Senin, 24 Desember 2012

Pos Dan Waktu Anggaran (APBD) Membengkak

|0 komentar
Sebagai pegangan dalam pelaksanaan pembangunan, APBD memiliki peran strategis dalam memajukan wilayah. Semakin meningkat APBD biasanya akan berkorelasi dengan makin meningkatnya anggaran pembangunan meski secara prosentase kadang tidak selalu seiring. Sudah banyak difahami bahwa anggaran daerah banyak dihabiskan oleh belanja pegawai sedangkan belanja pembangunannya tidak atau jarang beranjak naik secara signifikan.

Prediksi stagnannya anggaran pembangunan itu disaat tak ada aktivitas politik secara nasional maupun lokal. Tetapi bila daerah atau nasional mempunyai gawe, maka kita bisa lihat pada pos tertentu memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Setidaknya ada 2 hal yang bisa mengakibatkan APBD terlihat "tidak seperti biasanya". Dua hal tersebut yaitu pos alokasi anggaran dan waktu tertentu yang bisa mengakibatkan pos tidak terlihat seperti biasanya.

Untuk waktu-waktu yang biasanya mengubah alokasi adalah kegiatan seperti pemilu, pilpres, pilgub maupun pilkada. Hal ini pasti akan banyak mengalihkan anggaran baik untuk KPU, Panwas, Penyelenggara pemilu ditingkat bawah, pengamanan dan lainnya. Puluhan miliar akan terserap bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan mengakibatkan alokasi pembangunan menjadi berkurang. Entah pelaksanaan berbarengan atau tidak yang jelas kondisi tersebut sangat berpengaruh pada kestabilan APBD.

Aktivitas warga miskin Ketelan Solo (photo by Ardian YKKS Solo)
Sementara pos-pos yang biasanya digunakan untuk biaya politik berada pada pos bantuan sosial dan hibah kepada lembaga-lembaga lain termasuk instansi vertikal. Disinilah pos-pos itu berubah drastis bila ada Pilkada dan model seperti ini dengan mudah kita baca. Sayangnya seperti satu paket, jarang wakil rakyat yang kemudian secara jeli melihat perubahan alokasi di belanja pembangunan. Harusnya legislatif mampu menekan Pemda agar terus dan konsisten dengan RPJMD yang sudah disusunnya.

Pembengkakan anggaran ini pula yang menjadikan salah satu isu penting dari revisi UU Pemerintah Daerah maupun RUU Pilkada. Bila dipilih langsung biayanya besar namun bila melalui DPRD maka pemimpin yang dihasilkan legitimasinya bisa dipertanyakan. Maka muncul alternatif untuk Pilgub dipilih oleh DPRD sementara Pilbup/Pilwali tetap menggunakan pemilihan secara langsung. Sebenarnya model ini juga tidak benar dan mengandung makna cari mudahnya saja.

Biaya berdemokrasi memang mahal dan oleh karenanya tidak boleh rakyat kemudian salah pilih yang akan mengakibatkan kerugian lebih besar di masyarakat. Upaya yang dilakukan legislatif mengalihkan pemilihan gubernur pada DPRD telah menciderai hati nurani masyarakat. Dulu saat pilkada dilakukan oleh DPRD banyak yang terpilih justru yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Maka dari itu, sebelum kematangan berpolitik mencapai kedewasaan sebaiknya Pilkada tetap berada di masyarakat.

Sabtu, 22 Desember 2012

Kesiapan Parpol Jelang Pemilu 2014

|0 komentar
Jelang Pemilu 2014, KPU melakukan verifikasi faktual atas keberadaan partai politik di daerah dan hasilnya sungguh sangat mengecewakan. Dibeberapa daerah ternyata mereka tidak bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki basis pengurus yang legitimate untuk mengikuti Pemilu. Berdasarkan pantauan media di eks karesidenan Surakarta saja, beberapa parpol besar yang memiliki wakil di DPR dinyatakan tidak lolos. Sebut saja PKB di Kota Surakarta gagal lolos verifikasi.

Bagaimana sebenarnya partai politik menghadapi pemilu 2014 bila di kawasan yang semestinya mereka bisa lolos ternyata tidak memenuhi syarat? Sulit diterima akal bahwa mereka berargumentasi pihak KPU memiliki kelemahan. Sebab wilayah Solo raya relatif mudah diakses, teknologi juga aksessible, kondisi geografis tidak sulit dan pengecekan dilakukan untuk kepengurusan kabupaten kota. Artinya, seharusnya mereka bisa menunjukkan data-data valid atas kepengurusan.

Di Solo ada 3 parpol yang tak lolos dikarenakan banyak nama atau alamat fiktif. Sedangkan di Wonogiri ada 6 Parpol yang gagal yakni Hanura, PBB, PDP, PPN, PPRN dan PKBIB. Di Sukoharjo ada PKPI dan PDP yang tidak berhasil melewati verifikasi. Di Kabupaten Klaten ada 5 partai yakni PBB, PDP, PKPI, PPRN serta PPN. Di Boyolali PDP dan PKBIB yang tidak memenuhi persyaratan yang ada. Di Karanganyar ada PDP, PBB dan PPN yang gagal. Sementara Sragen ada PPN, PKBIB, PKPI dan PDP menemui jalan buntu.

Foto Kampanye salah satu bupati di Kaltim (berkacamata). Photo by facebook.com
Seperti kita tahu rata-rata partai tersebut sebenarnya sudah lama eksis atau tokohnya banyak berkiprah dilevel nasional. PBB misalnya pernah menempatkan Yusril Ihza Mahendra sebagai menteri, PDP banyak berkiprah politikus dari PDIP, PKPI dipenuhi mantan TNI yang pangkatnya jenderal sehingga sulit diterima akal kalau mereka gagal mengkonsolidasikan diri menyiapkan partai. Berdasarkan hal tersebut patut dipertanyakan bagaimana keseriusan mereka menghadapi pemilu.

Memang akan banyak argumen yang bisa mereka lontarkan namun riskan rasanya bila KPU dalam melakukan verifikasi seadanya saja. Toh pengecekan administrasi dibuat acak dan ditentukan oleh KPU Pusat siapa-siapa saja nama pengurus maupun anggota yang akan didatangi. Pemberitaan di Solopos edisi 20 Desember itu memuat beberapa fakta salah satunya mengenai kantor parpol yang bersangkutan. Di edisi lain bahkan ada satu keluarga masuk daftar beberapa pengurus partai.

Rupanya banyak politikus yang ingin mengambil jalan instan saja dan tidak menghidupi parpol sebagaimana layaknya sebuah institusi. Inilah salah satu konsekuensi dari era kebebasan dan adanya pembatasan dalam berpolitik terutama parpol dilarang memiliki perusahaan. Demikian pula dengan netralitas TNI/Polri, Pelarangan PNS menjadi pengurus parpol dan masih banyak lainnya. Ada banyak dilema bila aturan-aturan tersebut dibiarkan karena Indonesia terhitung baru saja menerapkan demokrasi yang sesungguhnya.

Pada era pemerintahan Soeharto sebenarnya tidak ada demokrasi. Ada pengebirian parpol, pembatasan media, penguasaan media oleh negara, tidak ada kebebasan berserikat dan berkumpul, adanya perwakilan TNI di parlemen serta berbagai kondisi lainnya. Otomatis  demokratisasi yang dibangun baru sejak Tahun 1999 dimana era multi partai benar-benar diberlakukan. Maka dari itu, kita lihat di masa mendatang apakah masih ada partai yang tidak serius mempersiapkan dirinya menghadapi pemilu.

Jumat, 21 Desember 2012

Menjadi Narasumber di Redaksi Media Harian

|0 komentar
Jum'at (21/12) siang jelang sore tiba-tiba hp berdering. Seorang teman mengabarkan agar saya menggantikan dirinya berbicara tentang Analisa APBD di sebuah redaksi koran harian. Awalnya agak ragu sebab data yang dimiliki tak lengkap, tak melakukan analisis secara mendalam serta permintaan berbicara juga mepet. Jujur tak siap untuk presentasi. Katanya, akan ada yang menghubungi dari media itu, seseorang yang berasal dari kota kelahiran yang sama.

Benar juga, tak lama berselang telpon berdering. Ternyata kawan lain yang sudah dikenal dan menempati posisi redaktur. Katanya cuma diminta berbicara tentang bagaimana cara analisis APBD agar teman-teman wartawan faham dengan hal itu. Langsung saja saya cari berbagai dokumen tentang APBD, regulasi dan teknik menganalisanya. Yang agak membuat sulit adalah, mereka wartawan yang tentu memiliki analisa cukup mendalam. Bila tak menyampaikan hal yang menarik pilihannya 2 yakni kalau tidak didiamkan saja (tak ada pertanyaan) atau malah "diadili".

Menjadi peserta workshop (photo by YSKK)
Akhirnya saya susun puzle-puzle kecil atas ide yang berserakan, siapkan materi kasar dan baru disusun ulang. Untuk menguatkan argumentasi, saya sertakan pula analisa atas APBD Kabupaten/Kota Se eks Karesidenan kurun waktu 5 tahun. Untungnya data ini sudah siap dan memang sering dipakai untuk membuat analisis di blog kesayangan ini. Agak keteteran di soal regulasi karena memang sudah banyak yang diperbaharui sehingga apa yang bisa disajikan saja yang ditayangkan.

Setelah menunggu sebentar, sebelumnya ada semacam pengarahan dari redaktur-redaktur senior, waktu diberikan. Sekitar 30an jurnalis ada diruangan. Hemmmhh agak merinding juga berhadapan dengan mereka apalagi yang ditakutkan bila ada yang faham cukup detil tentang regulasi. Namun perasaan itu dibuang sebab jarang ada wartawan yang mau menghapal regulasi apalagi liputan mereka kewilayahan bukan sektor. Slide demi slide ditayangkan dan tak lupa contoh-contoh analisis.

Rupanya beberapa orang tertarik mengupas lebih dalam. Ada pula yang menyeret ke hal-hal yang terkait strategi mereka dilapangan yang semestinya bisa saya tolak. Kan mereka lebih jago dibandingkan saya. Data APBD se eks karesidenan yang ditampilkan lumayan membuat mereka tertarik. Beberapa diantaranya bahkan faham dengan tampilan itu serta memberikan respon. Sayangnya respon mereka masuk ke teknis bagaimana data bisa seperti itu. Nah itu bukan wilayah saya.

Akhirnya pertemuan berakhir pukul 22.15 dan masih ada juga yang mengejar dengan beberapa pertanyaan. Yang agak mengkhawatirkan yakni diumumkannya no hape sehingga semua tahu. Agak was-wasnya adalah permintaan komentar di semua kabupaten/kota untuk soal anggaran. Ini bukan soal kapasitas namun kesempatan bagi orang-orang lokal untuk tampil dan menunjukkan kapasitasnya.