mengamanatkan
pengalihan pendidikan menengah ke pemerintah propinsi diputuskan ditunda.
“DPRD kemudian membahas
Raperda inisiatif lainnya yakni tentang difabilitas yang saat ini sudah kelar.
Semoga bulan depan kita sudah mulai pembahasan” kata pria dari Partai Amanat
Nasional itu.
Hambatan
lain yang ada, lanjutnya pendidikan Gunungkidul masih menggunakan
mengacu pada undang-undang pendidikan, peraturan pemerintah maupun peraturan
menteri tentang pendidikan. Selain itu pemahaman dalam bidang
perundang-undangan di SKPD Gunungkidul masih kurang. misalnya perda tentang
larangan merokok di ruang publik. Faktanya PPTSP (perijinan satu atap) tetap
memberi ijin pemasangan iklan rokok didekat dinas kesehatan. Oleh sebab itu,
birokrasi juga harus menata diri, menyamakan persepsi tentang kebijakan.
Padahal capacity building tentang
peraturan perundang-undangan sering diadakan di birokrasi. Dalam satu tahun
bisa mencapai 8 kali. Sedangkan di legislative paling hanya 2 kali.
Menanggapi paparan Dodi, Nino Histiraludin
dari YSKK mengungkapkan ada beberapa persoalan krusial dalam Raperda. Pertama
mengenai visi pendidikan yang tidak tertuang dalam Raperda. “Visi disusun
berdasar grand design pendidikan Gunungkidul. Tapi apakah grand design ini
sudah dimiliki oleh Dinas Pendidikan? Kalau belum, ini menjadi persoalan besar.
Tanpa visi, maka klausul-klausul yang ada tidak memiliki arah dan pegangan
jelas” kata Kepala Divisi Pemberdayaan Anak YSKK.
Disisi lain, pembahasan Raperda harus
melibatkan masyarakat sebab kebijakan itu akan diterima atau berdampak pada
masyarakat. Nino menuturkan YSKK sedang terlibat dalam 3 pembahasan Perda
Pendidikan yakni di Gunungkidul, Surakarta dan DIY. Sehingga mencari berbagai
rujukan Perda Pendidikan yang cukup komprehensif. Ada beberapa pembelajaran
yang didapatkan dari proses pencarian, pendalaman materi perda maupun membangun
komunikasi dengan legislative.
“Di Solo, kami yang tergabung dalam
jaringan OMS malah diminta BP2D (Balegda) untuk masuk tim ahli Raperda. Nanti
dalam prosesnya, kami bisa melibatkan teman-teman lain untuk pendalaman. Bila
yang dibahas misalnya tentang pelibatan masyarakat ya kami ajak teman2 OMS,
bila yang dibahas mengenai sekolah inklusi kami bisa ajak teman-teman difabel
dan lain sebagainya” ujar Nino. Maka Nino mendorong hal yang sama bisa
dilakukan di Gunungkidul.
Menanggapi hal itu, Dodi mengaku akan
membicarakan di dewan. Diakuinya anggaran untuk Tim Ahli Tahun 2015 mencapai Rp
50 juta dan tidak terpakai. Tahun ini meningkat menjadi Rp 70 juta. Selain itu,
ada forum public hearing yang akan dilakukan Pansus sehingga aspirasi
masyarakat dapat terserap dalam Perda Pendidikan.
Eka Bani dari YSKK menekankan pentingnya
kebijakan ditingkat daerah tentang pendidikan. “Salah satu urusan wajib bagi
pemda itu pendidikan. Lha kalau tidak ada Perda maka pegangan satuan pendidikan
menjadi tanpa kendali” kata Bonnie. Adi dari RBR menyatakan agar dalam
pembahasan, semua pihak dapat dilibatkan karena kebijakan pendidikan merupakan
kebijakan yang mempengaruhi masa depan Gunungkidul. “Yang kami lihat malah
bupati fokusnya ke pariwisata padahal pendidikan itu menentukan masa depan
hidup kita” ujar Adi.
Peserta kemudian menyepakati akan mengawal
perda secara serius. Mereka akan melakukan langkah-langkah strategis agar Perda
Pendidikan Gunungkidul diputuskan secara partisipatif. Mereka akan bersama-sama
mengkampanyekan Raperda dan membuka ruang agar masyarakat dapat memberi masukan
atas Raperda Pendidikan.
Diskusi ini terselenggara atas kerjasama
Rumah Belajar Rakyat (RBR) Gunungkidul dengan Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK)
Solo. Acara digelar di Pendopo Sekretariat RBR Siraman Wonosari dan diikuti 15
peserta.
0 komentar:
Posting Komentar