Kamis, 03 Oktober 2002

10 Nyawa Persembahan Ulang Tahun ke 57 TNI

Oleh : Muhammad Histiraludin

Hari ini tepat 57 tahun Tentara Nasional Indonesia memperingati ulang tahunnya. Tapi kado yang diberikan mereka pada bangsa ini ternyata berupa nyawa 10 melayang sia-sia karena kekerdilan mereka berpikir. Kasus pertempuran Batalyon Lintas Udara (Linud) 100/ Putra Setia dengan aparat kepolisian dari pasukan Brigade Mobil (Brimob) Kompi A Kepolisian Daerah Sumatera Utara di Kota Binjai Sumut Minggu (29/09) lalu telah melukai hari ulang tahun mereka. Berita ini menghiasi media dan memberikan keprihatinan tersendiri bagi masyarakat luas.

Tiga hari setelah peristiwa itu 20 prajurit dipecat tidak hormat dan 6 perwira dicopot dari jabatannya. KSAD juga mengganti biaya 50 juta pada Polda Sumut guna memperbaiki Mapolres yang hancur. Ryamizard Ryacudu juga berjanji akan menyantuni warga sipil yang tewas akibat peristiwa itu. Cukupkah hukuman itu bagi mereka yang terkena dampaknya. Lalu siapa yang mengganti kerugian immaterial seperti rasa takut, jiwa tertekan, was-was pada masyarakat setempat jika bertemu militer ?. Padahal rasa nyaman dan aman itu tak ternilai harganya.

Tapi apa yang kita lihat setelah para pelaku ‘teror’ itu dihukum. Ternyata mereka tidak ada rasa penyesalan atau bahkan kesedihan. Yang terlihat justru kegembiraan. Setelah KSAD meninggalkan markas Kodam untuk selanjutnya bertolak ke Jakarta, ratusan anggota Batalyon Linud membopong dan mengelu-elukan komandan batalyonnya sampai naik ke atas kendaraan yang membawa mereka kembali ke batalyon. Mayor Madsuni tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang penuh haru, ditengah-tengah nyanyian penuh semangat para anggotanya (Kompas, 3/10).

Peristiwa penyerangan, baku tembak ala film Hollywood itu terjadi sampai 9 jam sejak hari Minggu malam sampai Senin pagi. Berapa peluru, granat dan peralatan perang yang digunakan sia-sia itu terbuang percuma. Padahal kesemuanya itu dibeli dengan uang rakyat dan rakyatlah yang seharusnya dilindungi supaya tetap merasa tentram hidupnya. Tetapi malah justru militer yang mengusik asyiknya tidur malam sehingga membuat masyarakat memblokade kota biar korban nyawa tidak ada yang jatuh. Upaya itu ternyata tidak berhasil. Paling tidak ada 3 nyawa warga sipil melayang percuma dari perang itu.

Sebenarnya apa yang terjadi. Sejak dibubarkannya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diganti dengan TNI dan menimbulkan konsekuensi pisahnya Polisi Republik Indonesia (Polri) dari TNI ada beberapa kasus besar pertempuran diantara keduanya. Sebut saja penyerangan pos polisi di Jalan Sumatera Madiun September tahun lalu yang mengakibatkan dua pemuda tewas. Bulan Agustus lalu beberapa anggota Brimob Resimen I Kedung Halang menyerang markas Unit Pembekalan dan Angkutan Kostrad di Bogor. Dalam kejadian itu satu orang tewas dan 3 orang Brimob luka. Serta beberapa kasus lain.

Penyebab

Nampaknya dari beberapa kasus yang terjadi itu tidak terlihat hal yang memicu persoalan sebenarnya bisa diungkap secara tuntas. Yang sering terjadi justru sanksi yang diberikan tidak disertai pernyataan resmi dari pejabat yang berwenang mengenai persoalan sesungguhnya. Hal ini bisa dilihat dari pertempuran sembilan jam di Binjai. Akar masalahnya kan aparat Polres berhasil menangkap pengedar ectasy. Lalu kenapa anggota Batalyon Linud ngotot melepaskan pelaku. Ini yang tidak coba dijelaskan pada masyarakat. Baiklah kalau sanksi memang harus diberikan itu merupakan konsekuensi sebuah tindakan. Tapi apakah cukup hanya itu. Tentu saja tidak.

Sudah menjadi rahasia umum kalau banyak anggota militer atau polisi menjadi beking perjudian, penjual obat-obatan, atau kejahatan lain. Nampaknya ini menjadi alasan karena penghasilan mereka sedikit. Padahal bisnis yang berhasil dibangun kalangan berseragam ini sangat luar biasa. Dikemanakan untungnya. Kenapa Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto beberapa waktu lalu juga ngotot tidak akan menutup bisnis militer sebelum prajurit mereka sejahtera. Ukuran sejahtera sebetulnya berapa. Padahal tugas mereka kan bela negara tidak mengurusi bisnis.

Idealnya dengan peringatan 57 tahun bagi TNI menjadi momentum penting. Banyak ranah yang mereka jarah tidak hanya bisnis. Mulai dari wacana atau kegiatan besar sampai pernik-pernik kecil. Lihat saja mereka masih menjadi wakil rakyat (meskipun tahun 2004 harus angkat kaki dari DPR/MPR), naik angkutan tidak mau bayar, keliling tempat hiburan menarik pajak tidak resmi dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian pertempuran semacam itu harus menjadi pembelajaran bersama tidak hanya bagi kalangan pimpinan TNI atau Polri semata tapi juga rakyat Indonesia bahwa aparat pertahanan kita belum punya jiwa besar dalam menghadapi persoalan ditingkat local. Bagaimana jika diajak bertempur ? jawabannya tentu susah ditemukan.

Kembali ke Barak

Dengan beberapa kejadian serta bertepatan dengan ulang tahun TNI ke 57 seharusnya menjadi momentum besar yang digunakan militer untuk menancapkan keseriusan mereka dalam hal pertahanan negara. Pejabat-pejabat yang berwenang harus memikirkan kembali tidak hanya agar antara TNI-Polri tidak terjadi masalah tetapi juga hal-hal lain yang melingkupinya.

Institusi Polri dengan TNI sudah secara jelas beda tugasnya. Kepolisian berwenang menangani keamanan dan ketertiban masyarakat sedangkan TNI dalam rangka pertahanan negara. Dari tugas itu jelas sudah bahwa TNI harus professional dan pernyataan ini sering digembar-gemborkan oleh pimpinan TNI (walaupun kenyataannya tak kunjung professional). Militer harus terus menerus mengasah otak dan ketrampilannya dalam hal bela negara dan bukan berperang melawan rakyatnya atau memusuhi Polri.

Yang tak kalah pentingnya perlu adanya wacana pendidikan dikalangan militer soal kehidupan bernegara yang benar. Artinya selama ini kenapa justru banyak anggota TNI berlaku sewenang-wenang di tengah-tengah masyarakat. Baju loreng seakan menjadi kebanggaan tersendiri sehingga dengan bebas naik turun angkutan tanpa membayar atau bahkan kalaupun membayar hanya separo. Kenapa harus beda padahal banyak orang miskin yang hidupnya terjepit masih mau mengerti akan kewajibannya terhadap sesama.

Lontaran yang juga perlu dipikirkan seperti dikatakan pengamat militer Salim Said dalam sebuah perbincangan di media elektronik mengenai penempatan markas-markas kesatuan yang harus digeser jika markas mereka berada di tengah pemukiman. Contohnya seperti Markas Kopassus di Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo atau juga Markas Komando Cadangan Strategis (Kostrad) yang berada di jalan Solo – Karanganyar. Alasannya karena pengaruh dan juga jika ada kejadian seperti pertempuran Binjai tidak mengakibatkan kerugian pada masyarakat luas.

Selain itu teliti kembali fungsi Komando Rayon Militer (Koramil) yang tidak jelas tugasnya dan keberadaan mereka ditingkat kecamatan. Tugas keamanan dan ketertiban kan sudah diambil polisi sehingga keberadaan mereka perlu dipikirkan ulang. Semoga pembelajaran kasus-kasus perang antara militer dan polri betul-betul dicermati sehingga mereka berfungsi sebagaimana mestinya. Selamat ulang tahun TNI ku yang ke 57 tahun dan pertahankan negara ini.

Penulis adalah pekerja social di IPGI Solo

3 komentar:

  • Unknown says:
    16 Maret 2016 pukul 09.53

    TAIKLAH LAH KAU GAGASAN NINO... NGOMONG TOK

  • Tas murah says:
    12 Mei 2016 pukul 21.01

    Hahaha

  • Unknown says:
    23 Maret 2018 pukul 06.00

    Yg maun membubar koramil hanya ide PKI krn paham komunisme paling cepat terdeteksi oleh satuan yg bersinggungan langsung dengan masyarakat yaitu babinsa

Posting Komentar