Senin, 12 September 2016

Media Sosial dan Penghakiman Sosial

Sebenarnya bukan dalam kasus Mario Teguh saja yang ramai dikomentari netizen yang muncul dengan pengakuan kasus anaknya. Ada puluhan atau bahkan ratusan kasus selebritas, legislative, tokoh, politisi, kyai, ustadz dan berbagai pesohor lainnya yang turut di komentari. Salah? Dalam sudut pandang saya mereka tidak salah berkomentar.

Hanya kemudian yang bisa kita saksikan bersama, komentar itu mengandung pesan bahwa si komentator seakan-akan lebih baik, lebih bersih, lebih suci bahkan tidak bakal melakukan tindakan yang sama dengan pihak yang dikomentari.

Jika para pesohor itu berdalih, berlaku, merasa orang yang paling bersih menurut saya silahkan saja. Seperti contohnya para politisi yang dalam kampanye sering mengucap berantas korupsi, perangi nepotisme, bekerja untuk rakyat bukan demi partai namun faktanya sudah ada berapa orang DPR periode 2014 – 2019 yang terkena kasus korupsi. Hal itu membuktikan bahwa antara tindakan dengan omongan tidak berjalan seiring.

Nah munculnya kasus terakhir tentang pengakuan dari Ario Kiswinar sebagai anak Mario Teguh dan sudah ditanggapi sanga motivator, bagi saya biarkan saja. Kalau toh pun dikomentari yang wajar saja. Kita tak perlu berada pada posisi yang paling membela atau menghujat. Kenapa? Ya memang tugas motivator itu untuk membangkitkan semangat atau motivasi kita. Lihat profesi lainnya, yakinkah mereka sudah paling bersih?

Apakah polisi semua pasti bersih? Tidak ada yang korup atau terlibat narkoba? Banyak. Apakah hakim PA tidak ada yang selingkuh dan kena kasus perceraian? Tidak sedikit. Apakah kyai atau ustadz yang menganjurkan tambahan ibadah sunnah tidak pernah sekalipun meninggalkan hal itu? Ya pernah. Dan masih banyak yang lainnya.

Tugas Mario Teguh memotivasi kita, kita percaya dan bangkit karena kata-katanya tentu baik. Lho kita bebas mau dengar dia atau tidak dan tidak ada yang memaksa.

Kalau misalnya kemudian dia kena kasus, itu sangat personal dan tidak ada kaitannya dengan motivasi. Salah satu kata-kata yang diungkapkan MT ketika diwawancarai atas kasus yang membelitnya, Mario berkata “Lho saya dapat kata-kata itu dari mana? Ya karena pengalaman saya” ujarnya dengan tegas dan seakan-akan mengklarifikasi dia bukan orang yang bebas dari berbagai masalah juga.

Para Pesohor
 
Secara pribadi, saya sering mendengarkan berita, nasehat, ceramah, motivasi, konsultasi atau membaca beragam tulisan jarang saya hubungkan dengan pribadi penulis. Saya lebih banyak mengambil pembelajaran dari apa yang saya dengar, saya lihat dan saya baca. Sehingga saya tidak banyak mengagungkan orang yang mengatakannya. Saya sebatas menghormati orang-orang yang menyampaikan hal itu.

Beberapa orang yang saya kagumi dari apa yang dituliskan atau dikatakan yakni Habib Maulana Lutfi bin Ali Yahya, Emha Ainun Najib, KH Mustofa Bisri dan KH Anwar Zahid. Saya mengagumi kehidupan pribadi dan kata-kata yang disampaikan. Dan coba cermati, jarang mereka merasa paling suci dan tidak punya dosa. Mereka memberi banyak petuah dan nasehat serta beberapa kemungkinan gagalnya.

Sekali lagi saya lebih banyak mencerna yang disampaikan dan mengendapkan dalam batin. Lantas diangkat ke otak untuk diproses bagaimana mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Nama-nama yang saya sebut hampir tidak pernah merasa bersih atau tak pernah salah. Bahkan sering Emha dalam tausiahnya mempersilahkan audien tidak mempercayai kata-katanya. Pun jika percaya dikarenakan Allah SWT bukan karena Emha sebab dirinya bukan siapa-siapa dan mahkluk biasa seperti audiens.

Kembali ke soal Mario Teguh, ya kenapa kita harus kecewa? Apa yang dirugikan di diri kita atas masalah yang diterima Mario? Tidak ada. “Bicaranya kayak orang paling bahagia saja”, itu kan karena persepsimu. Hallloooooo pernahkah Mario meminta kita harus percaya? Namanya motivator itu mensugesti pikiran dan pikiran yang disugesti itu pikiran positif sebab akan mendorong tindakan positif. Bila yang disugesti pikiran negative maka tindakan kita cenderung negative.

Makanya kalau ada orang berbicara, focus ke isi yang disampaikan saja. Tidak perlu mengagumi individu yang menyampaikan secara berlebihan. Biasa saja. Apa saya tidak pernah kecewa ketika mengagumi seseorang? Pernah. Saya mengagumi Ahmad Dhani ketika sebelum meninggalkan Maia. Ingin rasanya menolak kenyataan itu, tapi fakta memang begitu. Ya sudah no problem toh ga ngaruh ke hidup saya. Dan saya masih mengagumi Ahmad Dhani sebelum dia berpisah dengan istri pertamanya.

Jadi, tidak usah terlalu mengangumi seseorang

Dan tidak perlu mencaci maki di media sosial

0 komentar:

Posting Komentar