Senin, 28 April 2003

PUBLIC HEARING; KEWAJIBAN DEWAN ATAU HAK MASYARAKAT

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin
Pernyataan Bambang Mudiarto selaku Ketua DPRD Kota Surakarta mengenai tidak memungkinkan lagi DPRD menggelar hearing (dengar pendapat) dengan masyarakat menarik dicermati (espos25/2). Lontaran itu menjawab tuntutan sebagian masyarakat dan juga LSM di Solo yang menghendaki wakil rakyat masih mau membuka dialog dalam rangka pembahasan APBD 2003. Hampir tiap tahun isu public hearing 4 tahun belakangan memang marak.

Yang memang patut dipertanyakan sebenarnya public hearing itu apakah menjadi kewajiban dewan atau hak masyarakat untuk mengetahui. Dalam penjelasan lanjutannya Bambang menegaskan tidak perlu hearing lagi karena APBD sudah menampung aspirasi rakyat sebab penyusunannya sudah melalui mekanisme Perencanaan Pembangunan yang Partisipatif. Dengan adanya Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang), Musyawarah Kecamatan Membangun (Muscambang) dan Musyawarah Kota Membangun (Muskotbang) dianggap masyarakat telah berperan.

Hasil Muskotbang disusun oleh Bapeda sebagai leading sector perencanaan pembangunan dan diajukan ke dewan dalam bentuk RAPBD. Penyusunannya sendiri juga melibatkan perwakilan dinas/instansi dengan menampung usulan masyarakat yang diajukan melalui Muskelbang, Muscambang maupun Muskotbang.
Sesuai Edaran Meneg Otonomi Daerah tentang Kebijakan Penyusunan APBD disebutkan waktu penyusunannya selama 6 bulan, pengesahan 3 bulan, pelaksanaan 12 bulan dan pertanggungjawaban 3 bulan. Kalau dikalkulasi saat ini memasuki tahap pengesahan yang secara ideal dilakukan secara terbuka. Dalam tahap pengesahan ini termasuk pula tahap negosiasi atau pembahasan antara Tim Anggaran (yang diketuai Sekda) dengan Panitia Anggaran dari DPRD.

Hingga saat ini jadual perencanaan pembangunan memang belum terjadual secara pasti dalam arti bulan berjalan. Hal ini mengakibatkan proses pelibatan masyarakat lebih terkonsentrasi pada tahap pengesahan. Seringkali pula dewan melakukan pembahasan secara diam-diam dan juga tertutup. Dampaknya banyak masyarakat yang ingin memonitoring proses pengesahan menjadi kesulitan.

TAHAPAN

RAPBD Kota Surakarta memang disusun mulai tahap Muskelbang (pertengahan Juli – Agustus), Muscambang (Agustus) dan Muskotbang (27-28 September 2002) yang dalam pelaksanaannya melibatkan seluruh stakeholders kota. Muskotbang sendiri melibatkan peserta tidak kurang dari 800 orang baik dari eksekutif, legislative, akademisi, budayawan, kalangan profesi, komunitas masyarakat pinggiran, NGO dan lain sebagainya.

Dalam panduan penyelenggaraan Muskotbang disebutkan hasil yang ingin dicapai yakni tersusunnya perencanaan pembangunan kota yang terpadu dan sinergis. Artinya seluruh tahapan tersebut memang merupakan kesatuan yang saling mengikat. Proses ini lebih maju dibanding daerah lain yang masih menggunakan pendekatan lama yakni melalui Musbangdes, UDKP dan Rakorbang.

Proses tawar menawar pengajuan RAPBD dari Tim Anggaran juga menyertakan dinas dan instansi terkait yang telah membuat anggaran pelaksanaannya. Artinya dinas atau instansi terkait tersebut dengan mendengar dan menerima masukan dari hasil Muskotbang akan berusaha mempertahankan apa yang diusulkan oleh masyarakat. Peran wakil rakyat sendiri (dalam tahap pembahasan) melihat porsi belanja rutin dengan belanja pembangunan harus jeli.

Di Panitia Anggaran sendiri yang merupakan representasi dari wakil fraksi akan melakukan pembahasan baik ditingkat fraksi maupun komisi. Hal-hal yang belum jelas pada saat pembahasan (baik di komisi maupun fraksi), mereka berhak mengundang dinas/instansi yang mengajukan untuk klarifikasi. Hingga akhirnya seluruh fraksi akan mengajukan pandangan akhir atau sikap politiknya terhadap APBD. Apakah menolak, menerima atau menerima dengan catatan. Jika RAPBD yang diajukan eksekutif ditolak maka sesuai UU yang berlaku eksekutif harus menggunakan APBD tahun sebelumnya.

HAK DAN KEWAJIBAN

Kalau proses penyusunan APBD sudah partisipatif (melalui Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang) tidak berarti pintu pelibatan masyarakat menjadi sudah tertutup. Apalagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah produk Peraturan Daerah yang nota bene bersifat terbuka. Siapa kemudian yang berani menjamin bahwa usulan rakyat ditingkat paling bawah yang menjadi kebutuhan mereka benar-benar terakomodir dan disetujui untuk menjadi prioritas.

Dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002 (Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Bagian Keempat mengenai Penetapan APBD ayat 4 disebutkan “Sebelum Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibahas, DPRD mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapat masukan”.

Hal ini didukung dengan hasil rumusan 10 Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik yang dibuat oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) serta Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI). Rumusan ini dibuat setelah melakukan seminar nasional otonomi Indonesia tahun 2001 di Jakarta.

Kesepuluh prinsip itu yakni (1) Partisipasi, (2) Penegakan Hukum, (3) Transparansi, (4) Responsif, (5) Kesetaraan, (6) Berwawasan Strategis, (7) Efektif dan Efisien, (8) Profesionalisme, (9) Akuntabilitas dan (10) Pengawasan. Paling tidak berkaitan dengan tuntutan masyarakat atas public hearing dan jawaban Ketua Dewan, sudah mencerminkan pengingkaran atas 2 prinsip yakni Transparansi dan responsive.

Lalu jika dilakukan dengar pendapat apakah ada pihak yang dirugikan. Diperlukan kesamaan berpikir mengenai kerangka pembangunan Kota Surakarta oleh seluruh elemen. Tentunya dengan mengacu pada visi misi Kota yang telah ditetapkan dalam Perda, maka seluruh program pembangunan mengarah kesana. Kerugian yang ditimbulkan dengan adanya hearing hanya soal waktu pengesahan yang molor dan beberapa perubahan teknis. Namun dampak yang ditimbulkan akan jauh lebih besar.

Masyarakat dan seluruh elemen sudah merasa berperan dalam APBD sehingga dalam pelaksanaannya akan betul-betul mendukung program pembangunan kota. Birokrasi yang melaksanakan tidak merasa terbebani sebab program yang dilakukan disetujui masyarakat. Disisi lain, legislative tinggal melihat, mengawasi dan meminta pertanggungjawaban pada eksekutif.

Seluruh proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang telah dilakukan di Kota Solo sudah mencerminkan proses yang partisipatif. Tinggal bagaimana semua pihak mau menempatkan diri pada posisinya masing-masing dan mengetahui pada tingkatan apa peran mereka. Masyarakat terlibat sejak Muskelbang dengan mengusulkan program apa yang mereka butuhkan. Lalu dalam pelaksanaannya mengawasi.

Birokrasi atau pemerintahan menjadi fasilitator yang memberi ruang, tempat dan pengelolaan program agar kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi. Kemudian wakil rakyat mengkonfirmasi antara kebutuhan rakyat dengan yang tertuang dalam APBD serta melihat pertanggungjawaban Walikota atas pelaksanaan program pembangunan.

Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo